"Aku hanya perlu menghindari satu seranganmu? Itu mudah sekali, Same." Aku mendengar Same mengambil sebuah balok kayu. Perlahan dia memukul-mukulkan balok itu ke tangannya, bersiap menyerangku.Same berlari, aku dapat mendengar suara kakinya. Jaraknya sekitar 5 detik sampai ke hadapanku. 4 detik, 3 …, 2 …. Same menyerangku dari arah kanan. Baiklah aku bisa tebak dia akan memukul kepalaku.Aku menunduk dan ….Bukkk!Perhitunganku keliru, Same tidak memukul kepalaku, melarikan dia memukul kakiku. Banyak diantara mereka pasti akan memilih kepala ataupun perut sebagai target mereka. Berbeda dengan Same, dia menyerang apa yang tidak dikhawatirkan oleh lawan.Bukkk! Kemudian Same memukul kepalaku. Aku segera menjauh darinya. Menggelengkan kepala, menyadarkan dari rasa pusing.Satu serangan yang tidak terduga. Same memanfaatkan kondisi disaat aku mengira dia berhenti menyerang, dia malah melesat maju dan memukul perutku.Aku memegangi perut. Tidak sempat memikirkan rasa sakit, aku lantas sia
Rai diperbolehkan beristirahat di dalam rumah. Kerja kerasnya tidak sia-sia, dia dapat menyelesaikan latihan ini dengan cepat, walaupun aku tahu tidak ada teknik yang sempurna dalam waktu singkat."Kau lama sekali, Indra." Risau berjalan bergayak memasuki rumah, dia menemani Rai. Aku tahu maksud perkataannya tadi, dia mengejekku.Aku mengikat kain hitam, menutupi kedua mataku. Penglihatanku kembali gelap, tidak nampak apapun. Hujan belum redah, terus menyerbu tubuhku. Badanku menggigil, kulit pucat.Angin menggoyang daun, menimbulkan suara khas. Tetesan air hujan, monyet, burung, dan rusa, suaranya terdengar jelas di telingaku. "Tolong ambilkan aku air, Risau." Itu suara Rai, dia menyuruh Risau mengambilkan air untuknya. "Ok." Risau menjawab singkat.Badak itu tidak menolak ataupun mendumel diperintah Rai, coba saja kalau aku, dia pasti memaki aku.Semakin fokus, pendengaranku semakin luas dan nyata. Aku seakan dapat melihat pergerakannya, mengetahui gerak-gerik mereka semua.Rai mem
Fajar menyingsing jernih dan dingin, mengisyaratkan akhir musim panas, daun-daun menghijau, melambai-lambai, menampung sisa air hujan semalam, air itu mengalir sampai ke ujung daun, kemudian menetes ke kubangan, menimbulkan gelombang kecil. Suaranya terdengar damai, diiringi dengan cicitan burung. Matahari bersinar lembut, cahaya redup tertutup awan abu, rumput halaman basah. Rumah Same memang terlihat doyong, akan tetapi rumah ini bertahan dari hujan lebat. Aku duduk di atas batu besar di pinggir kolam ikan, airnya sangat jernih."Dimana Same?" Rai duduk di sampingku, memberi makan ikan."Aku tidak tahu, dia sudah biasa terlambat." Aku mengambil sedikit umpan ikan, memberikannya pada kolam yang baru.Risau keluar rumah. "Mana rumahku, kok belum jadi." ucapnya.Rai melirik aku. "Apa yang dia katakan.""Dia menanyakan rumahnya, kenapa kita belum membuatnya." "Kamu sudah tidak sabar mempunyai rumah baru ya, Risau." kata Rai santai."Kata Rai, kamu cerewet." Aku menteranselit."Hei." Ra
Pohon di hutan ini tidak rapat, mereka tumbuh berjauhan, tidak terlalu tinggi dan luas. Daunnya rontok dan kering, menutupi tanah.Sepanjang perjalanan, kami tidak menemukan hewan, biasanya monyet bergelantungan di atas pohon, burung-burung bertengger, dan rusa sedang memakan rumput. Mereka menuruti perkataan Same, tidak boleh keluar rumah.Same menyukai binatang, dia mengerti perasaan binatang, keinginannya, dan memahami bahasanya. Same bagaikan raja rimba di hutan ini, mereka menyayanginya.Pohon yang terikat kain berwarna kuning itu tidak terlalu besar, daunnya juga tidak lebat. "Aku saja yang melakukannya, Rai." Kakiku menyiak daun kering yang menumpuk, aku mendekati pohon itu.Suasana sepi, hanya kami berdua di sini. Tidak ada yang perlu ditakuti, ini lebih baik, tidak ada yang mengganggu kami menjalankan tantangan ini, kami akan menyelesaikannya dengan cepat.Setengah hari, itu batas waktu yang sangat lama. Same meremehkan kemampuan kami. Aku juga tidak butuh bantuan badak itu,
"Sedikit lagi kita sampai atas, Rai." Aku bersemangat, akhirnya sekian lama kami memanjat, aku bisa dapat melihat matahari lagi."Cepat Indra, keringatmu mengenai wajahku." Rai berseru, dia menunggu naik.Aku lanjut memanjat tebing. Untung saja Same membuat lubangan untuk kami berpegangan, kalau tidak kami bisa mati dalam sumur ini, tidak ada udara, pengap.Aku terlentang, napasku memburu, wajah berkeringat, baju basah. Mataku melihat awan putih yang berarak di langit biru. Cuaca hari ini panas, matahari bersinar terang, sulit sekali memandang.Rai duduk dengan kedua kaki diluruskan ke depan. Kedua pedangnya tergeletak di samping. Wajah Rai memerah, dia berusaha mengatur napasnya.Akhirnya kami berhasil keluar dari lubang sumur. Menghabiskan banyak waktu untuk memanjatnya. Waktu kami sampai tengah hari. Aku kira latihan ini akan selesai dalam waktu 3 jam, aku meremehkannya."Kita istirahat dulu sebentar, Indra." ucap Rai.
"Terima kasih, Rai." Dadaku berdebar, napasku tersengal, tetapi aku harus tetap lari. Pandanganku fokus menatap pohon, tidak berbalik, tidak menoleh kanan-kiri.Aku menghindari semua serangan, Rai membantu dari jauh, memotong benda tersebut sebelum mengenaiku.Jarakku semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat tujuan, jari kukepal erat-erat, ini saatnya, tidak ada waktu lagi, aku harus lompat dari sini.Bummm! Aku berhasil memukul pohon itu. Batangnya retak, tetapi tidak cukup kuat untuk menumbangkannya."Indra, awas!" Rai berseru.Tiga buah pisau dan satu gerigi besi melayang dengan cepat menyerangku. "Kazakiri!" Rai mengeluarkan jurusnya.Sebilah angin itu meluncur mendekatiku, akan tetapi lama-kelamaan teknik itu menghilang. "Teknikku tidak sampai." ucap Rai kecewa.Aku menelan ludah, bagaimana ini? Tidak ada jalan untuk kabur, bersembunyi di balik pohon pun percuma, benda lain tetap menye
Aku kira tombol kunci untuk mengaktifkan jebakan ini berada jauh di depan kami, atau entah berantah posisinya tersembunyi, tapi ternyata benda itu berada tepat di kaki Rai. Kami tidak menyadarinya, sibuk memikirkan cara yang tidak tahu solusinya.Ketika Rai mengangkat kakinya. Asap tebal menyelimuti kami. Aku tidak bisa nampak sekitar, mataku perih kemasukan asap. Aku tidak tahu apa rencana Same kali ini, kenapa dia membuat bom asap, efeknya tidak akan lama dan akan memudar. Kami bisa menumbangkan pohon itu dengan mudah. Namun, pemikiranku salah, rencana Same sulit ditebak.Setelah asap meredah. Lapangan luas yang dipenuhi dedaunan kering itu berubah menjadi tempat kuburan untuk kami. Same benar-benar ingin membunuh. Lihatlah, gerigi besi perlahan menerobos tanah kempuh selebar lapangan ini, ujung-ujungnya mengkilap terlihat sangat tajam. Bukan hanya itu, Same membuat kami tidak bisa bernapas di latihan ini, dia juga membuat gerigi besi diatas kepala kami
Hampir setengah jam aku pingsan. Saat sadarkan diri, tanganku sudah diperban menggunakan daun. Aku disandarkan ke pohon di belakang pohon keempat.Tanah yang bergerigi di hadapanku sudah menghilang. Aku melirik Rai, meminta jawaban."Gerigi besi masuk kembali ke tanah, sedangkan yang di atas jatuh." Rai menunjuk ke sampingku.Gerigi besi itu tergeletak tak bergerak di sampingku, noda darah masih terlihat di sana.Tanganku sulit mengepal, jemari kram dan terasa nyeri. Daun-daun hijau berubah merah terkena darah segar yang keluar tidak bisa kehentikan."Terima kasih, Indra." kata Rai."Untuk apa?" tanyaku."Kamu sudah menahan gerigi besi itu dan kamu sangat percaya dengan aku." "Karena aku tahu kamu bisa melakukannya, Rai. Same membuat jebakan ini sebab dia yakin kita bisa menyelesaikannya, dia tahu kemampuan kita.""Kita sudah sangat terlambat menyelesaikan tantangan ini. Apakah Same akan marah?"