Beranda / Pernikahan / Istri Bayaran Presdir Angkuh / Bab 1. Terpaksa Menjadi Pelayan Bar

Share

Istri Bayaran Presdir Angkuh
Istri Bayaran Presdir Angkuh
Penulis: Ericka Ghaniya

Bab 1. Terpaksa Menjadi Pelayan Bar

Dalam perjalanan hidup, terkadang kita dihadapkan pada rintangan yang begitu sulit diatasi. Meski berjuang dengan penuh semangat, namun tak jarang kita menemui jurang keputusasaan. Saat itulah, penting untuk ingat bahwa setiap cobaan membawa pelajaran dan di balik kegelapan, ada cahaya yang menanti.

Nadin Asyifa, seorang gadis berusia delapan belas tahun dan punya latar belakang miskin secara finansial. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya saja. Wanita single parent sekaligus ayah untuknya. Nadin tak memiliki adik atau pun kakak. Saat ini ia menjalani statusnya sebagai mahasiswi penerima beasiswa disalah satu universitas yang ada di ibu kota Surabaya.

Sayangnya, penyakit sang ibu yang sudah lama dideritanya justru semakin memburuk. Batuk-batuk pada kondisi kesehatan Asih sang ibu semakin tak terkontrol. Hingga terjadilah, dimana Asih jatuh pingsan dan tak sadarkan diri.

Suara pintu terbuka...

"Ibu ... Nadin pulang!" gumamnya berteriak kecil. Memanggil sang ibu setelah menyelesaikan kuliahnya hari ini.

Dari sudut mata mencari, Nadin tak menemukan ibunya didalam kamar. Bahkan di ruang tengah pun juga tidak ada. Gadis itu semakin khawatir dan sedikit berlari kecil mencari-cari ke segala ruangan.

Sampai akhirnya, tiba-tiba....

"Ibu!!!" teriak Nadin saat menemukan ibunya yang sudah terjatuh dan pingsan didalam bilik kamar mandi.

Ada warna bercak darah pada telapak tangannya. Buru-buru, Nadin menggendong ibunya dan membawanya keluar sana. Wajahnya begitu panik dan lesuh. Ia terus berteriak meminta tolong pada tetangga sekitar. Namun hanya ada beberapa orang yang membantu. Beruntung akhirnya, Nadin bisa membawa sang ibu ke rumah sakit dengan tepat waktu. Karena jika tidak....

"Untunglah, kamu membawa Ibumu ke sini dengan tepat waktu. Kalau sedikit saja terlewatkan, nyawanya sudah tidak bisa tertolong," ujar sang dokter mengatakan. Kedua bola mata Nadin terlonjak kaget tak menyangka. Pupilnya sedikit bergetar dan melebar.

"Memangnya Ibu saya sakit apa, dok?" tanya Nadin bingung.

"Pasien terindikasi adanya jaringan sel kanker didalam tubuhnya. Lebih tepatnya dibagian pencernaan. Kanker usus sangat berbahaya bila tidak segera dilakukan tindakan operasi," jelasnya lagi.

"Apa, dok? Operasi?" Nadin terkjut tak menyangka. Bahwa ibunya menderita penyakit parah yang tak pernah ia ketahui sebelumnya.

"Benar, operasi. Mohon untuk segera melunasi biaya administrasinya hari ini. Karena operasinya akan segera diproses setelah menyelesaikan pembayaran."

"Operasi? Uang dari mana aku bisa mendapatkan semua itu? Kuliah saja pun dari bantuan beasiswa pemerintah. Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam Nadin dalam hati kebingungan.

"Dok, kira-kira sampai kapan batas waktu pembayarannya? Apa tidak bisa diberikan sedikit waktu lagi? Karena kalau untuk hari ini, saya belum ada uang. Tapi saya usahakan, pasti akan membayarnya dengan lunas." Nadin memohon dengan wajah sedu.

Dokter itu terlihat menghela napas panjang. Mungkinkah ia tampak iba dan kasihan pada Alesia?

"Saya beri waktu hingga dua hari dari sekarang. Lebih daripada itu, saya tidak bisa menjamin keselamatan Ibu Anda ke depannya akan bagaimana."

"B-baik dok, terima kasih. Saya janji, saya pasti akan usahakan untuk mencari uangnya. Tapi tolong dok, lakukan apa saja agar Ibu saya bisa diselamatkan!" lagi-lagi Nadin memohon. Dokter itu lantas mengangguk pelan, seraya menampilkan senyum kecutnya.

Nadin lantas pergi meninggalkan area rumah sakit itu. Setelah membawa ibunya ke dalam sana, ia sekarang kebingungan harus pergi kemana. Mencari pekerjaan baru di waktu singkat seperti ini rasanya tidak mudah.

Kesana-kemari mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ibunya, tapi semuanya nihil. Tak ada satu pun yang menerimanya. Bahkan kalau pun melamar di perusahaan, akan banyak memakan waktu serta biaya yang dikeluarkan. Dan tidak mungkin diterima saat itu juga. Apalagi untuk menerima bayaran gaji satu bulannya. Tentunya harus menunggu pada bulan berikutnya. Alesia tak bisa menunggu selama itu.

Tiba-tiba pikirannya mengarah pada ingatan lalu. Teman kuliahnya pernah menawarkannya pekerjaan di sebuah club malam. Menjadi penjual dan pengantar cocktails atau minuman alkohol di bar. Gaji yang ditawarkan oleh pemilik bar itu pun tidak sedikit. Dalam waktu tujuh hari bisa mendapatkan gaji senilai empat puluh juta rupiah, jika ia berhasil menjual sebanyaknya botol bir ke para pelanggan atau pun tamu yang datang ke bar itu.

"Apa pilihan ini sudah tepat? Kalau tidak bekerja di sana, kemana lagi aku harus mencari pekerjaan yang lain? Kondisi Ibu semakin memburuk kalau tidak secepatnya dioperasi." Nadin dalam hati berkata.

Hati dan pikirannya mengalami kegundahan. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk mendatangi sebuah club malam itu. Sesuai yang direkomendasikan oleh teman kuliahnya pada waktu lalu. Hanya berbekal diri dan tanpa membawa uang sepeser pun. Nadin memakai baju ala kadarnya. Ia langsung disambut oleh pemilik dari bar itu. Seorang pria dewasa yang usianya sudah berkepala lima menatapnya dengan tatapan interogasi.

"Kau temannya Candra?" tanyanya. Setelah Nadin memperkenalkan diri. Spontan, ia menganggukkan kepalanya pelan.

"Dia memang pernah bekerja di sini sebelumnya. Tapi itu tiga bulan yang lalu dan kemudian dia kabur setelah membawa uang setoran cocktails yang harus dia setorkan padaku. Sekitar satu miliar, uang yang dia bawa kabur pada waktu itu.

Kedua bola mata Nadin melonjak kaget. Ia tak percaya, Candra bisa melakukan hal senekat itu. Bahkan mengambil apa yang bukan menjadi haknya.

"Pencariannya masih terus dilakukan sampai sekarang, melalui pantauan anak buahku. Aku harap kau tidak meniru apa yang temanmu lakukan. Karena mau pergi sejauh manapun, akan tetap kutemukan. Bukan uang yang kukejar. Tapi nyawanya, yang harus ia bayar dengan ketidakjujurannya itu. Apa kau mengerti?!" Nadin terdiam dan kemudian mengangguk pelan. Ia takut salah bicara, karena ini pertama kalinya ia mendapat pekerjaan seperti ini.

"Siapa namamu?"

"Nadin."

"Apa alasanmu bekerja di sini? Beri aku satu alasan yang lebih spesifik. Agar aku bisa menerimamu di tempat ini. Kau juga pasti tahu, tempat ini bukan tempat yang baik untuk wanita sepertimu."

Nadin mulai menceritakan kondisi kesehatan ibunya yang sekarang tengah berbaring lemah di ranjang rumah sakit karena didiagnosis menderita kanker usus. Untuk apa dan mengapa ia datang ke tempat ini. Pria itu pun akhirnya mengerti. Dan tampaknya ia pun iba pada keadaan serta situasi yang dialami oleh gadis sepertinya.

"Malam ini kau sudah boleh bekerja. Tapi, ganti pakaianmu dengan yang lain. Para penikmat cocktails akan silau dengan bajumu yang culun seperti itu!"

"A-aku harus memakai baju yang seperti apa, Om?

"Om? Jangan panggil aku dengan sebutan"Om". Panggil Tuan saja. Dibelakang ada baju khusus pelayan wanita. Kau pakailah saja itu. Setiap malam, kau harus bisa menjual banyak botol cocktails. Minimal tiga ratus botol cocktails dalam semalam. Apa kau mengerti?"

"M-mengerti, Tuan."

"Kalau begitu, mulailah bekerja sekarang! Aku akan melihat dan menilai kinerjamu, dan apakah kau layak untuk diterima di sini atau tidak."

Nadin mengangguk pelan, dan kemudian pergi meninggalkan ruang itu menuju ke area tempat berganti pakaian. Langkah kakinya terlihat sedikit gemetar. Ia tampak begitu gugup sebab tidak pernah menginjakkan kaki ke tempat seperti ini sebelumnya. Tapi sekarang, ia harus terbiasa dengan semua yang ada di sini. Semua itu ia lakukan demi biaya pengobatan ibunya yang sakit keras sekarang. Apa pun, dan bagaimana pun. Nadin harus mendapatkan banyak uang.

Sebab ada satu nyawa berharga yang harus ia selamatkan, dan itu adalah ... ibunya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status