Share

Bab 4

Adrian memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumah keluarganya yang luas. Manda duduk di kursi penumpang, diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. 

Pandangannya terpaku pada rumah besar bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di hadapannya. Pilar-pilar putih yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan bingkai emas membuat rumah itu terlihat seperti istana dalam film-film. 

‘Ini rumah atau istana?’ puji Manda dalam hatinya, terkagum-kagum memandang rumah itu. 

Ya, di sinilah ia sekarang, di depan rumah orang tua Adrian. Mereka sudah melakukan tes kesuburan, dan setelah mendapatkan hasil yang diinginkan, Adrian langsung membawa Manda untuk bertemu dengan orang tuanya.

"Sayang?" Adrian memanggil, membuyarkan lamunan Manda. Suara bariton itu terdengar begitu lembut, membuatnya meremang.

Manda menoleh dengan cepat. "Sa-sayang?" sahutnya gugup, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. 

"Jangan ge-er, saya hanya latihan supaya tidak canggung di depan mama saya," ujar Adrian ketus, kembali seperti pribadinya yang biasa. 

"O-oh, baik," kata Manda mengerti. Hampir saja jantungnya copot karena panggilan mesra yang sangat asing itu! 

"Kamu siap?" tanya Adrian, lagi-lagi membuat Manda terkejut dengan perubahannya. 

‘Dia bunglon atau apa? Cepat sekali berubahnya!’ gerutu Manda dalam hati.

"Ingat ya, kamu harus kalem, selalu senyum, dan bersikap sopan. Mamaku orang yang sangat memperhatikan tata krama. Kalau kamu bisa menaklukkannya, sisanya akan mudah. Paham?" 

Manda menelan ludah. "Iya, aku paham," katanya, meski dalam hati, rasa gugupnya semakin memuncak. Ia membayangkan ibu Adrian seperti karakter mertua jahat dalam sinetron, kaya raya, dingin, dan menilai segala sesuatu hanya dari status sosial. 

Bagaimana jika ia tidak menyukai Manda? Bagaimana jika .... Manda jadi sibuk sendiri dengan pikirannya memikirkan berbagai macam kemungkinan.

"Manda," suara Adrian sekali lagi mengagetkannya.

"Oh ... maaf," Manda tersadar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. 

Mereka berdua lantas keluar dari mobil, dan Manda bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Adrian menggandeng tangannya dengan lembut. Genggaman itu cukup erat untuk memberikan rasa nyaman, namun tetap mengejutkan Manda.

"Kita harus terlihat meyakinkan," bisik Adrian sambil berjalan di sampingnya. "Aku ingin ibu percaya bahwa kita benar-benar pasangan kekasih." 

Manda mengangguk patuh, meskipun hatinya masih dipenuhi kebingungan. Mereka baru saja mulai dekat, dan kini Adrian sudah membawanya ke situasi yang penuh tekanan ini. 

Tentu, Manda punya alasan yang kuat, yaitu utang besar yang harus dibayarnya, dan tawaran Adrian untuk menikahinya adalah satu-satunya jalan keluar yang ia miliki saat ini. Tapi tetap saja, perasaan canggung tak bisa dihindari.

Mereka memasuki rumah yang luas, dan Adrian membawanya menuju ruang keluarga. Setiap sudut rumah itu terasa mewah. Lukisan-lukisan besar menggantung di dinding, sementara lantai marmer mengilap di bawah kaki mereka. Manda menelan ludah, mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar tetap tenang.

Di ujung ruangan—Marisa—ibu kandung Adrian, telah menunggu. Wanita itu duduk di sofa dengan anggun, mengenakan gaun elegan berwarna pastel yang mempertegas kesan kebangsawanan. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam, memperhatikan setiap langkah mereka dengan seksama.

Adrian menggenggam tangan Manda lebih erat ketika mereka mendekati ibunya. 

"Hai, Ma." Adrian menyapa, lantas mencium pipi kanan dan kiri wanita paruh baya itu. 

"Mama sudah lama sekali tak bertemu denganmu, Adrian. Kamu jarang sekali pulang," ucap wanita itu dengan lembut. 

"Maaf, Ma, tapi aku benar-benar sedang sibuk sekarang ini." 

"Ya, ya, kamu selalu bilang begitu Adrian." Dari raut wajah Marisa terhambat kekecewaan yang mendalam. 

"Oh ya Ma, seperti yang aku bilang kemarin, aku datang ingin memperkenalkan mama dengan seorang gadis,” kata Adrian sambil menoleh dan tersenyum pada Manda. “Ini dia Ma, namanya Manda," ujarnya dengan nada ringan, seolah pertemuan ini bukan hal yang besar. "Kekasihku."

Manda tersenyum, meski senyum itu terasa kaku. "Selamat sore, Tante," sapanya dengan suara pelan namun sopan. Ia mengulurkan tangannya pada wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. 

Marisa menatap Manda dari ujung kepala hingga kaki, sebelum akhirnya ia menyambut uluran tangan gadis itu, sambil tersenyum tipis. 

"Jadi ini pacar Adrian sekarang?" katanya dengan nada yang sulit ditebak, namun tetap terdengar ramah. 

“Iya, Ma," jawab Adrian sambil tersenyum, penuh percaya diri.

Manda merasa tubuhnya sedikit bergetar di bawah tatapan Marisa. Namun, ia berusaha keras untuk tetap tenang. 

"Senang bisa bertemu dengan Tante," ucapnya setelah itu. 

Marisa mengangguk. "Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Manda. Tapi, terus terang, aku tidak menyangka dia akan membawa seseorang ke rumah ini dengan begitu tiba-tiba."

Adrian terkekeh, seolah tak terpengaruh oleh komentar ibunya. "Ya, mungkin ini sedikit mendadak, tapi aku memang ingin mama segera mengenalnya."

Marisa menatap Adrian dengan alis yang sedikit terangkat. "Kamu bilang ingin menikahinya. Benarkah itu, Adrian?"

Manda merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Pertanyaan itu langsung menusuk tepat di inti persoalan. Dia tahu bahwa Adrian sudah mengatakan hal ini kepada ibunya, tetapi mendengarnya secara langsung masih membuatnya merasa sedikit canggung.

Adrian mengangguk mantap. "Benar, Ma. Aku berencana menikahi Manda dalam waktu dekat."

Marisa terdiam sejenak. Tatapannya beralih dari Adrian ke Manda, seakan menilai setiap gerakan dan ekspresi mereka. 

"Kamu tahu, Adrian," katanya pelan, "Mama tidak pernah mendengar cerita apapun tentang kamu yang punya pacar sejak putus dari gadis itu, apalagi soal rencana pernikahan. Dan sekarang, tiba-tiba kamu muncul dengan seorang gadis dan mengatakan akan menikahinya.”

Pernyataan Marisa membuat Manda terpaku. Ia merasa gelisah, terlebih tatapan wanita paruh baya itu begitu intens, seolah tengah menelanjanginya.

“Jujur pada mama Adrian, apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa ini terkesan sangat mendadak? Mama jadi sedikit ... curiga." 

Mata Marisa tetap tertuju pada kedua orang di hadapannya, secara bergantian, pandangannya tajam, menuntut jawaban.

Tapi, baik Adrian atau pun Manda, hanya bisa terdiam. Apakah kebohongan mereka akan terbongkar secepat ini? 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status