Bab 14Marisa duduk di ruang tamu, memandang kosong ke arah cangkir teh di tangannya. Sejak tadi pikirannya terus saja memutar pertanyaan yang mengganggu. Ia merasa penasaran, sebenarnya apa yang Adrian pikirkan ketika menempatkan Amanda di kantornya."Melihat wajah Adrian tadi, sepertinya aku tidak yakin kalau dia akan menempatkan Manda di posisi yang seharusnya." gumam Marisa. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari sofa. "Ach, sebaliknya ku harus melihat sendiri." Dengan cepat, Marisa mengambil tasnya, Ia memutuskan untuk pergi ke kantor Adrian tanpa memberi tahu sebelumnya. Siapa tahu ada sesuatu yang tak beres, pikirnya.Sementara itu, di lantai sepuluh kantor Adrian, Amanda sedang sibuk. Tangannya dengan cekatan menggerakkan kain pel di atas lantai marmer yang mengkilap. Mirna berdiri di dekat pantry, memandang Amanda dengan ekspresi bingung."Aku nggak sedang mimpi kan Mbak? Ini bensran." tanya Mirna untuk kesekian kalinya. "
"Apa mengepel lantai di pantry? Astaga Amanda, apa sih yang kamu lakukan." tegur Adrian, sangat emosional. Amanda menunduk. "Maaf, aku memang salah. Tapi ini bukan masalah besar, kan?" Adrian mendengus, jelas kesal. "Bukan masalah besar? Amanda, bagaimana kalau ada karyawan lain yang tahu kau adalah istriku? Apa kau tidak sadar itu bisa merusak reputasiku? Kau tidak bisa sembarangan bersikap seperti itu!"Amanda merasa tersinggung, tapi mencoba tetap tenang. "Aku hanya ingin mengisi waktu luangku, Adrian. Kau sibuk, aku bosan. Aku tidak bermaksud membuat masalah."Adrian mengusap wajahnya dengan frustasi. "Kau tidak bisa seenaknya, Amanda. Aku adalah pimpinan di sini. Semua yang kau lakukan bisa berdampak pada namaku. Kau harus menjaga sikapmu!" teriak Adrian tidak terkontrol. Namun, sebelum Amanda sempat membalas, pintu ruangan terbuka lagi. Marisa masuk dengan langkah tegas, tatapannya langsung mengarah
Satu minggu telah berlalu sejak Amanda resmi menjadi sekretaris Adrian. Di kantor, ia mulai terbiasa dengan tugas-tugas barunya, meskipun ia tahu Adrian memberikan pekerjaan hanya untuk mengisi waktu dan memenuhi permintaan Marisa. Sedangkan di rumah, Amanda menjalankan perannya sebagai istri, setidaknya di hadapan mertuanya. Ia tetap menginap di rumah Adrian karena ayahnya masih dirawat di rumah sakit, sehingga tidak ada alasan baginya pada sang mertua untuk ia menginap dirumah Ayahnya. Sore itu, Adrian menjemput Amanda di rumah sakit, tentunya bukan karena keinginannya sendiri, melainkan untuk memenuhi permintaan ibunya yang mengharuskan keduanya pergi dan pulang kerja bersama-sama. Adrian duduk di mobilnya, jari-jarinya mengetuk setir dengan tidak sabar menunggu Amanda keluar dari gedung rumah sakit. Tak lama kemudian, Amanda muncul, berjalan dengan langkah cepat menuju mobilnya."Maaf, Mas, menunggu lama?" Ttanya Amanda saat ia ma
Keesokan harinya, suasana di rumah Adrian terasa canggung. Amanda memilih diam. Sedang Adrian, di sisi lain, bertingkah seperti biasa, seolah tidak terjadi apapun pada malam sebelumnya. Namun, tatapan matanya sesekali melirik Amanda, memerhatikan gerak-geriknya dengan seksama.Bukan hanya Adrian saja yang sejak tadi diam-diam memperhatikan Amanda, ternyata Marisa juga, Ia mulai curiga ada sesuatu yang terjadi pada anak dan menantunya itu. "Manda, kamu baik-baik saja kan?" tanya Marisa tiba-tiba, mengagetkan menantunya. "Baik ma." jawabnya singkat, sambil menunduk. "Pertengkaran dan masalah dalam rumah tangga itu adalah hal yang biasa, hanya saja jangan sampai ada yang keluar dari kamar. Semarah-marahnga kalian, sebaiknya tetap tidur di kamar yang sama." sindir Marisa, sontak membuat Manda dan Adrian terkejut. Manda menghentikan kegiatan makannya. Namun, pandangannya tetap menunduk. "Ma, aku---." "Mama pah
"Dia Amanda, sekretaris baruku," jawab Adrian singkat. "Manda, perkenalkan, ini Bella, sahabat lamaku."Amanda berdiri, sedikit membungkukkan badannya dengan sopan. "Senang bertemu dengan Anda."Bella memandang Amanda dari ujung kepala hingga ujung kaki, seolah menilai. "Ah, jadi ini sekretaris barumu. Cantik juga." Amanda hanya tersenyum, sementara Adrian tertawa kecil. "Dia memang cakap, makanya aku pilih dia."Bella menoleh kembali pada Adrian, tatapannya berubah menjadi genit. "Kapan kita bisa hang out bareng? Aku kangen nih pengen nongkrong bareng kamu, sudah lama kan kita nggak bertukar cerita." Adrian tersenyum. "Duduk dulu yuk." ucapnya mempersilahkan, lalu menarik tangan gadis dihadapannya, untuk duduk disofa. "Pokoknya, aku nggak mau kamu menolak, aku pasti akan marah, Adrian." Adrian, Lagi-lagi tersenyum, "Iya, aku tak akan menolak, mungkin akhir pekan. Aku akan lihat jadwalku
"Semoga saja wanita itu sudah pergi." gumam Amanda, lantas menarik tuas pintu itu ke bawah. Dan, ya, ruangan itu sudah kosong dari keberadaan Bella. Hanya Adrian yang tampak duduk di belakang mejanya, sibuk menatap layar laptop.Manda menghela nafas lega, ''Alhamdulillah baguslah kalau dia sudah pergi.' batinnya, kemudian mengayunkan langkah, masuk kedalam ruangan itu. Sebelum kembali ke mejanya, Manda terlebih dahulu menyapa Adrian, takut kepergiannya yang cukup lama, membuat lelaki itu marah. "Maaf Pak Adrian, saya tadi lama perginya." ucapnya, bersiap jika Adrian akan menyemprotnya seperti biasa. Namun, lelaki itu tetap diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya, bahkan ekspresinya tak berubah sedikit pun.Amanda mengerutkan kening, merasa kesal dengan sikap dingin itu. "Hah, benar-benar nggak peduli," gerutunya pelan, nyaris tak terdengar. Ia pun berjalan menuju mejanya, masih sambil menggerutu di dalam
Amanda menarik napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku sebenarnya nggak mau marah, tapi---." Amnada menjeda kalimatnya. Adrian memiringkan kepalanya sedikit, menatap Amanda dengan alis terangkat. "Tapi apa?" "Tapi ...." Amanda menunduk, memutar-mutar pena di tangannya. "Ucapanmu waktu itu, yang bilang kamu akan memanggilku jika kamu membutuhkan aku, Itu terasa sangat menyakitkan. Kamu tahu Adrian, aku jadi merasa menjual diriku, tak ubahnya seperti seorang pela cur. Ya, meski aku sadar, pernikahan kita ini memang bukan karena cinta. Namun, kita ini sekarang sudah sah menjadi pasangan suami istri, tidak seharusnya kamu berkata seperti itu padaku. Hubungan kita ini saling menguntungkan Adrian. Kamu butuh anak, dan aku butuh uang. Memang yang terlihat jelas adalah aku yang membutuhkan, padahal kamu pun sebenarnya sangat membutuhkan anak kan? Meski aku sendiri tak tahu alasan yang sebenarnya, tapi aku yakin kehadiran anak
Keduanya berhenti dan menoleh. "Ada apa lagi sih, Ma." Adrian dengan malas bertanya. "Kenapa mama tidak pernah melihat kalian berdua romantis?" tanya Marisa dengan nada sedikit menggoda.Amanda hanya tersenyum kaku, sementara Adrian tetap dengan ekspresi datarnya.Marisa melanjutkan, "Adrian, kamu itu harus lebih perhatian dan romantis pada istrimu. Kalau tidak, nanti Amanda bisa diambil orang, lho. Itu penting dalam rumah tangga, agar benih cinta terus tumbuh di hati kalian." Adrian menghela napas panjang. "Ma, nggak ada yang akan merebut Amanda. Udeh deh, nggak usah ngadi-ngadi mama kalau ngomong." protes Adrian. "Tetap saja, Nak. Kamu harus jaga perasaannya. Jangan terlalu dingin dan kaku. Amanda ini istrimu, bukan rekan kerja, apalagi anak buahmu." nasehat Marisa dengan nada serius.Amanda menunduk, merasa malu sekaligus bingung. "Lagian, kalaupun memang ada yang akan merebutku, Adrian pasti tidak
Suasana dalam mobil terasa begitu sunyi. Hanya suara deru mesin dan roda yang bergesekan dengan jalan yang terdengar. Adrian duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Manda yang tetap memandang ke luar jendela dengan ekspresi dingin. Ia tahu, ia harus mengatakan sesuatu.Setelah mengumpulkan keberanian, Adrian akhirnya membuka mulut. "Manda, aku mau minta maaf."Tak ada reaksi dari Manda. Wanita itu tetap memandang ke luar jendela, seolah tak mendengar permintaan maaf Adrian.Adrian menghela napas. "Aku tahu aku salah. Aku nggak seharusnya mengucapkan nama itu saat kita sedang bersama, tapi .... " Adrian menjeda kalimatnya, Ia menoleh kearah wanita disampingnya. Manda masih bergeming, tangannya terlipat di atas pangkuan. Ia terlihat begitu tenang, tapi Adrian tahu, di balik ketenangan itu, ada perasaan yang terluka."Manda ..." Adrian memanggilnya lagi, mencoba menarik perhatian.Kali ini, Manda mengger
Adrian langsung menjawab tanpa ragu, "Tentu saja bisa, Bu. Saya tidak keberatan sama sekali."Manda yang sedang berdiri di sampingnya menatap Adrian dengan mata membola. "Apa?" bisiknya kaget, tapi Adrian pura-pura tak mendengar."Nah kan, bagus kalau begitu!" kata Bu Herawati dengan wajah cerah. "Ayo masuk, Pak Adrian. Saya sudah siapkan makanan di meja makan."Manda tak bisa berbuat apa-apa selain mengalah. Ia mendesah pelan sambil menunduk. Dalam hati, ia mengutuk Adrian yang membuatnya tak bisa membantah ibunya. Dengan setengah hati, ia mengikuti langkah ibunya dan Adrian ke dalam rumah.Di ruang makan yang sederhana namun rapi, Bu Herawati memperkenalkan Adrian kepada suaminya. "Pa, ini bosnya Manda, Pak Adrian. Dia baik sekali sampai mau jemput Manda ke kantor."Pak Surya yang sedang memegang koran langsung meletakkannya di meja dan berdiri untuk menjabat tangan Adrian. "Wah, bosnya Manda ya? Senang sekali bisa bertemu. Saya Surya, papa Manda."Adrian tersenyum sopan sambil m
Adrian mengetuk pintu pelan, menunggu dengan sabar sambil merapikan kerah jasnya. Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan sosok Bu Herawati yang mengenakan daster bunga-bunga sederhana."Assalamu'alaikum," sapa Adrian dengan senyum sopan."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Herawati, terkejut melihat siapa yang berdiri di hadapannya. "Oh, bapak ... bukannya bosnya Manda ya, yang malam itu juga datang kemari?"Adrian tersenyum kecil dan mengangguk. "Iya, Bu. Saya Adrian. Kebetulan pagi ini saya datang untuk menjemput Manda. Apakah dia masih di rumah?""Oh, masih, Pak Adrian. Tunggu sebentar ya." Bu Herawati tersenyum lebar, merasa senang dengan kehadiran bos putrinya yang tampan itu. "Eh, tapi ... ada keperluan apa sampai menjemput ke rumah?" tanyanya ingin tahu. Adrian menjelaskan dengan tenang, "Ada sesuatu hal yang perlu saya bicarakan, sebelum meeting pagi ini, saya takut, waktunya tidak keburu, jadi saya pikir lebih baik kami ke ka
"Aku ingin ... Aku ingin kamu," kata Adrian langsung, tanpa berputar-putar.Manda tercengang, wajahnya memerah seketika. "Apa? Apa maksudmu, Adrian?" tanyanya, suaranya bergetar."Aku tidak bisa memikirkan hal lain sejak tadi. Aku ingin kamu. Aku ingin menikmati tu buhmu, sekarang juga." pinta Adrian sedikit memdesah, nafasnya memburu, seiring dengan gairahnya yang sedang tinggi Manda terdiam, hatinya berdebar keras. Ia tidak tahu harus berkata apa, hanya menatap Adrian dengan mata yang membulat."Adrian, aku ..."Namun, sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Adrian sudah mendekat, mengecup bibirnya dengan lembut. Manda tidak sempat menolak atau memberi respons. Tubuhnya kaku sejenak, tetapi ia tidak mendorong Adrian untuk menjauh.Sentuhan itu terus berlangsung, Adrian manarik pinggang Manda, agar tubuh keduanya kian dekat. Dan Adrian tidak berhenti, Ia lantas membimbing tubuh istrinya perlahan ke arah ranjang. Denga
Adrian duduk di sofa dengan wajah murung, sementara Manda bersiap-siap pergi ke kantor. "Aku pergi dulu, jangan lupa makan dan minum obat. Semoga cepat sembuh ya." Manda melangkah ke arah pintu, namun, suara Adrian membuatnya menghentikan langkah kakinya. "Berhenti," ucap Adrian tegas.Manda menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa? Saya harus ke kantor, ada laporan yang harus saya selesaikan 'kan?"Adrian menatapnya dingin. "Kamu nggak perlu ke kantor hari ini. Kamu tetap di sini. Ada hal yang lebih penting untuk kamu selesaikan."Manda mengangkat alis, bingung. "Apa maksudnya? Aku nggak ada urusan lainnya, mas."Adrian berdiri perlahan, memegang perutnya yang masih terasa nyeri."Tanggung jawab. Kamu harus tanggung jawab karena bikin saya menderita semalaman gara-gara nasi goreng pedes itu."Manda hampir tertawa, tapi ia menahannya. "Mas, aku sudah bilang kan, itu bukan salahku. Kan sudah aku bilang agar di
"Aduh perutku.' ucap Adrian, ketika terbangun dengan rasa nyeri yang tajam di perutnya. Malam itu terasa panjang. Berkali-kali ia harus bolak-balik ke kamar mandi karena diare yang tak kunjung reda. Setelah beberapa jam, tubuhnya terasa lemas, dan peluh dingin membasahi wajahnya."Pasti gara-gara nasi goreng semalam," gumamnya dengan nada kesal. "Awas kamu ya Manda, kamu harus bertanggung jawab." sungutnya kesal. Ia lantas meraih ponselnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Jemarinya langsung mencari nama Manda di daftar kontak. Tanpa ragu, ia menekan tombol panggil.Sementara gitu, di tempat lain, Manda terbangun oleh dering telepon yang terus-menerus mengganggu tidurnya. Nomor tak dikenal terpampang di layar ponselnya, membuatnya enggan menjawab."Siapa sih pagi-pagi begini? Astaghfirullah hal Adzim, belum juga subuh, ganggu saja." gumamnya sambil mematikan suara ponsel.Namun, telepon itu kemba
"Kamu yakin ini tempatnya?" tanya Adrian sambil melirik kearah sekitar.Mobil Adrian kini telah berhenti di depan sebuah warung nasi goreng pinggir jalan. Lampu neon sederhana menerangi meja-meja kayu yang berjejer rapi. Aroma khas bumbu nasi goreng menyeruak di udara."Iya, Mas. Tempat seperti ini justru lebih nyaman," jawab Manda sambil membuka pintu mobil.Adrian mengikutinya keluar, tampak sedikit canggung. Beberapa pengunjung warung sempat melirik ke arah mereka, terutama Adrian yang jelas terlihat seperti orang asing di tempat itu dengan setelan formalnya."Mas, kita duduk di sana saja," tunjuk Manda ke salah satu meja kosong.Adrian hanya mengangguk dan mengikuti langkah Manda.Seorang pelayan datang dengan senyuman ramah. "Mau pesan apa, Mbak? Mas?"Manda tersenyum. "Dua porsi nasi goreng spesial dan dua teh manis hangat, ya, Mbak.""Baik mbak, seperti biasa kan?" "Iya mas."
Sesampainya di kantor, Adrian segera turun dari mobil, diikuti oleh Manda yang berjalan dengan langkah ragu. Rendy, yang sudah setia mengantar mereka, membuka pintu untuk Adrian."Terima kasih, Ren. Kamu bisa pulang dulu," ucap Adrian. "Aku akan lembur malam ini. Setelah selesai, aku sendiri yang akan mengantar Manda pulang."Rendy mengangguk dengan sopan. "Baik, Pak. Selamat bekerja."Setelah Rendy pergi, Adrian mengarahkan Manda menuju ruangannya. Begitu masuk, ia segera menghidupkan lampu dan duduk di kursinya yang besar dan nyaman. Tumpukan dokumen berserakan di atas meja, membuat ruangan terlihat sedikit berantakan."Manda, tolong kerjakan laporan yang aku minta tadi," ujar Adrian sambil menunjuk meja kerjanya.Manda tertegun, lalu melirik tumpukan dokumen di meja itu. Ia mengenali laporan yang dimaksud Adrian, karena ia sudah menyelesaikannya tadi siang sebelum pulang. Namun, ia tak menyangka Adrian tidak menyadarinya.
Bab 27 "Perkenalkan bu, saya Rendy, asisten Pak Adrian, atasan Bu Amanda di kantor." ujar pria itu dengan suara tenang.Herawati menatap Rendy dengan alis terangkat."Adrian? Atasan Manda? Lalu, ada perlu apa, malam-malam begini datang kemari?" tanyanya, penuh rasa curiga.Rendy tersenyum, sedikit kikuk. "Maaf, Bu. Ada urusan pekerjaan yang mendesak. Bisakah saya bertemu dengan Bu Manda?"Herawati berpikir sejenak sebelum akhirnya memanggil anaknya."Ehm, sebentar ya saya panggilkan." ucapnya memasang raut wajah yak enak. "Manda! Ada tamu, Nak." serunya dari pintu.Langkah Manda terdengar tergesa. Ia muncul dengan wajah heran, mengenakan kaus dan celana santai. Begitu melihat siapa yang berdiri di depan rumah, ekspresinya berubah tegang."Pak Rendy?" katanya, setengah berbisik.Rendy mengangguk. "Selamat malam, Bu Manda. Maaf kalau saya mengganggu. Tapi, Pak Adrian menyuruh saya datang kemari karena ad