Tak tahan dengan godaan itu, sang dokter langsung saja menarik Nadia keluar dari bawah meja, kemudian mendudukkannya di atas meja. "Apa kau menyukai tantangan?" bisik dokter Albert di telinga Nadia. Nadia hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Mendapat anggukan, sang dokter tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia langsung saja menyerang area sensitif Nadia. Hingga membuat gadis itu seperti cacing kepanasan. Mendapat serangan yang bertubi-tubi, membuat Nadia menjerit kenikmatan. Jeritan yang sama, saat mereka memadu kasih di apartemen milik sang dokter beberapa hari lalu. "Jangan keras-keras, Cantik. Ruangan ini tidak kedap suara," bisik sang dokter dan langsung membungkam mulut Nadia menggunakan bibirnya. Sementara itu tangan kanannya berkelana, mencari gua yang terletak ditengah hutan rimba. Auw ... Akkhh .... Nadia semakin keras menjerit, hingga membuat sang dokter kelabakan sendiri. "Jangan keras-keras, ini rumah sakit, cantik." Namun, Nadia tak mempedulik
*** Waktu terus berlalu, tak terasa tinggal tiga hari lagi Arzenio akan merayakan hari bahagianya. Itu artinya, sudah waktunya bagi Dirga untuk kembali ke kampung halamannya, Desa Santigi. "Dirga, jadilah dokter hebat. Pulihkan profesi dokter yang telah dikotori oleh Albert," pinta Ridel serius. "Aku tidak tertarik menjadi dokter, Ridel. Maaf." "Dokter Albert memiliki keahlian yang luar biasa dalam ilmu medis. Sayangnya, dia bukan hanya menyelamatkan banyak nyawa tapi juga sebaliknya, membunuh. Dan Fania bukanlah korban pertamanya." "Tugasku di sini hanya untuk memastikan istrimu sembuh. Selebihnya, sama sekali bukan urusanku. Mau dokter Albert seorang pembunuh atau bukan, itu sama sekali tak ada hubungannya denganku. Maaf, Ridel," tegas Dirga yakin pada keputusannya. "Satu-satunya sosok yang bisa mengimbangi dokter Albert itu hanya kamu, Dirga. Karena kalian berdua menguasai ilmu medis tradisional. Kalau soal ilmu kedokteran, kau bisa mempelajarinya," ujar Ridel berhara
"Selamat malam, hadirin sekalian. Mari kita panggil Bintang kita malam hari ini, Tuan Arzenio. Di hari ulang tahunnya yang ke enam puluh tahun, tapi justru membuatnya terlihat seperti empat puluhan tahun," teriak MC penuh semangat, yang langsung disambut dengan tepuk tangan penuh kebahagiaan. Disaksikan oleh para pemegang saham perusahaan Galaxy, alumni Institusi Teknologi Bandung yang lebih dikenal dengan ITB angkatan tahun 1998, beserta undangan lainnya. Dengan pasti, Arzenio melangkahkan kakinya menuju podium dan menempati tempat duduk yang khusus disediakan untuknya. Acara demi acara berlangsung dengan penuh canda dan tawa, sampai pada bagian terakhir. Penyerahan bingkisan kado ulang tahun untuk Arzenio Mauren. "Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk menyerahkan hadiah untuk tuan Arzenio, yang merupakan bintang malam ini," ujar MC. Sesuai permintaan keluarga Mauren, maka pihak keluarga akan menjadi yang terakhir membawa hadiah ulang tahun.Satu persatu tamu undangan membe
Dokter Albert diam membisu. Matanya tak berkedip melihat pemandangan yang berada tak jauh darinya. Bagaimana mungkin? Harusnya Fania tetap terbaring di ranjang setelah operasi. Kenapa justru sebaliknya? Harusnya dalam waktu seminggu, obatnya sudah berkerja! Ingatan Fania harusnya berlahan memudar. Dan orang-orang akan menganggap itu efek samping dari operasi. Tapi ini? Bukan hanya bisa berjalan dengan bebas, Fania juga terlihat lebih sehat dari sebelumnya. Walaupun tak percaya pada penglihatan. Tapi dokter Albert juga tak bisa menolak kenyataan, kalau sosok yang berdiri didepan Arzenio adalah Fania, mantan pasiennya. Sementara itu Arzenio berusaha keras menyembunyikan kegelisahan hatinya. Setelah dapat menguasai keadaan, Arzenio kembali menatap Fania. Mengucek matanya dan bertanya, "Apakah ini mimpi? Cucuku bisa berjalan? Bukan itu saja, dia bahkan bisa menaiki tangga?" Berlahan Fania melangkah mendekati sang kakek yang masih tak bergeming dari tempatnya. Dia menggengg
"Apa ini suatu kebetulan? Jawabannya, tidak! Pasti ada yang menolong Fania," ujar sang dokter dengan tangan terkepal. Dia tak bisa terima ada orang yang bisa mengalahkan keahliannya dalam ilmu medis tradisional. "Ada yang menolong, Fania? Tapi siapa? Itu sama sekali tidak masuk akal, Albert!" ketus Arzenio tambah kesal "Menurut perhitungan ku, seharusnya ingatan Fania baru mulai masuk pada awal memudar, belum hilang secara berlahan. Itu artinya, sosok yang menolongnya berada didekatnya sudah sekitar tiga Minggu atau bahkan mungkin sebulan," jelas dokter Albert mulai curiga adanya ketidak beresan. Nadia menatap sang dokter tanpa berkedip, "Apa kau yakin?" "Aku sendiri yang meracik obat untuk wanita itu. Aku sendiri juga yang menyuntik obat itu ke tubuhnya. Jadi kemungkinan terjadi kesalahan itu mustahil. Bukan itu saja selama hampir dua tahun, Fania berada di dalam pengawasan ku, sebelum dokter brengsek dari rumah sakit FO New York mengambil alih pengobatan Fania," jelas sang do
Arzenio menatap sang cucu dengan kesal, "Apa yang kau lakukan, Nadia? Kenapa kau mengadakan pertemuan pemegang saham, tanpa memberitahu kakek, ha?" "Apa untungnya bagi Nadia, kalau mengadakan rapat pemegang saham disaat perusahaan sedang baik-baik saja?" cetus Nadia tidak terima, ketika sang kakek menyalahkannya. Arzenio menunjukkan pesan aplikasi hijau yang ada di layar ponselnya, "Terus ini apa? Bukankah kau CEO nya, kenapa kau jadi tidak tahu?" "Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi, Kek. Aku juga menerima pesan yang sama," Nadia menunjukkan pesan yang juga diterima olehnya. "Sudah ku duga ini akan terjadi, tapi aku tak menyangka semua akan secepat ini," ujar Vicenzo langsung terduduk lemas. "Maksud, Ayah?" tanya Nadia, bingung. "Pertemuan itu pasti untuk membahas pergantian posisimu, Nadia." "Apa mereka ingin kau yang mengambil alih perusahaan kembali, Sayang," tanya Laura menatap sang suami. "Bukan aku, tapi mereka menginginkan Fania," jawab Vicenzo. "Apa? Men
*** Sesuai permohonan Ridel, Alex menemuinya di tempat biasa. Gedung tua pinggiran kota. "Kenapa kau memanggilku ke sini disaat sibuk, ha? Apa tak bisa dibicarakan lewat telepon?" sungut Alex ketika tiba di tempat tujuan. "Mana akte nikahnya?" tanya Ridel tanpa basa basi. Alex diam membisu, dia bingung harus menjelaskan dengan cara apa. Karena dia juga tak ingin Ridel tahu yang sebenarnya. Dia tidak mau memperkeruh hubungan ayah dan anak yang belum lama membaik, setelah tujuh tahun penantian. "Kenapa kau diam saja? Sesulit itukah untuk mendapatkan akte nikah itu?" tanya Ridel menatap sahabatnya tanpa berkedip. Ya! Sudah hampir seminggu Ridel meminta Alex mendaftarkan pernikahan dan mendapatkan akte nikah. Tapi sampai hari ini, jangankan akte nikah bahkan laporan dari Alex saja tidak ada. "Bagaimana kalau kau menyelamatkan gadis itu dengan cara lain. Jadikan dia adikmu. Bukankah kau lebih tua darinya, walaupun hanya lima bulan?" tawar Alex memberikan solusi. "Posisi sua
*** Keesokan harinya, tepat pukul sembilan pagi. Dengan mengenakan masker, Alex melangkahkan kakinya mendekati seorang pria yang sedang duduk dibalik meja kerjanya. "Maaf, adakah yang bisa kami bantu, Pak?" tanya pria itu sopan. Tanpa permisi, Alex langsung duduk tepat didepan pria itu. "Aku mau mengambil akte nikah yang aku daftarkan. Ini KTP nya," ujar Alex sambil menyodorkan KTP milik Ridel dan Fania. "Maaf, ini dengan bapak siapa?" "Apa katamu? Bapak? Apa kau pikir aku ini bapak mu, ha? Aku ke sini mau mengambil akte nikah, bukannya mencari anak angkat!" bentak Alex kesal. "Maaf, Pak. Tapi," "Apa katamu? Maaf? Apa dengan kata maaf, terus kau akan mengganti uang jalanku? Apa dengan kata maaf, kau akan mengganti uang makanku? Apa dengan kata maaf, kau akan mengganti waktu ku yang terbuang, ha? Aku capek harus bolak-balik ke sini!" bentak Alex menunjukkan kemarahannya. "Maaf, tanggal berapa bapak mendaftar pernikahan itu?" tanya pria itu gemetar. "Tanggal 3 Agust