"Oh, shit!" Early menggerutu kesal. Ares selalu mengabaikan panggilan telepon darinya.
"Are you oke?" tanya Nella menyorot kamera pada Early.Early berpaling menatap sahabat disampingnya sedang menyeruput jus pome kesukaan dengan satu tangan menyiku di atas meja, memegang kamera. "Yeah," sahut Early menghembus napas kecil."Sungguh?" tanyanya lagi melihat raut suram temannya.Early meraih sedotan meminum milkshake strawberry. "Yep, i'm oke," jawab Early lemah."Woo ... tapi aku tidak yakin. Sangat jelas terjadi sesuatu padamu?" cecar Lina sahabat Early satu lagi."Apa maksudmu?" Early memasang wajah pura-pura bingung, masih tidak ingin bicara.Nella menghembus napas. Menaruh kamera aktif di atas meja. Meraih satu spring roll keju ia asyik mengunyah dan menyimak percakapan kedua temannya."Kamu menghubungi seseorang lebih dari tiga puluh menit yang lalu dengan menggigit ujung kuku. Dari gelagat kamu saja sudah sangat terlihat kalau kamu ingin sekali bicara dengan seseorang di seberang sana. Aku simpulkan saat ini hatimu tidak dalam keadaan baik-baik saja. See, aku benar, 'kan?" jelas Lina, jari gadis itu bergerak sesuai irama nada bicara."Hah, kamu pandai membuka mata," kata Early sembari mengeluh. "Aku dijodohkan. Kalian tahu, sejak awal aku sudah menolak hubungan ini, tapi pria ini sangat ingin berdampingan denganku." Early berbohong.Lina dan Nella saling lirik seolah melakukan telepati."Yah, seperti yang kalian lihat sehari-hari. Banyak pria tampan bertahta selalu berusaha mendapatkan hatiku. Aku terlalu cantik untuk mudah dimenangkan," imbuh adik Cherry sangat berlebihan.Lina dan Nella tahu alias telah terbiasa melihat banyak pria di kampus mengejar Early sampai hilang akal. Lina akui Early sangat cantik memiliki tubuh ramping ideal dan satu lagi dia putri satu-satunya keluarga Thomas. Beruntung sekali terlahir menjadi Early Thomas. Meskipun terlihat sempurna, ada sifat Early yang tidak disukai banyak teman.Yah, tidak ada manusia yang sempurna. Sifat sombong, sok mengatur, selalu benar acapkali dijumpai. Banyak teman lebih baik menghindar dari pada mencari masalah dengan Early. Oleh karena itu, Early hanya memiliki dua teman, tak kurang-tak juga bertambah.Sahabat Early Nella mengerut alis dalam ingin memastikan sesuatu. Ambil kamera mengarahkan tepat pada wajah Early lalu bertanya. "Kalau seperti itu, kenapa dia tidak menjawab panggilan darimu?"Wajah Early tampak kesal menghadap ke kamera. "Seperti yang aku bilang tadi. Pria ini sangat ingin berdampingan denganku. Aku ingin bicara baik-baik padanya. Tapi ini selalu terjadi, pria itu selalu menghindar. Hah, dia tipe pria menyebalkan. Aku tak suka pria pemaksa seperti itu."Helaan napas Early meluncur berat layaknya seseorang sangat frustrasi.Lina sahabat Early manggut-manggut. Ucapan Early cukup masuk di akal. "Kamu tidak coba datang ke kantornya?" saran Lina jengkel juga mendengar sifat ingin menang sendiri pria itu.Eh, kalau dipikir-pikir sifat Early dan pria itu sama. Jodoh memang menarik. Nella berbisik dalam hati."Sudah tempo hari, pria itu membawa diriku ke tempat makan sangat romantis. Pria itu sangat ingin meraih cinta dan hatiku."Siluet dirinya dan Ares makan berdua di cafe biasa muncul dalam benak.Plop.Jari telunjuk bercat kuku pink pastel Early memecahkan gelembung kenangan buruk di atas kepala. Meraup napas lebih rakus, lalu menghembuskan secara kasar. Ingatan makan siang bersama Ares sama sekali tidak menyenangkan. Ares bahkan tidak menyentuh makanan yang telah dipesan. Pria menyebalkan dan pujaan hatinya itu terlalu sibuk dengan ponsel dan sambungan telepon masalah pekerjaan."Bagaimana tampilan pria itu?"Bola mata Early memutar ke atas tampak berpikir keras. "Yah, dia pria lumayan kaya. Tapi tidak sebanding dengan harta papaku. Ukuran tampang menurutku lumayan. Mmm ... kira-kira nilai pria itu 65 mungkin." Early mengerling jijik.Ya ampun, bayangan siapa yang sedang di bicarakan Early.Lina melongo tak percaya. "Holy moly... dijodohkan dengan pria bukan standarmu. Ibumu sangat tidak kompeten memilih calon menantu."Kedua kepala temannya menggeleng pias, memasang raut sedih merasa iba untuk nasib sial Early.Nella memasang raut sedih. "How pitty you are?" ucapnya turut berduka cita.Early mendengus, ikut menampilkan wajah tersiksa. Ia tertawa puas dalam hati. Sang ibu justru sangat tahu tipenya. Dan Ares bukanlah pria seburuk itu untuk digosipkan apalagi direndahkan. Early terlalu gengsi jika ada seorang yang menolaknya. Di sekolah ataupun kampus putri keluarga Thomas itu selalu menjadi incaran para lelaki untuk dijadikan teman kencan.Tentu saja Early menolak jika lelaki yang mendekatinya hanya pemilik toko pinggir jalan. Sadisnya Early juga mengatakan 'level kita berbeda, menurutku kamu seperti tukang sampah. Mengais rezeki dari energi bau busuk'.Kejam dan tak bermoral julukan Early selalu melekat sampai sekarang. Seluruh teman-teman Early hanya tahu kalau Early adalah putri semata wayang dari keluarga Thomas. Mereka tak pernah tahu kakak Early. Saat sang ayah meninggal Early masuk ke sekolah favorit. Sedang Cherry, gadis itu melanjutkan sekolah di tempat biasa. Jika seorang teman berkunjung ke rumah Early tak segan mengatakan Cherry adalah anak pembantu.****Ares tersenyum kecil mengingat kejadian tadi siang. Ia sengaja menunggu Cherry keluar kamar mandi dan duduk di sofa kecil samping jendela ruang pribadi. Yah ini kali pertama, ia membiarkan perempuan masuk ke area pribadinya. Setiap harinya ada office boy yang bertugas membersihkan. Ares tak mengizinkan office girl masuk sekadar merapikan barang. Ares selalu ingin menghindar dari komentar netizen.Ares Allan jauh dari kata gosip. Pria itu selalu aman menjalin hubungan dengan lawan jenis tanpa adanya gosip berlebih. Setelah hubungan berakhir pun tidaak ada berita heboh. Hanya selentingan kilat lalu menguap begitu saja.Sekretaris dan Chef laki-laki. Sifat Ares berbeda dari sang ayah, ia tak ingin memiliki sekretaris perempuan. Menurutnya perempuan lebih menggunakan perasaan dari pada berpikir. Ares sangat menghindari konflik internal. Si tampan tak ingin konsentrasinya terganggu hanya kerena masalah sepele.Memilih sekretaris laki-laki, kala Ares selalu berpergian dinas kemanapun. Ares merasa akan aman jika memang harus satu ruang inap dengan sang sekretaris. Dan Chef pribadi. Ares tidak terlalu suka bicara berulang kali. Tak ingin bersusah payah mengingatkan seseorang untuk menyiapkan kopi untuknya. Ares juga lebih sering makan di kantor dari pada harus keluar. Ares selalu ingin memanjakan lidah dengan hidangan juga minuman sesuai selera pria itu.Telinga si tampan mendengar seseorang keluar kamar mandi Ares sengaja masih berdiam diri. Bunyi kotak obat terbuka dan tak lama ia bisa melihat gadis itu berbalik menatap penuh antisipasi. Si papa tampan sempat tak mengerti arti tatapan waspada si gadis. Terlebih dirinya bukan hantu sampai si gadis tak bisa melihatnya sedang duduk dekat jendela.Melihat gadis itu berbalik. Ares berdiri berniat mendekat. Geli itu muncul saat Ares melihat wajah pucat cemas si gadis."Sial, apa yang aku pikirkan?" kata si gadis sangat jelas masuk ke dalam gendang telinga Ares."Beritahu aku, apa yang kamu pikirkan?" Ares berjalan mendekat, gadis itu berbalik menatapnya was-was. "Cepat beritahu aku?" perintah si bos mutlak, angkat sudut bibir mengulas senyum mengerikan."Pe-perih luka ini sangat perih," menunjukkan sikut yang terluka. Jelas pita suaranya terdengar putus-putus.Ares melirik ke arah sikut Cherry, tak peduli debaran jantung si gadis, ia melangkah semakin mendekat. Tangan Ares terulur, Cherry menutup mata. Sayang sekali tepat saat si gadis menutup mata Ares tersenyum lebar, oh sangat tampan. Tangan ares meraih plaster dalam kotak menempelkan benda berwarna cokelat tersebut pada sikut Cherry.Gadis manis membuka mata, melirik ke arah sikut sudah terbalut plaster. Iris cokelat Cherry melirik Ares. Kelopak hitam bos tampan menyipit memberi tatapan layak mangsa menemukan target. Dua langkah maju hampir menghimpit Cherry."Mundur," kata Cherry tangan gadis itu lebih dulu menahan gerak tubuh Ares."Kamu memberi perintah padaku."Hell, dia memang menyebalkan."Kamu selalu seperti ini?" tanya Cherry suaranya kesal, kilat mata si gadis seolah menantang Ares."Kamu juga selalu seperti itu," jawab Ares kalem."Seperti itu!" Cherry membeo."Nadamu ketus, tatapan tidak ramah, bicara bohong, takut padaku dan sekarang berani memerintah." Baritone si tampan tak lebih mengalun datar.Cherry meneguk saliva payah. Tiba-tiba momen pertama kali mereka bertemu muncul. Bukan salah Cherry sepenuhnya, melainkan sifat bossy pria ini yang meminta sikap antisipasi membara. Tatapan mereka kembali terpaut manik hitam pekat milik Ares tak mampu membuat manik cokelat Cherry berpaling ke lain arah. Ia menunduk menetralkan udara dalam paru-paru.Apa aku harus minta maaf. Tapi itu sudah berlalu, kenapa harus dibahas sekarang. Demi Tuhan aku di sini untuk bekerja."Bagus kamu malah melamun?"Cherry angkat wajah. "Aku ... bisa saya bekerja, Tuan?""Kamu bekerja untukku.""Kamu ingin menjebakku?""Itu pendapatmu. Aku memang butuh seseorang merapikan tempat pribadiku."Ares melipir dari depan Cherry. Si gadis bernapas lega menyentuh dada. "Bersihkan ruangan ini setiap hari. Jangan sampai ada debu tertinggal sedikit pun.""Aku kira pekerjaanku sama dengan petugas kebersihan lainnya.""Jangan kerjakan apapun selain dari yang aku perintahkan. Kamu bekerja di sini, di ruangan ini. Jangan berani melanggar, aku tak segan memberi kamu hukuman, mengerti!""Aku ....""Bersihkan."Perintah Ares tak mau dengar alasan Cherry ia keluar ruangan. Cherry bergegas membersihkan ruangan."Ok," sahut Cherry meski itu sangat terlambat.***Wajah Ares masih berbinar senang. Alis si tampan berkerut. Senyum manisnya luntur. Satu hal yang membuat hati Ares penasaran, di mana gadis itu tinggal? Jika dugaan Ares terbukti benar Cherry adalah anak pertama keluarga Thomas. Lalu pernyataan Tante Merlin yang mengatakan putri pertama keluarga tersebut sudah bertunangan masih menjadi misteri.Isi kepala Ares sejenak memutar ulang kejadian saat hujan. Pria yang sedang bersama Cherry saat itu menarik koper hitam besar. Cherry terlihat sedih sempat menangis dalam pelukan si pria. Atau gadis itu hamil. Secara otomatis pria itu membawa Cherry untuk hidup bersama. Ah, tidak mungkin jika memang gadis itu hamil, seharusnya Cherry memilih beristirahat bukan bekerja hampir mustahil tapi dapat terjadi.Terjadi.Mendadak Ares sadar. Apa yang bisa dilakukan sepasang kekasih saat berdua di apartemen. Apa mereka juga satu tempat tidur?"Triple shit!" Ares bergegas mencari nomor telepon Cherry, yang bodohnya ia lupa menyimpan.****Cherry menguap. Ia baru saja pulang dan menutup pintu apartemen. "Uh ... aku sangat lelah," keluhnya menuju dapur ambil gelas dan botol dari lemari es, ia melepas dahaga.Dari dapur ia langsung masuk kamar. Si gadis merentangkan tangan melempar tubuh lelah ke atas ranjang. Tersenyum senang akhirnya ia mendapatkan pekerjaan. Tubuhnya bangkit melangkah ke arah balkon kamar membuka kaca tersebut ia menyapa langit."Terima kasih Tuhan, hari ini dan pekerjaan sederhana itu sangat berarti untukku."Cherry meneteskan air mata. Berdoa dalam hati semoga pekerjaan ini bisa bertahan lama. Tidak seperti pekerjaan sebelumnya gadis itu selalu was-was dengan putus kontrak. Hhmm ... bicara tempat kerja dulu Cherry jadi rindu kedai tersebut. Ada beberapa teman yang telah menjadi karyawan tetap di sana. Jika ada waktu diakhir pekan mungkin ia akan berkunjung, sedikit bernostalgia. Ia rasa ide itu bukan ide buruk.Cherry menutup jendela. Masuk kamar mandi lalu membersihkan diri. Tak butuh waktu lama, tubuh si gadis merasa lebih segar, memilih memakai piyama motif bunga matahari, Cherry menepuk jidat lupa belum mengabari sang adik. Buka tas si gadis ambil ponsel, dan benar ada lima pesan serta tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry membaca pesan tersebut, lalu mengirim pesan balasan.Sembari menunggu ia membawa ponsel keluar kamar. Cherry melangkah ke dapur. Menaruh ponsel di atas meja makan, ia buka lemari kaca ambil mie instan Korea Hot chicken ramen buldak cheese kesukaan Cherry. Rebus air, Cherry menyiapkan topping sosis jumbo di potong menjadi empat bagian panjang serta telur. Malam ini Cherry terlalu lelah untuk memasak. Ia putuskan hanya ingin makan mie instan.Cherry buka segel bumbu tuang dalam piring keramik, aroma bumbu mie menggoda melambai memanggil cacing dalam perut si gadis berkumpul. Selagi menunggu mie matang Cherry menggoreng sosis. Mie dan sosis telah matang si gadis meraih chopstick "Wah ... sangat nikmat," puji si gadis seolah tak pernah makan mie.Ponselnya bergetar, Leon menghubungi lewat video call. Cherry tersenyum tanpa buang waktu ia angkat panggilan tersebut. Wajah tampan Leon terlihat lelah juga sebuah bantal."Hai, kamu sudah sampai?" tanya Cherry. Leon memberi kabar jika ia pergi lebih cepat dari jadwal."Seperti yang kamu lihat. Bagaimana pekerjaan kakak?" melipat satu tangan di belakang kepala."Lancar. Kamu sudah makan?" mengumbar senyum senang dan tertular pada sang adik.Leon menggeleng. "Nanti saja."Cherry menyimpan sosis dalam pipi. "Jangan telat makan. Kamu juga terlihat sangat lelah. Kamu bisa sakit di sana."Leon terkekeh. "Iya, aku sudah pesan."Kamera belakang ponsel Leon hidupkan menampilkan sekretaris Leon membawa box pizza lalu mengganti lagi kamera depan. "Kakak mau?" tawar Leon angkat satu slice pizza lalu menggigit.Cherry menggeleng. "Tidak, aku memang ingin mie, telur dan sosis.""Baiklah, aku tutup dulu teleponnya."Kepala Cherry terangguk. "Makan yang banyak, jaga kesehatanmu.""Kakak juga jaga kesehatan, jangan selalu isi perut dengan mi instan!" seru Leon.Cherry tertawa. Ibu jari Cherry mengacung bergerak lucu depan kamera. Sambungan terputus si gadis melanjutkan acara makan malam sampai tak tersisa.Tuk. Bunyi gelas terbentur meja kaca nyaring terdengar."Ah ... kenyang."Desah nikmat Cherry menepuk-nepuk perutnya lalu berdiri membawa piring dan gelas kotor ke wastafel."Selesai," ucapnya senang.Ambil ponsel di atas meja Cherry keluar dapur, langsung masuk kamar. Matikan lampu, naik ranjang dan ....Cherry mengerang jengkel ponselnya kembali bergetar."Nomor siapa?" cicit Cherry menatap layar ponsel.Nomor tak dikenal tertera pada layar, melipat bibir tipis ia ragu untuk menjawab. Ibu jari Cherry menggeser pelan tombol hijau pada layar. Menempelkan benda pipih canggih ke daun telinga, detik itu juga iris Cherry melebar.Cherry mendesah gemas, duduk manis di sofa putih. Manik cokelat si gadis menjangkau ruang luas tak kalah dari ruang kantor lantai 20 gedung tempatnya bekerja. Bersih dan sangat nyaman. Ruang kerja seorang pebisnis muda. Manik indah si gadis manis mengamati seluruh ruang. Wow... apa itu! Cherry mengerjab sesuatu yang mencolok mata. Sebuah pigura berukuran ekstra besar berlapis emas dengan foto si pemilik ruangan. Wah, apa itu emas murni? Selera pria ini memang tidak main-main. Dari sekian banyak barang di sana, ada satu hal yang menarik perhatian si gadis. Sebuah foto anak bayi terpanjang mungkin usianya berkisar satu tahun lebih. Putranya tampan, Cherry mengagumi. Eh, di mana foto istrinya? Aneh hanya ada foto si bos dan putranya. Cherry penasaran melihat ada dua pigura di atas meja kerja si bos. Mungkin saja itu foto pernikahan. Kenapa tidak dipajang dengan pigura besar seperti foto pria itu? Menggeleng kepala Cherry membuang jauh-jauh
Status nenek tidak mengubah gaya penampilan modis Terry. Wanita berumur 51 tahun tersebut sangat mengikuti trend mode kekinian. Tak jarang banyak wanita paruh baya seusianya mengikuti gaya berpakaian Terry. Modis, dinamis dan sederhana. Hampir semua warna telah di-mix olehnya. Tak salah jika beberapa perancang busana pernah meminta saran dari Terry untuk keluaran koleksi baru mereka. Yah, Terry sang mantan model sangat berbakat dan terkenal pada masanya. Terry sempat menjadi pusat perhatian, dipuja-puja banyak kalangan terutama kaum pria. Banyak pihak kecewa lantaran Terry memutuskan pensiun dari dunia meliukkan tubuh di atas panggung setelah James Allan pria yang berhasil merebut hati Terry dan menjadikannya istri idaman. Memiliki seorang putra bernama Ares Allan dan kini kebahagiaan keluarga James dan Terry bertambah sejak mereka mempunyai seorang cucu. "Morning," James datang dari belakang memberi kecup sayang pada pipi istri tercinta
"Aku pilih ini!" Early menunjuk satu set perhiasan terbaru bermata Ruby lantas menoleh pada Merlin sedang memilih kalung berlian. "Yang mana, Bu?" tanya Early. Merlin mendesah, semua deretan kalung berlian depan mata terlihat sangat indah. "Biar aku pilihkan," kata Early mengamati tiga kalung yang telah dipilih sang Ibu. "Ini saja terlihat mewah." "Ah iya, bungkus yang ini! Pilihan putriku memang selalu tepat." Puji Merlin, Early selalu senang mendapat pujian. Pelayan toko tersenyum ramah. Membungkus dengan kotak cantik khas toko perhiasan tersebut lalu memasukannya ke dalam paper bag. Merlin memberi kartu hitam, setelah membayar mereka bergegas keluar dari sana. "Bu," panggil Early manja. "Ada apa, Sayang? Ada yang ingin kau beli lagi?" tanya Merlin berhenti melangkah menatap putri tercinta. Early menggeleng, "Aku...." Early sengaja menggantung kalimat. Manik hijau gadis itu mengamati kead
Ini—gila. Ini hari ke tiga. Ini sangat menyebalkan. Cherry nyaris tak menemukan perumpamaan yang pantas untuk si Tuan besar. Pekerjaan gadis manis kini bertambah juga semakin merepotkan, dirinya menjadi baby sitter untuk putra kesayangan bos. Setiap pulang dari bekerja, Cherry selalu aman sampai rumah tanpa hambatan, tanpa gangguan. Namun menjelang jam 08.00 pm atau 09.00 pm ponsel Cherry selalu bergetar dengan nama kontak yang sama selama tiga hari berturut-turut. Dari lubuk hati terdalam Cherry sama sekali tidak ingin menjawab. Kendatipun bisa ia lebih memilih abai, menyumpal telinga dengan kapas dan pergi ke alam mimpi. Menyenangkan? Tentu saja tidak, hal tersebut bagian dari khayalan sederhana. Jika Cherry melakukan hal tersebut tidak diragukan lagi. Cherry yakin, seratus triliun persen kalau besok paginya saat sampai di lantai 20 dan masuk ruang kantor, surat pemutusan kerja telah menanti untuk dipoles bubuk tinta hitam, dan Cherry
"Ya ampun ranjang ... ranjang ... aku butuh ranjang." Cherry berjalan limbung setelah membuka pintu apartemen. Menggeret langkah terasa berat masuk ke dalam kamar melempar tubuh ke atas ranjang, naikkan kaki langsung menutup mata dan terlelap. Alunan dengkur halus gadis manis terdengar. Wajah lelah Cherry tak bisa lagi disembunyikan. Bekerja di kantor Ares memang tidak sulit atau juga sesederhana yang dilihat kasat mata. Membersihkan ruang kerja luas ditambah kamar pribadi bos membutuhkan tingkat ketelitian, kesabaran dan kebersihan super ekstra. Ada beberapa barang pecah belah, yang Cherry yakini seratus triliun persen itu bernilai selangit. Cherry perlu berhati-hati bergulat dengan barang mewah di sana. Salah sedikit uang gajinya tidak akan cukup untuk ganti walau satu barang. Ditambah tiga hari ini setiap malam hampir menjelang waktu rebahan. Gadis manis selalu mendapat telepon dengan alasan yang sama, terpaksa datang ke rumah super m
"Jelaskan!?" suara baritone sedang Ares terdengar mendesis sinis, tak ubah seperti pemburu berdarah dingin pada malam hari. Tipis, berbisik dan menikam. Habislah aku. Tenang, aku hanya perlu bicara, 'kan? Tubuh si gadis tiba-tiba merinding, berdoa dalam hati mengatakan pada bintang di langit jika Cherry mati malam ini tolong dimakamkan di sebelah sang ayah. Hah, percuma. Cherry gelisah menatap lurus obsidian si bos tampan lamat-lamat. Si gadis memaksa masukkan liur ke dalam kerongkongan telah aus. Cherry sangat paham mendengar suara Ares saat ini, papa tampan terlihat sedang menahan marah serta kesal setelah tahu kebenaran kalau ia sengaja matikan ponsel. Bukan salah Cherry juga, seharusnya si bos papa muda itu tahu batas dan beri Cherry waktu sekadar menyenangkan diri. Sekarang apa yang harus dijelaskan? Bukankah pria itu yang lebih wajib menjawab pertanyaan darinya tadi sore saat mereka berada di dalam mobil. Kenapa jadi berbalik? Oh, kau lupa
I hate monday. Tiga kata mengandung kesumat yang selalu dilontarkan anak sekolah ataupun para pegawai. Hari senin pagi seharusnya disambut dengan hangat serta semangat. Bagi sebagian pekerja menjalankan tugas di hari minggu pertama sangat berat. Lebih-lebih bagi mereka yang memiliki sangkutan, bermasalah dengan laporan atau dokumen diakhir pekan, bisa jadi itu awal mula I hate monday tercetus sebagai hari sial. Hari buruk dan serasa ingin melompati langsung menuju ke hari selasa, itupun kalau bisa. Baru saja Cherry menginjakkan kaki sampai di lobi gedung perusahaan. Kehadiran si Gadis lebih dulu disambut sorot mata tidak bersahabat dari para karyawati yang telah lebih dulu datang. Setiap pasang bola mata dari mereka seolah mencecar Cherry untuk bicara. Bicara apa? Paham perkara saja tidak? Memang apa yang sebenarnya terjadi? Bak air tenang di lautan Cherry tetap melangkah tanpa gemetar, berusaha tidak terprovokasi keadaan yang saat
"What the hell did you do to her," Suara lengkingan omel wanita paruh baya memecah menit-menit sunyi dalam kamar sepi Ares. Terry datang dengan raut murka serta mengumpat. Ares menutup mata hitungan kedip kejut. Seseorang datang membuka pintu kamar kasar dan marah-marah. Papa muda sedang menikmati wine kesukaan dan duduk dekat jendela terbuka. Papa muda menoleh manik hitam pekat miliknya menyorot datar pada sang Ibu. Bingung, tak juga mengerti. "Kau yakin tidak mengerti?" Dua sudut bibir Ares tertarik ke bawah lalu angkat bahu malas sama sekali tidak mau tahu. Terry menekan pelipis lantas bertolak pinggang, buang tatapan ke segala arah lalu menghela napas kecil. Sesaat amarah dalam diri redam dan Terry kembali menatap sang Putra sedang asyik mencumbu pinggir gelas menyesap wine candu. "Kau meninggalkan Early kemarin di mall. Pria macam apa dirimu? Di mana tanggung jawab ...." "... apa aku yang mengajaknya? Apa aku juga me
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me