Dunia Manda seakan berhenti sejenak. Matanya membesar, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar.
"M-menikah?" ucapnya gagap, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
Adrian mengangguk perlahan, tatapannya tetap tenang, nyaris tak tergoyahkan.
"Ya, menikah. Kita buat kesepakatan, sesuai dengan syarat-syarat yang aku minta. Dan aku akan melunasi semua utangmu,” kata Adrian. Ia menatap Manda lekat. “Tapi kau harus menikah denganku."
Manda melangkah mundur tanpa sadar, tubuhnya terasa lemas. Rasa takut menjalari hatinya tanpa bisa dicegah.
"T-tapi kenapa? Kenapa Anda ingin menikah denganku? Kita bahkan hampir tidak saling mengenal!" kata Manda sambil menatap pria di hadapannya dengan awas.
Adrian tidak tampak ofensif. Ia justru hanya menatap Manda sejenak, lalu menghela napas.
"Aku punya alasan,” kata pria itu. “Pernikahan ini ada hubungannya dengan urusan keluargaku.”
Manda mengernyit, bingung sekaligus curiga. Ia menyipitkan mata ketika menatap Adrian. "Urusan keluarga? Tapi ... kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?"
Adrian tertawa kecil. Raut wajahnya yang datar kini tampak lebih santai. Ia lalu melangkah mendekat lagi, hingga jaraknya hanya beberapa langkah dari Manda.
"Karena aku butuh seseorang yang tidak akan membuat situasi ini rumit,” katanya.
Tapi itu tidak lantas membuat Manda langsung mengerti.
“Kamu bukan dari kalangan orang yang dikenal oleh keluargaku, kamu juga tidak terlibat dalam drama bisnis kami. Dan yang paling penting, kamu butuh bantuanku, untuk membayar utangmu. Iya kan?"
Manda merasa dadanya semakin sesak. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersanjung atau merasa diperalat untuk kepentingan pria ini.
"Jadi ... kamu menganggap aku tak punya pilihan lain, selain menerima tawaranmu itu?"
Adrian menatapnya tajam, meskipun ada sedikit kelembutan di balik sorot matanya.
"Bukan hanya itu,” katanya sambil berdeham. “Aku menghargai integritasmu. Kau pekerja keras, tidak pernah melibatkan dirimu dalam masalah yang tidak perlu."
Alis Manda berkerut. Bagaimana pria ini tahu tentang hal itu?
Mereka memang tidak benar-benar asing satu sama lain. Adrian adalah pemilik salah satu unit di apartemen elit ini, sedangkan Manda adalah resepsionis yang beberapa kali berpapasan dengan Adrian saat ia tengah bertugas. Tapi bukan berarti mereka saling mengenal dengan baik. Dunia Adrian jelas jauh berbeda dengan dunia Manda yang berada di kasta bawah.
Manda menelan ludah, masih tidak yakin apakah ini semua nyata atau mimpi buruk yang aneh.
"Ini ... gila," gumamnya pelan. "Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa."
Adrian hanya tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu menjawab sekarang. Pikirkanlah. Tapi ingat, waktumu tidak banyak,” katanya.
Kata-kata itu terdengar menenangkan sekaligus menekan di saat yang bersamaan. Manda merasa bingung.
“Keberuntungan tidak selalu berpihak padamu. Rentenir itu akan kembali, dan aku mungkin tidak bisa menyelamatkanmu jika kamu menolak,” lanjut Adrian.
Manda terdiam, pikirannya kacau balau. Tawaran ini lebih dari sekadar pekerjaan, ini adalah keputusan hidup yang akan mengubah segalanya. Menikah dengan pria yang hampir tidak dikenalnya ... demi terbebas dari hutang.
"Pikirkan baik-baik," kata Adrian pelan sebelum berbalik pergi, meninggalkan Manda yang masih terdiam, tenggelam dalam kebingungannya.
*
Manda masih duduk di meja resepsionis apartemen tempatnya bekerja. Jam kerjanya masih 2 jam lagi, tapi terasa sangat lama.
Tangannya sibuk dengan kertas-kertas, tetapi pikirannya melayang jauh, terperangkap dalam tumpukan masalah yang tak kunjung usai. Utang yang membebaninya seolah tidak pernah berkurang, hanya bertambah dengan setiap hari yang berlalu.
Ponselnya tiba-tiba bergetar, mengejutkan Manda dari lamunannya. Ia menatap layar ponselnya, dan nama "Mama" terpampang jelas.
Perasaan cemas langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengangkat telepon itu.
"Halo, Ma?" suara Manda terdengar lemah, takut akan kabar buruk yang mungkin datang.
[Manda, papamu, Nak, papamu harus segera dioperasi!]
Suara ibunya terdengar bergetar. [Masalahnya, ada obat yang harganya sangat mahal. Obat itu tidak ditanggung BPJS, Nak. Kita butuh uang segera sebelum operasi papamu dilakukan.]
Manda tercekat. Pikirannya seolah kosong sejenak. Masalah utang yang selama ini menguasai pikirannya kini harus dibarengi dengan kenyataan bahwa ayah kandungnya membutuhkan pertolongan segera. Tumpukan beban ini semakin membuatnya kesulitan bernapas.
"Be-berapa harganya, Ma?" tanya Manda dengan suara pelan, nyaris tak terdengar.
[Sepuluh juta, Nak … Kami sudah mencari kemana-mana, tapi obat itu tidak bisa dibeli dengan BPJS.] Suara ibunya terdengar semakin lirih.
"Sepuluh juta…." beonya dengan suara yang sedikit lebih keras.
Bagaikan jurang yang dalam dan tak terjembatani. Manda menelan ludah, berusaha mengendalikan dirinya. Air matanya menetes tanpa sadar.
Ayahnya membutuhkan pertolongannya, tetapi bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?
Setelah menutup telepon, Manda duduk diam beberapa saat, tak mampu berpikir jernih. Kebutuhan mendesak ayahnya terus terngiang dalam benaknya. Utang, biaya operasi, obat mahal, biaya hidup keluarganya, semuanya bercampur aduk.
Lalu pikirannya terbang ke Adrian. Tepatnya pada tawaran dari lelaki kaya itu.
Adrian adalah lelaki yang sukses di usia muda. Menikah dengannya akan membuat semua masalah finansial Manda selesai. Utangnya akan lunas, dan ia bisa membantu ayahnya menjalani operasi tanpa kesulitan.
Namun, menikah tanpa cinta? Apa itu solusi yang benar?
Manda memegang kepalanya, bingung dan putus asa. Adrian memang kelihatan seperti pria yang baik, tetapi keputusan itu bukanlah sesuatu yang bisa diambil begitu saja. Menyerahkan masa depannya untuk sesuatu yang tidak ia yakini, hanya demi melunasi utang dan membantu orang tuanya?
Wajah ayahnya terbayang di pikirannya, terbaring di rumah sakit, lemah dan membutuhkan bantuannya. Manda menatap kosong ke depan, pertanyaan besar menghantui benaknya.
"Apakah aku harus menerima tawaran Adrian?"
Di balik meja resepsionis yang penuh dengan lalu lalang penghuni apartemen, Manda merasa seperti terjebak di persimpangan jalan yang sulit.
Waktu terus berjalan, tetapi jawabannya masih terkatung-katung ….
Manda berdiri di depan sebuah pintu kamar apartemen mewah. Setelah mencari tahu dengan susah payah, ia akhirnya menemukan di unit berapa Adrian tinggal. Hatinya berdebar kencang, tangan gemetar saat memencet bel. Suara detak jam di lorong terasa makin keras di telinganya, seolah menghitung detik-detik yang menguji keberaniannya.Beberapa saat kemudian, pintu terbuka perlahan. Di hadapannya, berdiri Adrian, sosok pria yang begitu dingin, tatapannya tajam, tanpa ekspresi."Ada apa?" tanyanya dengan nada datar dan dingin, seolah tidak terkejut dengan kedatangan Manda.Manda menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya. "Aku ... ingin bicara," ujarnya terbata-bata. Matanya tak berani menatap langsung wajah Adrian.Adrian mengamati Manda beberapa detik, sebelum akhirnya berkata, "Masuk."Manda melangkah masuk, sedikit ragu. Ruangan yang ia masuki begitu mewah, dengan dekorasi modern yang mengilap. Furnitur kulit, lantai marmer, dan jendela besar yang menampilkan pemandangan kota dari ketingg
Adrian memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di halaman rumah keluarganya yang luas. Manda duduk di kursi penumpang, diam tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Pandangannya terpaku pada rumah besar bergaya Eropa klasik yang berdiri megah di hadapannya. Pilar-pilar putih yang tinggi dan jendela-jendela besar dengan bingkai emas membuat rumah itu terlihat seperti istana dalam film-film. ‘Ini rumah atau istana?’ puji Manda dalam hatinya, terkagum-kagum memandang rumah itu. Ya, di sinilah ia sekarang, di depan rumah orang tua Adrian. Mereka sudah melakukan tes kesuburan, dan setelah mendapatkan hasil yang diinginkan, Adrian langsung membawa Manda untuk bertemu dengan orang tuanya."Sayang?" Adrian memanggil, membuyarkan lamunan Manda. Suara bariton itu terdengar begitu lembut, membuatnya meremang.Manda menoleh dengan cepat. "Sa-sayang?" sahutnya gugup, tak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. "Jangan ge-er, saya hanya latihan supaya tidak canggung di depan mama saya," uj
Manda berusaha menenangkan diri. Bagaimana pun, mereka sudah sejauh ini. Tidak mungkin mundur lagi. "Tante, maaf kalau saya lancang, saya mengerti kalau ini mungkin terasa sangat mendadak, tapi ...," ia mencoba menjelaskan, meskipun suaranya sedikit gemetar. "Kami benar-benar serius dengan hubungan ini. Jadi, kami pikir buat apa menunggu lebih lama." Adrian mengangguk setuju. "Manda benar Ma, aku tahu ini terlihat cepat, tapi aku sudah memikirkannya dengan baik. Dan Manda adalah orang yang tepat untukku."Marisa masih memandang mereka dengan tatapan skeptis, tetapi perlahan seulas senyum terbit di bibirnya. "Adrian, kamu selalu punya caramu sendiri dalam membuat keputusan. Mama hanya ingin memastikan bahwa ini bukan keputusan yang terburu-buru, terutama karena kamu belum lama putus dari wanita itu."Manda merasakan sedikit ketegangan dalam suasana. Sebutan "wanita itu" sudah ia dengar dua kali, membuatnya jadi tahu bahwa yang dibicarakan pastilah mantan kekasih Adrian. "Ma, aku su
Hari yang ditunggu datang juga, pernikahan sederhana tersebut dilakukan secara sangat sederhana di ruang tamu kediaman keluarga besar Maulana Malik. Amanda yang siang itu terlihat sangat cantik dengan balutan kebaya berwarna putih dan rok jarik berwarna coklat keemasan, hingga menjadi perpaduan yang sangat pas dan indah dipandang mata. Setelan kebaya yang sangat pas di kenakan oleh Manda itu, membuatnya semakin terlihat anggun dan menarik, meskipun memperlihatkan bentuk tubuhnya, yang padat dan berisi. tak hanya itu, rambutnya pun disanggul kekinian dengan make up yang juga sederhana, dan tak berlebihan. "Mbak ini beneran loe mau nikah?" tanya Deswita tak percaya. Sebab Amanda memang baru saja memberitahukannya sehari sebelum pernikahan ini akan berlangsung, tentunya atas persetujuan Adrian, dengan alasan agar tak menimbulkan kecurigaan dari keluarga besarnya, dari mana Manda mendapatkan banyak uang untuk melunasi hutang. M
Acara ijab kabul Adrian dan Amanda telah selesai dilakukan. Para tamu undangan pun, telah meninggal tempat acara, menyisakan pengantin baru, juga keluarga pihak laki-laki. Manda dan Deswita duduk berdampingan, keduanya telihat kikuk, berada di tengah-tengah orang kaya membuat mental mereka ngedrop seketika. Sesekali keduanya nampak berbisik, namun lebih banyak diam dengan kedua tangan mereka yang saling menggenggam erat. Sedangkan Adrian, duduk di sisi lainnya yang tak jauh dari istrinya. Ia terlihat asik memainkan benda pipih miliknya, seolah tak peduli pada wanita yang baru saja dinikahinya. "Manda, masih disini, sayang." Marisa mengambil tempat duduk disamping menantunya. "Nggak pengen ganti baju aja, biar lebih santai." "Ehm, nanti aja Tan." "Lho, kok manggilnya tan, sih. Mulai sekarang biasakan manggil saya Mama. Oke." Manda tersenyum, "Iya tan. Eh, Ma." "Nah, begitu dong." Marisa menyandarkan tubuhnha. "Alhamduli
"Ehm, Pak Adrian, Anda ...." Belum sempat Amanda meneruskan kalimatnya, Adrian sudah terlebih dahulu memotong. "Aku akan menunggu kamu di sini," katanya singkat, suaranya terdengar dingin.Manda hanya mengangguk kecil, merasa suasana di antara mereka begitu kaku. Tanpa bicara apa-apa lagi, ia membuka pintu, hendak beranjak turun. "Tunggu dulu." Manda kembali keposisinya, begitu juga dengan Deswita yang duduk dibangku belakang, ia terdiam dan melihat kearah Kakak iparnya. "Biasakan jangan panggil aku Pak. Apalagi kalau di rumah mama." "Jadi, saya harus panggil anda apa?" tanya Manda balik. "Apa saja asal jangan Pak." Manda berpikir, "Abang? Mas? Atau Aa?" ujarnya hati-hati, takut tidak berkenan dihati suaminya. "Ayang bebs aja mbak. Lebih romantis, biasanya kalau anak remaja pacaran jaman sekarang manggilnya gitu.. Gimana? Bagus kan?" celetuk Deswita yang sontak mendapat tatapan ta
“Mana uangnya?!” Amanda Putriani—seorang gadis yang berdiri di balik meja resepsionis—tersentak dengan tubuh gemetar. Tiga pria bertampang seram yang baru saja masuk, membuatnya terpojok tak bisa melarikan diri.Mereka adalah rentenir yang selama ini terus menghantui Manda. Manda menelan ludah, mencoba menenangkan diri, namun suaranya tetap bergetar, "A-aku … aku belum punya uangnya … Tolong beri waktu—”"Waktu?!" Rentenir itu mendengus tajam, lalu tiba-tiba menyambar tangan gadis yang nampak sangat ketakutan itu. "Aku sudah muak dengan omong kosongmu. Kau ikut kami sekarang!"Dengan kasar, pria itu menarik tangan Manda, menyeretnya keluar dari belakang meja. Manda berusaha melawan, namun tenaganya jauh lebih lemah dibanding para pria itu. Tubuhnya nyaris terseret, lututnya hampir menyentuh lantai."Tolong! Jangan!" Manda menjerit, mencoba melepaskan diri. Hatinya terasa hancur, ketakutan memenuhi dirinya. “Aku berjanji akan segera melunasinya!” jeritnya putus asa. Tapi suara Manda