"Kenapa kita tak gunakan perempuan sebagai jebakan? Seperti cerita di novel yang pernah ku baca. Tidur bareng, ambil foto, besoknya mengancamnya biar mau kerjasama. Kalau tidak maka foto itu akan bocor ke publik?" ujar Vicenzo memberi pendapat. "Kalau dia berasal dari keluarga biasa, sudah ayah lakukan sejak dulu. Tapi ini? Keluarganya merupakan konglomerat golongan kelas satu! Karena itu dia tidak pernah tertarik dengan uang kita," jelas Arzenio. "Kakek jangan bercanda, mana mungkin seorang pengacara sepertinya memiliki keluarga yang berasal dari konglomerat golongan kelas satu," protes Nadia tak percaya. "Bukan itu saja, pengacara itu merupakan anak sahabat baik Bernard Liu. Pengusaha yang sangat di takuti oleh semua konglomerat," Arzenio menarik nafas panjang. Dia bingung harus menghadapi pengacara itu dengan cara apa. Tiba-tiba Nadia berdiri dan tersenyum, "Serahkan pengacara brengsek itu padaku. Aku yang akan mengurusnya." "Caranya?" tanya Arzenio penasaran. "Bukanka
*** Setelah menemukan targetnya, Nadia melangkah dengan lunglai. Tiba-tiba tangannya ditarik seorang pria yang seumuran dengan ayahnya. "Kalau jalan itu hati-hati, Dek. Kalau kau masih menabrak pohon itu, mendingan. Bagaimana kalau kau justru menabrak mobil yang lewat? Bukankah itu berbahaya?" Pria itu kebingungan, ketika wanita yang ditolongnya justru menangis. "Maaf, bukannya mau menyinggung. Tapi, om hanya mau mengingatkan mu untuk berhati-hati." "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Om," ujar Fania. Tak tega melihat wanita itu menangis, pria itu menuntunnya memasuki cafe dan memesan teh manis. "Apa kau punya masalah, Dek. Kebetulan aku seorang pengacara, jika kau butuh bantuan hukum, aku bersedia membantumu." "Mantan pacarku yang belum move on kini kembali. Dia tidak ingin melihat ku bahagia dengan pria pilihanku. Untuk menghancurkan kepercayaan suamiku, dia bahkan nekat mengirim foto-foto kebersamaan kami dulu," ujar Nadia sambil menyodorkan amplop cokelat kepada san
*** Keesokan harinya, di rumah keluarga Mauren, terjadi perdebatan antara Arzenio dan Nadin sang cucu. "Apa kakek tak percaya pada kemampuan ku?" protes Nadia kesal. "Bukan itu. Kakek hanya tidak ingin kau salah mengambil langkah. Kesalahan sekecil apapun, itu akan berdampak buruk bagi keluarga kita, Nadia!" cetus Arzenio kesal, ketika mendapati cucunya masih saja keras dengan pendiriannya."Bukankah sudah hampir dua tahun kakek memikirkan cara untuk menaklukkan pengacara itu, tapi apa? Bukankah setiap usaha kakek selalu saja mengalami jalan buntu? Kakak harus menerima kenyataan, pengacara itu bukanlah sosok yang mudah untuk ditaklukkan!" teriak Nadia marah. Melihat kemarahan di mata cucu kesayangannya, membuat Arzenio membisikkan rencananya. "Bagaimana? Bukankah itu lebih masuk akal dan tak beresiko?" tanya sang kakek meminta pendapat Nadia. Walaupun kecewa dengan keputusan sang kakek, tapi tak ada yang dapat dilakukan Nadia, selain mengikhlaskannya. Namun, rencana sang
Bukannya merespon umpatan Ridel, Dirga justru melihat jam tangannya, "Sekarang waktunya bagi Fania untuk kembali belajar berjalan. Apakah Alex sudah siap diseberang?" Ya! Dalam sehari Dirga menjadwalkan tiga kali latihan. Saat subuh, jam 04.00 WITA. Saat siang hari, jam 14.00 WITA. Dan malam hari, jam 20.00 WITA. Disaat jam segitu, maka Alex akan mengambil alih CCTV di mana Fania dirawat. Jadi apabila ada keluarga Mauren yang tiba-tiba datang, maka dia akan segera memberitahu Ridel. Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WITA, keduanya menuju ruang perawatan Fania. Pengaruh obat yang diberikan Dirga padanya, membuat Fania sering ketiduran. Dia hanya akan bangun saat akan latihan berjalan. Dirga menatap Fania yang masih terlelap, "Bukan hanya berjalan, Fania bahkan bisa berlari kearah Arzenio. Namun, itu bukan berarti pengobatannya juga berakhir. Tapi itu adalah permulaan dia beralih pada obat racikan." Mata Ridel membulat sempurna, "Apa? Obat racikan?" "Iya, obat racikan. But
"Aku menyayangi mereka melebihi hidupku," jawab Fania yakin. "Terus, apa kau percaya, kalau perhatian keluarga Mauren itu benar-benar tulus?" tanya Ridel penasaran. Pertanyaan Ridel, seperti pisau tajam yang menusuk jantung Fania. Hingga membuatnya sesak nafas untuk sesaat. "Sepertinya kau tak yakin," kata Ridel kembali menuntun langkah kaki Fania agar lebih cepat. "Jujur saja, aku sendiri bingung dengan sikap keluarga ku. Kadang mereka terlihat sangat baik, tapi kadang juga perkataan mereka benar-benar menyakiti hati. Namun, aku ragu kalau ayah tidak menyayangiku. Buktinya? Ayah bahkan mempercayakan perusahaan Galaxy padaku disaat usiaku dua puluh tiga tahun. Waktu itu kondisi keuangan perusahaan baik-baik saja," jelas Fania. "Bagaimana dengan kakek Arzenio?" kejar Ridel. "Tanpa kakek, aku bukan siapa-siapa. Semenjak ibu meninggal, kakeklah sosok yang selalu ada untukku," jawab Fania tersenyum. "Hanya orang bodoh yang tak bisa membedakan, apakah perhatian yang diteriman
Ridel langsung saja mengangkat Fania ke dalam pelukannya. "Diam lah, Fania. Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Kau pura-pura lah tidur." Dengan cepat Ridel langsung berlari dan membaringkan Fania di ranjang. Walaupun tak paham dengan sikap Ridel, tapi Fania memilih memejamkan matanya. Ceklek Suara pintu yang terbuka, membuat Fania sadar kenapa sang suami melakukan hal itu padanya secara mendadak. "Apakah kau merawat putriku dengan baik? Ingat, mungkin bagi ayahku, kau adalah cucu menantunya. Tapi bagiku, kau tak lebih dari sekedar sampah jalanan!" cetus Vicenzo. Ridel memilih diam, dia malas berdebat dengan sosok seperti Vicenzo yang selalu merasa diri paling benar dan sempurna. "Apa tak cukup bagimu untuk menjadi benalu bagi keluarga Mauren? Sekarang kau menambah satu benalu lagi?" ketus Nadia emosi. Entah kenapa, Nadia tak bisa mengendalikan emosinya saat melihat Ridel menggenggam erat telapak tangan Fania. "Aku akan kembali ke kampung halamanku, dalam waktu tiga ha
Tak tahan dengan godaan itu, sang dokter langsung saja menarik Nadia keluar dari bawah meja, kemudian mendudukkannya di atas meja. "Apa kau menyukai tantangan?" bisik dokter Albert di telinga Nadia. Nadia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Mendapat anggukan, sang dokter tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung saja menyerang area sensitif Nadia. Hingga membuat gadis itu seperti cacing kepanasan. Mendapat serangan yang bertubi-tubi, membuat Nadia menjerit kenikmatan. Jeritan yang sama, saat mereka memadu kasih di apartemen milik sang dokter beberapa hari lalu. "Jangan keras-keras, Cantik. Ruangan ini tidak kedap suara," bisik sang dokter dan langsung membungkam mulut Nadia menggunakan bibirnya. Sementara itu tangan kanannya berkelana, mencari gua yang terletak ditengah hutan rimba. Auw ... Akkhh .... Nadia semakin keras menjerit, hingga membuat sang dokter kelabakan sendiri. "Jangan keras-keras, ini rumah sakit, cantik." Namun, Nadia tak mempedulik
*** Waktu terus berlalu, tak terasa tinggal tiga hari lagi Arzenio akan merayakan hari bahagianya. Itu artinya, sudah waktunya bagi Dirga untuk kembali ke kampung halamannya, Desa Santigi. "Dirga, jadilah dokter hebat. Pulihkan profesi dokter yang telah dikotori oleh Albert," pinta Ridel serius. "Aku tidak tertarik menjadi dokter, Ridel. Maaf." "Dokter Albert memiliki keahlian yang luar biasa dalam ilmu medis. Sayangnya, dia bukan hanya menyelamatkan banyak nyawa tapi juga sebaliknya, membunuh. Dan Fania bukanlah korban pertamanya." "Tugasku di sini hanya untuk memastikan istrimu sembuh. Selebihnya, sama sekali bukan urusanku. Mau dokter Albert seorang pembunuh atau bukan, itu sama sekali tak ada hubungannya denganku. Maaf, Ridel," tegas Dirga yakin pada keputusannya. "Satu-satunya sosok yang bisa mengimbangi dokter Albert itu hanya kamu, Dirga. Karena kalian berdua menguasai ilmu medis tradisional. Kalau soal ilmu kedokteran, kau bisa mempelajarinya," ujar Ridel berhara