New York, 30 June.
"Ia butuh seorang ibu." Suara wanita paruh baya terdengar sendu, menutup pintu lalu mengayun kaki mendekat ke ranjang box sang cucu. Ucapan sang Ibu membuat si Pria tampan melirik melalui ekor mata lantas menghela napas kecil. Usapan punggung jari lembut papa tampan pada pipi seorang anak laki-laki kecil sedang tertidur pulas terhenti. Papa muda meluruskan punggung, berdiri tegap kemudian berpaling memandang sang Ibu. Tatapan penuh iba wanita paruh baya curahkan pada cucu tersayang. Perasaan getir langsung merayap dalam hati, ia menangis tepat di samping putranya. "Kenapa harus?! Rasanya sangat sakit harus melihat cucuku tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Cucuku tersayang. Cucuku malang tak pernah menginginkan takdirnya seperti ini." Mengusap pipi basah saat air mata terus turun tanpa bisa wanita paruh baya kendalikan. "Kumohon jangan berpikir jauh, Bu! Biarkan cucu kesayangan ibu tidur tanpa mendengar keluh kesahmu. Beri anakku waktu lepas guna istirahat, kejadian beberapa waktu lalu, yang ia alami sungguh di luar batas," sahut putra tampan. Mengusap punggung tangan ibu tersayang bermaksud menenangkan hati. Wanita paruh baya itu menoleh memberi senyum hangat. Hatinya sedikit tenang, kala putra semata wayang mampu mengontrol emosi. "Yah, kau benar. Cucu tampanku sangat kuat." Mengusap kepala cucu tersayang sangat lembut. "Dia sangat special, aku pasti bisa memberikan yang terbaik untuknya. Ia putraku," jawab papa muda penuh percaya diri. Manik hitam Ares melirik guna meresapi ekspresi sang Ibu. Tatapan mereka bertemu. Telapak sang Ibu mengusap lengan putra kesayangan. "Sayang dengarkan ibu, Nak! Itu pasti sangat sulit. Bekerja serta membagi waktu untuk cucuku yang tampan. Ibu bisa mencarikanmu calon ...." "Tidak, Bu! Aku belum mau menikah. Siapa juga yang bisa menerima pria tampan dengan status anak satu?! Walau bukan hal sulit untukku." Ares memotong ucapan sang Ibu dengan desahan lelah. Papa tampan sengaja menyelipkan canda pada akhir kalimat, ia tidak ingin menyakiti hati Terry. Wanita paruh baya itu terkekeh. Paham persis sifat putranya. Telapak Terry menepuk sedikit keras pundak sang Putra. "Kau tahu, duda jelek saja laku. Apalagi putra tampan ibu. Oh, ya, Tuhan, anakku pasti laris-manis dipasaran. Terlebih jika kau memasang diskon." Terry membalas tak kalah jenaka. Ares mencebik, sekaligus melongo tak percaya. Terry bicara seolah ia barang murah, bukan barang berharga yang tak mungkin laku dengan harga tinggi. Oh, yang benar saja. Ia tampan, menawan, berpostur tubuh tinggi juga memiliki kekayaan. Siapa yang bisa menolak pesona dirinya. Hanya wanita bodoh yang tak ingin jadi pendampingnya. Tapi di mana wanita bodoh itu? Tuhan, pertemukan aku dengan wanita bodoh seperti itu. Doa Ares dalam hati dan malaikat dengan senang hati mencatatnya. Ah, mungkin saja akan terkabul. Siapa yang tahu?! "Aku memang tidak berniat pasang diskon," balas Ares acuh angkat satu bahu. Bahu Terry merosot. "Baiklah, tidak ada diskon. Jika putraku bersedia, biar ibu kenalkan pada anak dari teman-teman ibu. Mereka semua cantik-cantik, memiliki tubuh indah, juga berpendidikan tinggi. Aku yakin kau pasti tertarik pada salah satu dari mereka. Bagaimana?" Terry mengerjab mata lucu. Berharap Ares menerima ide konyol darinya. Gelengan lemah kepala Ares membuat Terry menghela napas sebal. Wanita paruh baya itu berpaling menatap sang cucu. "Kasihan sekali, cucuku yang tampan ...." "Bu!" sela Ares cepat tak ingin mendengar kalimat drama sang Ibu. "Tolong, percaya saja padaku. Aku bisa urus semua keperluan serta kebutuhan anak itu tanpa kekurangan apa pun." Ares tetap berpegang teguh pada pendiriannya. "Itu menurutmu. Merawat bayi tidak mudah tampan, tetap butuh tenaga ekstra sayang. Selain dari pada itu, kenyataannya cucuku memang butuh kasih sayang seorang ibu. Semisal membacakan cerita sebelum tidur. Belaian lembut atau nyanyian seorang ibu saat ingin tidur." Terry terdiam sesaat, memberi pengertian pada Ares memanglah sangat sulit. Terutama masalah pendamping, bukan ingin ikut campur masalah pribadi sang putra. Hanya saja bayangan desakan pertumbuhan sang Cucu tanpa seorang ibu membuatnya khawatir. "Apa kau bisa melakukan itu? Sedangkan waktu makan dan jam tidurmu saja sangat berantakan." Terry memberi jeda sejenak. "Aku tidak menuntut kesempurnaan dari calon menantuku. Setidaknya pendampingmu nanti bisa menerima serta membesarkan cucuku penuh kasih sayang tulus, itu saja aku sudah bahagia." Tetap bersikukuh meminta Ares untuk memikirkan kembali permintaannya. Ares memijat pangkal kening. Ia tak ingin menikah dalam waktu dekat. Terlebih ia punya kriteria tersendiri memilih calon pendamping. Manik mereka bertemu sesaat, Terry tetap memasang wajah binar dengan alis terangkat tinggi. Sedangkan papa muda membuang arah pandang menatap lantai kamar, Ares mengusap tengkuk tak ingin berdebat tengah malam. Tubuh dan hati si tampan terlalu lelah saat ini. "Akan kupikirkan," sahut Ares kalem tanpa ekspresi berarti. Meski begitu wanita paruh baya itu menganggap kalimat barusan adalah sebuah persetujuan. Terry tersenyum sumringah mendengar jawaban putra tampan. Menepuk lembut pipi Ares lalu menarik dua sudut bibir ia tersenyum puas. "Ibu tunggu, kabar baik itu, jika memang tidak dapat ibu pasti bertindak," kata Terry seolah mengancam. Manik hitam Terry bergulir menatap sang Cucu lantas tubuhnya sedikit membungkuk guna berbisik. "Cucuku akan dapat mama. Selamat malam, mimpi indah tampan." Mengusap sayang kepala bayi laki-laki di sana. Iris Terry bergulir menatap Ares. "Kau juga perlu istirahat, selamat malam sayang!" setelahnya keluar dari kamar Ares dengan hati berdegub senang. Kelopak mata Ares tertutup sejenak lalu membukanya kembali manakala mendengar suara pintu kamar telah tertutup. Pria tampan berusia 25 tahun itu kembali menghela napas berat. Mengayun kaki kemudian merebahkan tubuh berusaha membagi rasa lelah pada ranjang besar miliknya. Tangannya terlipat di belakang kepala. Manik hitam papa tampan menatap langit kamar, tanpa renungan apapun dalam kepala. Hanya sebuah tatapan kosong. Ia tidak ingin memikirkan hal apa pun. Manik hitam tegas Ares bergulir menatap box bayi. Dimulai dari beberapa jam yang lalu. Takdir telah mengubah status dirinya dalam satu malam. Memberi emban sebagai orang tua tunggal untuk sang Putra tercinta. Ia harus memikul beban serta tanggung jawab besar untuk anak bayi laki-laki. Helaan napas Ares mengudara. Ia tidak sepenuhnya mengabaikan keinginan sang Ibu. Ares pun bisa membayangkan hari-hari sulitnya di kemudian hari. Tangannya mengerat pada selimut tebal menutupi tubuh. "Aku pasti bisa." Monolognya pada hening dalam kamar. Tidak peduli pada cibiran orang nantinya. "Yeah pasti," sekali lagi Ares bertekad fokusnya saat ini hanya terbagi dua. Pekerjaan dan si anak laki-laki tersebut. Kelopak mata Ares mulai turun, napas halus papa tampan mulai teratur. Ares tidur, melepas penat tanpa memikirkan hal yang masih belum bisa ia jangkau. Yah, dirinya harus istirahat. Ares Allan *** "Kalian sangat cantik." Suara lembut seorang gadis tertanam lirih bersamaan dalam satu waktu. Mengabaikan sinar laptop memapar wajah. Kepala si Gadis menengadah menyapa langit malam terlihat indah penuh cahaya bintang. Gemerlap, sangat! Mampu membawa hati seseorang tenggelam dalam puisi alam. Seulas senyum manis terpasang sekadar melepas beban. Beberapa tahun terakhir si Gadis manis berponi menyukai kegiatan ini hampir di setiap malam. Semilir angin dingin menerpa kulit wajah. Poni gadis manis ikut melambai terbuai bergerak, seiring mata arah angin. Gadis manis menunduk, kembali memandang laptop tanpa tahu apa yang harus ia tulis di sana. Terkadang manusia dipaksa untuk berpikir dan lupa bahwa melamun sesaat bisa menenangkan. Yah, sampai separah itu padahal otak saja didesak tak juga mau. Cherry. Nama itu terdengar manis, bukan? Julukan cantik tersebut diberikan sang Ayah, kala ia terlalu sering meminta buah Cherry sebagai oleh-oleh jika sang Ayah pergi dinas. Kendatipun sang Ayah sangat sibuk bekerja. Menjalankan bisnis acapkali pergi dalam waktu cukup lama. Cherry tidak merasa haus kasih sayang seorang ayah. Beliau memiliki sifat hangat penuh perhatian. Ayah bijaksana, bertanggung jawab juga setia pada sang ibu. Yah pada ibu. Iris cokelat cantik bergulir pada laptop. Aku tidak ingin menjadi seorang yang dewasa. Bukan berarti aku ingin terus kekanakan. Setidaknya diusia ini, aku berharap bisa lagi berbagi cerita dan tawa denganmu. Bawa aku ke tempatmu, aku rindu, ayah. Baru saja selesai menjalin kalimat anggun. Mata cokelat Cherry tampak berkaca-kaca. Dirinya bukanlah gadis yang lihai menyembunyikan pedih di hati kala sendiri. Ia bisa menangis melengking tanpa peduli detik bahkan jam. Jari lentik gadis manis setia mengambang di atas keyboard. Menggigit bibir kecil kuat-kuat, lantas menyingkirkan laptop dari pangkuan. Cherry meluruskan kaki, duduk di antara pintu balkon dan ruang kamar kost. Cherry tidak berniat angkat bokong dari sana. Manik cokelat gadis manis menelisik seluruh sudut kamar kost, senyum pahit sesaat kini ia hanya sebuah ia sedikit pasrah. Beberapa waktu lalu Cherry dan teman-teman tempat kerja mendengar kabar kurang sedap. Tempat mereka bekerja akan ada pengurangan pegawai. Belum lagi tabungan Cherry menipis, gaji sebagai pramusaji sangat kecil. Meskipun telah hidup hemat setiap bulannya tetap saja, ia tidak bisa menabung banyak. Isi kepala si Gadis terus mencari jalan keluar terbaik. Cherry harus bergerak cepat. Lantas kemarin diakhir pekan ia dan salah satu teman kerja sudah cari info lowongan pekerjaan. Yah, harus se-siap itu. Cherry harus punya back-up sebelum benar-benar dipecat. Setidaknya jika sudah ada satu, ia bisa tenang. Tak perlu lagi pulang ke rumah. Rumah'kah? Bisakah ia menyebut tempat mewah itu sebagai tempat istirahat terbaik? Entahlah. Cherry sendiri harus siapkan mental jika memang kembali ke sana. Rumah seharusnya tempat berlindung dari bahaya di luar. Tempat hangat dan nyaman untuk berbagi cerita. Bukan neraka yang siap melahapnya hidup-hidup. Separah itu, Cherry merasa kehadirannya tak pernah di anggap. "Haha ...." tiba-tiba si gadis manis tertawa sakit. Perih. Jika ada pilihan lain Cherry lebih memilih tidak ingin kembali ke sana. Andai saja ia bisa memilih jalan takdirnya sendiri. Pahitnya. Setiap manusia dilahirkan tanpa bisa memilih. Barisan kata sakit dan bahagia seharusnya menjadi penyeimbang kebahagiaan di dunia. Cherry sampai tidak mengerti arti sikap kasar sang Ibu. Apa ia pernah berbuat salah? Apa ia membuat malu keluarga? Ataukah memang ia sengaja di perlakukan tidak adil? Tapi apa? Kenapa? Seakan pertanyaan dalam kepala menjadi labirin yang tak pernah ada jalan keluarnya. Sulit dimengerti. Sukar diterima hati. "Bahagia? Apa kata itu masih ada?" Cherry bersuara lirih. Bagaimanapun ia ingin merasakan bahagia bersama seseorang yang dicintai. Saling berbagi suka ataupun duka tanpa ada kebencian mendalam. Tanpa ada kebohongan serta kemunafikan. Adakah yang masih menjaga nilai suci dari kata itu? Misteri. Sebanyak apa pun yang dilakukan. Sekeras apa pun dijelaskan. Tetap saja tidak ada ruang di hati pemuja dengki. Lucunya. Mereka menebar pesona pada manusia hipokrit. Berteman baik dengan boneka annabelle yang kemudian saling menikam dari belakang. Ah, iya seperti itu! Sangat lucu, seolah mereka telah tersakiti. Cherry menghela napas berdiri. Menutup pintu balkon lalu meraih laptop. Kaki gadis manis melangkah lemah menaruh benda tersebut di atas meja. Naik ranjang, Cherry menarik selimut serta mendekap guling. Gadis itu berusaha menutup mata. Berharap esok lebih baik, lebih, lebih dan lebih. Kelopak Cherry mulai turun mencoba menggapai mimpi indah. Mimpi indah? Bisakah? Semoga semesta mengabulkan. Qyana Thomas."Bagaimana pasti tidak diterima? Aku benar, 'kan!"Baru saja sampai rumah langsung dihadang sebuah pertanyaan yang nyaris membuat Cherry putus asa. Delapan bulan ia menganggur, pontang-panting mencari pekerjaan di kota besar sangatlah sulit. Si gadis cantik tak memiliki banyak pengalaman. Mengingat dahulu ia hanya bekerja sebagai pengantar juga pelayan makanan siap saji selama dua tahun.Helaan napas gadis itu belum lagi sempurna. "Hei, melamun saja terus jangan lanjutkan hidup jika tak mampu." Kalimat sarkastik seperti puing-puing kaca menancap tepat di ulu hati. Cherry telah terbiasa, ia hanya bisa menghela napas tanpa bisa membantah."Anak ini memang tidak berguna!" kata wanita tua lagi, selalu saja marah tanpa jeda—tanpa alasan.Tubuh Cherry lelah, ia butuh istirahat. Kakinya hampir melipir ke arah lantai dua, belum juga tiga langkah suara wanita tua itu kembali terdengar."Siapa
Ares memantaskan diri depan cermin. Si tampan memakai kemeja putih juga jas abu-abu melekat di tubuh. Membuka pintu kamar lalu turun untuk sarapan. Sampai anak tangga terakhir si papa tampan disambut tawa ceria sang putra. Senyum menawan Ares menebar warna rona merah muda di wajah para maid. Begitu dahsyat pesona papa muda. Satu kecupan hangat mendarat di pipi sang putra. Cup. "Putra tampan papa sudah bangun." Mencium gemas pipi Prime. "Daddy... daddy..." Prime tampak protes dengan kelakuan si papa tampan. "Apa dia sudah sarapan?" tanya Ares pada baby sitter. "Sudah Tuan besar tapi hanya sedikit. Selebihnya Tuan muda diberi minum jus alpukat." Jelas si baby sitter. Kepala Ares terangguk. "Pastikan gizinya seimbang. Putraku baru sembuh." Kata si Tuan tampan mengingatkan. Flashback on Hari terang berganti gelap saatnya beranjak dari tempat me
Wajah tampan Ares sedang berbinar senang. Telepon genggam masih menempel di telinga. Seseorang memberi kabar baik sampai si Tampan terus menyungging senyum menawan. "Wow, lebih cepat dari dugaan aku," kata papa tampan memberi pujian pada sahabatnya. "Pastikan dia mau datang," tetap memberi perintah mutlak tak terbantah. "Yeah, aku tunggu kabar baik darimu." Kira-kira seperti itu percakapan telepon antara Scott dan Ares. Papa tampan kembali menatap laptop. "Ares," Baru saja panggilan telepon terputus. Panggilan suara lembut malaikat tak bersayap mengusik gendang telinga. Pintu ruang kerja Ares terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Menampilkan sosok sang Ibu menggendong Prime dengan dot karet menempel pada mulut bocah laki-laki itu. "Ada apa, Bu?" Ares mengalihkan fokus dari laptop di atas meja, menatap sang ibu. "Aku minta izin padamu, membawa Prime ikut bersamaku besok." Terry duduk di sofa putih ruang ke
Tiga jam berlalu. Hujan tak kunjung reda. Gigi gadis manis saling bergemeletuk, kakinya gemetar tidak bisa diam. Tangan mungil gadis itu coba merapatkan blazer basah kuat-kuat pada tubuh. Cherry mencoba hangatkan diri disela-sela kekuatan tersisa dengan wajah telah pucat pasi serta bibir bergetar nyaris membiru. "Ya Tuhan, dingin sekali," cicit Cherry merasakan tubuhnya hampir membeku, uap dingin pun menyembur dari celah bibir. Angin kencang, hujan serta suara petir mewarnai langit. Punggung Cherry bersandar, "Kapan hujan ini akan reda?" suara gadis manis putus-putus, bermonolog sendiri. Menyorot pada area jalan sekitar terlihat beberapa mobil melintas. Sadar sesuatu Cherry merogoh kantong blazer keluarkan telepon genggam. "Yah, hmm ...," lirih gadis manis menemukan layar ponsel tampak berembun dan mati. Ibu jari Cherry menekan-nekan tombol power. Berharap ponsel miliknya masih bisa diselamatkan. "Hah,
Sabtu kelabu. Yah, setidaknya kata itu pantas disematkan untuk Ares si pria tampan, rupawan, menawan dan oh—kasihan. Lihat saja betapa kacau wajah pria tampan itu. Duduk di kursi putih dalam kamar, dengan kedua tangan terjalin menempel di atas perut. Kepalanya bersandar pada punggung bangku, ia menatap langit-langit kamar. Hati papa tampan di gulung awan mendung. Seperti cuaca di langit hari ini gelap cenderung abu-abu namun tak basah, kering merana. Isi kepala papa tampan masih terus mengulang kejadian beberapa saat lalu tanpa bisa menghindar. Berputar ke waktu lalu lebih lama lagi, ia mengingat ucapan Tante Merlin mengenai tunangan si gadis. Benarkah gadis itu telah bertunangan? "Shit," tiba-tiba Ares mengerang kesal. Papa tampan memaki, tanpa sebab—tanpa alasan berarti. Kepala Ares menunduk, mengepalkan tangan kemudian menutup mata menetralisir emosi yang sedang bergolak ingin meledak. Helaan napas panjang (lagi) berat ratusan kali terdengar, mengisi ruang luas nan rapi. Getar
Cherry baru saja selesai membersihkan diri dari debu dan keringat setelah seharian ia berjalan mencari pekerjaan. Menutup pintu kamar mandi, tangan gadis itu sibuk mengusap-usap keringkan rambut basah dengan handuk kecil. Si manis melangkah, berdiri depan meja hitam kecil, ia membuka tas lalu meraih ponsel. Ada tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry mengulum senyum kecil, ibu jarinya menari cepat pada layar ponsel. Ia mengirim pesan, memberi kabar pada Leon kalau ia sudah sampai di apartemen. Menaruh ponsel, iris cantik Cherry tak sengaja melirik pada sebuah kartu nama dalam tas. Tangan Cherry bergerak ambil kartu dari dalam tas. Isi kepala si gadis mengingat ulang kejadian beberapa waktu lalu. Matahari telah tinggi bersinar sangat terik menyengat kulit, tak menyurutkan semangat si gadis untuk mencari kerja. Cherry berjalan melewati beberapa barisan toko dan cafe. Si gadis melangkah santai, sesekali melirik juga membaca papan tertulis depan toko atau cafe di sana. Yah, haru
Cherry menarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Mengayun kaki masuk ke dalam gedung perusahaan penuh percaya diri. Manik cokelat cherry berpendar kagum, perusahaan ini tak jauh beda dari milik mendiang sang ayah. Cherry menghela napas kecil ini memang sudah takdirnya. Tak bisa bekerja di perusahaan sang ayah, walau sekadar menjadi buruh upah harian. Sudahlah bukan berarti ia putus asa. "Semangat Cherry kamu pasti bisa. Yah, semangat." Cherry mengepalkan tangan ke udara. Berdeham saat beberapa mata tertuju padanya. Semakin dekat meja resepsionis, jantung gadis manis semakin berdegub keras. "Permisi," sapa Cherry pada wanita cantik di balik meja resepsionis yang diharuskan ramah pada setiap tamu. Wanita itu berdiri lalu mengulum senyum tipis menyambut ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" "Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang buka lowongan pekerjaan. Aku datang untuk melamar," ucap Cherry halus. Resepsionis mengerut dahi dalam, lantaran bingung. "Maaf n
"Oh, shit!" Early menggerutu kesal. Ares selalu mengabaikan panggilan telepon darinya. "Are you oke?" tanya Nella menyorot kamera pada Early. Early berpaling menatap sahabat disampingnya sedang menyeruput jus pome kesukaan dengan satu tangan menyiku di atas meja, memegang kamera. "Yeah," sahut Early menghembus napas kecil. "Sungguh?" tanyanya lagi melihat raut suram temannya. Early meraih sedotan meminum milkshake strawberry. "Yep, i'm oke," jawab Early lemah. "Woo ... tapi aku tidak yakin. Sangat jelas terjadi sesuatu padamu?" cecar Lina sahabat Early satu lagi. "Apa maksudmu?" Early memasang wajah pura-pura bingung, masih tidak ingin bicara. Nella menghembus napas. Menaruh kamera aktif di atas meja. Meraih satu spring roll keju ia asyik mengunyah dan menyimak percakapan kedua temannya. "Kamu menghubungi seseorang lebih dari tiga puluh menit yang lalu dengan menggigit ujung kuku. Dari gelagat kamu saja sudah sangat terlihat kalau kamu ingin sekali bicara dengan seseorang di se
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me