Dengan perasaan campur aduk Aluna pun berjalan menghampiri ruangan Darren. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang. Sebelumnya dia dan Alika pun buru-buru pulang. Selama perjalanan, Alika terus berbicara agar Aluna tidak membantah apa pun yang dikatakan oleh Darren. Sebab itu akan berefek pada karirnya juga. Bahkan saat sampai kantor, Alika malah menyemangati Aluna untuk memberikan servis terbaik kepada Darren agar pria itu tidak ngambek lagi. Tentu saja Aluna berpikiran yang aneh-aneh. Tidak mungkin dia melakukan hal-hal seperti itu, apalagi keduanya hanya melakukan perjanjian pernikahan tanpa ada perasaan apa pun.Setelah sampai di pintu ruangan Darren, gadis itu menghela napas beberapa kali. Berusaha untuk menenangkan diri agar tidak canggung. Ini adalah sebuah tantangan dan juga hal yang harus dihadapi. Mau tidak mau gadis itu pasti akan bertemu dengan Darren. Setelahnya sang gadis pun mengetuk pintu.Walaupun mereka satu ruangan, tapi kali ini berbeda. Darren sedang marah da
Darren menghela napas kasar. Dia berdiri, lalu mendekat secara perlahan kepada Aluna. Gadis itu meneguk saliva dengan susah payah melihat pergerakan sang suami. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau hawanya itu tidak mengenakan. Dia takut kalau pria itu semakin marah kepadanya.Bisa seperti ini tampaknya Aluna baru sadar kalau dia sudah berbuat keliru dengan mengatakan hal yang tidak semestinya. "Jadi, menurutmu kalau aku adalah suami di atas kertas, aku tidak punya hak atas dirimu, begitu?"Aluna kembali meneguk saliva dengan susah payah. Tetapi dia harus mengatakan semua yang ada di pikirannya, tidak mau terus tertindas oleh Darren apalagi kontraknya 3 tahun ke depan. Bisa-bisa tubuh Aluna kurus kering karena harus terus-terusan mengikuti kemauan Darren. "Ya, sesuai dengan yang dikatakan Bapak. Selama di depan orang, kita terlihat romantis. Tetapi di belakang, aku adalah bawahan Bapak." Mendengar itu langkah Darren terhenti. Sepertinya dia mulai sadar kalau perjanjiannya dulu
"Tapi, Bapak janji, ya. Kalau saya menyebutkan namanya Bapak jangan memecatnya.""Itu kan tergantung kamu. Kalau kamu tidak berbuat yang aneh-aneh, aku juga tidak akan memecatnya. Memang siapa dia?" "Yang jelas dia itu adalah teman baik saya di sini. Saya tidak mau kalau sampai kehilangan teman baik. Bapak tahu kan kalau saya menjadi istri Bapak, pasti orang-orang kantor akan merenggang dan tidak mau deket-deket sembarangan dengan saya. Itu membuat saya tidak nyaman." Darren menautkan kedua alis, seperti sedang berpikir sejenak. "Maksud kamu Alika?"Tubuh Aluna terkesiap. Wajahnya syok, karena tak menyangka kalau Darren bisa menebak apa yang sedang diucapkannya barusan. "Kenapa kamu kaget seperti itu? Karena yang aku tahu kamu hanya dekat dengan Alika saja," ujar pria itu membuat Aluna pucat. Dia tidak tahu harus bereaksi apa dan ini benar-benar memalukan untuknya. "Bapak, tidak akan memecat Alika, kan?" tanya Maura, wajahnya sudah khawatir dan itu membuat Darren ingin sekali te
Alika meneguk dengan susah payah, tubunya juga merasa bergetar sebab saat ini dia sedang berhadapan dengan Darren. Tangannya terasa dingin, ketakutan sudah menyergap. Seharusnya dia tidak menerima tawaran Aluna untuk pergi ke kafe yang jauh, tetapi ini juga bukan kesalahan temannya itu. Sebab tidak ada yang tahu kalau Darren sampai marah seperti ini karena Aluna pergi dari kantor di jam istirahat.Alika takut jika dia dipecat, sementara ketakutan lainnya itu Aluna pasti diperlakukan tidak baik oleh Darren. Kalau saja dia punya kekuasaan, mungkin akan membela Aluna dan mengajak temannya pergi dari tempat ini. Sayangnya itu tidak bisa, dia sadar diri di mana tempatnya saat ini. Darren menegakkan punggung dan menatap Alika dengan nyalang. Gadis itu kembali meneguk saliva dengan susah payah. Jantungnya berdetak dengan sangat kencang, seolah tengah menunggu pengadilan untuknya sendiri. Sementara itu, Aluna hanya bisa di luar ruangan. Dia bahkan tak bisa mendengar percakapan mereka sebab
"Syarat? Syarat apa, Pak?" tanya Alika dengan suara bergetar.Dia takut kalau Darren ingin melakukan sesuatu yang membuatnya menyesal. Darren tersenyum miring. Dia lalu penduduk tegak sembari memperlihatkan kalau dirinya benar-benar ingin mengatakan sesuatu yang serius kepada gadis ini. "Aku akan menaikkan gajimu dua kali lipat.""Apa?!"Alika tersentak. Dia bahkan membulatkan mata tak percaya. "Bapak yakin?""Iya, aku akan memberikanmu gaji dua kali lipat dan tidak akan dipecat. Kalau perlu kamu akan mendapatkan tunjangan yang lebih lagi jika kamu mengikuti semua syarat dariku." Mendengar kalimat terakhir itu Alika langsung terdiam. Hati yang sebelumnya sempat kaget dan jumawa, jadi berpikiran aneh-aneh tentang apa yang akan diminta oleh Darren. "Memang syaratnya apa, Pak?" tanya Alika lagi, masih dengan ketakutan."Kamu cukup jadi mata-mataku." "Hah?"Alika semakin bingung. Dia jadi berpikiran kalau pria ini ingin membuat dirinya menjadi mata-mata untuk perusahaan lain, tetapi
“Di-dipecat, Pak?” tanya Alika, takut membayangkan kalau dia kesulitan dan mencari kerjaan yang begitu sulit di zaman sekarang, membuat Alika meneguk air liurnya dengan susah payah. Dia kebingungan, tapi itu membuat Darren puas. Pria itu yakin Alika tidak akan berani melawan perkataannya jika sudah kata pecat keluar dari mulut sang pria. "Tapi, Pak--" "Itu pilihanmu. Kamu tinggal menjawabnya sekarang. Bagaimana?"Alika cukup lama berpikir, membuat Darren kesal juga. "Kalau kamu memang masih diam saja, sebaiknya keluar dan silakan ambil pesangonmu!" "Tidak, tidak. Baik, saya akan mengikuti kata Bapak. Tapi, tolong jangan sakiti Aluna, ya." Darren menaikan sebelah alisnya, kebingungan dengan apa yang dikatakan oleh gadis ini."Apa maksudmu?"Dengan perasaan canggung Alika memainkan jari jemari di bawah meja, takut jika salah bicara lagi. "Iya, Pak. Aluna itu gadis yang baik. Dia benar-benar belum pernah berpacaran dengan siapa dengan pun. Mungkin Bapak yang pertama bagi Aluna. Sa
"Bagaimana kalau 500 juta?" ucap Darren dengan serius.Wajah tegas dengan rahang kokoh itu semakin memperjelas ekspresi yang tidak main-main. Walaupun saat ini usianya sudah 39 tahun, tapi Darren masih terlihat gagah dan tampan. Bahkan, banyak wanita yang mendambakan pria matang itu."Apa Bapak bilang? 500 juta? Bapak mau membeli saya, ya?" cetus Aluna, kesal.Bagaimana tidak? Padahal waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, hampir semua karyawan sudah pulang. Tetapi, Aluna tertahan di sana karena ulah Darren--sang CEO--yang tidak lain bosnya sendiri.Darren terkesiap mendengar pertanyaan gadis itu. Alis tebalnya saling bertautan. "Aku mau memberimu tawaran, bukan membeli kamu. Kalau kamu berpikiran begitu, silakan saja."Mata indah Aluna membulat sempurna. Bosnya itu dengan enteng melontarkan kalimat terakhir dengan mudah. Ekspresinya juga sangat meremehkan Aluna, dan sang gadis tidak suka."Saya anggap seperti itu. Bapak pikir saya wanita murahan? Lagian, apa Bapak gila menginginkan ha
"Loh, memang harus seperti itu. Kalau aku menikahi orang yang tergila-gila akan harta dan tergila-gila padaku, akan susah," terang Darren."Maksudnya bagaimana? Jangan membuat alasan, Pak." Pembicaraan ini tidak akan ada ujungnya kalau Darren tidak langsung memberikan alasan jelas kepada Aluna."Kalau aku menikahi wanita yang gila harta, maka pasti dia akan mau melakukan berbagai cara untuk mengeruk hartaku."Aluna pun terdiam menyimak. Dia tidak berkomentar sama sekali. Kali ini, ia ingin mendengarkan semua alasan pria itu ingin menikahinya."Lalu, jika aku menikahi wanita yang menggilaiku, pasti sulit melepasnya.""Ck!" Aluna berdecak keras, melihat bosnya dengan tatapan datar. "Lalu, untuk apa menikah? Tidak usah menikah saja! Gitu aja kok, repot!" seru Aluna, gemas sendiri."Aku inginnya seperti itu, tapi sayangnya tidak dengan orang tuaku. Ibuku terus-terusan meminta menantu."Aluna terperangah. Wajahnya tampak terkejut. Melihat itu, Darren malah kesal."Benarkah? Lucu sekali.