Dalam perjalanan hidup, terkadang kita dihadapkan pada rintangan yang begitu sulit diatasi. Meski berjuang dengan penuh semangat, namun tak jarang kita menemui jurang keputusasaan. Saat itulah, penting untuk ingat bahwa setiap cobaan membawa pelajaran dan di balik kegelapan, ada cahaya yang menanti.
Nadin Asyifa, seorang gadis berusia delapan belas tahun dan punya latar belakang miskin secara finansial. Ia hanya tinggal berdua dengan ibunya saja. Wanita single parent sekaligus ayah untuknya. Nadin tak memiliki adik atau pun kakak. Saat ini ia menjalani statusnya sebagai mahasiswi penerima beasiswa disalah satu universitas yang ada di ibu kota Surabaya.Sayangnya, penyakit sang ibu yang sudah lama dideritanya justru semakin memburuk. Batuk-batuk pada kondisi kesehatan Asih sang ibu semakin tak terkontrol. Hingga terjadilah, dimana Asih jatuh pingsan dan tak sadarkan diri.Suara pintu terbuka..."Ibu ... Nadin pulang!" gumamnya berteriak kecil. Memanggil sang ibu setelah menyelesaikan kuliahnya hari ini.Dari sudut mata mencari, Nadin tak menemukan ibunya didalam kamar. Bahkan di ruang tengah pun juga tidak ada. Gadis itu semakin khawatir dan sedikit berlari kecil mencari-cari ke segala ruangan.Sampai akhirnya, tiba-tiba...."Ibu!!!" teriak Nadin saat menemukan ibunya yang sudah terjatuh dan pingsan didalam bilik kamar mandi.Ada warna bercak darah pada telapak tangannya. Buru-buru, Nadin menggendong ibunya dan membawanya keluar sana. Wajahnya begitu panik dan lesuh. Ia terus berteriak meminta tolong pada tetangga sekitar. Namun hanya ada beberapa orang yang membantu. Beruntung akhirnya, Nadin bisa membawa sang ibu ke rumah sakit dengan tepat waktu. Karena jika tidak...."Untunglah, kamu membawa Ibumu ke sini dengan tepat waktu. Kalau sedikit saja terlewatkan, nyawanya sudah tidak bisa tertolong," ujar sang dokter mengatakan. Kedua bola mata Nadin terlonjak kaget tak menyangka. Pupilnya sedikit bergetar dan melebar."Memangnya Ibu saya sakit apa, dok?" tanya Nadin bingung."Pasien terindikasi adanya jaringan sel kanker didalam tubuhnya. Lebih tepatnya dibagian pencernaan. Kanker usus sangat berbahaya bila tidak segera dilakukan tindakan operasi," jelasnya lagi."Apa, dok? Operasi?" Nadin terkjut tak menyangka. Bahwa ibunya menderita penyakit parah yang tak pernah ia ketahui sebelumnya."Benar, operasi. Mohon untuk segera melunasi biaya administrasinya hari ini. Karena operasinya akan segera diproses setelah menyelesaikan pembayaran.""Operasi? Uang dari mana aku bisa mendapatkan semua itu? Kuliah saja pun dari bantuan beasiswa pemerintah. Apa yang harus kulakukan sekarang?" gumam Nadin dalam hati kebingungan."Dok, kira-kira sampai kapan batas waktu pembayarannya? Apa tidak bisa diberikan sedikit waktu lagi? Karena kalau untuk hari ini, saya belum ada uang. Tapi saya usahakan, pasti akan membayarnya dengan lunas." Nadin memohon dengan wajah sedu.Dokter itu terlihat menghela napas panjang. Mungkinkah ia tampak iba dan kasihan pada Alesia?"Saya beri waktu hingga dua hari dari sekarang. Lebih daripada itu, saya tidak bisa menjamin keselamatan Ibu Anda ke depannya akan bagaimana.""B-baik dok, terima kasih. Saya janji, saya pasti akan usahakan untuk mencari uangnya. Tapi tolong dok, lakukan apa saja agar Ibu saya bisa diselamatkan!" lagi-lagi Nadin memohon. Dokter itu lantas mengangguk pelan, seraya menampilkan senyum kecutnya.Nadin lantas pergi meninggalkan area rumah sakit itu. Setelah membawa ibunya ke dalam sana, ia sekarang kebingungan harus pergi kemana. Mencari pekerjaan baru di waktu singkat seperti ini rasanya tidak mudah.Kesana-kemari mencari pekerjaan untuk biaya pengobatan ibunya, tapi semuanya nihil. Tak ada satu pun yang menerimanya. Bahkan kalau pun melamar di perusahaan, akan banyak memakan waktu serta biaya yang dikeluarkan. Dan tidak mungkin diterima saat itu juga. Apalagi untuk menerima bayaran gaji satu bulannya. Tentunya harus menunggu pada bulan berikutnya. Alesia tak bisa menunggu selama itu.Tiba-tiba pikirannya mengarah pada ingatan lalu. Teman kuliahnya pernah menawarkannya pekerjaan di sebuah club malam. Menjadi penjual dan pengantar cocktails atau minuman alkohol di bar. Gaji yang ditawarkan oleh pemilik bar itu pun tidak sedikit. Dalam waktu tujuh hari bisa mendapatkan gaji senilai empat puluh juta rupiah, jika ia berhasil menjual sebanyaknya botol bir ke para pelanggan atau pun tamu yang datang ke bar itu."Apa pilihan ini sudah tepat? Kalau tidak bekerja di sana, kemana lagi aku harus mencari pekerjaan yang lain? Kondisi Ibu semakin memburuk kalau tidak secepatnya dioperasi." Nadin dalam hati berkata.Hati dan pikirannya mengalami kegundahan. Akhirnya, ia pun memberanikan diri untuk mendatangi sebuah club malam itu. Sesuai yang direkomendasikan oleh teman kuliahnya pada waktu lalu. Hanya berbekal diri dan tanpa membawa uang sepeser pun. Nadin memakai baju ala kadarnya. Ia langsung disambut oleh pemilik dari bar itu. Seorang pria dewasa yang usianya sudah berkepala lima menatapnya dengan tatapan interogasi."Kau temannya Candra?" tanyanya. Setelah Nadin memperkenalkan diri. Spontan, ia menganggukkan kepalanya pelan."Dia memang pernah bekerja di sini sebelumnya. Tapi itu tiga bulan yang lalu dan kemudian dia kabur setelah membawa uang setoran cocktails yang harus dia setorkan padaku. Sekitar satu miliar, uang yang dia bawa kabur pada waktu itu.Kedua bola mata Nadin melonjak kaget. Ia tak percaya, Candra bisa melakukan hal senekat itu. Bahkan mengambil apa yang bukan menjadi haknya."Pencariannya masih terus dilakukan sampai sekarang, melalui pantauan anak buahku. Aku harap kau tidak meniru apa yang temanmu lakukan. Karena mau pergi sejauh manapun, akan tetap kutemukan. Bukan uang yang kukejar. Tapi nyawanya, yang harus ia bayar dengan ketidakjujurannya itu. Apa kau mengerti?!" Nadin terdiam dan kemudian mengangguk pelan. Ia takut salah bicara, karena ini pertama kalinya ia mendapat pekerjaan seperti ini."Siapa namamu?""Nadin.""Apa alasanmu bekerja di sini? Beri aku satu alasan yang lebih spesifik. Agar aku bisa menerimamu di tempat ini. Kau juga pasti tahu, tempat ini bukan tempat yang baik untuk wanita sepertimu."Nadin mulai menceritakan kondisi kesehatan ibunya yang sekarang tengah berbaring lemah di ranjang rumah sakit karena didiagnosis menderita kanker usus. Untuk apa dan mengapa ia datang ke tempat ini. Pria itu pun akhirnya mengerti. Dan tampaknya ia pun iba pada keadaan serta situasi yang dialami oleh gadis sepertinya."Malam ini kau sudah boleh bekerja. Tapi, ganti pakaianmu dengan yang lain. Para penikmat cocktails akan silau dengan bajumu yang culun seperti itu!""A-aku harus memakai baju yang seperti apa, Om?"Om? Jangan panggil aku dengan sebutan"Om". Panggil Tuan saja. Dibelakang ada baju khusus pelayan wanita. Kau pakailah saja itu. Setiap malam, kau harus bisa menjual banyak botol cocktails. Minimal tiga ratus botol cocktails dalam semalam. Apa kau mengerti?""M-mengerti, Tuan.""Kalau begitu, mulailah bekerja sekarang! Aku akan melihat dan menilai kinerjamu, dan apakah kau layak untuk diterima di sini atau tidak."Nadin mengangguk pelan, dan kemudian pergi meninggalkan ruang itu menuju ke area tempat berganti pakaian. Langkah kakinya terlihat sedikit gemetar. Ia tampak begitu gugup sebab tidak pernah menginjakkan kaki ke tempat seperti ini sebelumnya. Tapi sekarang, ia harus terbiasa dengan semua yang ada di sini. Semua itu ia lakukan demi biaya pengobatan ibunya yang sakit keras sekarang. Apa pun, dan bagaimana pun. Nadin harus mendapatkan banyak uang.Sebab ada satu nyawa berharga yang harus ia selamatkan, dan itu adalah ... ibunya sendiri."I-ini ... apakah tidak ada baju lain lagi selain baju ini?" decak Nadin tak ingin memakai pakaian kekurangan bahan itu. Hatinya sedikit ragu saat hendak ingin memakainya. Bagaimana tidak, baju yang tampak begitu terbuka serta tipis. Berwarna merah muda dengan tali yang melingkar tipis pada bagian bahunya. Semua model baju yang ada di sana hampir sama bentuknya. Dan baju itu adalah satu-satunya yang termasuk lebih tertutup dari model baju lain. Ukurannya sedikit memanjang hingga sampai ke bagian betis kaki pada bagian bawahnya."Jadi ... kau yang bernama Nadin?" Seorang wanita dewasa tiba-tiba datang memakai pakaian yang lebih sensual dan tak kalah seksi darinya. Ia lantas berjalan berlenggak lenggok mendekati Nadin dengan tatapan mengintimidasi."B-benar, Kak.""Cepatlah sedikit! Kau dicari Tuan sedari tadi. Para tamu besar sudah berdatangan sekarang. Bukannya menyiapkan cocktails, tapi malah berdiam diri di sini. Ayo cepat!" decaknya dengan nada sinis."B-baik, Kak. T-tunggu sebent
Nadin masuk ke dalam kamar apartemen milik tuan Adam. Sementara pria itu sedang berada didalam bilik kamar mandi. Tubuhnya bergetar hebat ketakutan. Ia tidak siap jika harus menyerahkan dirinya pada pria yang bukan suaminya, terlebih lagi keduanya bahkan baru saja bertemu.Kriek!Suara pintu kamar mandi terbuka. Tuan Adam sudah selesai dengan urusannya. Tubuh kekar dan tegapnya hanya berbalut baju kimono putih dan menutupi perut kotak dan simetris miliknya. Sementara Nadin sendiri duduk membelakangi dengan kondisi bingung dan gemetar sekarang ini. “Aku sudah selesai mandi. Kau boleh mandi sekarang,” katanya pada Nadin dengan suara khas baritonnya.“B-baik,” jawab Nadin gugup.Gadis itu beranjak bangun lalu berjalan memasuki pintu toilet. Sesampainya didalam sana ia tampak celingukan mencari-cari handuk yang akan ia gunakan nantinya. Hanya ada satu handuk kecil berukuran kecil.“Aku tidak membawa baju selain baju yang kukenakan ini,” gumamnya dalam hati.Akhirnya, gadis itu pun mengga
Bab 4. Perjanjian Pernikahan KontrakCahaya mentari meresap ke dalam ruangan apartemen Adam, menyoroti lembut wajah Nadin yang cantik. Saat matanya terbuka, ia mengamati sekelilingnya dengan cermat, tetapi pandangannya hanya menyentuh sisi tempat tidur yang kosong tanpa kehadiran siapa pun. Dalam keheningan itu, Nadin menyadari bahwa ia terlelap sendirian di atas ranjang king size yang dimiliki tuan muda Adam.“Kemana dia? Apa dia sudah pergi?” gumam Nadin tanya. Tubuhnya perlahan beranjak bangun dari ranjang king size itu. Kedua matanya melihat bercak darah yang masih membekas dan sudah mengering diatas seprei putih itu. Nadin sungguh malu bila mengingat kejadian semalam. Bukan hanya malu, tapi dirinya sudah diambil alih oleh pria kaya itu. Nadin kemudian berjalan mendekati kamar mandi. Ia mulai memasuki diri ke dalam sana. Setiap lekukan tubuhnya, ia bersihkan secara merata. Aroma dari wangi shampoo yang dia pakaikan ke rambut tercium kuat. Bunyi aliran air dari shower yang terpu
Bab 5. Sekarang Kau IstrikuNadin dan Adam pergi ke kantor pencatatan sipil , untuk melakukan peresmian hubungan mereka berdua. Sebagai hubungan yang telah sah dimata hukum. Meskipun status Nadin telah berubah menjadi istri bagi tuan Adam, sedikit pun ia tidak merasakan kebahagiaan didalamnya. Baginya, dirinya hanyalah sebagai perempuan bayaran. Yang disewa selama dua tahun oleh tuan Adam.Seorang tuan muda konglomerat yang mewarisi harta kekayaan milik Adijaya Group dan berjumlah ribuan triliun dollar Amerika Serikat. Wajar saja orang itu begitu disegani di negara ini. Kekayaannya bahkan diatas rata-rata dari jumlah kekayaan negara. “Jika sudah tiba di kediaman keluargaku, jangan pernah berkata apapun yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku,” titahnya mengingatkan. "Statusmu memang Istriku sekarang, tapi bukan berarti kau bisa berkata bebas sesuai keinginanmu," lanjutnya berkata setelah keduanya selesai menandatangani perjanjian pernikahan di kantor pencatatan sipil ini.“B-
“T-tuan,” panggil Nadin ragu-ragu.“Kalau kau tidak ingin disentuh, bilang padaku. Jangan seolah lupa dengan panggilan yang kemarin itu.” Adam berkata dengan emosional.Nadin gugup dan takut. Pria itu jika sudah marah pasti akan menakutkan, bukan? Dengan keberanian sebesar siput. Nadin mencoba menghibur Adam. Mendekap dan mencium Adam dari arah belakang. Mengecupi bahu kekarnya. Sikapnya sebagai wanita baik-baik pun musnah. Nadin membuang harga dirinya demi seorang tuan muda sepertinya.“Tuan ... tolong maafkan aku. Jika aku melupakan panggilan yang Tuan maksud,” gumam Nadin lembut. Tangannya membelai dada bidang Adam yang bertelanjang dada sekarang. Adam langsung membalikkan tubuhnya lagi. Dan kini posisinya menindih tubuh Nadin. “Kau sangat lihai memainkan suasana hati orang dan pandai dalam hal menggoda pria. Kali ini aku tidak akan memberimu ampun, Nadin.” Adam berkata seraya menyeringai menunjukkan sedikit giginya. Nadin hanya bisa memasarkan dirinya untuk diperlakukan apa saja
Nadin meratapi dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa. Orang yang tidak mempunyai harta, ia pikir memang pantas menerima itu semua. Menerima perlakuan buruk dari orang yang memiliki segalanya. “Aku sadar, siapa aku di sini. Aku pun tidak pernah mengharapkan belas kasihan maupun cintanya. Ya, pernikahan ini terjadi setelah adanya kejadian malam itu. Karena hanya anak yang dia inginkan dari rahimku, bukan diriku. Bertahanlah Nadin, semuanya pasti akan berlalu. Semua demi Ibu ... hiks ... hiks ... semua demi pengobatan Ibu,” ucap Nadin tersedu-sedu. Tangisnya luruh begitu deras membasahi wajah cantiknya. Tak ada Adam, ia semakin bebas menumpahkan semua kesedihannya di kamar ini. Seorang diri, tanpa adanya siapa pun. Sampai beberapa menit kemudian, Nadin kembali bangkit. Tubuhnya beranjak bangun dari tempat tidur itu. Ia kemudian bersiap untuk pergi ke rumah sakit hari ini. Apalagi kalau bukan ingin menemui ibunya. Tak berbekal apa pun. Nadin bahkan tidak mempunyai uang. Ia nekat berjal
“Jadi, tujuan kamu mau kemana sekarang?” tanya Arka setelah mobil yang ia kendarai sekarang sudah keluar dari area apartemen tadi. “Rumah sakit harapan,” jawab Nadin seadanya. Arka tak lagi bertanya. Ia sepertinya paham dengan sikap Nadin yang cenderung tertutup padanya adalah hal yang wajar. Sebab mereka berdua pun baru saja bertemu. Memang terkesan agak sulit, untuk terbuka pada orang baru. Namun beberapa menit setelahnya.... “Siapa yang sakit?” ujar Arka bertanya lagi. “Ibu,” balas Nadin singkat. “Ibu ... kamu?” lanjut Arka bertanya. Spontan Nadin mengangguk pelan. “Sakit apa?” sambung Arka lagi. Nadin tampaknya jengah mendengar suara Arka yang terus-menerus bertanya. Padahal kondisinya sekarang sedang tidak ingin diajak berbicara. Melihat situasi sebelumnya, yang dimana kejadian saat Nadin mendapat perlakuan buruk dari Adam.“Maaf ... aku tidak bermaksud lancang menanyakan kondisi Ibumu,” tukas Arka.“Tidak apa-apa, fokus saja menyetir. Sangat berbahaya bila mengobrol sambi
Ting!Suara pintu lift di mansion Adam terbuka. Nadin lantas keluar dari dalam sana. Namun setibanya ia di kamar tiba-tiba....“Dari mana saja kau? Sudah berani, ya. Pergi tanpa seizin dariku,” celetuk Adam tibatiba.Nadin memekik, kedua bola matanya melebar sebab ia benar-benar terperanjat tak menyangka dengan kehadiran pria itu yang sudah berada di sana lebih dulu. Wajah Adam terlihat dingin, bahkan membuat bulu kuduk Nadin merinding akan aura dingin yang begitu menguar didalam sana.“Bukannya dia bekerja? Kenapa sudah pulang secepat ini? Sekarang baru pukul dua siang, kan?" gumam Nadin dalam hati bertanya-tanya. “Hei, kenapa diam saja di sana?! Kesini!” Adam membentak Nadin dengan suara lantang yang menggema ke seluruh ruang. Lihatlah harimau gila itu sekarang. Dia sedang berusaha mencoba menakut-nakuti dan menindas kelinci kecil. Tidak tahu sesakit apa mentalitas Nadin yang kini sudah hancur lebur akibat perbuatannya.“B-baik, Tuan,” sahut Nadin gugup seraya tertunduk.Langkah k