"Dirga, tolong selamatkan nyawa istriku. Saat ini hanya kau satu-satunya harapanku," pinta Ridel dengan tulus. Berlahan dia mendekati Fania yang masih tertidur lelap. Wajah yang seputih kertas itu seperti menyimpan seribu luka. Dirga mendekati Ridel dan berbisik, "Sejujurnya Ginseng Akar Cinta itu adalah pengendali penuh hidup Fania. Kalau dia tidak di operasi, maka Gingseng Akar Cinta itu akan memperpanjang umurnya. Namun sebaliknya, jika kau menyetujui operasi maka Gingseng Akar Cinta itu akan menjadi stopwatch timer untuk hidup Fania. Sesuai waktu yang mereka hitung, maka tanggal itulah Fania akan meninggal tanpa meninggalkan jejak apapun." Tanpa sadar air bening berhasil lolos dari pelupuk mata Ridel. Apakah harta itu sepadan dengan nyawamu? "Aku akan membantumu, tapi kau harus melakukan beberapa hal," ujar Dirga, kemudian membisikkan rencananya. "Apa itu akan berhasil?" tanya Ridel ragu. "Apa kita punya pilihan? Bukankah tidak? Percaya atau tidak, tapi pada kenyataann
*** Tepat pukul 06.00 WITA, didepan ruang operasi, semua keluarga Mauren telah berada di sana. Dirga bingung, ketika tak melihat kecemasan di wajah keluarga Mauren. Mereka seolah-olah yakin operasi akan berjalan lancar. Apakah mereka adalah orang dibelakang layar yang menginginkan kematian Fania? Apa itu juga alasan, kenapa Ridel memintaku menyembunyikan keahlianku dari siapapun? Termasuk keluarga sang istri? Walaupun tak yakin, tapi Dirga memilih lebih waspada menghadapi keluarga itu. Tiba-tiba di dalam ruang operasi terjadi kericuhan. Seorang perawat tiba-tiba jatuh dan kejang-kejang. Bukan itu saja, adegan itu diikuti dua perawat lainnya yang tiba-tiba tak sadarkan diri. Kericuhan yang terjadi di dalam ruang operasi, membuat dokter Albert dengan bebas menukar obat cair seukuran ibu jari dengan botol yang sama. "Kalian lanjutkan operasinya, biarkan aku yang menolong perawat itu. Ridel tolong bantu aku," tegas dokter Albert. Dibantu oleh Ridel, dokter Albert menang
***Setelah lima hari pasca operasi, akhirnya Fania bisa menggerakkan kakinya sedikit demi sedikit. “Ridel, kakiku bisa digerakkan,” ujar Fania girang. Ya! Walaupun masih agak kaku, tapi Fania bisa menggerakkan kakinya dengan sedikit bantuan. “Aku yakin ini akan menjadi kejutan untuk keluargamu, terutama kakek Arzenio,” ujar Ridel tersenyum. Ridel tak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga Mauren, jika tahu kondisi Fania bukannya memburuk. Tapi sebaliknya, kondisi Fania justru semakin membaik. Bukan itu saja, dia bahkan akan bisa berjalan dan berlari seperti sediakala. Ya! Obat cair seukuran ibu jari yang ditukar dokter Albert saat diruang operasi, berhasil ditukar oleh Ridel dengan botol cairan pemberian Dirga. Ridel menggunakan kesempatan itu, saat dokter Albert hendak memeriksa kondisi tiga perawat yang tak sadarkan diri. Obat itu merupakan obat lanjutan, agar tulang Fania bisa kembali berfungsi normal secara bertahap. Sedangkan obat yang disuntikkan sehari s
"Kenapa kita tak gunakan perempuan sebagai jebakan? Seperti cerita di novel yang pernah ku baca. Tidur bareng, ambil foto, besoknya mengancamnya biar mau kerjasama. Kalau tidak maka foto itu akan bocor ke publik?" ujar Vicenzo memberi pendapat. "Kalau dia berasal dari keluarga biasa, sudah ayah lakukan sejak dulu. Tapi ini? Keluarganya merupakan konglomerat golongan kelas satu! Karena itu dia tidak pernah tertarik dengan uang kita," jelas Arzenio. "Kakek jangan bercanda, mana mungkin seorang pengacara sepertinya memiliki keluarga yang berasal dari konglomerat golongan kelas satu," protes Nadia tak percaya. "Bukan itu saja, pengacara itu merupakan anak sahabat baik Bernard Liu. Pengusaha yang sangat di takuti oleh semua konglomerat," Arzenio menarik nafas panjang. Dia bingung harus menghadapi pengacara itu dengan cara apa. Tiba-tiba Nadia berdiri dan tersenyum, "Serahkan pengacara brengsek itu padaku. Aku yang akan mengurusnya." "Caranya?" tanya Arzenio penasaran. "Bukanka
*** Setelah menemukan targetnya, Nadia melangkah dengan lunglai. Tiba-tiba tangannya ditarik seorang pria yang seumuran dengan ayahnya. "Kalau jalan itu hati-hati, Dek. Kalau kau masih menabrak pohon itu, mendingan. Bagaimana kalau kau justru menabrak mobil yang lewat? Bukankah itu berbahaya?" Pria itu kebingungan, ketika wanita yang ditolongnya justru menangis. "Maaf, bukannya mau menyinggung. Tapi, om hanya mau mengingatkan mu untuk berhati-hati." "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Om," ujar Fania. Tak tega melihat wanita itu menangis, pria itu menuntunnya memasuki cafe dan memesan teh manis. "Apa kau punya masalah, Dek. Kebetulan aku seorang pengacara, jika kau butuh bantuan hukum, aku bersedia membantumu." "Mantan pacarku yang belum move on kini kembali. Dia tidak ingin melihat ku bahagia dengan pria pilihanku. Untuk menghancurkan kepercayaan suamiku, dia bahkan nekat mengirim foto-foto kebersamaan kami dulu," ujar Nadia sambil menyodorkan amplop cokelat kepada san
*** Keesokan harinya, di rumah keluarga Mauren, terjadi perdebatan antara Arzenio dan Nadin sang cucu. "Apa kakek tak percaya pada kemampuan ku?" protes Nadia kesal. "Bukan itu. Kakek hanya tidak ingin kau salah mengambil langkah. Kesalahan sekecil apapun, itu akan berdampak buruk bagi keluarga kita, Nadia!" cetus Arzenio kesal, ketika mendapati cucunya masih saja keras dengan pendiriannya."Bukankah sudah hampir dua tahun kakek memikirkan cara untuk menaklukkan pengacara itu, tapi apa? Bukankah setiap usaha kakek selalu saja mengalami jalan buntu? Kakak harus menerima kenyataan, pengacara itu bukanlah sosok yang mudah untuk ditaklukkan!" teriak Nadia marah. Melihat kemarahan di mata cucu kesayangannya, membuat Arzenio membisikkan rencananya. "Bagaimana? Bukankah itu lebih masuk akal dan tak beresiko?" tanya sang kakek meminta pendapat Nadia. Walaupun kecewa dengan keputusan sang kakek, tapi tak ada yang dapat dilakukan Nadia, selain mengikhlaskannya. Namun, rencana sang
Bukannya merespon umpatan Ridel, Dirga justru melihat jam tangannya, "Sekarang waktunya bagi Fania untuk kembali belajar berjalan. Apakah Alex sudah siap diseberang?" Ya! Dalam sehari Dirga menjadwalkan tiga kali latihan. Saat subuh, jam 04.00 WITA. Saat siang hari, jam 14.00 WITA. Dan malam hari, jam 20.00 WITA. Disaat jam segitu, maka Alex akan mengambil alih CCTV di mana Fania dirawat. Jadi apabila ada keluarga Mauren yang tiba-tiba datang, maka dia akan segera memberitahu Ridel. Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WITA, keduanya menuju ruang perawatan Fania. Pengaruh obat yang diberikan Dirga padanya, membuat Fania sering ketiduran. Dia hanya akan bangun saat akan latihan berjalan. Dirga menatap Fania yang masih terlelap, "Bukan hanya berjalan, Fania bahkan bisa berlari kearah Arzenio. Namun, itu bukan berarti pengobatannya juga berakhir. Tapi itu adalah permulaan dia beralih pada obat racikan." Mata Ridel membulat sempurna, "Apa? Obat racikan?" "Iya, obat racikan. But
"Aku menyayangi mereka melebihi hidupku," jawab Fania yakin. "Terus, apa kau percaya, kalau perhatian keluarga Mauren itu benar-benar tulus?" tanya Ridel penasaran. Pertanyaan Ridel, seperti pisau tajam yang menusuk jantung Fania. Hingga membuatnya sesak nafas untuk sesaat. "Sepertinya kau tak yakin," kata Ridel kembali menuntun langkah kaki Fania agar lebih cepat. "Jujur saja, aku sendiri bingung dengan sikap keluarga ku. Kadang mereka terlihat sangat baik, tapi kadang juga perkataan mereka benar-benar menyakiti hati. Namun, aku ragu kalau ayah tidak menyayangiku. Buktinya? Ayah bahkan mempercayakan perusahaan Galaxy padaku disaat usiaku dua puluh tiga tahun. Waktu itu kondisi keuangan perusahaan baik-baik saja," jelas Fania. "Bagaimana dengan kakek Arzenio?" kejar Ridel. "Tanpa kakek, aku bukan siapa-siapa. Semenjak ibu meninggal, kakeklah sosok yang selalu ada untukku," jawab Fania tersenyum. "Hanya orang bodoh yang tak bisa membedakan, apakah perhatian yang diteriman