Share

Bab 8

"Ehm, Pak Adrian, Anda ...."

Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong.

"Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.

Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun.

"Tunggu dulu."

Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya.

"Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama."

"Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik.

"Apa saja asal jangan Pak."

Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya.

"Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan tak suka dari Adrian melalui kaca mobil yang berada di tengah.

"Oh--nggak suka ya?" lanjut Adik kandung Amanda itu, begitu melihat wajah Ardian.

"Mas, aku panggil kamu mas aja ya. Boleh?"

"Heemm." Adrian hanya berdeham.

"Ya sudah, aku turun dulu ya mas."

Tak ada jawaban.

Amanda lalu turun, dan diikuti Deswita. Kedua gadis itu berjalan cepat menuju gedung rumah sakit. Di saat yang sama, dari kejauhan, seorang wanita paruh baya memperhatikan mereka dengan mata menyipit, seolah mencoba meyakinkan dirinya akan sesuatu.

"Itu ... Manda? Dan Wita?" gumam wanita itu pelan, sedikit tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Ia mengucek matanya, berharap pandangannya salah. Namun, tidak, itu benar-benar mereka.

Wanita itu, yang tidak lain adalah Herawati---Ibu kandung Amnada, buru-buru mempercepat langkah untuk mengejar keduanya. Namun, jarak di antara mereka terlalu jauh, dan langkah kaki Manda dan Deswita yang cepat membuatnya kehilangan jejak.

Setelah beberapa menit berjalan, Manda dan Deswita sampai di ruang ICU, di mana ayah mereka dirawat. Mereka berhenti tepat di depan pintu lalu menatap sekitar.

"Kok Mama nggak ada, ya?" Deswita berbisik, matanya mencari-cari sosok ibu mereka yang seharusnya berada di situ, menunggu sang Ayah.

Manda mengangguk, "Mungkin Mama lagi ke bawah beli minum atau makan."

Mereka berdua lalu duduk di bangku yang tersedia di lorong ICU, menunggu sang ibu atau petugas medis yang mungkin akan keluar dari ruang ICU dengan kabar terbaru mengenai papa mereka.

Deswita memandang kakaknya, menyelidik. "Gimana, Kak? Perasaan kamu sekarang udah jadi istri Adrian?"

Manda tersenyum tipis, namun sorot matanya tidak menunjukkan kebahagiaan.

"Biasa aja. Aku malah bingung, kikuk, canggung. Di rumah Adrian tadi, rasanya sangat asing, mbak nggak nyaman berada di sana."

Deswita menghela napas, lalu menatap kakaknya serius.

"Mbak, aku takut kalau ini berlangsung lama, keluarga kita atau orang-orang dekat bakal tahu soal pernikahan kontrakmu sama Adrian. Nggak gampang lho kak menyembunyikan hal kayak gini, apalagi kalau Mama tahu.”

Manda menggigit bibirnya, seolah tidak tahu harus memberi jawaban apa. Sebelum ia sempat merespon, tiba-tiba terdengar suara yang tidak asing dari arah belakang mereka.

“Sembunyikan? Apa yang kalian sembunyikan?”

Manda dan Deswita sontak menoleh. Herawati berdiri di sana dengan alis terangkat, jelas menunjukkan rasa penasarannya. Wajahnya memancarkan keingintahuan sekaligus sedikit kekhawatiran.

"Mama!" Deswita langsung menegakkan badannya, mencoba memasang senyum seolah tidak terjadi apa-apa. "Ngagetin aja sih."

"Jawab! Apa yang kalian sembunyikan." tegasnya sekali lagi.

"Ehm, itu lho ma, bukan apa-apa," Deswita memutar otaknya cepat. "Tadi aku hanya cerita ke mbak manda, tentang teman baik aku yang ternyata udah menikah secara diam-diam. Tapi disembunyikan, ini pada kebongkar, Aku sama mbak Manda jadi kaget aja. Iya kan mbak?" lirik Deswita, kearah kakaknya.

"I---iya ma." wajah Manda terlihat panik.

"Oh ..." Herawati tersenyum kecil, tapi raut wajahnya masih menyiratkan rasa ingin tahu yang dalam. "Mama pikir kalian yang sembunyikan sesuatu."

"Enggak dong ma, mama mungkin kamu berani menyembunyikan sesuatu dari mama. Nggaklah."

"Wita benar ma, mana mungkin kami berani menyembunyikan sesuatu, mama kan serem. Hiii, " Manda bergidik, lalu nyengir kuda. ia mencoba mencairkan suasana dengan candaannya. Sedang Deswita mengimbangi, demi meyakinkan ibunya.

"Dasar kalian ya." Herawati hanya tersenyum kecil.

"Oh ya ma, Papa gimana?"

Wanita yang berusia 48 tahun itu menghela nafas lega, lalu duduk di samping putri pertamanya.

"Alhamdulillah, operasinya berjalan dengan lancar, sayang, hanya saja papa masih belum sadar. Kalian do'akan ya, agar papa cepat sehat lagi seperti dulu."

"Aamiin." ucap Manda dan Deswita berbarengan, terlihat senyum kebahagiaan diwajah keduanya.

"Lalu, mama mau nungguin disini sampai papa sadar?"

"Iya Manda. Kalian pulanglah, biar mama yang nungguin papa disini, nanti kalau misalnya papa sudah sadar dan dipindahkan ke ruang perawatan barulah kita gantian jaga."

"Mama yakin nggak mau ditemani?" Manda sekali lagi meyakinkan.

"Memang mbak mau nemenin?" Deswita sengaja menggoda sang Kakak, padahal ia tahu persis malam ini Marisa memerintah ia dan Adrian menginap di rumahnya.

"Ya---." Manda tak bisa meneruskan kalimatnya.

"Sudah, sudah, kalian pulanglah sana, sudah malam. Mendung juga, jangan sampai kalian kehujanan nanti."

"Baiklah ma. Mama baik-baik ya disini, jangan lupa hubungin kami kalau mama membutuhkan sesuatu atau ada apa-apa." pesan Manda.

"Iya sayang."

"Mama masih punya uang pegangan 'kan?"

"Masih Nak, yang dari kamu kemaren masih ada kok. Mama akan hemat-hemat, barangkali nanti kita butuh uang dadakan lagi untuk biaya pengobatan papamu."

"Jangan ma. Soal biaya pengobatan papa, mama nggak usah pikirin. Aku sudah siapkan kok. Uang yang mama pegang, mama boleh pakai untuk membeli apa saja yang mama mau. Makanan, minuman, vitamin bila perlu, sebab mama kan juga harus sehat agar bisa terus jagain Papa."

"Tapi Nda, kamu dapat uang banyak dari mana, Nak? Pengobatan papa, bayar hutang, itu sudah habis banyak lho, kamu nggak melakukan sesuatu yang melanggar agama 'kan?" tanya Herawati, menuntut jawaban.

Amanda tersenyum, "Tidak ma, pokoknya mama tolong percaya sama aku ya, aku tidak melakukan cara yang salah untuk mendapatkan uang kok. Oke ma."

"Mama tanya Wita kalau nggak percaya."

Herawati menoleh pada putri keduanya, "Memang iya Wit?"

"Iya ma, pokoknya mama tenang, in sya Allah mulai sekarang kita bisa hidup enak. Mbak Manda sudah jadi orang kaya sekarang."

Manda menoleh pada adiknya, matanya melotot, dengan sengaja ia lalu menginjak kaki Deswita dengan kuat. Gadis itu ingin berteriak kesakitan namun, ditahan agara tidak mencurigakan.

"Hidup enak? Orang kaya? Maksudnya?"

"Wita hanya bercanda kok ma. Beneran." kilah gadis yang usianya dibawah Manda 3 tahun itu.

"Tuh kan bercanda, mama seperti nggak kenal Deswita saja."

"Alhamdulillah kalau begitu, mama nggak mau kalau kamu melakukan berbagai cara untuk mendapatkan uang. Mama nggak mau pokoknya."

"Iya ma."

"Oh ya mama jadi ingat, tadi, mama melihat kalian berdua turun dari mobil, yang bagus dan mewah, mobilnya mengkilat, kalah bening dengan wajah mama. Memangnya itu mobil siapa?"

Manda dan Deswita kembali panik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status