“T-tuan,” panggil Nadin ragu-ragu.
“Kalau kau tidak ingin disentuh, bilang padaku. Jangan seolah lupa dengan panggilan yang kemarin itu.” Adam berkata dengan emosional.Nadin gugup dan takut. Pria itu jika sudah marah pasti akan menakutkan, bukan? Dengan keberanian sebesar siput. Nadin mencoba menghibur Adam. Mendekap dan mencium Adam dari arah belakang. Mengecupi bahu kekarnya. Sikapnya sebagai wanita baik-baik pun musnah. Nadin membuang harga dirinya demi seorang tuan muda sepertinya.“Tuan ... tolong maafkan aku. Jika aku melupakan panggilan yang Tuan maksud,” gumam Nadin lembut. Tangannya membelai dada bidang Adam yang bertelanjang dada sekarang. Adam langsung membalikkan tubuhnya lagi. Dan kini posisinya menindih tubuh Nadin.“Kau sangat lihai memainkan suasana hati orang dan pandai dalam hal menggoda pria. Kali ini aku tidak akan memberimu ampun, Nadin.” Adam berkata seraya menyeringai menunjukkan sedikit giginya.Nadin hanya bisa memasarkan dirinya untuk diperlakukan apa saja oleh harimau gila itu. Yang kini tengah buas menyantapnya tanpa ampun. Nadin bahkan tak lagi berani berkata. Apa yang dilakukan Adam, ia hanya akan terdiam.“Nia, aku ... mencintaimu ... aku ... mencintaimu ... Sayang,” gumam Adam meracau dengan kedua mata terpejam setelah menuntaskan semua hasratnya pada Nadin tadi.Nadin tersentak seketika. Rasanya seperti pisau tajam merobek hatinya. Pria yang tengah berbagi keintiman dengannya, menyuarakan nama wanita lain. Nadin memalingkan tubuhnya, menghadap jauh dari Adam yang kini meredupkan matanya.“Apa yang kau harapkan darinya, Nadin? Pria itu mencintai wanita lain. Aku hanya sebagai pemuas nafsunya. Istri di atas kertas yang hanya sampai satu tahun. Aku bukan Nia, tapi Nadin,” tutur Nadin dalam hati meringis.Tanpa sadar, Nadin menangis kecil hingga terdengar sesenggukan yang keluar dari dalam mulutnya. Seharusnya ia tak menyerahkan dirinya pada Adam. Terlebih lagi pria yang berlatar belakang memiliki banyak kekuasaan. Seorang tuan muda yang bukan menjadi lawannya. Nadin hanyalah orang biasa. Derajatnya berbeda dengan Adam yang hartanya sudah berlimpah. Bahkan satu negara pun, bisa dia beli jika dia mau.“Beginikah rasanya? Cinta yang terbagi antara aku dengan wanita bernama Nia itu. Bahkan dia punya nama panggilan istimewa untuknya,” cicit Nadin berkata dalam hatinya sedu.GREP!Tiba-tiba tangan Adam mendekap Nadin dari arah belakang. Nadin terdiam kaku, tak merespons pelukan itu. Pria yang tidak berhati. Apa yang dia lakukan akan selalu baik dimatanya. Tapi ketika Nadin melakukan kesalahan kecil, sikapnya yang kekanakan akan langsung berubah marah.Nadin berusaha menghentikan rintikan tangisnya. Menahan setiap sesenggukan yang keluar dari dalam mulutnya. Sebelah tangannya tampak membungkam kuat bibir itu. Agar suara sendunya tak terdengar sampai ke telinga Adam.“Aku semakin dibuat bingung olehnya,” tuturnya dalam hati bimbang. “Bertahanlah Nadin, tunggu sampai anak ini lahir. Dan aku akan bebas setelah ini. Lepas dari jerat pria ini,” batin Nadin.___Pagi pun tiba, hari ini Adam akan pergi ke perusahaan. Dan sekarang, pria itu sedang berada di dalam bilik toilet. Sementara Nadin menyiapkan pakaian untuknya. Setelan jas dengan kemeja berwarna hitam legam miliknya. Karena mulai sekarang, Nadin-lah yang akan menyiapkan segala sesuatu untuk Adam.Kriek!Adam membuka pintu toilet itu. Ia lalu berjalan keluar mendekati ranjang. Tubuh tegapnya hanya memakai handuk putih yang melilit di pinggangnya. Nadin tak berani menatap, ia diam membisu sembari tertunduk sedu. Ingatan Nadin masih teringat akan kejadian semalam. Saat Adam menyebut nama Nia, ketika mereka tengah memadu kasih kala itu. Adam duduk disebelah Nadin. Tanpa menyentuh sedikit pun baju kemeja yang sudah disiapkan oleh istrinya.“Ada apa denganmu? Apa kau lapar? Aku akan meminta Han untuk membawakan makanan dan kebutuhan dapur yang lebih banyak di mansion ini,” ujar Adam bertanya. Sembari mengendus leher jenjang Nadin yang putih. Spontan Nadin menggeleng pelan.Kebiasaan Adam yang selalu mengendus aroma tubuh Nadin. Rasanya agak lain jika dia tidak melakukan hal itu padanya.“Aku tidak lapar, Tuan.” Nadin membalas seadanya. Adam mengernyit, tampaknya ia tidak senang saat Nadin memanggilnya dengan sebutan Tuan. Bukankah dia memang seorang tuan muda? Lalu mengapa dia marah?“Kau lupa dengan yang semalam?” tanyanya mengingatkan.Apa? Bagaimana bisa lupa? Bahkan Nadin masih mengingat jelas saat dia bergumam nama Nia malam itu.“A-aku? Aku ... tentu saja ingat," balas Nadin lesu. Wajah Adam mulai berubah. Dari ekspresinya, ia tak lagi emosi seperti tadi.“Ingat apa?” lanjutnya menanyakan pertanyaan yang sama.Dengan wajah yang tertunduk, Nadin ragu-ragu mengatakannya. “Nia, Tuan menyebut nama itu saat semalam,” jawab Nadin polos.Hal yang mengejutkan, Adam langsung berdiri dan memakai pakaian itu pada tubuhnya. Ia tak memarahi Nadin. Justru mulutnya berubah bisu. Seperti tidak senang, saat Nadin menyebutkan nama itu dihadapannya.“Apa dia marah? Lalu kenapa tidak membalas ucapanku? Bukankah seharusnya dia senang? Aku memberitahu hal itu. Wanita yang dia cintai itu Nia, kan?” gumam Nadin dalam hati keheranan. “T-tuan ... k-kenapa Anda diam? Tadi Tuan bertanya apakah aku ingat? Aku sudah menjawabnya tadi,” lanjut Nadin berkata gugup.Adam terdengar mengembuskan napasnya kasar. Ia berbalik menatap ke arah Nadin yang masih terduduk di atas ranjang itu. “Kau bodoh, ya? Aku bertanya mengenai nama panggilan. Bukan tentang orang yang kau maksud!” ujar Adam kesal.Kedua bola mata Nadin spontan melebar. Ia terkejut kaget, saat Adam membentaknya. Bahkan suaranya terdengar agak lantang. Nadin pikir, pria itu menanyakan perihal wanita yang semalam ia sebutkan namanya. Tapi ternyata, masih dengan topik sebelumnya. Mengenai panggilan nama untuk mereka.“Apa? Kau ingin mengatakan bahwa kau masih lupa?”“A-aku ... aku tidak lupa. Tapi Tuan ... b-bagaimana dengan biaya operasi Ibuku?” balas Nadin gugup. Ia hampir saja lupa, memikirkan kondisi ibunya yang masih kritis di rumah sakit.Adam tampak berdecak pada ekspresi wajahnya. “Ibumu sudah ditangani oleh dokter spesialis terbaik di rumah sakit itu. Jadi jangan lupakan kesepakatan kontrak yang tertulis diatas kertas kemarin. Kalau kau belum juga hamil, aku bisa saja membatalkannya kapan saja. Termasuk untuk biaya pengobatan rumah sakit Ibumu!” ujar Adam tidak berperasaan.“B-baik, Tuan. K-kalau begitu ... apa aku boleh bertemu dengan Ibuku? A-aku juga sudah berapa hari ini tidak masuk kuliah. Aku mohon pengertian dari Tuan. Agar mengizinkanku untuk kembali ke kampus,” pinta Nadin memelas.“Berani sekali kamu, banyak permintaan yang kau minta padaku.”Adam mengernyit, menatap Nadin dengan wajah kesalnya. Sementara Nadin sendiri terdiam lesu. Tertunduk sedu, dan tak berani menatap ke wajah pria itu. Adam lalu berjalan mendekati Nadin. Tangannya terangkat menyentuh dagu Nadin. Hingga membuat wanita itu mendongak menatapnya.“Tatap aku, bodoh! Jangan pernah mengatakan apa pun tanpa menatap mataku! Kau pikir kau siapa?! Aku menikahimu hanya karena kesepakatan tertulis, bukan karena cinta. Jadi jangan pernah berharap aku bisa mencintai wanita sepertimu!” cerca Adam berkata. Lalu menghempaskan Nadin ke atas ranjang sana.Nadin menjadi seorang yang begitu rendah dimata Adam. Rasanya tak bisa jika dirinya memutar waktu. Agar ia tidak bertemu dengan pria itu. Setelah mengatakan kata-kata tadi, Adam pergi begitu saja. Meninggalkan Nadin yang tersungkur jatuh di atas ranjang sana disertai dengan tangis sendunya.Meratapi kisah yang tak pernah ia harapkan sebelumnya. Menjadi seorang wanita penyewa rahim untuk pria yang tidak akan mungkin pernah mencintainya. Padahal Nadin sendiri sudah terlanjur menaruh benih-benih cinta untuk Adam. Tapi pria itu, justru menyadarkan statusnya dengan status Nadin. Bahwa mereka tidak akan mungkin pernah benar-benar bisa bersama.Nadin meratapi dirinya yang tak bisa berbuat apa-apa. Orang yang tidak mempunyai harta, ia pikir memang pantas menerima itu semua. Menerima perlakuan buruk dari orang yang memiliki segalanya. “Aku sadar, siapa aku di sini. Aku pun tidak pernah mengharapkan belas kasihan maupun cintanya. Ya, pernikahan ini terjadi setelah adanya kejadian malam itu. Karena hanya anak yang dia inginkan dari rahimku, bukan diriku. Bertahanlah Nadin, semuanya pasti akan berlalu. Semua demi Ibu ... hiks ... hiks ... semua demi pengobatan Ibu,” ucap Nadin tersedu-sedu. Tangisnya luruh begitu deras membasahi wajah cantiknya. Tak ada Adam, ia semakin bebas menumpahkan semua kesedihannya di kamar ini. Seorang diri, tanpa adanya siapa pun. Sampai beberapa menit kemudian, Nadin kembali bangkit. Tubuhnya beranjak bangun dari tempat tidur itu. Ia kemudian bersiap untuk pergi ke rumah sakit hari ini. Apalagi kalau bukan ingin menemui ibunya. Tak berbekal apa pun. Nadin bahkan tidak mempunyai uang. Ia nekat berjal
“Jadi, tujuan kamu mau kemana sekarang?” tanya Arka setelah mobil yang ia kendarai sekarang sudah keluar dari area apartemen tadi. “Rumah sakit harapan,” jawab Nadin seadanya. Arka tak lagi bertanya. Ia sepertinya paham dengan sikap Nadin yang cenderung tertutup padanya adalah hal yang wajar. Sebab mereka berdua pun baru saja bertemu. Memang terkesan agak sulit, untuk terbuka pada orang baru. Namun beberapa menit setelahnya.... “Siapa yang sakit?” ujar Arka bertanya lagi. “Ibu,” balas Nadin singkat. “Ibu ... kamu?” lanjut Arka bertanya. Spontan Nadin mengangguk pelan. “Sakit apa?” sambung Arka lagi. Nadin tampaknya jengah mendengar suara Arka yang terus-menerus bertanya. Padahal kondisinya sekarang sedang tidak ingin diajak berbicara. Melihat situasi sebelumnya, yang dimana kejadian saat Nadin mendapat perlakuan buruk dari Adam.“Maaf ... aku tidak bermaksud lancang menanyakan kondisi Ibumu,” tukas Arka.“Tidak apa-apa, fokus saja menyetir. Sangat berbahaya bila mengobrol sambi
Ting!Suara pintu lift di mansion Adam terbuka. Nadin lantas keluar dari dalam sana. Namun setibanya ia di kamar tiba-tiba....“Dari mana saja kau? Sudah berani, ya. Pergi tanpa seizin dariku,” celetuk Adam tibatiba.Nadin memekik, kedua bola matanya melebar sebab ia benar-benar terperanjat tak menyangka dengan kehadiran pria itu yang sudah berada di sana lebih dulu. Wajah Adam terlihat dingin, bahkan membuat bulu kuduk Nadin merinding akan aura dingin yang begitu menguar didalam sana.“Bukannya dia bekerja? Kenapa sudah pulang secepat ini? Sekarang baru pukul dua siang, kan?" gumam Nadin dalam hati bertanya-tanya. “Hei, kenapa diam saja di sana?! Kesini!” Adam membentak Nadin dengan suara lantang yang menggema ke seluruh ruang. Lihatlah harimau gila itu sekarang. Dia sedang berusaha mencoba menakut-nakuti dan menindas kelinci kecil. Tidak tahu sesakit apa mentalitas Nadin yang kini sudah hancur lebur akibat perbuatannya.“B-baik, Tuan,” sahut Nadin gugup seraya tertunduk.Langkah k
“Siapa wanita itu, Adam?” tanya tuan besar pada Adam sambil menatap ke arah Nadin dengan tatapan sinis. Bahkan perempuan yang menyambut kedatangan mereka kesini pun lebih tajam menatap Nadin. Ketidaksukaan mereka pada Nadin sangat terlihat dengan jelas. Nadin terdiam seraya tertunduk sedu. Kedua tangannya meremas gaun yang ia kenakan. Hatinya bergemuruh tak tenang. Ingin rasanya ia segera pergi dari tempat itu sesegera mungkin. “Dia Nadin, Istriku,” ujar Adam berkata jujur. Sontak, ia langsung mendapatkan respons dari ayahnya begitu terkejut kaget dan tak percaya. “Kau sudah menikah dengannya? Bahkan tanpa sepengetahuan dariku? Adam, sebenarnya kau anggap aku ini Ayahmu atau bukan?!” tukas tuan besar tak terima. Adam mendengus sebal, ia menghentikan makannya. Lalu menatap ke wajah Nadin sembari memegangi pergelangan tangan wanita itu. “Aku suka dengannya. Memangnya kenapa? Kalau aku menikahinya diam-diam. Kau pun dengan wanita itu menikahnya juga diam-diam, disaat Ibu tengah berj
Adam memilih untuk mendatangi sebuah club malam bersama dengan sekretaris setianya, Han. Dibandingkan harus bersama dengan Nadin di mansionnya. Ia khawatir, akan menyakiti hati wanita itu. Karena kemarahannya yang sama sekali tidak berarti. Sebab emosional yang datang dari sebuah masa lalunya, Sania.Duduk sembari meneguk air wine, dan menghabiskan sebanyak lima gelas. Tampaknya Adam masih belum cukup puas. Ia masih berdiam diri disana. Sekretaris Han berada dibelakangnya yang tengah berdiri saat ini. Entah apa yang dilakukan sekretaris itu. Apa dia sedang menjadi petugas keamanan? Seorang tuan muda dijaga begitu ketat olehnya. Benar-benar sekretaris robot satu ini. “Tuan muda, sudah hampir larut malam sebentar lagi. Apa tidak ingin kembali ke mansion? Nona muda juga pasti sudah menunggu,” ucap sekretaris Han berkata tiba-tiba, setelah menyadari waktu yang mereka habiskan sudah begitu lama didalam bar itu.Adam masih terdiam, kepalanya menunduk tanpa membalas perkataan dari Han bar
Setiap hari, Nadin selalu menyempatkan dirinya untuk menjenguk sang ibu di rumah sakit. Ia mengira, setelah operasi pada waktu itu, ibunya akan segera sembuh dari penyakitnya. Namun dokter menyarankan untuk melakukan perawatan kemoterapi setiap bulannya. Dibarengi dengan perawatan intensif yang masih terus berlanjut hingga saat ini. Dan semua biaya itu dibayarkan oleh Adam. Alesia begitu banyak berhutang budi padanya. Dengan syarat, merelakan dirinya sebagai wanita bayaran untuk Adam. Sejak kejadian di malam Adam mabuk, sikapnya berubah pada Nadin. Bahkan saat sedang bercinta, pria itu melakukannya tidak sepenuh hati. Tidak seperti saat pertamakali dia memperlakukan Nadin dengan penuh perasaan. Sampai tiba waktunya, Sania kembali ke tanah air Indonesia. Nadin mendengar kabar itu dari Lisa, adik keponakan Adam yang tiba-tiba mengirimkan sebuah pesan kepadanya. Entah dari mana gadis itu mendapatkan nomor ponsel Nadin.[Nomor tidak dikenal]:“Kak, apa kau tahu? Hari ini Kak Sania tiba
“Aku tidak apa-apa, Tuan. Mungkin hanya masuk angin biasa,” ucap Nadin berbohong. “Benarkah? Apa kau yakin?” tukasnya menanyakan hal yang sama. “Y-yakin, Tuan. Aku ... baik-baik saja,” balas Nadin menutupi. “Baguslah. Kau bisa beristirahat setelah ini. Aku akan kembali ke kamar lebih dulu,” lanjut Adam berkata. Nadin mengangguk seraya menampilkan senyum kecutnya. “Bahkan perhatiannya mulai berubah sekarang. Nadin, apa yang kau harapkan darinya? Kau harusnya sadar akan posisimu di rumah ini,” batin Nadin meringis.Nadin membereskan semua makanan yang tadi. Lalu memasukkannya kedalam lemari pendingin. Tak lupa membersihkan sisa-sianya yang menyisakan di meja makan sana. Setelah itu ia berjalan menuju kamar utama untuk bergegas istirahat sebab waktu sudah mulai larut.Kriek! Pintu kamar dibuka olehnya, Adam terlihat sudah tertidur pulas. Lampu kamar tampak padam, hanya ada penerangan kecil yang terpajang diatas meja kecil sebelah ranjang. Nadin berjalan mendekati ranjang itu. Tubuh
Pintu lift terbuka, Nadin kembali memasuki mansion milik Adam. Wajah murungnya seketika berubah saat tiba didalamnya. Betapa terkejutnya dia, melihat seorang wanita berada didalam sana. Yang sedang terduduk santai menghadap ke arahnya sekarang. Nadin memberanikan diri mendekati dan bertanya pada wanita itu. “K-kamu ... siapa? Kenapa bisa masuk ke dalam mansion ini?” tanya Nadin cemas. Sebab wanita itu mengetahui kode sandi pintu mansion ini.“Aku? Memangnya Adam tidak bilang padamu? Tunangannya akan mendatangi mansionnya. Tempat dimana kita dulu pernah...” ucapnya menggantung seraya menatap remeh ke arah Nadin. “Kamu pasti wanita bayaran yang disewa oleh Adam, kan?” lanjutnya lagi bertanya. DEG! Seketika Nadin terdiam dan tak bergeming. Kepalanya ingin pecah sekarang. Masalah satu belum selesai, sekarang sudah muncul masalah baru. Tunangannya Adam benar-benar datang kedalam mansion ini. “Ternyata hubungan mereka memang tidak biasa. Lalu apa yang aku harapkan sekarang? Kekasihnya s