Ares memantaskan diri depan cermin. Si tampan memakai kemeja putih juga jas abu-abu melekat di tubuh. Membuka pintu kamar lalu turun untuk sarapan. Sampai anak tangga terakhir si papa tampan disambut tawa ceria sang putra. Senyum menawan Ares menebar warna rona merah muda di wajah para maid. Begitu dahsyat pesona papa muda. Satu kecupan hangat mendarat di pipi sang putra.
Cup. "Putra tampan papa sudah bangun." Mencium gemas pipi Prime.
"Daddy... daddy..." Prime tampak protes dengan kelakuan si papa tampan.
"Apa dia sudah sarapan?" tanya Ares pada baby sitter.
"Sudah Tuan besar tapi hanya sedikit. Selebihnya Tuan muda diberi minum jus alpukat." Jelas si baby sitter.
Kepala Ares terangguk. "Pastikan gizinya seimbang. Putraku baru sembuh." Kata si Tuan tampan mengingatkan.
Flashback on
Hari terang berganti gelap saatnya beranjak dari tempat memeras otak serta tenaga. Ares melangkah keluar ruangan, gagah dan penuh kharisma. Siapapun melihat, tak mampu berpaling dari paras dewa pria satu anak itu.
Status pria memiliki anak satu dan tak pernah terikat pernikahan!? Hot isu menyebar seperti wabah baik di dalam perusahaan, kalangan investor ataupun kerabat lain. Banyak praduga, anak laki-laki tampan tersebut akibat one night stand. Pergaulan bebas para pengusaha sukses juga pecinta dunia malam, selepas penat bekerja.
Ares hanya perlu tutup telinga. Kehidupan pria itu jauh dari kata club, bukan berarti ia pria suci tak tersentuh. Ares sama seperti pria dewasa pada umumnya. Si tampan pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita. Disaat ia merasa sudah tak ada lagi kecocokan, Ares tak segan mengatakan kata putus. Yah se-simpel itu. Perlu di bahas Ares bukan tipe pria suka dikekang atau dibiarkan. Ia tipe pria acuh, ketus tapi manja. Aw... sangat menggemaskan.
Mobil mewah Ares meluncur membelah jalan raya ramai di malam hari. Rutinitas jenuh selalu menjadi teman setia. Ponselnya bergetar, nama sang ibu tertera pada layar. Sebelum menekan tombol hijau dan loudspeaker si tampan menarik napas berat, berharap ini bukan panggilan untuk menemui seseorang yang sudah diatur sang ibu.
"Kau di mana?" suara panik sang ibu terdengar. Dahi Ares mengerut bingung tak biasanya sang ibu...tunggu suara tangis bayi!
"Ibu sedang bersama Prime?"
Helaan napas sang ibu terdengar diujung telepon. "Sayang, badan anak mu panas."
"Apa? Sebentar lagi aku sampai."
"Baiklah, hati-hati."
Walau ini bukan momen pertama kali sang anak sakit, tetap saja Ares merasa cemas. Ia tidak ingin kehilangan satu-satunya kenangan yang tertinggal. Sampai rumah Ares langsung berlari menuju kamar Prime. Pintu terbuka ia melihat Terry sedang menimang cucu dalam dekapan. Bergumam nyanyian menenangkan. Prime terlihat mengantuk, bayi laki-laki itu tampak nyaman dalam gendongan sang nenek.
"Apa panasnya sudah turun?" Ares langsung bertanya pada sang ibu. Mengelus kepala sang putra penuh sayang, telapak si tampan bisa merasakan suhu panas Prime.
"Ibu sudah memberinya obat penurun panas. Mudah-mudahan panasnya nanti malam turun."
"Kenapa Rira tak menghubungiku?" Ia biasa mendapat laporan apapun tentang Prime dari baby sitter, tapi kali ini justru sang ibu menghubungi lebih dulu.
"Sore tadi ibu sengaja datang ingin ajak cucu ibu pergi. Sampai sini Prime masih tidur. Ibu menunggu Prime bangun, tak lama anak itu menangis keras. Ternyata demam. Ibu menyuruh Rira membuat bubur." Terry menjelaskan dan Ares manggut-manggut mengerti. "Sudah sana bersihkan dirimu. Prime sedang tidur." Tambah Terry. Kepala Ares terangguk mencium pipi sang ibu keluar dari kamar Prime.
Tangisan bayi tengah malam membuat Ares mengerjab mata. Kaki panjangnya turun dari ranjang. Melangkah keluar kamar menuju kamar putra semata wayang. Rira baby sitter sedang berusaha membujuk si bayi agar tidak menangis. Bukan berhenti tangis si bayi semakin kencang sampai ia mendapati Tuannya mendekat.
"Maaf Tuan, saya sudah berusaha menenangkan." Rira langsung minta maaf.
"Tak apa, berikan padaku." Perintah Ares.
Prime beralih dalam gendongan Ares. Pria tampan itu dengan sabar menenangkan sang putra kesayangan. Mengelus kepala bagian belakang Prime sangat lembut. "Sssttt... sayang tenanglah! Papa disini." Mantra Ares cukup ampuh. Prime terdiam dengan sisa-sisa sesegukan.
"Kau sudah periksa suhu tubuhnya?" Tanya Ares pada Rira, baby sitter itu setia menunggu dekat ranjang bayi.
"Sudah Tuan, suhunya turun jadi 36,2° celcius."
Ares bernapas lega. Sedikit terheran apa yang membuat sang putra menangis begitu kencang. Beruntung suhu tubuhnya turun dan bisa dikatakan normal. Telapak tangan Ares tak henti mengelus kepala belakang sang putra. Ia melirik jam pada dinding pukul dua dini hari. Ia masih harus bersabar dengan keadaan ini.
Semua telah menjadi keputusannya. Ares memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Tak hanya itu ia bertekad tidak akan menikah. Selama Ares merasa nyaman dengan kehidupannya sekarang. Ares mengira bisa mencurahkan semua rasa kasih sayang untuk sang putra. Termasuk kasih sayang layaknya seorang ibu. Pria idealis mendekati sempurna. Ares tak ingin Prime terluka. Si tampan tak bisa sembarang menikah, ia ingin sang istri bisa menerima kehadiran putra semata wayang. Prime lebih berharga dari apapun. Jika Ares memutuskan menikah, wanita itu haruslah pilihan hatinya, bukan rekomendasi sang ibu.
Bagi Ares mendapatkan seorang wanita sangat mudah. Tak perlu bersusah payah mencari. Seperti selama ini, Ares selalu dikelilingi wanita-wanita yang sangat ingin menjadi pendamping hidupnya. Cantik, pintar, mempunyai lekuk tubuh indah serta berpendidikan. Tidak untuk Ares, pria itu lebih memilih hati yang mampu menjaga kepercayaan juga kesetiaan dalam hubungan.
Masihkah ada wanita seperti itu di dunia ini?
Ares menaruh tubuh sang putra hati-hati di atas ranjang, setelah beberapa menit ia dengan sabar menggendong juga mengusap penuh kasih sayang. Menatap sekali lagi pada sang putra yang kini tengah tertidur pulas. Tak ada tanda-tanda jika Prime terusik atau semacamnya. Ares mengusap tengkuk, menoleh pada Rari sang baby sitter untuk segera istirahat. Kaki panjang Ares melangkah keluar kamar Prime. Ia juga butuh tidur.
Flashback off
Si baby sitter mengangguk mengerti. Ares memberikan Prime pada sang pengasuh. Duduk di kursi meja makan, si tampan menyantap hidangan yang telah maid siapkan. Ares terbiasa sarapan seorang diri. Pergi sendiri dan tidur sendiri, eh.
Banyak didekati wanita tak membuat hati si tampan tergerak menjalin hubungan serius. Ares bukan tipikal pria yang cepat takluk pada seorang wanita.
Benarkah?
Lalu kemarin malam itu apa? Bukankah Ares sendiri sangat penasaran dengan gadis manis di rumah Tante Merlin. Membayangkan kejadian semalam saja si tampan tersenyum, sendok terisi nasi dan lauk di tangan mengambang di udara tanpa niat masukan ke dalam mulut. Padahal sebelum sampai meja makan ia tak memikirkan apapun. Kenapa setelah duduk, isi kepala si tampan justru tersangkut ke sana?
Oh, ini masalah besar. Ia sangat ingin tahu. Menaruh sendok di atas piring, Ares beranjak dari meja makan tanpa berhasil loloskan satu suap pun. Membuat para maid yang telah menyiapkan sepenuh hati memasang wajah manyun cemberut. Ares kembali ke kamar masuk ke walk in closet meraih salah kunci mobil di laci. Si tampan memutuskan sarapan dengan sahabat lama.
Papa tampan tak lupa berpamitan pada sang putra semata wayang. "Papa berangkat dulu sayang. Nanti malam kita jumpa lagi." Mencium pipi Prime sedikit kencang dan bocah laki-laki itu tertawa tanda senang.
Pintu garasi terbuka, kali ini Ares memilih si merah sexy untuk menemani. Meluncur keluar halaman mansion. Ares menekan earphone bluetooth, menyapa dan bicara pada seseorang di seberang sana. "Di cafe kopi tempat biasa, aku tunggu di sana." Setelah mendapat jawaban ia kembali menekan earphone bluetooth dan fokus mengemudi.
Tak sampai tiga puluh menit si tampan telah sampai di cafe. Memesan dua minuman yang biasa dipesan bersama sang sahabat. Pintu cafe terbuka, sosok sahabat yang ditunggu datang.
"Sedang gelisah ya?" Scott langsung mengajukan pertanyaan. Menarik bangku dan duduk berhadapan.
Ares mendengus kecil. "Tidak juga."
Pelayan datang membawa kopi pesanan, "Selamat menikmati," ucap si pelayan ramah, disambut balasan terima kasih dari kedua pria tampan dan segera berlalu dari sana.
"Ceritakan padaku, kali apa?" Scott dibuat penasaran. Pasalnya Ares tak pernah menghubungi, jika pria itu tidak sedang kalut.
"Apa aku mengganggu pagi bercinta mu?" Justru papa muda berbalik tanya.
Scott menyesap kopi latte. Ia berdecak menikmati rasa tertinggal di lidah. "Aku sudah menyusu dan hampir melakukan itu, sayangnya istriku sedang tersegel bulanan." Sedikit mendesah ia harus menahan gairah paginya.
Ares hampir menyembur kopi panas. Kelopaknya melebar dengan pipi terisi penuh. Jawaban Scott selalu saja frontal. Papa muda berhasil meloloskan kopi masuk ke dalam tenggorokan. "Sialan,"
Scott terpingkal, punggung lebar pria itu bersandar nyaman pada bangku. "Ayolah, kau sudah dewasa bahkan memiliki anak. Kalimat itu seharusnya membuatmu ingin." Sahut Scott kalem angkat bahu tanpa merasa bersalah.
"Kau tahu riwayatku." Ares menaruh cangkir di atas tatakan. "Aku terusik, lebih tepatnya penasaran. Beberapa waktu lalu aku bertemu seorang gadis keluar dari toilet dalam keadaan sedih. Wajah sembab, mata dan hidung merah ku pastikan ia habis menangis."
Cerita Ares membuat pikiran Scott melayang jauh di luar batas. "Wow, apa gadis itu menangis karena kau mencoba menyentuhnya tanpa foreplay lebih dulu?" Goda Scott.
Ares mengutuk mulut laknat Scott. "Aku tidak se-bajingan itu." Ares menggerutu kesal.
"Oh, oke... lalu kau se-bangsat apa? Sampai gadis itu menangis di toilet?" dua alis Scott terangkat tinggi.
"Keparat, dengar dulu sampai selesai." Maki si papa tampan. "Aku diundang makan malam di rumah salah satu teman ibuku."
"Ah, pantang menyerah." Scott menebak sekaligus meledek.
Ares mendengus kecil, tak berniat protes karena memang benar. "Dia Tante Merlin, seperti biasa aku dan putrinya berkenalan. Yah, dipaksa akrab." Ares memasang wajah jengah. "Awalnya kukira ia memiliki seorang putri. Saat izin ke toilet aku bertemu gadis itu. Kau tahu, dia pendek sebatas dadaku, ketus, pembohong dan menyebalkan."
Ares mencebik mengingat momen di mana gadis itu menolak memberitahu nama serta berbohong. Mengatakan bahwa gadis itu adalah seorang pembantu. Berani sekali, memang siapa dia? Membuat seseorang penasaran dan itu—aku.
Scott merasa terhibur pagi ini. Pria itu kembali tertawa melihat wajah muram Ares. "Tapi kau menyukainya." Skak Scott, jari telunjuk panjang pria itu mengacung pada wajah Ares si sahabat yang sedang terusik gelisah.
Wajah Ares seketika memerah. Membuang tatapan pada pemandangan luar cafe, menghembus napas kesal. "Tidak seperti itu. Aku hanya penasaran, gadis itu selalu berkeliaran di otakku." Tukas Ares cepat dan merasa bodoh dengan jawabannya.
"Ya Tuhan," sabda Scott. "Otak brilian mu tiba-tiba menghilang."
Ares mengabaikan. Menyungging senyum kecut. Ia merasa malu. "Bisa aku minta tolong?" Jari Ares mengetuk meja.
Scott meneguk lagi kopi yang sudah dingin. "Kenapa jadi sungkan!?" serunya menatap Ares lalu memberi senyum konyol.
Ares ikut tersenyum. "Saat pernikahanmu, aku yakin melihat Tante Merlin di sana. Apa kalian saling kenal?"
Dahi Scott berkerut bingung. "Tante Merlin, ya?" coba mengingat-ingat. "Aku tidak ingat memiliki kerabat atau saudara bernama Merlin, mungkin kau salah lihat."
Ares menggeleng kepala lemah. "Nope, tak mungkin aku salah mengenali orang. Bisa jadi itu kerabat atau saudara dari pihak istrimu."
Scott manggut-manggut, mengelus dagu. "Ada lagi?"
"Itu saja, hubungi aku jika tahu sesuatu." Ares menatap arloji di tangan, sudah hampir jam masuk kerja. Dan ia tak ingin terlambat, memberi contoh tak baik bagi karyawan yang bekerja di perusahaannya.
Mereka berdua beranjak dari cafe. Masuk mobil dan meluncur menuju perusahaan masing-masing.
🌟🌟🌟
Cherry menarik napas dalam, membuangnya perlahan memberi efek sedikit longgar dalam dada. Hari ini Cherry berjalan cukup jauh. Ia perlu berhemat tabungannya semakin menipis. Dua tahun bekerja, mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk melanjutkan kuliah. Namun sayang, semua hanya sekadar angan, tak bisa diraih dalam satu waktu.
Kepala si gadis menengadah menatap langit indah oranye dikala senja, sangat indah. Ia menyukai detik-detik pergantian waktu ini. Begitu mempesona sampai ia enggan beranjak dari bangku besi di sana. Cherry membuka tas dalam pangkuan. Mengeluarkan minuman isotonik, meminumnya sedikit demi sedikit guna menuntaskan rasa haus pada kerongkongan.
"Selalu cantik," kata Cherry tersenyum lebar, ia baru saja menyapa langit.
Satu kata prasa berupa pujian gadis itu lontarkan. Tatkala manik cokelat si gadis manis dimanjakan dengan pemandangan alam indah luar biasa. Mengantar efek tenang saat gelapnya malam hadir. Menggiring setiap insan yang lelah setelah satu hari beraktivitas di luar rumah untuk kembali pada habitatnya.
Jika memang begitu, kenapa gadis manis itu masih setia menempelkan bokong. Tanpa ada tanda-tanda berniat pergi. Bukanlah perkara gadis itu masih ingin atau tak ingin. Cherry berusaha menenangkan hati kala ia sampai rumah nanti. Siapkan telinga serta mental saat suara sang ibu terus menjejal kalimat pesakitan untuknya. Tak lupa tatapan sinis dari adik perempuan yang kini duduk dibangku kuliah semester akhir.
Hah,
Hembusan napas berat terdengar tak bersahabat. Hatinya terlalu lama kosong. Tak berpenghuni, hampa nan gersang. Adakah seseorang yang bisa menerima kehadirannya? Cherry menunduk menatap gamang sebuah amplop berisi lamaran ditumpuk dengan tas berwarna hitam di atas pahanya.
"Aku kuat," cicitnya lemah. Bersamaan kalimat itu meluncur, remasan pada sisi tas semakin kencang. Cherry menguatkan hati sekeras baja sebelum beranjak pulang dan kembali bertemu keluarga.
Keluarga asing. Yah, begitu.
Sekali lagi Cherry menghirup oksigen dalam-dalam lalu melepas uap karbondioksida secara perlahan. Si manis mulai mengayun kaki mencari halte bus terdekat. Kurang lebih sepuluh menit ia menunggu sampai bus datang. Orang berbondong-bondong secara bergantian antri masuk ke dalam bus. Cherry membayar mengunakan kartu lalu memilih tempat duduk kosong. Kali ini ia kurang beruntung. Duduk bagian tengah di samping anak sekolah. Tidak masalah hanya saja Cherry lebih suka duduk dipojok belakang dan menyandarkan kepala pada jendela.
Satu per satu penumpang turun, lalu berganti dengan penumpang baru disetiap rute pemberhentian. Halte berikutnya Cherry turun, menyebrang jalan untuk sampai rumah.
"Kakak," seseorang berteriak dibalik punggung si gadis.
"Kakak, tunggu sebentar."
Cherry berhenti. Menoleh ke belakang mendapati anak sekolah yang tadi duduk di sampingnya berlari mengejar.
"Ada apa?" tanya Cherry bingung.
Si anak remaja butuh waktu, ia meraup udara sebanyak-banyaknya. Lima belas detik, napasnya kembali normal. Tangan remaja itu terulur memberi sebuah gantungan liontin hijau cantik. "Ini punya kakak terjatuh."
Kelopak Cherry melebar. Memeriksa tas dan benar gantungan liontin miliknya tak ada di sana. Tangan si gadis meraih benda dari tangan si anak remaja. "Terima kasih, ini sangat berharga untukku." Ucap Cherry tulus diselingi senyuman manis.
Si anak remaja tersenyum, "Lain kali hati-hati ya kak!"
Cherry terkekeh, "Rumah kamu di mana?"
"Dekat sini. Rumah kakak di mana?" si remaja laki-laki berbalik tanya.
"Dua blok dari sini."
"Perlu aku antar?" si bocah remaja membuat Cherry tertawa.
"Seharusnya aku yang katakan itu. Mau kakak antar?"
"Aku laki-laki tugasku menjaga seorang perempuan."
Cherry semakin tertawa. Menggeleng kepala sebelum ia melanjutkan. "Terima kasih, tapi aku tak mau kekasihku cemburu. Melihat aku di antar laki-laki lain terlebih jauh lebih muda." Kata Cherry melontarkan kalimat canda.
"Hahaha...baiklah, kakak hati-hati." Melambai tangan, memutar badan mengambil arah berlawanan.
"Kau juga," ikut melambaikan tangan.
Remaja laki-laki itu mengacung ibu jari dengan senyum mengembang.
Cherry mendekap amplop surat lamaran dalam dada. Berjalan santai melewati jajaran rumah mewah untuk sampai. Jalanan luas dan sepi selalu menemani kala Cherry pulang malam. Gadis manis itu telah terbiasa berjalan jauh. Cherry tak pernah mempersalahkan jarak juga tak memiliki kendaraan pribadi.
Ah, ia rindu masa nge-kost. Dua tahun selama ia bekerja. Cherry memutuskan untuk menyewa sebuah kamar kost kecil dekat tempat kerja. Saat itu Cherry mengira akan mendapat ceramah panjang dari sang ibu. Ternyata semua berbanding terbalik. Terserah—begitu jawaban sang ibu.
Lebih menyakitkan saat ia memutuskan kembali ke dalam neraka mewah itu. Uang mu habis? Sambutan luar biasa dari seorang ibu ketika sang putri datang ingin mengisi kembalj kamar miliknya. Cherry hanya menahan napas, bungkam seribu bahasa. Oh, Cherry lupa bahkan saat berada jauh dari rumah sang ibu dan saudarinya tak pernah berkunjung sekadar menyapa atau melihat ia masih hidup atau tidak.
Siapa yang peduli? Percaya diri sekali.
Cherry tak berharap banyak. Ia tetap selalu bersyukur mempunyai seorang adik laki-laki begitu hangat padanya. Hanya adik laki-lakinya, yang mencari keberadaannya. Menghubungi saat Cherry tak ada di rumah. Cherry terperanjat suara klakson mobil terdengar kencang memecah lamunannya. Langkah Cherry terhenti, tersenyum penuh arti ia mengenali mobil sport hitam yang telah berhenti di sampingnya.
"Sudahku bilang, jangan pernah jalan sendiri ditempat luas dan sepi seperti ini. Kakak hanya perlu menekan nomorku diponselmu." Omelan penuh kasih sayang langsung mengudara dari si pengendara tampan, sesaat setelah jendela mobil turun sempurna.
Benar'kan? Dia—adik tampanku dan selalu seperti itu.
Cherry terkekeh sebentar, ia menutup mulut. "Maafkan aku, bukan sengaja lupa. Aku tak ingin mengganggu waktumu."
Tangan si adik tampan terulur membuka pintu. Cherry segera masuk, dan menutup pintu. Mobil sport mulai meluncur. "Bagaimana hari ini?" tanya si adik sembari fokus mengemudi.
Cherry menunduk mainkan jari di atas tas. "Masih belum beruntung."
Si adik tampan melirik sekadar mengintip ekspresi sang kakak. "Aku bisa...."
"Tidak, kau bisa kena omel ibu." Cherry memotong ucapan sang adik. "Aku tak apa, kau tak perlu khawatir. Doakan saja kakakmu ini. Semoga esok ada keberuntungan hadir."
Si adik melirik (lagi) lewat sudut mata. Melihat sang kakak cantik tersenyum membuat dirinya ikut menarik dua sudut bibir. "Tuhan, beri kakakku (jodoh) terbaik." Doa tulus si adik tampan dalam hati.
"Amen," jawab si gadis. Tanpa Cherry tahu si adik tampan tersayang menambahkan kata jodoh di dalam hati.
Wajah tampan Ares sedang berbinar senang. Telepon genggam masih menempel di telinga. Seseorang memberi kabar baik sampai si Tampan terus menyungging senyum menawan. "Wow, lebih cepat dari dugaan aku," kata papa tampan memberi pujian pada sahabatnya. "Pastikan dia mau datang," tetap memberi perintah mutlak tak terbantah. "Yeah, aku tunggu kabar baik darimu." Kira-kira seperti itu percakapan telepon antara Scott dan Ares. Papa tampan kembali menatap laptop. "Ares," Baru saja panggilan telepon terputus. Panggilan suara lembut malaikat tak bersayap mengusik gendang telinga. Pintu ruang kerja Ares terbuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Menampilkan sosok sang Ibu menggendong Prime dengan dot karet menempel pada mulut bocah laki-laki itu. "Ada apa, Bu?" Ares mengalihkan fokus dari laptop di atas meja, menatap sang ibu. "Aku minta izin padamu, membawa Prime ikut bersamaku besok." Terry duduk di sofa putih ruang ke
Tiga jam berlalu. Hujan tak kunjung reda. Gigi gadis manis saling bergemeletuk, kakinya gemetar tidak bisa diam. Tangan mungil gadis itu coba merapatkan blazer basah kuat-kuat pada tubuh. Cherry mencoba hangatkan diri disela-sela kekuatan tersisa dengan wajah telah pucat pasi serta bibir bergetar nyaris membiru. "Ya Tuhan, dingin sekali," cicit Cherry merasakan tubuhnya hampir membeku, uap dingin pun menyembur dari celah bibir. Angin kencang, hujan serta suara petir mewarnai langit. Punggung Cherry bersandar, "Kapan hujan ini akan reda?" suara gadis manis putus-putus, bermonolog sendiri. Menyorot pada area jalan sekitar terlihat beberapa mobil melintas. Sadar sesuatu Cherry merogoh kantong blazer keluarkan telepon genggam. "Yah, hmm ...," lirih gadis manis menemukan layar ponsel tampak berembun dan mati. Ibu jari Cherry menekan-nekan tombol power. Berharap ponsel miliknya masih bisa diselamatkan. "Hah,
Sabtu kelabu. Yah, setidaknya kata itu pantas disematkan untuk Ares si pria tampan, rupawan, menawan dan oh—kasihan. Lihat saja betapa kacau wajah pria tampan itu. Duduk di kursi putih dalam kamar, dengan kedua tangan terjalin menempel di atas perut. Kepalanya bersandar pada punggung bangku, ia menatap langit-langit kamar. Hati papa tampan di gulung awan mendung. Seperti cuaca di langit hari ini gelap cenderung abu-abu namun tak basah, kering merana. Isi kepala papa tampan masih terus mengulang kejadian beberapa saat lalu tanpa bisa menghindar. Berputar ke waktu lalu lebih lama lagi, ia mengingat ucapan Tante Merlin mengenai tunangan si gadis. Benarkah gadis itu telah bertunangan? "Shit," tiba-tiba Ares mengerang kesal. Papa tampan memaki, tanpa sebab—tanpa alasan berarti. Kepala Ares menunduk, mengepalkan tangan kemudian menutup mata menetralisir emosi yang sedang bergolak ingin meledak. Helaan napas panjang (lagi) berat ratusan kali terdengar, mengisi ruang luas nan rapi. Getar
Cherry baru saja selesai membersihkan diri dari debu dan keringat setelah seharian ia berjalan mencari pekerjaan. Menutup pintu kamar mandi, tangan gadis itu sibuk mengusap-usap keringkan rambut basah dengan handuk kecil. Si manis melangkah, berdiri depan meja hitam kecil, ia membuka tas lalu meraih ponsel. Ada tiga panggilan tak terjawab dari si adik. Cherry mengulum senyum kecil, ibu jarinya menari cepat pada layar ponsel. Ia mengirim pesan, memberi kabar pada Leon kalau ia sudah sampai di apartemen. Menaruh ponsel, iris cantik Cherry tak sengaja melirik pada sebuah kartu nama dalam tas. Tangan Cherry bergerak ambil kartu dari dalam tas. Isi kepala si gadis mengingat ulang kejadian beberapa waktu lalu. Matahari telah tinggi bersinar sangat terik menyengat kulit, tak menyurutkan semangat si gadis untuk mencari kerja. Cherry berjalan melewati beberapa barisan toko dan cafe. Si gadis melangkah santai, sesekali melirik juga membaca papan tertulis depan toko atau cafe di sana. Yah, haru
Cherry menarik napas dalam lalu menghembuskan secara perlahan. Mengayun kaki masuk ke dalam gedung perusahaan penuh percaya diri. Manik cokelat cherry berpendar kagum, perusahaan ini tak jauh beda dari milik mendiang sang ayah. Cherry menghela napas kecil ini memang sudah takdirnya. Tak bisa bekerja di perusahaan sang ayah, walau sekadar menjadi buruh upah harian. Sudahlah bukan berarti ia putus asa. "Semangat Cherry kamu pasti bisa. Yah, semangat." Cherry mengepalkan tangan ke udara. Berdeham saat beberapa mata tertuju padanya. Semakin dekat meja resepsionis, jantung gadis manis semakin berdegub keras. "Permisi," sapa Cherry pada wanita cantik di balik meja resepsionis yang diharuskan ramah pada setiap tamu. Wanita itu berdiri lalu mengulum senyum tipis menyambut ramah. "Ada yang bisa saya bantu?" "Kemarin aku dapat info kalau di perusahaan ini sedang buka lowongan pekerjaan. Aku datang untuk melamar," ucap Cherry halus. Resepsionis mengerut dahi dalam, lantaran bingung. "Maaf n
"Oh, shit!" Early menggerutu kesal. Ares selalu mengabaikan panggilan telepon darinya. "Are you oke?" tanya Nella menyorot kamera pada Early. Early berpaling menatap sahabat disampingnya sedang menyeruput jus pome kesukaan dengan satu tangan menyiku di atas meja, memegang kamera. "Yeah," sahut Early menghembus napas kecil. "Sungguh?" tanyanya lagi melihat raut suram temannya. Early meraih sedotan meminum milkshake strawberry. "Yep, i'm oke," jawab Early lemah. "Woo ... tapi aku tidak yakin. Sangat jelas terjadi sesuatu padamu?" cecar Lina sahabat Early satu lagi. "Apa maksudmu?" Early memasang wajah pura-pura bingung, masih tidak ingin bicara. Nella menghembus napas. Menaruh kamera aktif di atas meja. Meraih satu spring roll keju ia asyik mengunyah dan menyimak percakapan kedua temannya. "Kamu menghubungi seseorang lebih dari tiga puluh menit yang lalu dengan menggigit ujung kuku. Dari gelagat kamu saja sudah sangat terlihat kalau kamu ingin sekali bicara dengan seseorang di se
Cherry mendesah gemas, duduk manis di sofa putih. Manik cokelat si gadis menjangkau ruang luas tak kalah dari ruang kantor lantai 20 gedung tempatnya bekerja. Bersih dan sangat nyaman. Ruang kerja seorang pebisnis muda. Manik indah si gadis manis mengamati seluruh ruang. Wow... apa itu! Cherry mengerjab sesuatu yang mencolok mata. Sebuah pigura berukuran ekstra besar berlapis emas dengan foto si pemilik ruangan. Wah, apa itu emas murni? Selera pria ini memang tidak main-main. Dari sekian banyak barang di sana, ada satu hal yang menarik perhatian si gadis. Sebuah foto anak bayi terpanjang mungkin usianya berkisar satu tahun lebih. Putranya tampan, Cherry mengagumi. Eh, di mana foto istrinya? Aneh hanya ada foto si bos dan putranya. Cherry penasaran melihat ada dua pigura di atas meja kerja si bos. Mungkin saja itu foto pernikahan. Kenapa tidak dipajang dengan pigura besar seperti foto pria itu? Menggeleng kepala Cherry membuang jauh-jauh
Status nenek tidak mengubah gaya penampilan modis Terry. Wanita berumur 51 tahun tersebut sangat mengikuti trend mode kekinian. Tak jarang banyak wanita paruh baya seusianya mengikuti gaya berpakaian Terry. Modis, dinamis dan sederhana. Hampir semua warna telah di-mix olehnya. Tak salah jika beberapa perancang busana pernah meminta saran dari Terry untuk keluaran koleksi baru mereka. Yah, Terry sang mantan model sangat berbakat dan terkenal pada masanya. Terry sempat menjadi pusat perhatian, dipuja-puja banyak kalangan terutama kaum pria. Banyak pihak kecewa lantaran Terry memutuskan pensiun dari dunia meliukkan tubuh di atas panggung setelah James Allan pria yang berhasil merebut hati Terry dan menjadikannya istri idaman. Memiliki seorang putra bernama Ares Allan dan kini kebahagiaan keluarga James dan Terry bertambah sejak mereka mempunyai seorang cucu. "Morning," James datang dari belakang memberi kecup sayang pada pipi istri tercinta
Lantas kala kebahagiaan mengalir deras mampu menampilkan senyum dalam arti sesungguhnya. Cherry tidak lagi merasa sendiri ataupun kesepian jika ia berada di tengah keluarga. Cherry bisa merasakan cinta serta kasih sayang tulus dari kedua mertua, Lina juga lainnya. Seiring waktu bergulir kegiatan Cherry semakin bertambah, selain menjadi ibu rumah tangga, Cherry disibukkan sebuah bisnis kosmetik dengan Brand 'Queen Cherry' dan telah tersebar di beberapa negara. Sedikit cerita, dua Minggu setelah menikah Cherry meminta izin pada Ares untuk pergi ke Miami dengan alasan ia masih memiliki kontrak kerja sama dengan beberapa produk iklan serta ada satu dari perusahaan ternama. Cherry tahu konsekuensi yang ia dapat pasti akan sangat merugikan, juga harus membayar ganti rugi. Terlebih sepengetahuan Cherry anak magang ataupun model yang telah menandatangani kontrak tidak boleh menikah sampai batas waktu yang ditent
Suara tawa renyah Prime mengudara lantas menjerit kuat saat manik anak laki-laki itu melihat mommy Cherry berdiri di ujung tangga. "Mommy, I miss you," kata bocah laki-laki itu berjalan setengah berlari dikuti Rira dari belakang yang tampak ketakutan kalau Prime akan terjatuh. "Oh, ya Tuhan, hati-hati!" Kekehan kecil Cherry terdengar berselisih dengan rasa khawatir saat ia menyambut suara serta tingkah lucu Prime, membawa anak laki-laki itu ke dalam dekapan. "Me too, handsome," Cherry menoel hidung kecil Prime dan bocah itu tertawa riang. Ares tersenyum menawan, mencium gemas pipi Prime sebelum mengeluarkan protes. "Sama Daddy tidak rindu, ya?" Lucunya Prime menggeleng lantas menjawab dengan suara belepotan ala-ala anak seusianya. "I'm not miss you," Ares menutup wajah berpura-pura menangis sedih. Prime yang kala itu dalam gendongan Cherry mencoba meraih jari besar Ares bermaksud menjauh tangan besar itu dari
Kalian pasti mengenal kata euforia, bukan?! Salah satu aksen wujud nyata sebuah kegembiraan tak terbatas, bersemangat, bergairah dan ... ah, tentu saja sangat intens. Kali ini euforia datang secara mendadak kelewat serius sampai si Pemilik ikatan dibuat canggung serta linglung. Kebahagiaan dari komitmen lembaran baru singgah menyapa Ares Allan yang berhasil memberi gelar gadis pujaan bernama Qyana Thomas sebagai istri sah miliknya, memberi warna juga bentuk lain memaknai kisah mereka di atas kanvas bernama takdir yang mengharukan. Detik menjelang kebahagiaan lidah Ares nyaris terkilir melecut kata penolakan. Sungguh papa tampan merasa bersyukur mampu mengendalikan diri. Beralih pada Cherry, gadis bernama asli Qyana Thomas sempat salah tingkah mendapati detik demi detik dalam hidupnya digulung ombak kebahagiaan kental. Cherry hampir tidak percaya, mendapat hadiah terbaik di hari yang tidak pernah ia duga. Yah, kedua insan di sana masih semp
Terry tampak gelisah. Kaki wanita paruh baya itu tidak henti menyapu marmer pada jejak yang sama. Menggigit kuku jari telunjuk polos tanpa pewarna, sesekali Terry menoleh berharap seseorang yang ia nantikan muncul dari balik pintu utama. "Apa benar, ya?" monolog Terry, membuang napas halus. "Percaya atau tidak ya?!" Wanita paruh baya di sana terlihat bimbang mengenai ucapan sang suami. Terry sempat memasang wajah sangar kala James tiba-tiba membangunkan dirinya untuk terjaga sesaat dan menunggu pria itu kembali ke rumah. Tentu saja bukan hal mudah untuk James langsung keluar rumah begitu saja mengingat langit di luar masih tampak sangat gelap, yang lebih utama, besok adalah hari penting untuk putra mereka. "Bagus, kau ingin lepas tangan atas nasib putramu sekarang." Kalimat ketus istri tersayang langsung hinggap ke telinga tepat setelah kelopak Terry terbuka, serta-merta menyidik sinis penampilan rapi James dari atas sampai bawah
5 jam sebelum pernikahan .... Cherry belum mau beranjak dari sofa dekat jendela kamar. Gadis itu sedang berusaha melepas kisah asmara yang dalam hitungan jam ke depan menjadi kenangan. Cherry tersenyum memandangi bulan indah bersinar terang di atas sana. "Ayah," Cherry memanggil lemah. "Beri aku waktu melupakan kisah indah ... hatiku sedang sesak." Menunduk sesaat menyimak ribuan lampu-lampu menyala di luar sana lalu padam satu per satu. Tidak ada air mata tumpah menganak sungai, namun sesekali arah pandang gadis manis itu tampak buram segera mungkin mengerjab, ia melapangkan hati ... kuat. "Ayah ... bagaimana kabar ibuku?" alih-alih mengutarakan rasa tidak nyaman dalam hati, Cherry justru bertanya tentang ibu kandungnya. "Aku tahu, kalian pasti sudah bertemu dan bahagia di sana. Tenang saja aku tidak percaya cerita Ibu Merlin tentang ibu kandungku Merlina." Menggeleng lucu seolah kedua orang tuanya ada di hadapan sedang
Tanpa harus menggali lebih jauh Ares tetap tahu apa yang ada di dalam lubuk hatinya. Apa yang membuat dirinya jatuh dan sakit berkepanjangan. Tidak ingin larut dalam kesedihan, pria itu menambah waktu sibuk guna melepas beban pikiran tertinggal dari segala persoalan yang tak kunjung ada jalan keluarnya. Dilema berkepanjangan ini sangat menguras pikiran juga menusuk menyiksa batin si Pria tampan, serta merta lupa memberi asupan terpenting saat tubuhnya lelah. Yah, Ares memilih cara menyakiti diri sendiri memaksakan kehendak pada tubuhnya harus tetap terjaga kala lelah menyerang. Pernah suatu malam Ares diajak berpikir keras. Duduk di ruang tamu kamar hotel ditemani Luke juga satu botol Martini, papa tampan kerap bertanya, siapa yang harus disalahkan atas dilema berkepanjangan ini?! Saat itu Luke memberi jawaban cukup bijak membantu hatinya yang terluka terlapisi rasa tenang. Ayah, Ibu, Early, Tante Merlin atau sifat naif dari gadis manis yang mas
Dua Minggu pasca kejadian memuakkan Ares tidak memberi perintah apa pun pada Eric. Papa tampan lebih memilih bertindak berhati-hati. Mengikuti segala keputusan atau lebih tepatnya perintah sang Ayah tanpa harus kembali bersuara. Ares selalu datang jika sang Ayah hanya mengirim sebuah pesan sekali pun, lantas mengabulkan segala perintah dari James yang membuatnya terlihat seperti orang bodoh karena tidak bisa membangkang. Berbalik tiga ratus enam puluh derajat dengan keinginan hati. Ares memendam pedih di hatinya, tetap beraktivitas memasang wajah tenang setiap waktunya. Tidak ada yang tahu jika setiap malam papa tampan bahkan sulit untuk memejamkan mata. Ia harus bertahan, tetap mencari jalan keluar tanpa dicurigai. "Ya Tuhan, coba lihat putriku ini sangat cantik." Puji Merlin melihat putrinya memakai gaun pengantin indah. Si Pemilik butik tersenyum lembut, "Benar, kau sangat cantik." Mereka tertawa riang dan Early harus berpura-pura men
Ares memutar bola mata malas lalu menutup pintu mobil kasar. Melangkah masuk area gedung yang sama sekali tidak ada dalam daftar jadwal kegiatan pria itu. Kalau bukan karena sang Ibu dirinya tidak akan sudi melakukan hal sia-sia seperti ini. Pintu lift terbuka, langkah Ares semakin berat kala manik pekat milik papa tampan menangkap pintu kamar rawat beberapa centi meter dari jaraknya. "Anda melupakan sesuatu, Tuan Ares." Tepat empat langkah sebelum mereka sampai depan pintu kamar rawat Luke menyapa ramah. Sekretaris Ares mengulurkan tangan memberi sesuatu yang terlihat mengerikan di mata Ares. Manik hitam Ares menyimak wajah Luke yang kini tengah menahan senyum laknat lalu bergulir pada tangan pria itu. "Hei, bedebah." Luke menatap wajah Ares. "Ya, bajingan," balas Luke kalem. Dagu Ares bergerak satu kali menunjuk benda di tangan Luke. "Kenapa beli hal busuk mengerikan seperti itu?" "Aku tidak tahu jenis-jenis b
Leon menarik napas lega, baru saja pemuda itu hendak membuka minuman kaleng, maniknya menangkap gerakan tangan Early. Leon mendekati ke sisi ranjang. "Ah, putri tidur sudah bangun rupanya, jangan paksakan tubuhmu untuk bergerak." Leon menekan tombol pemanggil suster penjaga. Tidak lama suster penjaga datang. "Tolong panggilkan dokter, dia sudah siuman." Suster bergegas memanggil dokter. "Biar aku periksa," sapa seorang dokter pada pemuda Thomas. Leon memberi ruang pada dokter. Suster mencatat data baru dari pasien. "Syukurlah, masa kritis pasien telah lewat. Biarkan ia beristirahat lebih banyak dan beri air putih secukupnya, aku akan datang dua jam lagi untuk pemeriksaan lebih lanjut." "Ya, terima kasih." Melihat dokter serta suster telah keluar pintu. Leon menghampiri Early. "Leon," panggilan Early lemah nyaris seperti sebuah bisikan. "Ya," Leon me