Cherry baru saja selesai membersihkan diri dari debu dan keringat setelah seharian ia berjalan mencari pekerjaan. Menutup pintu kamar mandi, tangan gadis itu sibuk mengusap-usap keringkan rambut basah dengan handuk kecil. Si manis melangkah, berdiri depan meja hitam kecil, ia membuka tas lalu meraih ponsel.
Ada tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry mengulum senyum kecil, ibu jarinya menari cepat pada layar ponsel. Ia mengirim pesan, memberi kabar pada Leon kalau ia sudah sampai di apartemen. Menaruh ponsel, iris cantik Cherry tak sengaja melirik pada sebuah kartu nama dalam tas. Tangan Cherry bergerak ambil kartu dari dalam tas. Isi kepala si gadis mengingat ulang kejadian beberapa waktu lalu.Matahari telah tinggi bersinar sangat terik menyengat kulit, tak menyurutkan semangat si gadis untuk mencari kerja. Cherry berjalan melewati beberapa barisan toko dan cafe. Si gadis melangkah santai, sesekali melirik juga membaca papan tertulis depan toko atau cafe di sana. Yah, harus jeli, siapa tahu ia beruntung menemukan sebuah tulisan dibutuhkan segera. Walau nyatanya yang dijumpai hanya deretan kata-kata promo atau pengumuman diskon special sekadar menarik minat pembeli dan pelanggan.Langkah Cherry terhenti. Seorang pelayan cafe dekat bak sampah memanggil, melambaikan tangan. Manik Cherry berkeliling, ia menoleh dengan raut bingung. Melihat sekitar hanya ada beberapa orang melintas di sana. Ia menunjuk diri sendiri.Si pelayan cafe terkekeh melihat wajah linglung si gadis. Memberi gestur manggut, melambai mengajak si gadis mendekat. "Kamu sedang mencari kerja?" tanya si pelayan langsung to the point, melihat sebuah map di tangan Cherry.Iris Cherry bergulir pada map di tangan, lalu bergulir menatap si pelayan cafe. "Ah, iya. Apa cafe ini sedang membutuhkan tenaga ekstra?" Cherry antusias. Wajahnya berbinar senang, berharap pelayan tersebut mengatakan iya."Maaf, tidak ada," sahut si pelayan singkat, jelas dan padat.Bahu Cherry merosot tajam. Menundukkan kepala, ia menghela napas dalam. Padahal sesaat tadi si gadis sangat berharap. Sebuah kartu nama muncul di depan Cherry. Kepala si gadis menengadah, mengerjab mata menatap si pelayan cafe."Ambil untukmu," tangannya bergerak, ia ingin Cherry menerima kartu tersebut.Meski ragu Cherry ambil kartu nama tersebut. "Ini apa?" tanya si gadis.Pelayan tadi tersenyum, masukkan kedua tangan dalam kantong. "Seorang pelanggan memberikan kartu nama itu padaku. Orang itu mengatakan perusahaan tempatnya bekerja membutuhkan tenaga kerja baru. Tidak disebutkan untuk bagian apa, kuharap itu bisa membantumu. Jadi ambil saja," kata pelayan cafe.Cherry membaca nama dan alamat perusahaan tertera. Senyum si gadis manis mengembang senang semoga ia beruntung. "Terima kasih," ucap si gadis senang masih dengan senyum manis.Kepala si pelayan cafe terangguk. Menepuk pundak Cherry dua kali bermaksud memberi semangat. "Good luck girl," katanya kemudian pergi dari sana meninggalkan Cherry yang masih memandangi kartu.Yah, good luck for me. Batin si gadis sangat berharap.Suara seseorang masukan pin apartemen membawa Cherry ke alam nyata. Menaruh kartu ke dalam tas si gadis bergegas keluar kamar."Wah, adikku belanja?" Cherry melangkah mendekati sang adik."Sedikit bahan makanan juga minuman kaleng," Leon memberi paper bag di tangan pada Cherry.Mereka melangkah bersama ke dapur. Membuka lemari pendingin Cherry memberi air mineral untuk sang adik lalu menyusun rapi barang belanjaan ke dalam sana.Air mineral dalam gelas berpindah masuk ke lambung si tampan. Menaruh gelas di atas meja ia bersuara. "Kak, besok aku ada perjalanan dinas kemungkinan satu minggu atau juga lebih."Tangan Cherry berhenti. Ia menoleh, "Oke, jangan terlalu lelah. Jaga kesehatanmu, makan dengan baik." Belum juga berangkat kakaknya sudah lebih dulu mengingatkan.Leon mendengus, "Aku sedang berpikir." Leon tiba-tiba berwajah muram. Tatapan mereka bertemu. "Andai saja kekasihku sepertimu, mungkin aku bahagia."Melihat wajah sedih Leon, Cherry mendekati sang adik. Telapak Cherry bergerak menyentuh punggung tangan si tampan. "Kalian putus?"Leon tersenyum getir kepalanya menunduk sesaat. Melirik ekspresi sang kakak dari sudut mata. "Setidaknya beban telingaku berkurang, tak perlu lagi mendengar ocehan saat aku telat jemput atau bla...bla...bla..." Leon terkekeh kecil ia mengedip mata.Cherry memukul pundak si adik tampan. "See, you are a jerk lil."Ejek Cherry sedikit kesal. Ia sudah hampir merasa bersalah. "Kalian putus karena aku di sini?" Cherry tetap penasaran.Si adik memutar bola mata jengah. "Kenapa karena kakak di sini?" Leon menggerutu. "Ya Tuhan, jangan bilang kakak berpikir aku membeli apartemen ini untuk bersenang-senang bersama kekasihku. Bukankah sudah aku jelaskan sebelumnya."Cherry kembali merapikan sisa barang belanjaan. "Yah, bukankah itu hal lumrah dilakukan anak remaja jaman sekarang?""Bagaimana dengan dirimu? Kakak lakukan itu di tempat kost?" Leon justru balik bertanya."What? Oh, pinhead you."Erang Cherry kesal. "Apa adikku pernah melihatku berkencan?" memasang wajah cemberut. Leon tertawa padahal ia hanya bercanda. Leon tahu sang kakak tak pernah memiliki seorang kekasih."Mau sup ayam?" tanya Cherry setelah selesai merapikan barang belanjaan. Leon manggut setuju, Cherry ambil ayam yang telah dipotong."Kamu sangat suka sup ayam ekstra wortel. Kamu seperti kelinci manis yang lucu."Leon tergelak penyentuh perut geli mendengar kata kelinci manis yang lucu dari Cherry.Si gadis langsung meraih tempat untuk merendam ayam potong yang telah beku. Ambil panci siapkan air rebus. Cherry sangat lihai masalah dapur. Sudah terbiasa dan semua sangat mudah, ambil pisau mengupas bawang bombay, mencuci lalu mengirisnya tipis Cherry menatap si adik tampan, ia memutar bola mata jengkel mendapati Leon asik bermain ponsel."Hei, adik tampan pemalas."Pisau berukuran sedang mengacung ke arah wajah Leon. "Tugas kamu mandi," perintah Cherry pisau itu begerak mengusir Leon.Si adik tampan menelan liur kering. "Kadang aku memang harus berhati-hati, saat berdua dengan psikopat sepertimu," cicit adik tampan pergi berlalu dari sana."Hah, kamu bilang apa?"Leon berlari sambil berteriak. "Tuhan selamatkan aku."Cherry terkekeh lucu, ia melanjutkan masak.****"Woi, dude."Scott menepuk pundak Ares. "Sejak tadi ponselmu bergetar. Aku sedih melihatnya diabaikan."Ares bergeming. Tetap pada posisinya, kepala Ares bersandar pada kepala sofa ia menutup mata. Sore ini selesai rapat pemegang saham Ares langsung meluncur ke kantor Scott. Papa muda jengah dengan sikap Early. Selama mereka di restoran tadi siang, Early tak henti bicara banyak hal. Jangan tanya apa yang gadis itu bicarakan. Ares sudah pasti mengabaikan. Keluar telinga kiri-kanan.Scott menyeruput kopi dingin, ikut menyandarkan punggung pada sofa ia menatap Ares penuh tanda tanya. Sejak datang pria itu diam seribu bahasa. Tidak, manik Scott melirik pada cangkir putih depan Ares. Sahabatnya mengatakan ingin teh hangat. Coba lihat, sudah setengah jam berlalu teh hangat itu tak juga di sentuh. Jika sudah seperti ini, Scott hanya bisa diam. Menunggu Ares membuka mulut untuk ...."Aku melihatnya lagi,".... bersuara."Thanks God."Scott berseru setelah ia menunggu. "Lalu?"Tubuh Ares merosot. Satu tangan si tampan memijat pelipis. "Tak ada. Aku sedang bersama Early di cafe. Aku melihat gadis itu berjalan membawa sebuah lamaran kerja.""Kenapa tidak bertindak? Eh, tunggu siapa Early?" tanya Scott beruntun.Ares melirik lewat ekor mata. "Sudah aku jelaskan tempo hari." Ares jauhkan punggung dari sofa. Meraih kuping cangkir, ia menyeruput teh. "Ah, kenapa dingin!?" seru si tampan mendesah kecewa."Beruntung tidak jadi es batu."Scott mencibir. Ares hanya terkekeh. "Kenapa tiba-tiba membatalkan rencana?"Senyum kecut Ares terbit, pertanyaan Scott mengingatkan kejadian saat hujan. "Aku menyuruh salah satu pelayan cafe memberi kartu namaku pada gadis itu."Ares memilih abai, tak ingin melanjutkan masalah itu. Ia lebih senang bercerita kejadian tadi siang.Ares melihat gadis itu lagi. Gadis itu berjalan lamban memperhatikan jalan sekitar. Menilik penampilan si gadis dengan amplop di tangan ia menyimpulkan si gadis sedang mencari kerja. Rasa senang seketika menggelitik dada si tampan. Pria itu mencebik, saat sadar disampingnya juga ada seorang gadis yang terus memepetnya pada kaca.Si tampan berhasil keluar dari jeratan gadis gatal, Ares beralasan ingin ke toilet. Belum sampai toilet Ares memanggil seorang pelayan cafe. Meminta tolong memberikan kartu namanya pada gadis di luar jendela. Tak lupa pelayan itu harus memberi informasi jika di perusahaan itu sedang membuka lowongan kerja. Pelayan itu setuju, berkata akan lewat pintu belakang sembari buang sampah. Ares menyelipkan beberapa dollar ke dalam kantong si pelayan sebagai tanda terima kasih. Si tampan kembali ke tempat duduk mengintip dari balik jendela, gadis itu sudah menerima kartu namanya. Dan Ares berharap besok si gadis datang."Wow, kudoakan gadis itu datang," ucap Scott tulus.Ares manggut-manggut. "Aku lupa bertanya," Ares menatap Scott. "Kemarin informasimu sangat cepat. Apa benar istrimu kenal gadis itu?" Ares penasaran."Istriku masih kurang paham. Yang kamu maksud putri pertama atau kedua dari keluarga Thomas. Istriku hanya mengatakan berteman baik. Itu saja.""Semoga itu bukan Early.""Aku tak tahu. Istriku tak menyebut nama. Sudahlah tak perlu dibahas lagi."Ponsel Scott bergetar, ia meraih ponsel dalam kantong celana. Sebuah pesan masuk, sebelum membuka pesan tersebut ia lebih dulu bertanya. "Jika gadis itu benar datang dan melamar, apa rencanamu?"Ares menatap cangkir teh. Pikirannya menerawang jika memang si gadis besok datang melamar. "Aku berikan dia pekerjaan spesial."Scott mengirim balasan pesan. "Spesial?"Si tampan melirik, seringai iblis Ares berkedut di sudut bibir. Scott mendengus tak perlu dijelaskan dan ia cukup paham sifat Ares."Aku beri saran, jangan berlebih.""Oh, dude santai. Aku bahkan belum memulai," balas Ares tenang.****Si gadis memilih pakaian. Memoles bedak tipis juga liptint warna soft. Cherry melipat bibir, tersenyum pada cermin melihat penampilan pagi ini sempurna. Ambil tas kemarin tak lupa amplop berisi lamaran kerja. Semalam Cherry sudah mengirim surat lamaran melalui website tertera pada kartu nama. Ia berharap kali ini benar-benar dewi fortuna berpihak padanya.Keluar dari kamar Cherry melihat sang adik seperti baru bangun tidur. Rambut acak-acakan, pakaian tidur kusut itu sangat lucu. Oh, jangan lupa wajah super tampan alami si adik."Kamu tidur larut lagi?""Jam dua," sahut Leon serak, menarik satu kursi depan meja makan, duduk di sana masih berusaha mengumpulkan nyawa.Cherry menuangkan air putih untuk sang adik. Memberi piring berisi roti bakar dengan selai cokelat untuk Leon."Thanks.""Hu'um."Cherry ikut duduk berseberangan. Mereka mulai sarapan."Kakak melamar lagi? Aku melihat surat lamaran kamu sudah masuk," kata Leon.Cherry tersenyum. "Doakan aku. Semoga kali ini aku beruntung."Leon menarik sudut bibir. "Aku pastikan kali ini kakak diterima.""Terima kasih," ucap si kakak cantik. "Kamu jadi pergi?"Kepala Leon terangguk. "Aku berangkat malam jam tujuh.""Baiklah, kalau nanti aku sudah pulang. Aku bantu siapkan barang-barangmu."Leon berdiri, membuka lemari pendingin ambil susu segar. "Sebagian sudah kusiapkan. Siang nanti sekretarisku datang, menyelesaikan sisanya. Dia sudah terbiasa," jelas Leon menuang susu ke dalam gelas."Kenapa sekretarismu laki-laki?" Cherry penasaran."Perempuan bawel. Ribet dan...."Leon melirik sang kakak, sedang memasang wajah datar. "Kecuali kakak tentunya."Cherry memutar bola mata malas. "Adikku tersayang termasuk ke dalam kategori playboy. Dua tahun ini saja kau sudah menjalin hubungan dengan lima wanita. Dan semua berakhir tanpa perkara yang jelas.""Aku pernah bilang andai saja mereka sepertimu. Ah, sudahlah mereka semua memang menyebalkan." Leon membela diri sendiri."Up to you, lil."Cherry menelan potongan terakhir dan minum susu. Kelopak Cherry melebar, hampir jam sembilan ia hampir terlambat.Menaruh bekas piring dan gelas di wastafel tergesa-gesa. Leon menghela napas pendek. "Tinggalkan, biar aku yang cuci," suara berat sang adik menyapa.Mata Cherry berbinar. Meraih tas dan amplop ia terburu-buru. "Aku berangkat," mengacak rambut sang adik."Ish ... aw ... aw ...." Cherry meringis kakinya tak sengaja terantuk meja.Leon menoleh ke belakang, mendapati sang kakak berjalan pincang, mengusap lutut."Hati-hati."Cherry berteriak oke, melambaikan tangan segera pakai sepatu lalu keluar apartemen. Pintu apartemen tertutup Leon menarik napas. Dengus si adik tampan terdengar sedikit keras. "Bajingan itu, sebenarnya apa yang dia mau? Siapa yang dia pilih?" minum sisa susu dalam gelas. Iris Leon menatap gelas kosong. "Jika Ares berani menyakiti kak Cherry demi Early, aku tidak akan tinggal diam," geram Leon lalu berdiri mencuci peralatan bekas sarapan.Cherry melipat bibir berulang kali melirik jam tangan mungil miliknya. Duduk si gadis gelisah, jari-jarinya mengetuk-ngetuk amplop cokelat di atas paha. Hampir lima menit dan bus belum juga datang. Tinggal dua puluh menit lagi menuju jam 09.00 am. Cherry berharap tidak terlambat datang untuk interview."Ck, ayolah di mana bus-nya!?" si gadis mencebik berseru kesal. Menanti bus datang lama."Thanks God."Cherry bersyukur melihat bus datang. Si gadis langsung berdiri, membayar dan memilih tempat duduk. Ia menarik napas gusar, mengibas-ngibas wajah.Sekali lagi Cherry mengerang kesal. Kenapa harus macet disaat terdesak seperti ini. Cherry berusaha tenang dan berdoa semoga saja ia bisa tepat waktu. Oh, ya Tuhan tolong aku. Beri aku keberuntungan hari ini. Baru saja Cherry berdoa dalam hati. Bus jalan sedikit demi sedikit. Sepuluh menit ia terjebak macet. Perjalan masih lumayan, waktu tersisa sepuluh menit. Si gadis menyusun rencana, mungkin ia akan berlari setelah turun dari mobil.Tepat empat menit lagi, Cherry turun kemudian langsung berlari menuju gedung. Mengatur napas setenang mungkin saat sampai depan gedung. Tanpa sadar rambut Cherry terlihat berantakan, banyak karyawan menertawai. Cherry yang bingung memilih acuh. Kelopak si gadis melebar sempurna melihat tampilan diri dalam kaca besar gedung, sangat berantakan.Cherry mengumpat dalam hati. Ia bersembunyi di balik dinding besar tempat parkir. Meraih kaca dalam tas ia mulai rapikan rambut juga make-up. Cherry masuk mendekati resepsionis di sana."Permisi," Cherry sopan."Ada yang bisa saya bantu?" kata si resepsionis ramah."Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang membuka lowongan pekerjaan."Resepsionis mengerut dahi dalam. Bingung. "Maaf nona. Saya rasa informasi yang anda terima salah. Perusahaan ini tidak membuka lowongan kerja." Jelas si resepsionis."Hah," Cherry terkejut. "Benarkah? Tidak ada lowongan apapun?" Cherry memastikan. Atau mungkin pelayan cafe kemarin salah bicara atau memang berniat mengerjaiku?"Ada, di sini ada lowongan."Suara baritone dan sosok tampan dibalik punggung si gadis menarik perhatian banyak orang.Cherry menarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Mengayun kaki masuk ke dalam gedung perusahaan penuh percaya diri. Manik cokelat cherry berpendar kagum, perusahaan ini tak jauh beda dari milik mendiang sang ayah. Cherry menghela napas kecil ini memang sudah takdirnya. Tak bisa bekerja di perusahaan sang ayah, walau sekadar menjadi buruh upah harian. Sudahlah bukan berarti ia putus asa. "Semangat Cherry kamu pasti bisa. Yah, semangat." Cherry mengepalkan tangan ke udara. Berdeham saat beberapa mata tertuju padanya. Semakin dekat meja resepsionis, jantung gadis manis semakin berdegub keras. "Permisi," sapa Cherry pada wanita cantik di balik meja resepsionis yang diharuskan ramah pada setiap tamu. Wanita itu berdiri lalu mengulum senyum tipis menyambut ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" "Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang buka lowongan pekerjaan. Aku datang untuk melamar," ucap Cherry halus. Resepsionis mengerut dahi dalam, lantaran bingung. "Maaf n
"Oh, shit!" Early menggerutu kesal. Ares selalu mengabaikan panggilan telepon darinya. "Are you oke?" tanya Nella menyorot kamera pada Early. Early berpaling menatap sahabat disampingnya sedang menyeruput jus pome kesukaan dengan satu tangan menyiku di atas meja, memegang kamera. "Yeah," sahut Early menghembus napas kecil. "Sungguh?" tanyanya lagi melihat raut suram temannya. Early meraih sedotan meminum milkshake strawberry. "Yep, i'm oke," jawab Early lemah. "Woo ... tapi aku tidak yakin. Sangat jelas terjadi sesuatu padamu?" cecar Lina sahabat Early satu lagi. "Apa maksudmu?" Early memasang wajah pura-pura bingung, masih tidak ingin bicara. Nella menghembus napas. Menaruh kamera aktif di atas meja. Meraih satu spring roll keju ia asyik mengunyah dan menyimak percakapan kedua temannya. "Kamu menghubungi seseorang lebih dari tiga puluh menit yang lalu dengan menggigit ujung kuku. Dari gelagat kamu saja sudah sangat terlihat kalau kamu ingin sekali bicara dengan seseorang di se
Cherry mendesah gemas, duduk manis di sofa putih. Manik cokelat si gadis menjangkau ruang luas tak kalah dari ruang kantor lantai 20 gedung tempatnya bekerja. Bersih dan sangat nyaman. Ruang kerja seorang pebisnis muda. Manik indah si gadis manis mengamati seluruh ruang. Wow... apa itu! Cherry mengerjab sesuatu yang mencolok mata. Sebuah pigura berukuran ekstra besar berlapis emas dengan foto si pemilik ruangan. Wah, apa itu emas murni? Selera pria ini memang tidak main-main. Dari sekian banyak barang di sana, ada satu hal yang menarik perhatian si gadis. Sebuah foto anak bayi terpanjang mungkin usianya berkisar satu tahun lebih. Putranya tampan, Cherry mengagumi. Eh, di mana foto istrinya? Aneh hanya ada foto si bos dan putranya. Cherry penasaran melihat ada dua pigura di atas meja kerja si bos. Mungkin saja itu foto pernikahan. Kenapa tidak dipajang dengan pigura besar seperti foto pria itu? Menggeleng kepala Cherry membuang jauh-jauh
Status nenek tidak mengubah gaya penampilan modis Terry. Wanita berumur 51 tahun tersebut sangat mengikuti trend mode kekinian. Tak jarang banyak wanita paruh baya seusianya mengikuti gaya berpakaian Terry. Modis, dinamis dan sederhana. Hampir semua warna telah di-mix olehnya. Tak salah jika beberapa perancang busana pernah meminta saran dari Terry untuk keluaran koleksi baru mereka. Yah, Terry sang mantan model sangat berbakat dan terkenal pada masanya. Terry sempat menjadi pusat perhatian, dipuja-puja banyak kalangan terutama kaum pria. Banyak pihak kecewa lantaran Terry memutuskan pensiun dari dunia meliukkan tubuh di atas panggung setelah James Allan pria yang berhasil merebut hati Terry dan menjadikannya istri idaman. Memiliki seorang putra bernama Ares Allan dan kini kebahagiaan keluarga James dan Terry bertambah sejak mereka mempunyai seorang cucu. "Morning," James datang dari belakang memberi kecup sayang pada pipi istri tercinta
"Aku pilih ini!" Early menunjuk satu set perhiasan terbaru bermata Ruby lantas menoleh pada Merlin sedang memilih kalung berlian. "Yang mana, Bu?" tanya Early. Merlin mendesah, semua deretan kalung berlian depan mata terlihat sangat indah. "Biar aku pilihkan," kata Early mengamati tiga kalung yang telah dipilih sang Ibu. "Ini saja terlihat mewah." "Ah iya, bungkus yang ini! Pilihan putriku memang selalu tepat." Puji Merlin, Early selalu senang mendapat pujian. Pelayan toko tersenyum ramah. Membungkus dengan kotak cantik khas toko perhiasan tersebut lalu memasukannya ke dalam paper bag. Merlin memberi kartu hitam, setelah membayar mereka bergegas keluar dari sana. "Bu," panggil Early manja. "Ada apa, Sayang? Ada yang ingin kau beli lagi?" tanya Merlin berhenti melangkah menatap putri tercinta. Early menggeleng, "Aku...." Early sengaja menggantung kalimat. Manik hijau gadis itu mengamati kead
Iniāgila. Ini hari ke tiga. Ini sangat menyebalkan. Cherry nyaris tak menemukan perumpamaan yang pantas untuk si Tuan besar. Pekerjaan gadis manis kini bertambah juga semakin merepotkan, dirinya menjadi baby sitter untuk putra kesayangan bos. Setiap pulang dari bekerja, Cherry selalu aman sampai rumah tanpa hambatan, tanpa gangguan. Namun menjelang jam 08.00 pm atau 09.00 pm ponsel Cherry selalu bergetar dengan nama kontak yang sama selama tiga hari berturut-turut. Dari lubuk hati terdalam Cherry sama sekali tidak ingin menjawab. Kendatipun bisa ia lebih memilih abai, menyumpal telinga dengan kapas dan pergi ke alam mimpi. Menyenangkan? Tentu saja tidak, hal tersebut bagian dari khayalan sederhana. Jika Cherry melakukan hal tersebut tidak diragukan lagi. Cherry yakin, seratus triliun persen kalau besok paginya saat sampai di lantai 20 dan masuk ruang kantor, surat pemutusan kerja telah menanti untuk dipoles bubuk tinta hitam, dan Cherry
"Ya ampun ranjang ... ranjang ... aku butuh ranjang." Cherry berjalan limbung setelah membuka pintu apartemen. Menggeret langkah terasa berat masuk ke dalam kamar melempar tubuh ke atas ranjang, naikkan kaki langsung menutup mata dan terlelap. Alunan dengkur halus gadis manis terdengar. Wajah lelah Cherry tak bisa lagi disembunyikan. Bekerja di kantor Ares memang tidak sulit atau juga sesederhana yang dilihat kasat mata. Membersihkan ruang kerja luas ditambah kamar pribadi bos membutuhkan tingkat ketelitian, kesabaran dan kebersihan super ekstra. Ada beberapa barang pecah belah, yang Cherry yakini seratus triliun persen itu bernilai selangit. Cherry perlu berhati-hati bergulat dengan barang mewah di sana. Salah sedikit uang gajinya tidak akan cukup untuk ganti walau satu barang. Ditambah tiga hari ini setiap malam hampir menjelang waktu rebahan. Gadis manis selalu mendapat telepon dengan alasan yang sama, terpaksa datang ke rumah super m
"Jelaskan!?" suara baritone sedang Ares terdengar mendesis sinis, tak ubah seperti pemburu berdarah dingin pada malam hari. Tipis, berbisik dan menikam. Habislah aku. Tenang, aku hanya perlu bicara, 'kan? Tubuh si gadis tiba-tiba merinding, berdoa dalam hati mengatakan pada bintang di langit jika Cherry mati malam ini tolong dimakamkan di sebelah sang ayah. Hah, percuma. Cherry gelisah menatap lurus obsidian si bos tampan lamat-lamat. Si gadis memaksa masukkan liur ke dalam kerongkongan telah aus. Cherry sangat paham mendengar suara Ares saat ini, papa tampan terlihat sedang menahan marah serta kesal setelah tahu kebenaran kalau ia sengaja matikan ponsel. Bukan salah Cherry juga, seharusnya si bos papa muda itu tahu batas dan beri Cherry waktu sekadar menyenangkan diri. Sekarang apa yang harus dijelaskan? Bukankah pria itu yang lebih wajib menjawab pertanyaan darinya tadi sore saat mereka berada di dalam mobil. Kenapa jadi berbalik? Oh, kau lupa
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me