Fajar menyingsing jernih dan dingin, mengisyaratkan akhir musim panas, daun-daun menghijau, melambai-lambai, menampung sisa air hujan semalam, air itu mengalir sampai ke ujung daun, kemudian menetes ke kubangan, menimbulkan gelombang kecil. Suaranya terdengar damai, diiringi dengan cicitan burung. Matahari bersinar lembut, cahaya redup tertutup awan abu, rumput halaman basah. Rumah Same memang terlihat doyong, akan tetapi rumah ini bertahan dari hujan lebat. Aku duduk di atas batu besar di pinggir kolam ikan, airnya sangat jernih."Dimana Same?" Rai duduk di sampingku, memberi makan ikan."Aku tidak tahu, dia sudah biasa terlambat." Aku mengambil sedikit umpan ikan, memberikannya pada kolam yang baru.Risau keluar rumah. "Mana rumahku, kok belum jadi." ucapnya.Rai melirik aku. "Apa yang dia katakan.""Dia menanyakan rumahnya, kenapa kita belum membuatnya." "Kamu sudah tidak sabar mempunyai rumah baru ya, Risau." kata Rai santai."Kata Rai, kamu cerewet." Aku menteranselit."Hei." Ra
Pohon di hutan ini tidak rapat, mereka tumbuh berjauhan, tidak terlalu tinggi dan luas. Daunnya rontok dan kering, menutupi tanah.Sepanjang perjalanan, kami tidak menemukan hewan, biasanya monyet bergelantungan di atas pohon, burung-burung bertengger, dan rusa sedang memakan rumput. Mereka menuruti perkataan Same, tidak boleh keluar rumah.Same menyukai binatang, dia mengerti perasaan binatang, keinginannya, dan memahami bahasanya. Same bagaikan raja rimba di hutan ini, mereka menyayanginya.Pohon yang terikat kain berwarna kuning itu tidak terlalu besar, daunnya juga tidak lebat. "Aku saja yang melakukannya, Rai." Kakiku menyiak daun kering yang menumpuk, aku mendekati pohon itu.Suasana sepi, hanya kami berdua di sini. Tidak ada yang perlu ditakuti, ini lebih baik, tidak ada yang mengganggu kami menjalankan tantangan ini, kami akan menyelesaikannya dengan cepat.Setengah hari, itu batas waktu yang sangat lama. Same meremehkan kemampuan kami. Aku juga tidak butuh bantuan badak itu,
"Sedikit lagi kita sampai atas, Rai." Aku bersemangat, akhirnya sekian lama kami memanjat, aku bisa dapat melihat matahari lagi."Cepat Indra, keringatmu mengenai wajahku." Rai berseru, dia menunggu naik.Aku lanjut memanjat tebing. Untung saja Same membuat lubangan untuk kami berpegangan, kalau tidak kami bisa mati dalam sumur ini, tidak ada udara, pengap.Aku terlentang, napasku memburu, wajah berkeringat, baju basah. Mataku melihat awan putih yang berarak di langit biru. Cuaca hari ini panas, matahari bersinar terang, sulit sekali memandang.Rai duduk dengan kedua kaki diluruskan ke depan. Kedua pedangnya tergeletak di samping. Wajah Rai memerah, dia berusaha mengatur napasnya.Akhirnya kami berhasil keluar dari lubang sumur. Menghabiskan banyak waktu untuk memanjatnya. Waktu kami sampai tengah hari. Aku kira latihan ini akan selesai dalam waktu 3 jam, aku meremehkannya."Kita istirahat dulu sebentar, Indra." ucap Rai.
"Terima kasih, Rai." Dadaku berdebar, napasku tersengal, tetapi aku harus tetap lari. Pandanganku fokus menatap pohon, tidak berbalik, tidak menoleh kanan-kiri.Aku menghindari semua serangan, Rai membantu dari jauh, memotong benda tersebut sebelum mengenaiku.Jarakku semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempat tujuan, jari kukepal erat-erat, ini saatnya, tidak ada waktu lagi, aku harus lompat dari sini.Bummm! Aku berhasil memukul pohon itu. Batangnya retak, tetapi tidak cukup kuat untuk menumbangkannya."Indra, awas!" Rai berseru.Tiga buah pisau dan satu gerigi besi melayang dengan cepat menyerangku. "Kazakiri!" Rai mengeluarkan jurusnya.Sebilah angin itu meluncur mendekatiku, akan tetapi lama-kelamaan teknik itu menghilang. "Teknikku tidak sampai." ucap Rai kecewa.Aku menelan ludah, bagaimana ini? Tidak ada jalan untuk kabur, bersembunyi di balik pohon pun percuma, benda lain tetap menye
Aku kira tombol kunci untuk mengaktifkan jebakan ini berada jauh di depan kami, atau entah berantah posisinya tersembunyi, tapi ternyata benda itu berada tepat di kaki Rai. Kami tidak menyadarinya, sibuk memikirkan cara yang tidak tahu solusinya.Ketika Rai mengangkat kakinya. Asap tebal menyelimuti kami. Aku tidak bisa nampak sekitar, mataku perih kemasukan asap. Aku tidak tahu apa rencana Same kali ini, kenapa dia membuat bom asap, efeknya tidak akan lama dan akan memudar. Kami bisa menumbangkan pohon itu dengan mudah. Namun, pemikiranku salah, rencana Same sulit ditebak.Setelah asap meredah. Lapangan luas yang dipenuhi dedaunan kering itu berubah menjadi tempat kuburan untuk kami. Same benar-benar ingin membunuh. Lihatlah, gerigi besi perlahan menerobos tanah kempuh selebar lapangan ini, ujung-ujungnya mengkilap terlihat sangat tajam. Bukan hanya itu, Same membuat kami tidak bisa bernapas di latihan ini, dia juga membuat gerigi besi diatas kepala kami
Hampir setengah jam aku pingsan. Saat sadarkan diri, tanganku sudah diperban menggunakan daun. Aku disandarkan ke pohon di belakang pohon keempat.Tanah yang bergerigi di hadapanku sudah menghilang. Aku melirik Rai, meminta jawaban."Gerigi besi masuk kembali ke tanah, sedangkan yang di atas jatuh." Rai menunjuk ke sampingku.Gerigi besi itu tergeletak tak bergerak di sampingku, noda darah masih terlihat di sana.Tanganku sulit mengepal, jemari kram dan terasa nyeri. Daun-daun hijau berubah merah terkena darah segar yang keluar tidak bisa kehentikan."Terima kasih, Indra." kata Rai."Untuk apa?" tanyaku."Kamu sudah menahan gerigi besi itu dan kamu sangat percaya dengan aku." "Karena aku tahu kamu bisa melakukannya, Rai. Same membuat jebakan ini sebab dia yakin kita bisa menyelesaikannya, dia tahu kemampuan kita.""Kita sudah sangat terlambat menyelesaikan tantangan ini. Apakah Same akan marah?"
Kami mengikat kelima pohon itu menggunakan tambang, kemudian menariknya bersama. Tidak terlalu berat sebab Rai sudah memotong daun dari pohon-pohon itu, sebagian diambil untuk membuat atap.Aku dan Rai langsung merebahkan tubuh kami ke atas rumput halaman rumah Same, melihat langit jingga. Seharian berlatih hampir membuat kami kehilangan nyawa, bertahan hidup dengan susah payah, akhirnya kami bisa kembali ke rumah ini. Rasanya sangat melegakan dan damai sekali, tetapi keindahan itu tidak kunjung lama. Risau badak jelek itu mengganggu kami."Lama sekali kalian, cepat buat rumah, aku ingin tidur." Risau menyungkur-nyungur aku dengan tanduknya.Rai tahu apa maksud Risau, dia segera menarik kedua pedangnya dan memotong-motong pohon itu menjadi kayu-kayu panjang."Kita harus cepat menyelesaikannya sebelum Same kembali." kata Rai.Aku mengangguk dan segera mengambil perlengkapan.30 menit kami berhasil membuat kandang untuk Risau. Ruma
"Same, pelindung Kerajaan Manggo. Kenapa aku bisa bertemu denganmu di hutan ini?" Wajah pria itu kecewa."Seharusnya saya yang bertanya denganmu, Jarot. Kenapa malam-malam kamu bertamu ke rumah saya?" Wajah Same sangat santai, dia seakan bicara dengan teman yang sudah lama tidak bertemu."Ah, sial. Aku masuk ke kandang harimau." Pria itu kembali menyesali tindakannya."Kamu menganggap saya harimau." Same berdiri.Jarut mengeluarkan pisau dari balik bajunya. Pisau itu mempunyai dua mata."Kamu semangat sekali, Jarot. Malam ini saya tidak ingin bertarung. Kamu saya serahkan pada mereka." Same menunjukku dan Rai.Aku melirik Same. Dia ingin aku melawan pembunuh berdarah dingin ini. Aku baru saja menyelesaikan latihan berat yang dia berikan, sekarang harus berlatih lagi dengan seorang pembunuh. Dia benar-benar ingin menyingkirkan kami dengan berbagai cara latihannya."Ini latihan terakhir kalian." ucap Same.Rai seg