"Gimana cara balik ke kamar kos ya? Gara-gara Pak Rafa nih nyuruh jagain Arumi lagi. Kan nggak bisa pulang aku kalau udah pagi. Nanti diliat sama teman-teman penyewa lain, bisa-bisa jadi bahan gosip aku." Eva menggerutu sambil mengintip di balik jendela. "Belum balik?" Suara Rafa dari arah belakang membuat Eva terlonjak kaget. "Pak Rafa bisa nggak sih datangnya jangan tiba-tiba gitu. Jantung saya bisa copot kalau kayak gini." Eva mengelus-elus dadanya dan mengomel."Loh, kok malah marah-marah sama saya?" tanya Rafa sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk kecil."Iyalah. Gara-gara Pak Rafa, saya harus mendekam di sini sampai semua penghuni kos keluar. Padahal saya juga mau ke kampus. Bakalan telat sih aku ini. Mana hari pertama." Eva mengeluh dengan raut muka cemberut."Ya udah sih, tinggal keluar dari rumah terus jalan ke kamar kos, apanya yang ribet?" kata Rafa dengan santai."Pak Rafa sebaiknya diam aja kalau nggak mau saya patahin lehernya sekarang," kata Eva mengancam deng
"Beneran Eva? Kamu dari rumah utama? Ngapain?" cecar Rida yang sudah bergabung."Abis ngapain di sana?" tanya Fara menambah kegugupan Eva.'Duh, apa mereka liat aku ke sana? Harus jawab apa nih?' Eva membatin dengan raut cemas.Rida menjentikkan jari di depan wajah Eva. "Eva, woy! Jawab. Malah bengong." "Hah? Apa?" tanya Eva linglung. "Kita penasaran, dia malah hah-hah, apa? Jawab Eva! Kamu beneran abis dari rumah bapak kos?" Rida menjadi gemas dan mengulang pertanyaannya."Hem ... itu, a-aku ...," ucap Eva gugup. Dia bingung harus mengatakan apa. Haruskah dia jujur?"Astaga, Eva! Bisa mati aku kalau nunggu kamu jawab. Aku udah tahan napas juga." Fara memotong."Lagian, ngapain kamu nahan napas. Orang Eva yang mau jawab." Ajeng geleng-geleng kepala."Diam semua! Eva bicara dan jawab yang benar!" tuntut Rida tidak sabaran.Eva meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba saja, dirasakan paru-parunya kekurangan stok oksigen akibat ditanyai seperti itu sama teman-temannya. Aliran darany
"Kalau bunuh orang dosa nggak?" tanya Eva memandangi Rafa penuh kebencian. Wajah Eva sudah merah padam. Darahnya mendidih ingin mencabik-cabik tubuh Rafa."Dosa," jawab Rafa singkat."Tapi, saya sangat ingin membunuh Pak Rafa sekarang," ungkap Eva dengan nada terkontrol. Kedua tangannya terjulur ingin mencekik leher Rafa. Dia sangat marah saat ini dengan kelakuan Rafa yang membuat teman-teman Eva salah paham.Tadi, Eva ditinggalkan oleh teman-temannya dengan pemikiran yang buruk. Pasti Eva dicap sebagai penggoda bapak kos, pemuas nafsu atau apapun keburukan yang melekat di kepala tetangga-tetangga kamar kosnya. Ucapan Rafa di telepon tadi cukup menciptakan spekulasi liar di kepala Rida, Fara dan Ajeng. Tentu saja, Eva yang menjadi korbannya. Eva tidak sempat menjelaskan hubungannya dengan Rafa kepada teman-temannya karena mereka terburu-buru keluar dari kamar Eva dengan tatapan jijik ke Eva."Loh-loh, mau ngapain?" tanya Rafa panik melihat Eva semakin mendekat. Dia berdiri di sisi kasu
"Selamat pagi, Mbak Eva. Mau ke mana buru-buru banget? Eh, kenapa nangis?" Bu Siti yang baru datang keheranan melihat Eva keluar dari rumah utama sambil mengusap pipinya. Eva mengangkat wajah dan tersenyum, "Hanya kelilipan tadi, Bu. Langsung masuk aja, Arumi masih tidur," kata Eva mempersilahkan."Mbak Eva mau ke mana?" tanya Bu Siti."Balik ke kos, Bu. Mau siap-siap ke kampus. Titip Arumi ya, Bu." Eva mengatakannya lalu pergi tanpa menunggu Bu Siti menimpali ucapannya."Mbak Eva kenapa ya? Kelihatannya sedih gitu. Apa dia bertengkar sama Pak Rafa?" Bu Siti berbicara sendiri sambil memandangi Eva yang semakin menjauh. "Eh, saya Ndak boleh mencampuri urusan majikan. Tugas saya cuma jagain Non Arumi." Bu Siti tersadar dan langsung masuk ke dalam rumah.Sedangkan Eva melangkah menuju kamar kos Puja yang berada di lantai dasar. Dia belum bisa kembali ke kosnya karena dia yakin ketiga tetangga kamarnya pasti masih di atas. Saat ini, Eva ingin menghindar untuk memikirkan cara memberitahu m
"Masih balik ke kos ya? Kirain bakal tinggal serumah sama bapak kos." Rida yang berpapasan dengan Eva di depan kamar langsung menyindir."Nggak mungkin Rida. Kamar aku di sini, pasti aku tinggal di sini," tampik Eva berusaha tetap tenang meskipun hatinya merasa sakit. Dia menebak bahwa Rida adalah salah satu orang yang menebar gosip itu. "Diusir ya sama bapak kos setelah hilang keperawanan?" Rida menuduh dengan tatapan sinis.Eva yang sedang memegang gagang pintu, berbalik menatap Rida dengan geram. "Jangan ucapan kamu, Rida! Aku bukan perempuan seperti itu!"Rida berdecih dan tersenyum sinis, "Sok suci! Kalau bukan, ngapain kamu ke rumah bapak kos malam-malam?" tuding Rida melangkah maju mendekati Eva. Telunjuknya digunakan mendorong bahu Eva.Tidak ingin diintimidasi, Eva menangkap tangan Rida. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap tajam pada Rida. "Aku hanya bantuin bapak kos jagain anaknya. Nggak lebih! Sebaiknya mulut kamu itu dijaga baik-baik. Daripada kamu menuduh aku yang ngg
"Weh, baru juga hari pertama masuk kuliah udah penuh beban aja muka kamu. Ada apa sih?" kata Kausar seraya duduk di depan Eva. Eva menggeleng, "Nggak apa-apa. Cuma males ikut kelas aja hari ini."Itu alasan yang keluar dari mulut Eva. Padahal, kepalanya sekarang sedang kalut oleh masalah di kos. Dia memberanikan diri meninggalkan kawasan kos karena tidak sanggup mendengar mulut-mulut penyewa kos membicarakan dirinya. Namanya semakin jelek akibat menampar Rida di depan kamar. "Kamu masih ada mata kuliah yang belum beres juga? Kirain udah aman semua. Berarti ada teman aku hari ini." Tatapan gembira tergambar di wajah Kausar. Eva menghela napas panjang. Dia menjatuhkan kepalanya ke meja. "Pengen bolos aja deh hari ini," gumam Eva."Nggak bisa. Kamu nggak boleh bolos. Makin telat ntar selesai kuliah kamu. Mau jadi mahasiswa abadi?" ujar Kausar mencegah. Dia tidak boleh membiarkan temannya itu semakin berleha-leha dengan urusan kuliahnya.Eva menumpuk tangan dan dagunya lalu menatap Kaus
"Bu Siti, Eva sempat mampir nggak tadi di sini?" tanya Rafa saat baru tiba di rumah. Hari ini dia pulang telat karena kerjaannya cukup sibuk. Dia menutup pintu dan mencium Arumi singkat."Nggak ada, Pak Rafa. Mbak Eva cuma telepon doang tadi ke saya. Dia nanyain Arumi." Bu Siti memberi tahu."Jam berapa dia telepon? Dia bilang lagi di mana saat itu?" tanya Rafa sambil meletakkan tas, kantong plastik hitam, dan jasnya di sofa. Dia membuka kancing kemeja di lengannya lalu menggulung hingga siku. "Arumi bawa ke saya, Bu." Bu Siti mengangguk dan menyerahkan Arumi. "Dia tutup telepon pas Pak Rafa masuk gerbang tadi. Dia belum pulang ke kos, cuma nitip Arumi dijaga baik-baik. Mbak Eva nggak bilang lagi di mana." Bu Siti menjelaskan.Rafa yang sedang bermain dengan Arumi, menoleh dengan alis mengerut. "Dia belum balik? Jam segini?" tanya Rafa melirik jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. "Ke mana anak itu?""Saya kurang tau, Pak," sahut Bu Siti. "Pak,
"Loh, Eva. Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Rafa yang menemukan Eva telah rapi. Gadis dengan kaus lengan panjang yang menutup hingga jemari, langsung tersenyum canggung pada Rafa. "Ke kampus, Pak," jawabnya."Ada kelas pagi?" tanya Rafa menepuk-nepuk kedua tangannya setelah meletakkan sampah. "Nggak ada, Pak." Jawaban Eva membuat alis Rafa mengerut. "Terus ngapain keluar sepagi ini? Saya bingung sama kamu. Keluar dari kos selalu pagi-pagi buta, terus pulang kemalaman. Ada apa sih? Kamu ngehindarin sesuatu?" tanya Rafa penasaran.Tebakan Rafa tepat sasaran. Eva memang sedang menghindari bertemu dengan teman-teman penyewa lain. Eva hanya tidak ingin merusak hari-harinya dengan memulai mendengar kalimat-kalimat penghinaan dari mereka. Eva sudah capek jika harus mendebat teman-teman penyewa. Sekeras apapun usaha Eva ingin memberitahukan kebenarannya, tetap saja para penyewa memandangnya salah. Daripada dirundung, Eva memilih menghindari berpapasan dengan mereka. Yang paling sulit Ev