Andrew memasuki kelas 11 semster ganjil, di sana itu pertama kali dia melihat Tad.
Dia masih bertahan di jendela, sepasang mata tajamnya nampak mengawasi setiap murid baru yang sedang mengikuti ospek.
Hingga akhirnya pandangannya terpaku pada seorang laki-laki, murid baru yang sedang di suruh untuk maju ke dapan dan sedang bernyanyi, Andrew mengamatinya dari atas, laki laki yang sedang dia perhatikan terlihat sangat imut dan menggemaskan baginya terlebih lagi saat melihat senyumnya membuat dadanya seketika bergetar.
"Apa aku sudah gila!!" gumamnya.
Sempat Andrew tersenyum saat melihat murid baru itu ketika tertawa riang, namun perlahan senyumnya menghilang.
"Bagaimana mungkin aku merasakan hal ini pada seorang laki laki!?"
Andrew lagi lagi mengalihkan pandangannya ke bawah namun dia terkejut saat mengetahui ternyata murid baru itu juga sedang menatap ke arahnya.
Murid itu tersenyum dan menganggukkan kepala ke pada Andrew.
Andrew semakin dibuat kalang kabut, dadanya semakin berdebar tak karuan.Dia kemudian menutup jendela dan bersembunyi darinya."Astagaaa!! sepertinya aku sudah tidak waras!!"
Hari pun berganti dan ospek akhirnya selesai, jadwa pelajaran juga sudah di mulai. Andrew berusaha untuk menampik bahwa hatinya bergetar ketika melihat murid laki laki itu namun, kenyataannya apa yang dia rasakan memang benar benar terjadi.
Beberapa kali dia berpapasan dengan murid baru itu ketika di kantin, aula dan perpustakaan Andrew selalu dibuat gelisah dan berdebar.
Semula dia menampik hal itu, namun ternyata hal itu sungguh sangat nyata membuat dadanya berdebar kencang sampai terdengar ke rongga telinganya berkali kali.
"Permisi" murid itu berseru pada Andrew saat melihat kakak kelasnya mencoba menghindar ketika berpapasan di koridor kelas.
Andrew terdiam dan perlahan memutar tubuhnya menghadap ke belakang.
"Y.ya?!" sekuat mungkin Andrew berusaha untuk menahan diri namun ketika melihat bibir mungilnya yang berwarna pink kemerah-merahan membuat Andrew semakin menggila.
Tubuhnya terasa seperti sedang terbakar panas seketika."Kau menjatuhkan bukumu" ucap Tad.
Tad Klaew, nametag di bajunya tertuliskan nama laki laki yang berdiri di depan Andrew saat ini, akhirnya dia bisa tahu nama adik kelasnya yang selama ini membuatnya hampir gila.
Andrew terpaku menatap wajahnya yang sangat manis, murid baru itu bertubuh mungil dan sangat menggemaskan di matanya.
"Bagaimana ini!! bagaimana aku menyikapi perasaanku yang di luar nalar ini!!" Andrew nampak sangat frustasi.
"Oh, i.iya" Andrew mengulurkan tangannya meraih buku itu dari tangan Tad.
"Apa kau demam?" Tad melangkah maju mendekati Andrew, membuatnya terkejut saat menyadari wajah Tad sangat dekat dengan wajahnya.
Dia jauh lebih pendek dari Andrew sampai sampai ketika Tad memastikan kondisi tubuh Andrew apakah suhu badannya tinggi atau tidak menggunakan punggung tangannya, dia sampai harus berjinjit.
Wajahnya berkilau seperti mutiara, sangat putih bersih tanpa cela. Andrew benar benar dibuat semakin gregetan dengannya.
Karena kesal dan frustasi dengan apa yang dia rasakan terhadap Tad, Andrew akhirnya menjatuhkan tumpukan buku di tangannya kemudian dengan berani meraih kedua bahu Tad dan mendong laki laki itu hingga menabrak loker di belakangnya.
Brak!!
"Ah!!" Tad terkejut, membulatkan mata.
"Permisi! maaf, tapi apa yang sedang kau lakukan!" ucapnya terbata."Harusnya aku yang bertanya! apa yang sedang kau lakukan padaku!!"
"Apa maksudmu? aku tidak mengerti sama sekali!" Tad terlihat kebingungan namun sebenarnya beberapa hari ini dia sudah memperhatikan Andrew, dia tahu kalau Andrew selalu mengawasinya dari kejauhan namun Tad berpura pura seolah olah tak menyadarinya.
"Kau membuatku gila!! kau membuatku menjadi tidak waras!!" geram Andrew.
Tad terdiam ternyata dugaannya selama ini tidak salah bahwa Andrew memang memiliki perasaan padanya.
Ekspresi wajah Tad berubah cerah seketika."Itu hal yang wajar!" ucapnya.
"Apa!!! kau juga sepertinya sudah gila!!" Andrew menghantam loker di belakang Tad dengan kepalan tangannya.
Tad merangkup kedua pipi Andrew dengan tangannya.
"Apa yang sedang kau lakukan! singkirkan tanganmu!!" Andrew semakin gugup ketika secara terang terangan Tad menyentuh pipinya.
"Apa kau menyukaiku??" pertanyaan yang keluar dari mulut Tad seketika membuat Andrew membulatkan mata.
"Kau gila!!" sahut Andrew.
"Aku bisa melihatnya sejak awal!!"
"Apa!!" kening Andrew berkerut dalam.
"Sejak kau melihatku dari lantai atas melewati sebuah jendela, sejak saat itu aku bisa melihatnya. Melihat perasaan yang kau miliki untukku!"
Hahaha...
"Kau sepertinya memang sudah gila!! kita sama! aku, kau sama sama laki laki! itu tidak mungkin terjadi""Kau berdebar" Tad menyentuh dada Andrew, merasakan debaran jantungnya yang semakin kencang.
"Ini tidak benar!" gumam Andrew sembari melepaskan bahu Tad dan beranjak pergi, namun Tad terlanjur terlebih dulu meraih lengannya menarik Andrew kemudian mencium bibirnya.
Andrew dibuat terkejut matanya membulat penuh, kedua tangannya bergerak ingin mendorongnya agar menjauh, namun Tad terlanjut menguasainya, dia memainkan dan melumat bibir Andrew dengan menggerakkan lidahnya di dalam mulutnya.
"Bagaimana bisa seperti ini!! bibirnya... bibirnya sangat lembut, ini terlalu manis! Sial!! Ini sangat manis... aku tidak bisa melewatkannya begitu saja!" Gumamnya dalam hati.
Andrew terlanjur menikmatinya dia tak ingin melepaskan ciuman itu begitu saja, dia mengangkat tubuh Tad dan membiarkan kedua kakinya melingkar di pinggangnya.
"Aku pasti dudah gila!" Umpat Andrew dalam hati.
Semenjak saat itu Andrew merasa Tad bisa mengubah hidupnya yang datar dan tak berwarna, selama ini dia tak terlalu tertarik dengan dunia percintaan terlebih lagi dengan seorang wanita, namun dengan Tad dia merasa berbeda, bahkan dia menjadi pecandu sex karenanya.
****************
"Ahk!! kau melukaiku dengan gigimu!!" geram Andrew.
"Tidak biasanya kau melakukan ini!!"
Tad menarik kepalanya melepas Andrew kecil yang sempat bertahan lama di dalam mulutnya. " Maaf, kau membuatku tidak bisa fokus" rengek Tad sembari mengusap bibirnya yang basah.
Andrew semakin tak memiliki waktu cukup saat melihat Adik perempuannya terus menghubungi ponselnya.
"Siall!!" Andrew mendorong Tad dan beranjak berdiri membenarkan celananya.
"Andrew ini belum selesai" mulut Tad sudah sangat basah namun Andrew memilih untuk menyudahinya.
"Aku tidak ada waktu, perempuan kecil ini terus menggangguku dari tadi!" Andrew merapihkan jasnya kemudian mengambil ponsel dari atas meja.
Dia segera melangkah pergi menuju ke pintu namun sesaat terhenti ketika menyadari Tad terlihat muram dan masih duduk di atas karpet bulu.
Andrew menoleh kemudian berucap."Kita lanjutkan nanti lagi, aku akan menghubungimu""Mmm" Tad mengangguk cepat, ini pertama kali baginya Andrew seperti mencampakkan dirinya, Tad meras sedih hingga kedua matanya berkaca.
Entah mengapa Tad merasa Andrew seperti semakin jauh untuk di jangkau.
****************
"Kak, kau di mana pesawat Ayah sudah mendarat dan dia dalam perjalanan menuju ke rumah, cepatlah kembali" Bella tak bisa tenang sebelum Kakaknya sampai di rumah.
"Aku sedang di jalan! seharusnya pertemuan ini tak terlalu penting kalian membuang waktuku saja!!" Ucap Andrew dengan santai seperti tak ada beban.
"Please, jangan buat Ayah marah lagi kali ini, Kak... aku tak bisa melihat Ayah terus-terusan memukulmu. Jangan buat kesalahan lagi aku mohon!"
Andrew menghela nafas panjang dadanya dibuat menghangat dengan penyataan Bella.
"Aku mengerti, Aku akan segera sampai!"*****************
Setelah memarkirkan mobilnya, Andrew masuk melewati pintu belakang, di sana dia langsung disambut oleh Bella yang sudah siap dengan kemeja dan jasnya yang baru.
"Cepat ganti pakaianmu, kak. Ayah sudah berada di ruang keluarga dia baru saja tiba dan aku bilang padanya kalau kau sedang bersiap siap" jas dan kemeja yang masih bersih bertengger di lengannya sementara Andrew sedang sibuk melepas kemeja dan memberikannya kepada Bella kemudian menggantinya dengan yang baru.
"Haruskah aku memberimu hadiah kali ini?" Andrew merasa terbantu karena memiliki adik perempuan yang sangat peduli dan perhatian padanya.
"Yupzz, harus... dan sepertinya makan malam tak akan cukup untuk membayarku" sahut Bella.
Andrew sudah berganti kemeja dan kini sedang memakai jasnya.
"Lalu?" matanya menatap Bella menunggu permintaan yang akan keluar dai mulutnya."Terimalah tawaranku untuk berkencan dengan sorang wanita!" Bella berucap sembari membantu Andrew membenarkan kerah jasnya.
Andrew terpaku terdiam sejenak setelah itu berucap dengan mata tajam namun bibir tersenyum sinis.
"Kau bahkan tahu jawabannya apa! tapi kau masih bersikeras untuk memaksa Kakakmu ini!"Tangan Bella mencengkeram kerah kemeja Andrew dan terpaku di sana sesaat, kedua matanya langsung memerah.
"Kau tahu hidupku tidak lama lagi... aku tak menginginkan apapun selain melihatmu menjalani hidupmu dengan benar, Kak! sekali saja turuti kemauanku" air mata itu jatuh menetes membasahi pipi Bella yang tertunduk.Betapa Bella sangat ingin sekali melihat Andrew bersanding dengan seorang wanita.
Andrew menghela nafas panjang, menggerakkan tangannya mengusap pipinya yang basah, dia tahu penyakit yang diderita oleh adiknya setiap hari semakin parah. Andrew menggertakkan giginya kuat menahan perasaan sedih namun dipaksa tetap tersenyum di depan Bella.
Tak ada salahnya bagi Andrew mengikuti keinginan adiknya kali ini setelah berkali kali dia menolaknya.
Andrew menghela nafas lagi dan menghembuskannya perlahan."Tetapkan hari dan jamnya, kirim lokasi ke ponselku aku akan menuruti keinginanmu""Benarkah??" Bella langsung mengangkat wajahnya dan membulatkan mata, ekspresi wajahnya berubah seketika. Dia sangat bahagia mendengar Andrew akan menerima permintaannya.
"Tapi janji, kau tidak boleh menangis!"
"Mm!!" Bella mengangguk cepat mengiyakan permintaan Andrew.
Laki laki itu meraih tangan Bella dan melingkarkannya di lengan setelah itu beriringan melangkah menuju ke ruang keluarga menemui Ayahnya dan beberapa kerabat kerja yang sudah berada di sana.
****************
Brugh!!!
Seorang Ibu paruh baya namun masih terlihat muda dari umurnya terjatuh saat sedang mengangkat kardus dengan minuman kaleng di dalamnya.
"Oh, astaga kau baik baik saja Bu?" seorang pengunjung toko yang melihatnya langsung membantu.
"Mm, aku baik baik saja nak, terima kasih" ucap Tesha, Ibu si pemilik toko.
Pengunjung itu membantunya bangun dan mengambil minuman kaleng yang berjatuhan di lantai kemudian memasukkannya kembali ke dalam kardus lalu meletakkannya di tempat yang aman.
Dia juga membantu Ibu Tesha duduk di kursi depan toko yang sudah tersedia di sana.Dia mengambil air mineral, membukanya dan memberikan botol itu kepada pemilik toko tersebut.
"Minumlah Bu, kau pasti sangat lelah... setiap hari mengurus toko ini sendirian"Ibu itu meraih botol minuman lalu menegugnya perlahan, setelahnya meletakkan botol ke atas meja kemudian menatap perempuan yang telah membantu dirinya.
"Aku sering melihatmu datang ke toko ini" ucapnya dan perempuan itu membalas dengan senyuman.
"Aku sebatang kara, putriku meninggal beberapa tahun yang lalu karena kecelakaan, jadi aku harus mengurus toko ini sendirian" Bu Tesha mulai menceritakan tentang dirinya."Oh, begitu" dia merasa iba melihat pemilik toko harus berjaga setiap waktu sendirian, dia pun juga sedang membutuhkan pekerjaan sehingga sebuah kebetulan yang sangat tak terduga baginya untuk melamar pekerjaan di toko itu.
"Kalau begitu, bolehkah aku melamar pekerjaan di sini? aku bisa melakukan tugas apapun... kebetulan aku sangat membutuhkan pekerjaan"
"Itu... bagaimana ya, aku tidak bisa membayarmu dengan gaji tinggi. Itulah sebabnya kenapa mereka yang melamar pekerjaan di sini langsung membatalkan dan memilih melamar kerja di tempat lain karena aku tak bisa membayar mereka dengan gaji tinggi" jelasnya.
"Tidak, aku sangat menyukai bekerja, jadi seberapa besar gajiku nanti itu tidak masalah untukku"
"Oh, tapi" Tesha terlihat ragu.
"Aku mohon" perempuan itu terus memohon padanya membuat Tesha tak bisa menolak.
Dengan berat hati Ibu pemilik toko itu menerimanya, di satu sisi dia tak enak hati karena akan memberinya gaji di bawah rata rata tapi dia lebih tak tega melihat gadis itu sedih, karena jika putrinya masih hidup, mungkin gadis itu dan putrinya seumuran.
"Siapa namamu, nak?"
"Alluna... Alluna Zaphire" dia pun tersenyum dan meraih tangan pemilik toko.
"Lalu bagaimana aku harus memanggilmu?""Namaku Tesha... Kau, bisa memanggilku sesuka hatimu" sahutnya.
"Baiklah, terimakasih" Alluna pun tersenyum lebar, akhirnya dia mendapatkan pekerjaan meskipun tak terlalu tinggi gajinya dia sangat bersyukur karena dia juga hanya bisa bekerja di waktu ketika tak ada jam kuliah.
Dia gadis yang sangat pekerja keras dia juga hidup sebatang kara, kedua orang tuanya telahmeninggal dalam sebuah kecelakaan.
Waktu itu mereka sedang di mobil dalam perjalanan menuju ke desa tempat tinggal mereka, namun Ayahnya yang sedang menyetir saat itu tak mau sabar menunggu kereta lewat sehingga saat mobil mereka melewati rel di sambar oleh kereta yang lewat dengan kecepatan tinggi.
Beruntungnya Alluna seperti mendapatkan sebuah mukjizat dia hanya menderita luka ringan padahal jika dilihat daei kondisi mobil saat itu rusak parah bahkan kedua orang tuanya seketika mati di tempat tepat di depan kedua matanya.
Alluna memilih pindah ke kota karena di rumahnya yang ada di desa selalu mengingatkan dirinya akan kenangan kedua orang tuanya, sehingga dia memutuskan untuk tinggal dan memulai kehidupan baru di kota.
Andrew dan Bella baru saja masuk ke ruang keluarga, mereka langsung di sambut pelayan rumah dengan menyiapkan hidangan untuk mereka berdua.Mafin salah satu orang kepercayaan Tuan James, Ayah Andrew membantu Bella menarik kursi dan mempersilakan perempuan itu duduk di sana."Terima kasih" ucap Bella."Sama sama Nona" Mafin tersenyum tipis setelahnya kembali berdiri ke tempat semula.Di ujung meja, Ayah mereka sudah duduk dengan ekspresi wajah yang tak terbaca.Meja bundar itu di kelilingi oleh beberapa anggota keluarga penting dan sebagian lainnya adalah rekan kerja.Tuan James menganggukkan kepala seperti memberi perintah kepada pelayan laki laki untuk mulai menghidangkan makanan utama.Bella merasa suasana di meja makan itu sangat berbeda ketimbang ketika mereka sedang makan bertiga, malam itu aura Ayahnya terlihat lebih tenang tak seperti biasa yang selalu marah marah dan meng
Setelah berhasil masuk ke dalam toko, Andrew melangkah menuju ke almari pendingin mengambil sebuah botol minuman, membuka tutup kemudian menegugnya.Di sisi lain Alluna telah berdiri di meja kasir menunggunya."Jika aku menerima perintah Ayah, aku tidak yakin semua akan berhenti sampai di situ... dia pasti akan terus memantauku! tapi, Bella??" Bisiknya dalam hati, Andrew meremas rambutnya kuat wajahnya nampak frustasi mengingat Ayahnya mengancam akan menghentikan pengobatan Bella jika dia tak mengikuti keinginan Ayahnya.Andrew menghela nafas panjang sembari menegug kembali minumannya, setelah itu dia melangkah menuju ke kasir meletakkan botol di atas meja.Alluna selalu memperhatikan laki laki itu sejak dari tadi dia terlihat seperti kebingungan dan terus melamun."17.000 Tuan"Andrew masih di
"Aku meninggalkan hutang di toko itu""Haa??!!! Hutang?""Hmm!!" Gumam Andrew sembari menganggukak kepalanya."Aku tidak salah dengar, Kak? Hahaha...." tawa Bella riang menggema di setiap sudut ruangan."Itu juga karena dirimu!""Kenapa jadi aku yang salah?" Tawanya seketika menghilang dan berganti dengan kerutan halus di keningnya."Semalam dompetku tertinggal di jas yang kau bawa!""Oh, hahahaha... jadi kau berhutang dengan si pemilik toko??" Bella tertawa geli ketika mendengar Kakaknya, si pemegang saham terbesar di perusahana itu dan memiliki kartu hitam berplakat emas serta uang berlimpah bahkan bisnisnya berada
Di sisi lain nampak mobil Andrew bergerak semakin perlahan dan menepi di depan toko.Andrew sempat berdiam diri di dalam mobil dan melirik kearah pintu masuk toko, mengingat ucapan Bella bahwa perempuan itu menolak untuk dikembalikan uangnya, maka Andrew bersikeras untuk tetap menemui Alluna dan membayar botol minuman yang kemarin dia ambil.Dia membuka pintu dan melangkah turun dari mobil sejenak dia berdiam diri merapikan jas dan mengancingkan kancing jasnya sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah menuju pintu masuk.Andrew membuka pintunya kemudian masuk ke dalam toko.Dia sangat terkejut ketika berhasil masuk dan mendengar suara Alluna yang terdengar bising di telinganya ketika sedang membangunkan Bu Tesha, sipemilik toko yang pingsan."Bu! Bu aku mohon ayolah bangun Bu! Ibu ayo bangun!" Alluna terus berusaha untuk mem
"Apa? kau menolong gadis itu dan Ibunya pergi ke rumah sakit?" Bella baru saja selesai check up ke dokter untuk memeriksakan kesehatannya.Andrew yang baru saja pulang segera menemuinya karena ingin mengetahui hasil pemeriksaan Bella. Andrew mengambil kertas hasil cek up Bella yang ada di atas meja dan membacanya."Hmmm... aku tidak sengaja melihat Ibunya pingsan dan membawa mereka ke rumah sakit.""Apa kau tidak berpikir bahwa ini adalah kesempatan yang bagus untukmu, Kak?" Bella sangat antusias dia melangkah mendekati Andrew.Laki laki itu menoleh kemudian berucap dengan kening berkerut halus."Maksudmu?" "Ya! gunakan kesempatan ini untuk mendekatinya mengambil simpati gadis itu biar nantinya dia mau membantumu untuk pergi ke pesta."Andrew meletakkan kembali kertas hasil cek up milik Bella
"Kau pasti membutuhkan banyak uang untuk bertahan hidup!" Dengan santai Andrew berucap seolah tak ada beban, bahkan ucapanya sempat membuat Alluna kesal.Perempuan itu langsung menoleh keningnya terlihat berkerut dalam saat memikirkan ucapan Andrew."Apa maksudmu?" dia hampir sempat terpancing emosi dengan ucapan Andrew yang seolah seperti merendahkan dirinya."Aku sempat berkunjung ke rumah sakit... dan tanpa sengaja aku mendengar percakapanmu dengan Dokter. Aku yakin kau pasti saat ini membutuhkan uang banyak untuk operasi Ibumu, bukan?" Lagi lagi dengan santai laki laki itu menoleh, matanya menyipit.Setiap uacapan yang keluar dari mulutnya mampu membuat Alluna tak bisa menepis, hampir semua apa yang dia katakan memang benar.Alluna memicingkan matanya ke arah Andrew seolah dia mulai tersinggung dengan ucapannya."Tenang-tenang, aku tidak bermak
Alluna berlari secepat mungkin setelah mengetahui kondisi Ibu Tesha semakin buruk."Ibu bertahanlah, aku akan segera sampai."Alluna memperlebar langkah kakinya di bawah terik sinar mentari sampai terlihat basah bagian kening karena keringat."Tunggu aku, Bu" bisiknya dalam hati.Dia terus berlari tanpa menghiraukan orang orang di sekitar yang menghalau jalannnya.Alluna akhirnya sampai di lobi rumah sakit dia langsung menuju ke ruang rawat inap. Dia segera membuka pintu dan masuk dengan nafas terengah engah.Di dalam sana dia melihat sudah ada dokter dan perawat yang sedang memeriksa Ibunya.Alluna masih berusaha mengatur nafasnya bahkan dadanya terasa panas karena harus berlari jauh."Nona, kau harus cepat ambil tindakan, terlambat sedikit saja kita mengoperasinya... maka rumah sakit tidak
"Aku mohon."Suara Alluna yang terdengar bergetar dan serak ketakutan itu selalu terngiang-ngiang di telinganya, dan saat itu Andrew langsung menginjak pedal gas agar mobilnya semakin melaju dengan kencang.Akhirnya dia sampai di halaman rumah sakit, setelah memakirkan mobilnya, Andrew melangkah keluar dan menuju ke pintu masuk.Andrew selalu berusaha untuk tetap tenang walaupun sebenarnya ada rasa gelisah semanjak dia mendengar suara Alluna mengangis ketika menghubunginya.Pandangannya menyapu setiap ruangan lobi rumah sakit untuk mencari keberadaan Alluna, perempuan itu sedang duduk tertunduk sambil sesekali mengusap air matanya.Saat Andrew melangkah mendekat dia melihat seorang suster mendatanginya dengan sebuah map di tangannya."Nona, anda harus menandatanganinya saat ini Dokter sudah bersiap siap hanya tinggal menunggu tanda tangan dari Anda, Dokter bilang sudah tak
“Ini masih siang Andrew!” “Aku tidak peduli, aku terlalu lama menahan semua ini! Apa kau tidak sadar itu?” Andrew membungkuk meraih kaki Alluna, menggendong perempuan itu masuk ke dalam kamar. “Aku belum mandi, aku harus membersihkan tubuhku dulu” Alluna terus berucap untuk mengulur waktu namun Andrew kali ini tak melepaskannya. “Tidak perlu, aku menyukai bau wangi parfum yang bercampur keringatmu. Mulai sekarang aku tidak akan membiarkan kau keluar dari kamar sampai aku benar-benar puas!” Pipi Alluna merona panas dia membiarkan tubuhnya terbaring di ranjang sementara Andrew telah memaku tubuhnya dengan kedua tangan agar tak bisa bergerak ke mana pun. Andrew telah berhasil melepaskan satu persatu kancing kemejanya dan membuangnya ke lantai begitu saja, kini dia telah bertelanjang dada kemudian membungkuk lagi di atas tubuh Alluna.Perlahan Andrew menyingkirkan
“Siapa?”Andrew bertanya sembari melangkah keluar dari kamar, seketika tubuhnya terpaku saat melihat sosok perempuan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya berdiri di depan pintu rumahnya. Andrew membuang pandangannya kearah lain kemudian memilih pergi menuju pantry. Melihat sikap Andrew, Alluna pun mencoba untuk mengalihkan perhatian Belinda.“Umm... silakan masuk Ibu” Alluna menggandeng lengan Belinda mengajak perempuan itu masuk ke dalam.Setelah sampai di pantry Alluna menarik kursi mempersilakan Belinda agar duduk di sana. Dia juga menyiapkan minuman untuk perempuan paruh baya itu.Alluna Kekemudian meminta Andrew untuk duduk di seberang meja berdampingan dengannya. Andrew tampak canggung tapi di bawah meja Alluna menggenggam erat tangannya untuk menenangkan lelaki itu.Dia pun menoleh menatap wajah Istrinya, melihat senyum di bibir Alluna mampu membuat hatinya menjadi tenang. “Mm, maaf ka
Alluna menutup pintu kamar mandi kemudian setelahnya dia bersandar dibalik pintu dengan raut wajah memerah. Dadanya bergerak cepat bersamaan dengan nafasnya yang terengah-engah. Alluna tak bisa menyembunyikan rasa malunya karena tadi saat di depan Andrew dia secara terang-terangan bahkan tanpa rasa malu dia memamerkan dan mengakui kalau dia sendiri yang telah memesan alat-alat itu. "Ya ampun, bagaimana ini... mau ditaruh di mana mukaku saat keluar nanti!" Alluna benar-benar sangat malu entah bagaimana lagi nanti ketika dia keluar dari kamar mandi harus menghadapi Andrew.Saat ini dia berusaha untuk menenangkan diri karena tadi sesaat ketika sedang berhadapan dengan Andrew dadanya berdebar tak karuan. “Aduh bagaimana ini? Bagaimana aku menghadapinya nanti? Ya ampun lagi pula kenapa juga aku menantang Andrew untuk memakai alat itu?” Alluna berjalan mondar-mandir layaknya orang kebingungan karena kesalahannya sendiri.
Allunan tak menduga kalau dia akhirnya akan bisa kembali bersama dengan Andrew. Awal mula juga dia membantu Andrew hanya karena ingin ibu angkatnya sembuh dari penyakit dia tak berpikir sampai sejauh ini hingga akhirnya bisa bersanding hidup dengan lelaki yang mampu membuatnya jatuh cinta.Kalau dipikir-pikir dari awal, membayangkan untuk menyukai Andrew yang notabennya adalah seorang gay itu tidaklah mungkin namun ketika akhirnya dia bisa meyakinkan kalau lelaki itu juga menyukainya itu seperti sebuah mimpi bagi Alluna.Banyak kesedihan yang Alluna lalui untuk bisa bersama dengan Andrew, begitu juga dengan lelaki itu. Banyak kepedihan yang harus dia lewati mulai dari kehilangan seseorang yang dulu pernah dia cintai kemudian bertemu dengan sosok perempuan yang dulu juga pernah menyakitinya serta harus melewati sisa hidup di ambang kematian, selama beberapa tahun dan kini ketika perempuan itu kembali Andrew membuktikan kalau kek
Saat lampu padam dan semua ruangan menjadi gelap gulita Alluna terlihat panik, dia sempat beranjak dari kursi dan ingin berlari keluar namun saat mengingat ucapan Andrew agar tak pergi kemana-mana membuat Alluna mengurungkan niatnya.Dia terlihat sangat gelisah dan gusar berharap Andrew akan datang saat itu juga."Andrew?” seru Alluna Namun lelaki itu tak mendengar panggilannya.Lama Alluna menunggu Andrew pun tak kunjung terlihat.Suasana semakin sepi, membuat bulu kuduknya merinding ketakutan.“Ke mana perginya dia?” gumam Alluna sembari membuang pandangan ke sana ke mari yang tak nampak apa pun karena gelap.Dari arah belakang Alluna merasa seperti ada sesuatu yang datang dan mendekat, perlahan Alluna menoleh ke belakang penuh waspada.Bersamaan dengan itu lampu menyala, Alluna di kejutkan dengan Andrew yang tengah berdiri di belakangnya dengan membawa sebuah kue, ada beberapa lil
Ruangan itu adalah ruangan beberapa tahun yang lalu di mana Tuan James menghina Alluna, tepat di ruang tengah rumah keluarga Mayer, Tuan James menawarkan sejumlah uang kepada Alluna agar perempuan itu pergi meninggalkan putranya.Namun kali ini sepertinya suasana terlihat berbeda dari raut wajah Tuan James yang tak terlihat garang seperti biasanya membuat Alluna tak merasa takut seperti dulu ketika mereka bertatap muka.Seorang Bodyguard terlihat masuk ke dalam ruangan itu dengan membawa sebuah map berwarna hitam di tangannya melangkah mendekati Tuan James."Silakan Tuan James” ucapnya sembari memberikan map itu.Setelah mapnya berpindah tangan, Tuan James kemudian meletakkannya di atas meja mendorongnya perlahan kearah Alluna.Jantungnya tiba-tiba berdebar kencang kejadian ini mengingatkan Alluna pada momen beberapa tahun yang lalu. Ketika Tuan James menawari dirinya beasiswa untuk sekola
Alluna menatapnya kesal bercampur tak percaya, bagaimana bisa lelaki itu tega membohongi dirinya. Seketika saat itu juga wajah Alluna berubah memerah karena tak sanggup lagi menahan tangis dia mulai merengek membuat Andrew merasa bersalah.Tetapi lelaki itu masih bisa tertawa menikmati keberhasilannya dalam membuat Alluna kesal. Andrew tersenyum kemudian memeluk Alkuna dengan erat.“Maaf” ucapnya sembari membelai lembut kepala Alluna.“Kenapa?” Alluna mendorong dada Andrew membuat dirinya lepas dari dekapannya. Ada rasa bahagia yang bercampur jengkel atas perbuatan Andrew.“Kenapa kau harus membohongiku?! Apa untungnya ha?” Alluna mengusap pipinya yang basah.Lagi, Andrew ingin memeluknya namun Alluna langsung menggunakan kedua tangannya untuk menahan dada Andrew agar tak bisa mendekat.“Kau pikir ini lucu!! Kenapa kau tertawa? Kau men
"Aluna!" Seketika tanpa sadar Andrew menggeram menyebut namanya. Dan saat perempuan itu memutar tubuhnya menatap kearah wajah Andrew, lelaki itu membuang pandangannya ke arah lain bersikap seolah dia lupa dengan apa yang baru saja dia lontarkan. Aluna tersadar lelaki itu menyebut namanya dengan suara dan intonasi nada seperti dulu saat Andrew masih sedang bersamanya.Raut wajahnya nampak berbinar seakan tak percaya dengan apa yang baru saja di dengar olehnya. Alluna perlahan melangkahkan kakinya kembali mendekati meja. Sementara Andrew yang mulai terlihat gelisah masih tak berani menatap mata Alluna yang sedang menatapnya dengan lekat. Dada Alluna berdebar kencang saat langkahnya semakin dekat dengan Andrew.“Kau... memanggilku apa?” suaranya bergetar, pandangannya tak pernah lepas dari Andrew yang masih berusaha menghindar dari tatapannya. Mencoba untuk tenang Andrew kemudian menghela
Di ruang kerja tempat Alluna mengecek semua perkembangan pasiennya, terlihat Andrew dan Alluna duduk saling berhadap-hadapan di seberang meja.Ada dokter lelaki yang sebelumnya menyapa Andrew ketika dia datang ke rumah sakit. Dia hanya mengantar Andrew sampai keruangan Alluna setelah itu dia dia pergi karena masih ada pekerjaan lain."Saya akan membiarkan kalian berdua untuk berbincang, kalau begitu saya pamit pergi terlebih dulu" Dokter itu sempat menundukkan kepala sebelum akhirnya dia melangkah ke pintu kemudian pergi meninggalkan ruangan.Suasana di ruangan menjadi semakin canggung terlebih lagi untuk Alluna yang merasa bahwa Andrew seperti orang asing baginya saat ini.Raut wajah Andrew saat menatap ke arahnya terlihat begitu sangat berbeda bukan seperti Andrew yang biasanya. Mereka masih saling diam belum ada satupun dari kedua belah pihak yang berusaha untuk memulai pembicaraan.Terlihat beberapa kali Al