"Aku pilih ini!"
Early menunjuk satu set perhiasan terbaru bermata Ruby lantas menoleh pada Merlin sedang memilih kalung berlian. "Yang mana, Bu?" tanya Early.
Merlin mendesah, semua deretan kalung berlian depan mata terlihat sangat indah.
"Biar aku pilihkan," kata Early mengamati tiga kalung yang telah dipilih sang Ibu.
"Ini saja terlihat mewah."
"Ah iya, bungkus yang ini! Pilihan putriku memang selalu tepat."
Puji Merlin, Early selalu senang mendapat pujian.
Pelayan toko tersenyum ramah. Membungkus dengan kotak cantik khas toko perhiasan tersebut lalu memasukannya ke dalam paper bag. Merlin memberi kartu hitam, setelah membayar mereka bergegas keluar dari sana.
"Bu," panggil Early manja.
"Ada apa, Sayang? Ada yang ingin kau beli lagi?" tanya Merlin berhenti melangkah menatap putri tercinta.
Early menggeleng, "Aku...."
Early sengaja menggantung kalimat. Manik hijau gadis itu mengamati kead
Ini—gila. Ini hari ke tiga. Ini sangat menyebalkan. Cherry nyaris tak menemukan perumpamaan yang pantas untuk si Tuan besar. Pekerjaan gadis manis kini bertambah juga semakin merepotkan, dirinya menjadi baby sitter untuk putra kesayangan bos. Setiap pulang dari bekerja, Cherry selalu aman sampai rumah tanpa hambatan, tanpa gangguan. Namun menjelang jam 08.00 pm atau 09.00 pm ponsel Cherry selalu bergetar dengan nama kontak yang sama selama tiga hari berturut-turut. Dari lubuk hati terdalam Cherry sama sekali tidak ingin menjawab. Kendatipun bisa ia lebih memilih abai, menyumpal telinga dengan kapas dan pergi ke alam mimpi. Menyenangkan? Tentu saja tidak, hal tersebut bagian dari khayalan sederhana. Jika Cherry melakukan hal tersebut tidak diragukan lagi. Cherry yakin, seratus triliun persen kalau besok paginya saat sampai di lantai 20 dan masuk ruang kantor, surat pemutusan kerja telah menanti untuk dipoles bubuk tinta hitam, dan Cherry
"Ya ampun ranjang ... ranjang ... aku butuh ranjang." Cherry berjalan limbung setelah membuka pintu apartemen. Menggeret langkah terasa berat masuk ke dalam kamar melempar tubuh ke atas ranjang, naikkan kaki langsung menutup mata dan terlelap. Alunan dengkur halus gadis manis terdengar. Wajah lelah Cherry tak bisa lagi disembunyikan. Bekerja di kantor Ares memang tidak sulit atau juga sesederhana yang dilihat kasat mata. Membersihkan ruang kerja luas ditambah kamar pribadi bos membutuhkan tingkat ketelitian, kesabaran dan kebersihan super ekstra. Ada beberapa barang pecah belah, yang Cherry yakini seratus triliun persen itu bernilai selangit. Cherry perlu berhati-hati bergulat dengan barang mewah di sana. Salah sedikit uang gajinya tidak akan cukup untuk ganti walau satu barang. Ditambah tiga hari ini setiap malam hampir menjelang waktu rebahan. Gadis manis selalu mendapat telepon dengan alasan yang sama, terpaksa datang ke rumah super m
"Jelaskan!?" suara baritone sedang Ares terdengar mendesis sinis, tak ubah seperti pemburu berdarah dingin pada malam hari. Tipis, berbisik dan menikam. Habislah aku. Tenang, aku hanya perlu bicara, 'kan? Tubuh si gadis tiba-tiba merinding, berdoa dalam hati mengatakan pada bintang di langit jika Cherry mati malam ini tolong dimakamkan di sebelah sang ayah. Hah, percuma. Cherry gelisah menatap lurus obsidian si bos tampan lamat-lamat. Si gadis memaksa masukkan liur ke dalam kerongkongan telah aus. Cherry sangat paham mendengar suara Ares saat ini, papa tampan terlihat sedang menahan marah serta kesal setelah tahu kebenaran kalau ia sengaja matikan ponsel. Bukan salah Cherry juga, seharusnya si bos papa muda itu tahu batas dan beri Cherry waktu sekadar menyenangkan diri. Sekarang apa yang harus dijelaskan? Bukankah pria itu yang lebih wajib menjawab pertanyaan darinya tadi sore saat mereka berada di dalam mobil. Kenapa jadi berbalik? Oh, kau lupa
I hate monday. Tiga kata mengandung kesumat yang selalu dilontarkan anak sekolah ataupun para pegawai. Hari senin pagi seharusnya disambut dengan hangat serta semangat. Bagi sebagian pekerja menjalankan tugas di hari minggu pertama sangat berat. Lebih-lebih bagi mereka yang memiliki sangkutan, bermasalah dengan laporan atau dokumen diakhir pekan, bisa jadi itu awal mula I hate monday tercetus sebagai hari sial. Hari buruk dan serasa ingin melompati langsung menuju ke hari selasa, itupun kalau bisa. Baru saja Cherry menginjakkan kaki sampai di lobi gedung perusahaan. Kehadiran si Gadis lebih dulu disambut sorot mata tidak bersahabat dari para karyawati yang telah lebih dulu datang. Setiap pasang bola mata dari mereka seolah mencecar Cherry untuk bicara. Bicara apa? Paham perkara saja tidak? Memang apa yang sebenarnya terjadi? Bak air tenang di lautan Cherry tetap melangkah tanpa gemetar, berusaha tidak terprovokasi keadaan yang saat
"What the hell did you do to her," Suara lengkingan omel wanita paruh baya memecah menit-menit sunyi dalam kamar sepi Ares. Terry datang dengan raut murka serta mengumpat. Ares menutup mata hitungan kedip kejut. Seseorang datang membuka pintu kamar kasar dan marah-marah. Papa muda sedang menikmati wine kesukaan dan duduk dekat jendela terbuka. Papa muda menoleh manik hitam pekat miliknya menyorot datar pada sang Ibu. Bingung, tak juga mengerti. "Kau yakin tidak mengerti?" Dua sudut bibir Ares tertarik ke bawah lalu angkat bahu malas sama sekali tidak mau tahu. Terry menekan pelipis lantas bertolak pinggang, buang tatapan ke segala arah lalu menghela napas kecil. Sesaat amarah dalam diri redam dan Terry kembali menatap sang Putra sedang asyik mencumbu pinggir gelas menyesap wine candu. "Kau meninggalkan Early kemarin di mall. Pria macam apa dirimu? Di mana tanggung jawab ...." "... apa aku yang mengajaknya? Apa aku juga me
Kalian pernah menemui situasi di mana rencana yang telah disusun matang harus gagal dan tak pernah terwujud? Lalu menjadi sebaliknya kala rencana dadakan justru membuahkan hasil dan sukses di atas rata-rata. Wajah Ares berbinar, kali ini ia merangkai sendiri alur cerita tanpa sebuah rencana. Tanpa berbelit-belit memikirkan apa yang akan mereka lakukan nanti kala sampai tujuan. Oh, konyol, seperti punya nyali saja! Jelaga hitam Ares menilik Cherry sesaat, menggeleng kecil kala ia menemukan Cherry tampak gelisah menggigit bibir bawah dengan menarik napas berat. Bukan kemauan Ares juga lantaran maniknya bergulir memperhatikan bibir ranum itu tergigit. Rasa manis dari ciuman sepihak kemarin masih membekas dan ingin terus membelai bibir tergigit di sampingnya. Ares tersentak. Kepalanya kembali menggeleng kuat. Hah, fokus Ares! Berbisik pada diri untuk tak hilang kendali saat menyetir. Setelah pertikaian di kantor, eh, salah mungkin lebih (ke) Ares yang senan
"Kau tidak ingin bertanya?" Cherry mengusap pipi basah, menarik napas manakala tatapan manik hitam Ares kini terlihat lebih teduh. Gadis itu merasa lucu dengan suasana ini juga kondisi mereka berdua sekarang. Di dalam kamar pribadi hotel mewah milik bos muda tampan ini sama saja sedang berusaha saling mengakrabkan diri, dan konyolnya mereka bukan siapa-siapa atau sedang menjalin hubungan dalam konteks serius. Mereka hanya dua manusia yang pernah bertemu sekali di rumah mendiang sang Ayah, tanpa sengaja berjumpa lagi saat gadis itu melamar lantas menerima Cherry sebagai karyawan di perusahaan. Dan pada saat ini, duduk berdua di sofa mini saling berdekatan. Yang lebih absurd ketika Cherry menceritakan tentang keluarganya, padahal sebelum ini mereka tak pernah dekat. "Apa saja?" tanya Cherry santun masih mengatur napas. Takut dinilai tidak sopan. Bagaimanapun pria di sampingnya ini adalah bos besar di perusahaan tempat ia bekerja. "Hn," ambigu Ar
"Ares," Suara wanita paruh baya mengalun heran, mengerut alis dalam serta manik mata bergerak menatap dua insan di hadapan secara bergantian. Tatapan sinis serta jijik dialamatkan Merlin untuk gadis tepat di samping Ares. Wanita paruh baya itu sendiri tidak menyangka bertemu dua orang yang sangat ia kenal di area parkir hotel setelah acara makan malam bersama kerabat dekat. Tentu saja buah pikiran negatif Merlin melayang jauh di luar kepala. Dua insan keluar dari hotel menjelang hampir tengah malam. Oh sudah pasti, ibu dari Early membayangkan hal-hal yang biasa terjadi dikalangan para pengusaha dengan seorang wanita bayaran. Cih. Ah iya benar, dia jalang kecil sialan! Kemudian memaki laknat dalam hati wanita paruh baya. Satu tangan Merlin mengepal di sisi tubuh. Ia harus tetap tenang. Cherry tidak kalah terkejut, menahan napas kala manik gadis itu bertemu manik hijau milik sang Ibu. Sangat dingin serta kejam seolah mampu menikam
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me