Adrian memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumah keluarganya yang luas. Manda duduk di kursi penumpang, diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya.
Pandangannya terpaku pada rumah besar bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di hadapannya. Pilar-pilar putih yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan bingkai emas membuat rumah itu terlihat seperti istana dalam film-film.
‘Ini rumah atau istana?’ puji Manda dalam hatinya, terkagum-kagum memandang rumah itu.
Ya, di sinilah ia sekarang, di depan rumah orang tua Adrian. Mereka sudah melakukan tes kesuburan, dan setelah mendapatkan hasil yang diinginkan, Adrian langsung membawa Manda untuk bertemu dengan orang tuanya.
"Sayang?" Adrian memanggil, membuyarkan lamunan Manda. Suara bariton itu terdengar begitu lembut, membuatnya meremang.
Manda menoleh dengan cepat. "Sa-sayang?" sahutnya gugup, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar.
"Jangan ge-er, saya hanya latihan supaya tidak canggung di depan mama saya," ujar Adrian ketus, kembali seperti pribadinya yang biasa.
"O-oh, baik," kata Manda mengerti. Hampir saja jantungnya copot karena panggilan mesra yang sangat asing itu!
"Kamu siap?" tanya Adrian, lagi-lagi membuat Manda terkejut dengan perubahannya.
‘Dia bunglon atau apa? Cepat sekali berubahnya!’ gerutu Manda dalam hati.
"Ingat ya, kamu harus kalem, selalu senyum, dan bersikap sopan. Mamaku orang yang sangat memperhatikan tata krama. Kalau kamu bisa menaklukkannya, sisanya akan mudah. Paham?"
Manda menelan ludah. "Iya, aku paham," katanya, meski dalam hati, rasa gugupnya semakin memuncak. Ia membayangkan ibu Adrian seperti karakter mertua jahat dalam sinetron, kaya raya, dingin, dan menilai segala sesuatu hanya dari status sosial.
Bagaimana jika ia tidak menyukai Manda? Bagaimana jika .... Manda jadi sibuk sendiri dengan pikirannya memikirkan berbagai macam kemungkinan.
"Manda," suara Adrian sekali lagi mengagetkannya.
"Oh ... maaf," Manda tersadar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
Mereka berdua lantas keluar dari mobil, dan Manda bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Adrian menggandeng tangannya dengan lembut. Genggaman itu cukup erat untuk memberikan rasa nyaman, namun tetap mengejutkan Manda.
"Kita harus terlihat meyakinkan," bisik Adrian sambil berjalan di sampingnya. "Aku ingin ibu percaya bahwa kita benar-benar pasangan kekasih."
Manda mengangguk patuh, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan. Mereka baru saja mulai dekat, dan kini Adrian sudah membawanya ke situasi yang penuh tekanan ini.
Tentu, Manda punya alasan yang kuat, yaitu utang besar yang harus dibayarnya, dan tawaran Adrian untuk menikahinya adalah satu-satunya jalan keluar yang ia miliki saat ini. Tapi tetap saja, perasaan canggung tak bisa dihindari.
Mereka memasuki rumah yang luas, dan Adrian membawanya menuju ruang keluarga. Setiap sudut rumah itu terasa mewah. Lukisan-lukisan besar menggantung di dinding, sementara lantai marmer mengilap di bawah kaki mereka. Manda menelan ludah, mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar tetap tenang.
Di ujung ruangan—Marisa—ibu kandung Adrian, telah menunggu. Wanita itu duduk di sofa dengan anggun, mengenakan gaun elegan berwarna pastel yang mempertegas kesan kebangsawanan. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam, memperhatikan setiap langkah mereka dengan seksama.
Adrian menggenggam tangan Manda lebih erat ketika mereka mendekati ibunya.
"Hai, Ma." Adrian menyapa, lantas mencium pipi kanan dan kiri wanita paruh baya itu.
"Mama sudah lama sekali tak bertemu denganmu, Adrian. Kamu jarang sekali pulang," ucap wanita itu dengan lembut.
"Maaf, Ma, tapi aku benar-benar sedang sibuk sekarang ini."
"Ya, ya, kamu selalu bilang begitu Adrian." Dari raut wajah Marisa terhambat kekecewaan yang mendalam.
"Oh ya Ma, seperti yang aku bilang kemarin, aku datang ingin memperkenalkan mama dengan seorang gadis,” kata Adrian sambil menoleh dan tersenyum pada Manda. “Ini dia Ma, namanya Manda," ujarnya dengan nada ringan, seolah pertemuan ini bukan hal yang besar. "Kekasihku."
Manda tersenyum, meski senyum itu terasa kaku. "Selamat sore, Tante," sapanya dengan suara pelan namun sopan. Ia mengulurkan tangannya pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu.
Marisa menatap Manda dari ujung kepala hingga kaki, sebelum akhirnya ia menyambut uluran tangan gadis itu, sambil tersenyum tipis.
"Jadi ini pacar Adrian sekarang?" katanya dengan nada yang sulit ditebak, namun tetap terdengar ramah.
“Iya, Ma," jawab Adrian sambil tersenyum, penuh percaya diri.
Manda merasa tubuhnya sedikit bergetar di bawah tatapan Marisa. Namun, ia berusaha keras untuk tetap tenang.
"Senang bisa bertemu dengan Tante," ucapnya setelah itu.
Marisa mengangguk. "Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Manda. Tapi, terus terang, aku tidak menyangka dia akan membawa seseorang ke rumah ini dengan begitu tiba-tiba."
Adrian terkekeh, seolah tak terpengaruh oleh komentar ibunya. "Ya, mungkin ini sedikit mendadak, tapi aku memang ingin mama segera mengenalnya."
Marisa menatap Adrian dengan alis yang sedikit terangkat. "Kamu bilang ingin menikahinya. Benarkah itu, Adrian?"
Manda merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Pertanyaan itu langsung menusuk tepat di inti persoalan. Dia tahu bahwa Adrian sudah mengatakan hal ini kepada ibunya, tetapi mendengarnya secara langsung masih membuatnya merasa sedikit canggung.
Adrian mengangguk mantap. "Benar, Ma. Aku berencana menikahi Manda dalam waktu dekat."
Marisa terdiam sejenak. Tatapannya beralih dari Adrian ke Manda, seakan menilai setiap gerakan dan ekspresi mereka.
"Kamu tahu, Adrian," katanya pelan, "Mama tidak pernah mendengar cerita apapun tentang kamu yang punya pacar sejak putus dari gadis itu, apalagi soal rencana pernikahan. Dan sekarang, tiba-tiba kamu muncul dengan seorang gadis dan mengatakan akan menikahinya.”
Pernyataan Marisa membuat Manda terpaku. Ia merasa gelisah, terlebih tatapan wanita paruh baya itu begitu intens, seolah tengah menelanjanginya.
“Jujur pada mama Adrian, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ini terkesan sangat mendadak? Mama jadi sedikit ... curiga."
Mata Marisa tetap tertuju pada kedua orang di hadapannya, secara bergantian, pandangannya tajam, menuntut jawaban.
Tapi, baik Adrian atau pun Manda, hanya bisa terdiam. Apakah kebohongan mereka akan terbongkar secepat ini?
Manda berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, mereka sudah sejauh ini. Tidak mungkin mundur lagi. "Tante, maaf kalau saya lancang, saya mengerti kalau ini mungkin terasa sangat mendadak, tapi ...," ia mencoba menjelaskan, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami benar-benar serius dengan hubungan ini. Jadi, kami pikir buat apa menunggu lebih lama." Adrian mengangguk setuju. "Manda benar Ma, aku tahu ini terlihat cepat, tapi aku sudah memikirkannya dengan baik. Dan Manda adalah orang yang tepat untukku."Marisa masih memandang mereka dengan tatapan skeptis, tetapi perlahan seulas senyum terbit di bibirnya. "Adrian, kamu selalu punya caramu sendiri dalam membuat keputusan. Mama hanya ingin memastikan bahwa ini bukan keputusan yang terburu-buru, terutama karena kamu belum lama putus dari wanita itu."Manda merasakan sedikit ketegangan dalam suasana. Sebutan "wanita itu" sudah ia dengar dua kali, membuatnya jadi tahu bahwa yang dibicarakan pastilah mantan kekasih Adrian. "Ma, aku su
Hari yang ditunggu datang juga, pernikahan sederhana tersebut dilakukan secara sangat sederhana di ruang tamu kediaman keluarga besar Maulana Malik. Amanda yang siang itu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih dan rok jarik berwarna coklat keemasan, hingga menjadi perpaduan yang sangat pas dan indah dipandang mata. Setelan kebaya yang sangat pas di kenakan oleh Manda itu, membuatnya semakin terlihat anggun dan menarik, meskipun memperlihatkan bentuk tubuhnya, yang padat dan berisi. tak hanya itu, rambutnya pun disanggul kekinian dengan make up yang juga sederhana, dan tak berlebihan. "Mbak ini beneran loe mau nikah?" tanya Deswita tak percaya. Sebab Amanda memang baru saja memberitahukannya sehari sebelum pernikahan ini akan berlangsung, tentunya atas persetujuan Adrian, dengan alasan agar tak menimbulkan kecurigaan dari keluarga besarnya, dari mana Manda mendapatkan banyak uang untuk melunasi hutang. M
Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki. Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya. "Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai." "Ehm, nanti aja Tan." "Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke." Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma." "Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamduli
"Ehm, Pak Adrian, Anda ...." Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong. "Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun. "Tunggu dulu." Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya. "Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama." "Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik. "Apa saja asal jangan Pak." Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya. "Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan ta
“Mana uangnya?!” Amanda Putriani—seorang gadis yang berdiri di balik meja resepsionis—tersentak dengan tubuh gemetar. Tiga pria bertampang seram yang baru saja masuk, membuatnya terpojok tak bisa melarikan diri.Mereka adalah rentenir yang selama ini terus menghantui Manda. Manda menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun suaranya tetap bergetar, "A-aku … aku belum punya uangnya … Tolong beri waktu—”"Waktu?!" Rentenir itu mendengus tajam, lalu tiba-tiba menyambar tangan gadis yang nampak sangat ketakutan itu. "Aku sudah muak dengan omong kosongmu. Kau ikut kami sekarang!"Dengan kasar, pria itu menarik tangan Manda, menyeretnya keluar dari belakang meja. Manda berusaha melawan, namun tenaganya jauh lebih lemah dibanding para pria itu. Tubuhnya nyaris terseret, lututnya hampir menyentuh lantai."Tolong! Jangan!" Manda menjerit, mencoba melepaskan diri. Hatinya terasa hancur, ketakutan memenuhi dirinya. “Aku berjanji akan segera melunasinya!” jeritnya putus asa. Tapi suara Manda
Dunia Manda seakan berhenti sejenak. Matanya membesar, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. "M-menikah?" ucapnya gagap, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.Adrian mengangguk perlahan, tatapannya tetap tenang, nyaris tak tergoyahkan. "Ya, menikah. Kita buat kesepakatan, sesuai dengan syarat-syarat yang aku minta. Dan aku akan melunasi semua utangmu,” kata Adrian. Ia menatap Manda lekat. “Tapi kau harus menikah denganku." Manda melangkah mundur tanpa sadar, tubuhnya terasa lemas. Rasa takut menjalari hatinya tanpa bisa dicegah."T-tapi kenapa? Kenapa Anda ingin menikah denganku? Kita bahkan hampir tidak saling mengenal!" kata Manda sambil menatap pria di hadapannya dengan awas. Adrian tidak tampak ofensif. Ia justru hanya menatap Manda sejenak, lalu menghela napas. "Aku punya alasan,” kata pria itu. “Pernikahan ini ada hubungannya dengan urusan keluargaku.”Manda mengernyit, bingung sekaligus curiga. Ia menyipitkan mata ketika menatap Adrian. "Urusan kelu
Manda berdiri di depan sebuah pintu kamar apartemen mewah. Setelah mencari tahu dengan susah payah, ia akhirnya menemukan di unit berapa Adrian tinggal. Hatinya berdebar kencang, tangan gemetar saat memencet bel. Suara detak jam di lorong terasa makin keras di telinganya, seolah menghitung detik-detik yang menguji keberaniannya.Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, berdiri Adrian, sosok pria yang begitu dingin, tatapannya tajam, tanpa ekspresi."Ada apa?" tanyanya dengan nada datar dan dingin, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Manda.Manda menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku ... ingin bicara," ujarnya terbata-bata. Matanya tak berani menatap langsung wajah Adrian.Adrian mengamati Manda beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Masuk."Manda melangkah masuk, sedikit ragu. Ruangan yang ia masuki begitu mewah, dengan dekorasi modern yang mengilap. Furnitur kulit, lantai marmer, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketingg