"Bagaimana pasti tidak diterima? Aku benar, 'kan!"
Baru saja sampai rumah langsung dihadang sebuah pertanyaan yang nyaris membuat Cherry putus asa. Delapan bulan ia menganggur, pontang-panting mencari pekerjaan di kota besar sangatlah sulit. Si gadis cantik tak memiliki banyak pengalaman. Mengingat dahulu ia hanya bekerja sebagai pengantar juga pelayan makanan siap saji selama dua tahun.
Helaan napas gadis itu belum lagi sempurna. "Hei, melamun saja terus jangan lanjutkan hidup jika tak mampu." Kalimat sarkastik seperti puing-puing kaca menancap tepat di ulu hati. Cherry telah terbiasa, ia hanya bisa menghela napas tanpa bisa membantah.
"Anak ini memang tidak berguna!" kata wanita tua lagi, selalu saja marah tanpa jeda—tanpa alasan.
Tubuh Cherry lelah, ia butuh istirahat. Kakinya hampir melipir ke arah lantai dua, belum juga tiga langkah suara wanita tua itu kembali terdengar.
"Siapa yang menyuruhmu masuk kamar, hah. Dasar tidak sopan!" Seru wanita tua itu (lagi) bertolak pinggang memasang wajah super menjengkelkan. "Sebentar lagi ada tamu. Aku peringatkan untuk tidak berkeliaran atau membuat masalah. Jika sampai itu terjadi segera angkat kaki dari rumah ini, mengerti!"
Cherry hanya bisa patuh lalu mengangguk lemah. Memutar tubuh ia berlari kecil pada anak tangga lalu masuk kamar. "Tamu? Hah, apa peduli ku!" si gadis bermonolog sendiri. "Apa itu berkeliaran? Ibu bahkan menganggapku seperti binatang." Melangkah lunglai ia mendekati ranjang.
Si gadis melempar tubuh pada ranjang besar, menaruh lengan tangan pada wajah ia menutup mata lelah. Cherry akhirnya kembali ke rumah setelah putus kontrak kerja. Sebentar, tadi apa? Rumah? Hah, bahkan kata itu tidak layak untuk disebut. Cherry lebih suka menyebut tempat ini sebagai neraka. Kalian tahu? Cherry sudah terbiasa dibedakan. Ia biasa diacuhkan dalam keluarga. Tempat besar ini beranggotakan tiga orang anak. Dua perempuan dan satu laki-laki. Yang katanya saudara harus saling menghormati juga menyayangi. Faktanya, pepatah itu tak pernah ia temui atau sekadar singgah sebagai panutan. Selalu terpisah diantara kehangatan keluarga.
Sebagian besar dari keluarga sang ayah atau ibu jika sedang berkumpul mungkin hampir tak ada yang sadar akan diskriminasi yang Cherry hadapi. Cherry diperlakukan sangat baik jika ada acara keluarga. Sang ibu dan adik perempuan bersikap baik padanya. Mmm.. tidak juga ada satu orang yang selalu menyalahkan dirinya apabila takdir buruk menimpa. Yah, itu tadi si adik perempuan.
Ayah Cherry meninggal dunia saat ia menginjak usia lima belas tahun. Saat itulah kemalangan terus hadir mengisi hari-hari si gadis manis tanpa memberinya ruang untuk bernapas. Caci maki sampai sikap kasar sang ibu dan adik perempuannya selalu ia terima. Si gadis manis hampir putus sekolah karena sang ibu dengan kejam tak ingin membiayai. Beruntung ia memiliki sedikit tabungan dan cukup untuk biaya sekolah.
Tiga tahun berlalu dari kematian sang ayah. Cherry tumbuh menjadi remaja pendiam. Setelah lulus dari sekolah Cherry memutuskan mencari kerja mengadu nasib diantara ratusan ribu atau bahkan jutaan pencari kerja. Lagi, nasib baik tak berpihak padanya. Ijasah lulusan senior high school sangat dianggap tidak kompeten. Hah, putus asa mendera. Cherry yang lelah duduk disebuah pinggir toko tua penjual makanan ringan dan ia mendapat keberuntungan. Sebuah lembaran kertas terbawa angin jatuh di depan kaki. Si gadis memungut kertas tersebut lalu tersenyum sumringah. Ia masuk ke dalam toko menanyakan alamat yang tertera pada kertas. Si pemilik toko menyambut pertanyaan Cherry dengan ramah.
Tak membuang waktu ia memutuskan datang ke alamat tersebut. Rumah makan siap saji yang memiliki jasa order online. Ia tidak mengeluh mengantar di siang hari, saat panas terik menyengat kulit juga saat musim hujan tiba dingin menusuk tulang tak jadi halangan untuk Cherry menjemput rezeki. Sampai hari itu tiba, beberapa karyawan kontrak harus menerima keputusan sepihak dari pemilik kedai. Setelah kontrak habis, mereka harus kembali mencari pekerjaan baru.
Helaan napas panjang Cherry meluncur dari celah bibir. Bulir bening menetes di sudut mata. Hidung gadis itu memerah, isak sedu sedan terdengar ia melepas sesak. Cherry menatap langit kamar gamang. Tak ada lagi secuil kebahagiaan yang Cherry dapat semenjak sang ayah meninggal. Gadis itu merasa seperti anak tiri, terasingkan, tersisih dan terbuang. Air mata Cherry semakin mengalir mengingat kebahagiaan bersama sang ayah yang dulu pernah ia raih.
"Ayah," cicit si gadis pilu. Bangun terduduk ditepi ranjang, ia membuka laptop kesayangan. Menulis kisah pahit yang tak ingin dimiliki siapa pun.
Bersinarlah dalam kegelapan. Hari di mana dirimu bahagia akan selalu menjadi masa lalu yang indah. Teruslah hidup menggapai mimpi walau itu sulit.
Kesepuluh jari kecil Cherry menari bebas di atas papan keyboard, menulis kutipan penyemangat diri. Selebihnya ia tercenung, menatap layar laptop tanpa ekspresi berarti. Cherry terkekeh pahit, mengusap air mata yang terus mengalir tanpa henti. Bisakah, ia bersinar dalam gelap? Sedangkan ia sendiri membutuhkan sebuah cahaya. Cherry menutup laptop, matikan saklar lampu ia melangkah ke arah balkon. Membuka pintu kaca, ia berdiri pada pembatas balkon. Kepala si gadis menengadah menatap langit malam salah satu cara Cherry menenangkan hati.
Kerutan samar muncul di dahi Cherry kala deru mobil menyapa rungu, mengusik kegiatan tenang si gadis. Manik cantik Cherry menatap ke bawah. Sebuah mobil hitam mewah masuk ke halaman depan rumah. Seorang pria muda dan wanita paruh baya keluar dari mobil mewah tersebut. Cherry terus memperhatikan. Detik berikutnya kepala si pria tiba-tiba sedikit mendongak menatap ke arahnya. Cherry gelagepan, terlalu terkejut saat tertangkap basah sedang memperhatikan. Si gadis terburu-buru masuk kamar, menutup pintu balkon serta jendela. Berharap pria itu tak mengatakan apapun pada sang ibu.🌟🌟🌟
"Putramu sangat tampan." Puji si wanita tua tak lain ibunda Cherry.
Mereka berada di ruang tengah berjalan menuju ruang makan. "Ah itu dia," seru Merlin saat putri kedua muncul dengan gaun cantik berwarna hijau tua. "Kemari sayang," katanya lagi mengumbar senyum merekah. "Kenalkan ini putriku, Early." Manik mata Merlin menatap Ares sumringah. "Sayang dia putra teman ibu yang kuceritakan padamu tempo hari." Imbuhnya lagi.
Senyum Early mengembang sempurna menatap binar pada Ares pria tampan berkharisma. Mereka bahkan belum berjabat tangan, Early sudah lancang bergelayut manja di lengan Ares. "Aku Early. Salam kenal Ares." Suaranya centil.
Riak wajah Ares tampak kebingungan sekaligus tak suka. Baginya Early terlihat sangat murahan. Satu tangan bebas Ares mencoba melepaskan tangan Early. Nihil, genggaman dari putri teman sang ibu justru semakin merekat kuat. Sembari jalan si tampan membuang napas kesal. Melirik sang ibu mencoba meminta bantuan dengan wajah muram, dibalas senyum tipis dari Terry. Dan ia hanya bisa pasrah.
Early menarik satu bangku untuk Ares duduk. Kedua wanita paruh baya itu tersenyum melihat perlakuan manis Early pada Ares. Semua telah duduk, Early masih mencari perhatian mengisi gelas kosong Ares dengan jus jeruk. Setelahnya ia duduk bersebrangan tepat di hadapan Ares.
"Silahkan mencicipi, maafkan kami jika hidangan di rumah ini tidak sesuai dengan selera kalian." Merlin berbasa-basi.
"Sama saja, selalu saja merendah," balas Terry.
"Kalau begitu selamat menikmati."
Suapan pertama Ares disambut pertanyaan antusias dari Early. "Bagaimana enak tidak? Satu hari ini aku membantu ibuku di dapur. Menyiapkan semua hidangan ini untuk calon suamiku," katanya memasang wajah berbinar centil.
Ares batuk-batuk. Menaruh sendok dan garpu lalu meraih gelas. Terry menepuk punggung sang putra. "Kamu baik-baik saja?" tanya Terry pada Ares.
Si tampan angkat tangan depan dada lalu menggeleng kepala. "Maafkan aku," Ares menjawab kalem. "Bisa aku tahu di mana toiletnya?" lanjutnya menyenggol kaki Terry.
Terry hanya diam, ia hampir tertawa kencang melihat tingkah lucu Ares. Terry yang mengerti maksud sang putra hanya tersenyum maklum.
"Sayang antar Ares ke kamar mandi." Perintah Merlin dengan senyum, menyentuh bahu sang putri menyuruh Early untuk mengantar Ares.
Si tampan menggeleng kepala lemah menolak secara halus, "Biar aku sendiri saja. Beritahu aku harus ke arah mana!" sahut si tampan tanpa mengurangi rasa hormat pada teman sang ibu.
Merlin menarik senyum samar. Sebenarnya tidak suka perintahnya di tolak. "Dari sini belok ke kiri, kamar mandi di samping tangga menghadap area belakang rumah."
Ares mengerti, mengucapkan terima kasih ia beranjak keluar meja makan. Sampai samping tangga ia menemukan sebuah pintu cokelat. Tangan Ares hampir menyentuh gagang pintu kamar mandi. Ia terkejut saat pintu terbuka menampilkan gadis manis kecil dengan hidung merah dan mata bengkak.
Cherry tak kalah terkejut. Ia menunduk guna menyembunyikan wajah. Geser ke kiri diikuti, geser ke kanan diikuti. Cherry mencebik kesal. "Minggir," ketusnya terpaksa angkat kepala, menyorot Ares sebal.
Ares menelisik wajah manis di hadapan terlihat sangat kacau.
Habis nangis, eh.
"Kamu gadis di atas balkon tadi?"
Cherry memilih tak menjawab, ia hampir melangkah. Bukan menyingkir memberi jalan, tangan Ares memblokir jalan Cherry. "Jawab dulu." Menghalangi saat gadis itu hampir melipir pergi.
Menutup mata Cherry mencoba bersabar. "Apa maumu?" suaranya sangat pelan, ia tak mau membuat kesalahan dan berakhir diusir dari rumah.
"Wajahmu sembab seperti habis menangis."
Seketika Cherry langsung menunduk. Mengumpat dalam hati, ia yakin wajahnya saat ini pasti terlihat aneh. "Beri aku jalan,"
Ares menautkan alis merasa bingung kenapa gadis ini tak seperti gadis lain. Langsung terpesona saat pertama kali bertemu. Gadis ini justru memasang wajah anti jatuh hati.
Ah, gadis menarik.
"Itu bukan jawaban." Ucap Ares sedikit memaksa, masukkan kedua tangan ke dalam kantong celana si tampan kembali bersuara. "Kenapa tidak ikut makan malam?"
Cherry angkat kepala merotasi bola mata malas. Menggeleng singkat sebelum menjawab. "Tidak minat, okey. Sekarang minggir...," Cherry menahan napas saat Ares tiba-tiba menghimpitnya ke pintu. Ia mendongak mendapati tatapan elang si pria. Cherry meneguk liur susah, tingginya sebatas dada pria itu. Jantung si gadis manis semakin berdetak kuat. Kala pria itu menunduk.
"Ka-kamu mau apa?" tangan Cherry terangkat menyentuh bagian perut si pria. Berusaha menahan supaya mereka tak terlalu rapat.
"Siapa namamu?" tanya Ares tak lebih dari sebuah bisikan maut, membuat bulu kuduk Cherry merinding. Tatapan mereka bertemu, jarak wajah mereka sangat dekat. Irama lain Ares rasakan dalam dada.
Cherry hanya diam tak minat menjawab pertanyaan pria songong itu. "Minggir Tuan, aku...," Cherry menggantung kalimatnya. Kehilanan kata.
Tuan?
Ares semakin mengerut alis. Sekarang ia dipanggil Tuan oleh gadis ini. Satu sudut bibir si tampan terangkat. "Beritahu aku siapa namamu?" perintah si tampan.
Cherry menarik napas kecil, menatap kesal pada si pria. Cherry akui pria itu sangat tampan tapi melihat tingkah tak sopan seperti ini, ia menyimpulkan kalau pria itu tipe playboy bangsat. "Dengarkan aku Tuan, aku pembantu di rumah ini. Aku tak mau diusir sebelum gaji bulananku dibayar. Jadi tolong...,"
"Ares,"
Suara Cherry terpotong, saat mendengar suara Early. Cherry gelisah, segera mendorong tubuh Ares masuk kamar mandi dan menutup pintu. Di dalam sana ia berdoa berharap pria itu tak mengatakan apapun.
"Kenapa lama sekali? Kamu sudah selesai?" suara Early begitu melihat Ares berdiri di depan kamar mandi.
Ares mengusap belakang leher. Ia memberi senyum menawan pada Early. "Yeah, baru saja selesai,"
Early merona. Ares tak mempedulikan. Si tampan melangkah menjauh dari kamar mandi disusul Early. Sampai ruang makan, ia melihat sang ibu dan Tante Merlin sedang berbincang.
"Ares, kenapa lama? Ada masalah?" Kata Terry melihat sang putra mendekat.
"Ah, tidak ada."
"Tak apa," Merlin menyahut. "Ah, Early sayang! Ibu rasa makanan Ares perlu diganti."
Kepala Early terangguk sekali. Suara tak setuju Ares lebih dulu terdengar, menghentikan gerakan tangan Early. "Tak perlu, aku ingin kopi."
Merlin tersenyum senang. Permintaan dari Ares seperti angin segar tanda menyambut kebaikan darinya. "Tunggu sebentar, biar maid buatkan untukmu."
Mereka beranjak dari ruang makan ke ruang tamu. Berbincang lebih santai saling mengakrabkan diri. "Bukankah anakmu tiga, dan ini putrimu yang nomor berapa?" tanya Terry pada Merlin.
Sedangkan Ares, si tampan menunggu kopi pesanan dengan gelisah. Iris pria itu sesekali melirik arah dapur jauh dibalik tembok.
"Ini putriku nomor dua. Putri pertamaku sedang pergi makan malam bersama tunangannya. Lalu putraku yang ketiga ia sedang ada urusan kuliah." Jelas Merlin pada Terry.
Ares mendengar itu langsung mengerut dahi samar. Seorang maid datang membawa secangkir kopi. Menaruhnya di atas meja dan segera berlalu dari sana. Ares mengusap dagu. Manik hitam miliknya menyusuri tiap sudut ruang tamu. Tak ada pigura besar sebagaimana biasanya terpajang sebagai hiasan serta kepemilikkan si Tuan rumah. Obsidian Ares menelisik ruang tamu, ada beberapa pigura kecil namun tak ada gambar sosok yang ia cari.
Pembantukah!?
Hati Ares semakin dibuat penasaran. Dan lagi apa yang tadi dikatakan Tante Merlin. Kalau Early adalah putri kedua, bisa jadi gadis tadi adalah putri pertama. Ataukah benar gadis itu pembantu di rumah ini? Oh, ayolah Ares tak sebodoh itu dan mudah tertipu. Bagaimanapun penampilan gadis itu tak terlihat seperti seorang pembantu. Asyik melamun ponsel Ares dibalik saku bergetar, meraih ponsel ia meminta izin berlalu dari sana. Kaki Ares membawanya melangkah keluar rumah, ia sengaja. Sampai depan iris tajam si tampan berkeliaran mencari sosok si manis.
Menatap lagi ke arah kamar gelap di atas sana. Ia yakin gadis itu ada di sana. Ah, ia lupa ponselnya masih menempel di telinga. Padahal itu hanya keisengan belaka. Ares sengaja memasang alarm jam 20.05 pm. Lebih tepatnya lagi si tampan ingin segera pulang satu jam setelah acara makan malam. Namun ada sosok manis tadi membuat Ares begitu penasaran. Hatinya tergelitik melihat wajah sembab juga merasa lucu pada sikap ketus si gadis. Si tampan menghela napas kecil lalu menarik sudut bibir. Menunduk serta mengusap tengkuk tidak pegal.
Bagaimana bisa ini terjadi padaku? Kenapa begitu penasaran pada sosok itu.
Cukup lama Ares berdiam diri di halaman rumah, hanya memandangi kamar gelap si gadis. Setelah puas ia memutuskan masuk lalu mengajak sang ibu untuk berpamitan. Ares mengatakan ada keperluan mendadak yang harus dikerjakan.
"Jika ada waktu lagi jangan sungkan untuk mampir." Merlin masih mencoba menarik perhatian Ares untuk menatap Early di sampingnya.
"Iya Tante—Ares, sering-sering berkunjung ya." Early menambahkan, gadis itu mengumbar senyum manis yang membuat Ares mual.
"Terima kasih, kami permisi." Ares to the point.
Terry memasang wajah kaku, kebiasaan sang putra sangat sulit dihilangkan. "Maafkan kami hanya sebentar, lain waktu aku kabari jika ingin berkunjung. Kalau begitu kami permisi," kata Terry pada Merlin.
"Aku tunggu kabar baiknya. Hati-hati di jalan." Sahut Merlin.
Sebelum masuk mobil manik hitam Ares kembali melirik ke arah kamar lantai dua lewat sudut mata. Masih gelap tak ada tanda-tanda gadis itu akan keluar atau mungkin sudah tidur.
"Oh, ya Tuhan aku pasti gila! Aku sangat berharap" gumam Ares pada diri sendiri.
Mobil hitam sexy meluncur keluar halaman rumah. Meninggalkan sejuta rasa penasaran Ares begitu ketat, pada sosok gadis manis yang menarik simpatinya saat pertama bertemu.
Inikah cinta pada pandangan pertama.
Lagi-lagi Ares merasa geli pada kalimat aneh itu. Kenapa secara tiba-tiba singgah dalam kepala!? Dua sudut bibir Ares kembali tertarik ke atas lalu menggeleng kepala sangat geli dengan rasa ingin tahu kuat.
Terry sadar ada yang aneh pada sang putra setelah meninggalkan rumah Merlin. "Kamu kenapa?"
Sekilas Ares melirik sang ibu. "Tidak ada."
Wanita paruh baya itu merasa was-was. Manik Terry memperhatikan lagi aksi senyum aneh di wajah sang putra. Terry menyentuh kalung salib melingkar indah di leher. Ia mulai berdoa pada Tuhan, berharap sang putra tidak terjangkit penyakit siput gila.
Ares memantaskan diri depan cermin. Si tampan memakai kemeja putih juga jas abu-abu melekat di tubuh. Membuka pintu kamar lalu turun untuk sarapan. Sampai anak tangga terakhir si papa tampan disambut tawa ceria sang putra. Senyum menawan Ares menebar warna rona merah muda di wajah para maid. Begitu dahsyat pesona papa muda. Satu kecupan hangat mendarat di pipi sang putra. Cup. "Putra tampan papa sudah bangun." Mencium gemas pipi Prime. "Daddy... daddy..." Prime tampak protes dengan kelakuan si papa tampan. "Apa dia sudah sarapan?" tanya Ares pada baby sitter. "Sudah Tuan besar tapi hanya sedikit. Selebihnya Tuan muda diberi minum jus alpukat." Jelas si baby sitter. Kepala Ares terangguk. "Pastikan gizinya seimbang. Putraku baru sembuh." Kata si Tuan tampan mengingatkan. Flashback on Hari terang berganti gelap saatnya beranjak dari tempat me
Wajah tampan Ares sedang berbinar senang. Telepon genggam masih menempel di telinga. Seseorang memberi kabar baik sampai si Tampan terus menyungging senyum menawan. "Wow, lebih cepat dari dugaan aku," kata papa tampan memberi pujian pada sahabatnya. "Pastikan dia mau datang," tetap memberi perintah mutlak tak terbantah. "Yeah, aku tunggu kabar baik darimu." Kira-kira seperti itu percakapan telepon antara Scott dan Ares. Papa tampan kembali menatap laptop. "Ares," Baru saja panggilan telepon terputus. Panggilan suara lembut malaikat tak bersayap mengusik gendang telinga. Pintu ruang kerja Ares terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Menampilkan sosok sang Ibu menggendong Prime dengan dot karet menempel pada mulut bocah laki-laki itu. "Ada apa, Bu?" Ares mengalihkan fokus dari laptop di atas meja, menatap sang ibu. "Aku minta izin padamu, membawa Prime ikut bersamaku besok." Terry duduk di sofa putih ruang ke
Tiga jam berlalu. Hujan tak kunjung reda. Gigi gadis manis saling bergemeletuk, kakinya gemetar tidak bisa diam. Tangan mungil gadis itu coba merapatkan blazer basah kuat-kuat pada tubuh. Cherry mencoba hangatkan diri disela-sela kekuatan tersisa dengan wajah telah pucat pasi serta bibir bergetar nyaris membiru. "Ya Tuhan, dingin sekali," cicit Cherry merasakan tubuhnya hampir membeku, uap dingin pun menyembur dari celah bibir. Angin kencang, hujan serta suara petir mewarnai langit. Punggung Cherry bersandar, "Kapan hujan ini akan reda?" suara gadis manis putus-putus, bermonolog sendiri. Menyorot pada area jalan sekitar terlihat beberapa mobil melintas. Sadar sesuatu Cherry merogoh kantong blazer keluarkan telepon genggam. "Yah, hmm ...," lirih gadis manis menemukan layar ponsel tampak berembun dan mati. Ibu jari Cherry menekan-nekan tombol power. Berharap ponsel miliknya masih bisa diselamatkan. "Hah,
Sabtu kelabu. Yah, setidaknya kata itu pantas disematkan untuk Ares si pria tampan, rupawan, menawan dan oh—kasihan. Lihat saja betapa kacau wajah pria tampan itu. Duduk di kursi putih dalam kamar, dengan kedua tangan terjalin menempel di atas perut. Kepalanya bersandar pada punggung bangku, ia menatap langit-langit kamar. Hati papa tampan di gulung awan mendung. Seperti cuaca di langit hari ini gelap cenderung abu-abu namun tak basah, kering merana. Isi kepala papa tampan masih terus mengulang kejadian beberapa saat lalu tanpa bisa menghindar. Berputar ke waktu lalu lebih lama lagi, ia mengingat ucapan Tante Merlin mengenai tunangan si gadis. Benarkah gadis itu telah bertunangan? "Shit," tiba-tiba Ares mengerang kesal. Papa tampan memaki, tanpa sebab—tanpa alasan berarti. Kepala Ares menunduk, mengepalkan tangan kemudian menutup mata menetralisir emosi yang sedang bergolak ingin meledak. Helaan napas panjang (lagi) berat ratusan kali terdengar, mengisi ruang luas nan rapi. Getar
Cherry baru saja selesai membersihkan diri dari debu dan keringat setelah seharian ia berjalan mencari pekerjaan. Menutup pintu kamar mandi, tangan gadis itu sibuk mengusap-usap keringkan rambut basah dengan handuk kecil. Si manis melangkah, berdiri depan meja hitam kecil, ia membuka tas lalu meraih ponsel. Ada tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry mengulum senyum kecil, ibu jarinya menari cepat pada layar ponsel. Ia mengirim pesan, memberi kabar pada Leon kalau ia sudah sampai di apartemen. Menaruh ponsel, iris cantik Cherry tak sengaja melirik pada sebuah kartu nama dalam tas. Tangan Cherry bergerak ambil kartu dari dalam tas. Isi kepala si gadis mengingat ulang kejadian beberapa waktu lalu. Matahari telah tinggi bersinar sangat terik menyengat kulit, tak menyurutkan semangat si gadis untuk mencari kerja. Cherry berjalan melewati beberapa barisan toko dan cafe. Si gadis melangkah santai, sesekali melirik juga membaca papan tertulis depan toko atau cafe di sana. Yah, haru
Cherry menarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Mengayun kaki masuk ke dalam gedung perusahaan penuh percaya diri. Manik cokelat cherry berpendar kagum, perusahaan ini tak jauh beda dari milik mendiang sang ayah. Cherry menghela napas kecil ini memang sudah takdirnya. Tak bisa bekerja di perusahaan sang ayah, walau sekadar menjadi buruh upah harian. Sudahlah bukan berarti ia putus asa. "Semangat Cherry kamu pasti bisa. Yah, semangat." Cherry mengepalkan tangan ke udara. Berdeham saat beberapa mata tertuju padanya. Semakin dekat meja resepsionis, jantung gadis manis semakin berdegub keras. "Permisi," sapa Cherry pada wanita cantik di balik meja resepsionis yang diharuskan ramah pada setiap tamu. Wanita itu berdiri lalu mengulum senyum tipis menyambut ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" "Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang buka lowongan pekerjaan. Aku datang untuk melamar," ucap Cherry halus. Resepsionis mengerut dahi dalam, lantaran bingung. "Maaf n
"Oh, shit!" Early menggerutu kesal. Ares selalu mengabaikan panggilan telepon darinya. "Are you oke?" tanya Nella menyorot kamera pada Early. Early berpaling menatap sahabat disampingnya sedang menyeruput jus pome kesukaan dengan satu tangan menyiku di atas meja, memegang kamera. "Yeah," sahut Early menghembus napas kecil. "Sungguh?" tanyanya lagi melihat raut suram temannya. Early meraih sedotan meminum milkshake strawberry. "Yep, i'm oke," jawab Early lemah. "Woo ... tapi aku tidak yakin. Sangat jelas terjadi sesuatu padamu?" cecar Lina sahabat Early satu lagi. "Apa maksudmu?" Early memasang wajah pura-pura bingung, masih tidak ingin bicara. Nella menghembus napas. Menaruh kamera aktif di atas meja. Meraih satu spring roll keju ia asyik mengunyah dan menyimak percakapan kedua temannya. "Kamu menghubungi seseorang lebih dari tiga puluh menit yang lalu dengan menggigit ujung kuku. Dari gelagat kamu saja sudah sangat terlihat kalau kamu ingin sekali bicara dengan seseorang di se
Cherry mendesah gemas, duduk manis di sofa putih. Manik cokelat si gadis menjangkau ruang luas tak kalah dari ruang kantor lantai 20 gedung tempatnya bekerja. Bersih dan sangat nyaman. Ruang kerja seorang pebisnis muda. Manik indah si gadis manis mengamati seluruh ruang. Wow... apa itu! Cherry mengerjab sesuatu yang mencolok mata. Sebuah pigura berukuran ekstra besar berlapis emas dengan foto si pemilik ruangan. Wah, apa itu emas murni? Selera pria ini memang tidak main-main. Dari sekian banyak barang di sana, ada satu hal yang menarik perhatian si gadis. Sebuah foto anak bayi terpanjang mungkin usianya berkisar satu tahun lebih. Putranya tampan, Cherry mengagumi. Eh, di mana foto istrinya? Aneh hanya ada foto si bos dan putranya. Cherry penasaran melihat ada dua pigura di atas meja kerja si bos. Mungkin saja itu foto pernikahan. Kenapa tidak dipajang dengan pigura besar seperti foto pria itu? Menggeleng kepala Cherry membuang jauh-jauh
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me