Share

Bab 2

Dunia Manda seakan berhenti sejenak. Matanya membesar, mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. 

"M-menikah?" ucapnya gagap, seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

Adrian mengangguk perlahan, tatapannya tetap tenang, nyaris tak tergoyahkan. 

"Ya, menikah. Kita buat kesepakatan, sesuai dengan syarat-syarat yang aku minta. Dan aku akan melunasi semua utangmu,” kata Adrian. Ia menatap Manda lekat. “Tapi kau harus menikah denganku." 

Manda melangkah mundur tanpa sadar, tubuhnya terasa lemas. Rasa takut menjalari hatinya tanpa bisa dicegah.

"T-tapi kenapa? Kenapa Anda ingin menikah denganku? Kita bahkan hampir tidak saling mengenal!" kata Manda sambil menatap pria di hadapannya dengan awas. 

Adrian tidak tampak ofensif. Ia justru hanya menatap Manda sejenak, lalu menghela napas. 

"Aku punya alasan,” kata pria itu. “Pernikahan ini ada hubungannya dengan urusan keluargaku.”

Manda mengernyit, bingung sekaligus curiga. Ia menyipitkan mata ketika menatap Adrian. "Urusan keluarga? Tapi ... kenapa aku? Kenapa bukan orang lain?"

Adrian tertawa kecil. Raut wajahnya yang datar kini tampak lebih santai. Ia lalu melangkah mendekat lagi, hingga jaraknya hanya beberapa langkah dari Manda. 

"Karena aku butuh seseorang yang tidak akan membuat situasi ini rumit,” katanya. 

Tapi itu tidak lantas membuat Manda langsung mengerti.  

“Kamu bukan dari kalangan orang yang dikenal oleh keluargaku, kamu juga tidak terlibat dalam drama bisnis kami. Dan yang paling penting, kamu butuh bantuanku, untuk membayar utangmu. Iya kan?" 

Manda merasa dadanya semakin sesak. Ia tidak tahu apakah harus merasa tersanjung atau merasa diperalat untuk kepentingan pria ini. 

"Jadi ... kamu menganggap aku tak punya pilihan lain, selain menerima tawaranmu itu?" 

Adrian menatapnya tajam, meskipun ada sedikit kelembutan di balik sorot matanya. 

"Bukan hanya itu,” katanya sambil berdeham. “Aku menghargai integritasmu. Kau pekerja keras, tidak pernah melibatkan dirimu dalam masalah yang tidak perlu."

Alis Manda berkerut. Bagaimana pria ini tahu tentang hal itu? 

Mereka memang tidak benar-benar asing satu sama lain. Adrian adalah pemilik salah satu unit di apartemen elit ini, sedangkan Manda adalah resepsionis yang beberapa kali berpapasan dengan Adrian saat ia tengah bertugas. Tapi bukan berarti mereka saling mengenal dengan baik. Dunia Adrian jelas jauh berbeda dengan dunia Manda yang berada di kasta bawah. 

Manda menelan ludah, masih tidak yakin apakah ini semua nyata atau mimpi buruk yang aneh. 

"Ini ... gila," gumamnya pelan. "Aku ... aku tidak tahu harus berkata apa."

Adrian hanya tersenyum tipis. "Kamu tidak perlu menjawab sekarang. Pikirkanlah. Tapi ingat, waktumu tidak banyak,” katanya. 

Kata-kata itu terdengar menenangkan sekaligus menekan di saat yang bersamaan. Manda merasa bingung. 

“Keberuntungan tidak selalu berpihak padamu. Rentenir itu akan kembali, dan aku mungkin tidak bisa menyelamatkanmu jika kamu menolak,” lanjut Adrian. 

Manda terdiam, pikirannya kacau balau. Tawaran ini lebih dari sekadar pekerjaan, ini adalah keputusan hidup yang akan mengubah segalanya. Menikah dengan pria yang hampir tidak dikenalnya ... demi terbebas dari hutang.

"Pikirkan baik-baik," kata Adrian pelan sebelum berbalik pergi, meninggalkan Manda yang masih terdiam, tenggelam dalam kebingungannya.

*

Manda masih duduk di meja resepsionis apartemen tempatnya bekerja. Jam kerjanya masih 2 jam lagi, tapi terasa sangat lama. 

Tangannya sibuk dengan kertas-kertas, tetapi pikirannya melayang jauh, terperangkap dalam tumpukan masalah yang tak kunjung usai. Utang yang membebaninya seolah tidak pernah berkurang, hanya bertambah dengan setiap hari yang berlalu.

Ponselnya tiba-tiba bergetar, mengejutkan Manda dari lamunannya. Ia menatap layar ponselnya, dan nama "Mama" terpampang jelas. 

Perasaan cemas langsung menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia mengangkat telepon itu.

"Halo, Ma?" suara Manda terdengar lemah, takut akan kabar buruk yang mungkin datang.

[Manda, papamu, Nak, papamu harus segera dioperasi!] 

Suara ibunya terdengar bergetar. [Masalahnya, ada obat yang harganya sangat mahal. Obat itu tidak ditanggung BPJS, Nak. Kita butuh uang segera sebelum operasi papamu dilakukan.]

Manda tercekat. Pikirannya seolah kosong sejenak. Masalah utang yang selama ini menguasai pikirannya kini harus dibarengi dengan kenyataan bahwa ayah kandungnya membutuhkan pertolongan segera. Tumpukan beban ini semakin membuatnya kesulitan bernapas.

"Be-berapa harganya, Ma?" tanya Manda dengan suara pelan, nyaris tak terdengar.

[Sepuluh juta, Nak … Kami sudah mencari kemana-mana, tapi obat itu tidak bisa dibeli dengan BPJS.] Suara ibunya terdengar semakin lirih.

"Sepuluh juta…." beonya dengan suara yang sedikit lebih keras. 

Bagaikan jurang yang dalam dan tak terjembatani. Manda menelan ludah, berusaha mengendalikan dirinya. Air matanya menetes tanpa sadar. 

Ayahnya membutuhkan pertolongannya, tetapi bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat?

Setelah menutup telepon, Manda duduk diam beberapa saat, tak mampu berpikir jernih. Kebutuhan mendesak ayahnya terus terngiang dalam benaknya. Utang, biaya operasi, obat mahal, biaya hidup keluarganya, semuanya bercampur aduk.

Lalu pikirannya terbang ke Adrian. Tepatnya pada tawaran dari lelaki kaya itu. 

Adrian adalah lelaki yang sukses di usia muda. Menikah dengannya akan membuat semua masalah finansial Manda selesai. Utangnya akan lunas, dan ia bisa membantu ayahnya menjalani operasi tanpa kesulitan. 

Namun, menikah tanpa cinta? Apa itu solusi yang benar?

Manda memegang kepalanya, bingung dan putus asa. Adrian memang kelihatan seperti pria yang baik, tetapi keputusan itu bukanlah sesuatu yang bisa diambil begitu saja. Menyerahkan masa depannya untuk sesuatu yang tidak ia yakini, hanya demi melunasi utang dan membantu orang tuanya?

Wajah ayahnya terbayang di pikirannya, terbaring di rumah sakit, lemah dan membutuhkan bantuannya. Manda menatap kosong ke depan, pertanyaan besar menghantui benaknya. 

"Apakah aku harus menerima tawaran Adrian?"

Di balik meja resepsionis yang penuh dengan lalu lalang penghuni apartemen, Manda merasa seperti terjebak di persimpangan jalan yang sulit. 

Waktu terus berjalan, tetapi jawabannya masih terkatung-katung …. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status