"Apa? Mau tendang saya lagi?" tanya Rafa begitu Eva terbangun. Eva kaget melihat Rafa ada di sebelah kanan Arumi sedang memandanginya. Dia langsung duduk dan memeriksa seluruh tubuhnya."Saya nggak apa-apain kamu. Tenang aja." Rafa mengucapkan itu seolah tahu pemikiran Eva.Eva mendengus sebal. Dia menatap tajam pada Rafa. "Pak Rafa, kenapa nggak bangunin saya sih?" Rafa mengubah posisinya jadi telentang dan meletakkan tangannya di belakang kepala sebagai bantal. "Sengaja. Biar bisa rasain tidur bareng kamu dan Arumi di ranjang yang sama."Eva melempar bantal dan tepat mengenai wajah Rafa. "Dasar mesum!" Eva mengumpat.Bukannya marah, Rafa malah tertawa. "Saya nggak mesum Eva. Saya nggak sentuh kamu, beneran. Kita cuma baring di ranjang yang sama. Di tengah-tengah kita ada Arumi juga, tangan saya nggak sampai di kamu." Rafa membela diri."Pak Rafa tau darimana kalau tuh tangan nggak pernah sentuh saya?" tanya Eva curiga."Saya belum tidur sejak semalam. Saya cuma baring di sini. Saya
"Gimana cara balik ke kamar kos ya? Gara-gara Pak Rafa nih nyuruh jagain Arumi lagi. Kan nggak bisa pulang aku kalau udah pagi. Nanti diliat sama teman-teman penyewa lain, bisa-bisa jadi bahan gosip aku." Eva menggerutu sambil mengintip di balik jendela. "Belum balik?" Suara Rafa dari arah belakang membuat Eva terlonjak kaget. "Pak Rafa bisa nggak sih datangnya jangan tiba-tiba gitu. Jantung saya bisa copot kalau kayak gini." Eva mengelus-elus dadanya dan mengomel."Loh, kok malah marah-marah sama saya?" tanya Rafa sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk kecil."Iyalah. Gara-gara Pak Rafa, saya harus mendekam di sini sampai semua penghuni kos keluar. Padahal saya juga mau ke kampus. Bakalan telat sih aku ini. Mana hari pertama." Eva mengeluh dengan raut muka cemberut."Ya udah sih, tinggal keluar dari rumah terus jalan ke kamar kos, apanya yang ribet?" kata Rafa dengan santai."Pak Rafa sebaiknya diam aja kalau nggak mau saya patahin lehernya sekarang," kata Eva mengancam deng
"Beneran Eva? Kamu dari rumah utama? Ngapain?" cecar Rida yang sudah bergabung."Abis ngapain di sana?" tanya Fara menambah kegugupan Eva.'Duh, apa mereka liat aku ke sana? Harus jawab apa nih?' Eva membatin dengan raut cemas.Rida menjentikkan jari di depan wajah Eva. "Eva, woy! Jawab. Malah bengong." "Hah? Apa?" tanya Eva linglung. "Kita penasaran, dia malah hah-hah, apa? Jawab Eva! Kamu beneran abis dari rumah bapak kos?" Rida menjadi gemas dan mengulang pertanyaannya."Hem ... itu, a-aku ...," ucap Eva gugup. Dia bingung harus mengatakan apa. Haruskah dia jujur?"Astaga, Eva! Bisa mati aku kalau nunggu kamu jawab. Aku udah tahan napas juga." Fara memotong."Lagian, ngapain kamu nahan napas. Orang Eva yang mau jawab." Ajeng geleng-geleng kepala."Diam semua! Eva bicara dan jawab yang benar!" tuntut Rida tidak sabaran.Eva meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba saja, dirasakan paru-parunya kekurangan stok oksigen akibat ditanyai seperti itu sama teman-temannya. Aliran darany
"Kalau bunuh orang dosa nggak?" tanya Eva memandangi Rafa penuh kebencian. Wajah Eva sudah merah padam. Darahnya mendidih ingin mencabik-cabik tubuh Rafa."Dosa," jawab Rafa singkat."Tapi, saya sangat ingin membunuh Pak Rafa sekarang," ungkap Eva dengan nada terkontrol. Kedua tangannya terjulur ingin mencekik leher Rafa. Dia sangat marah saat ini dengan kelakuan Rafa yang membuat teman-teman Eva salah paham.Tadi, Eva ditinggalkan oleh teman-temannya dengan pemikiran yang buruk. Pasti Eva dicap sebagai penggoda bapak kos, pemuas nafsu atau apapun keburukan yang melekat di kepala tetangga-tetangga kamar kosnya. Ucapan Rafa di telepon tadi cukup menciptakan spekulasi liar di kepala Rida, Fara dan Ajeng. Tentu saja, Eva yang menjadi korbannya. Eva tidak sempat menjelaskan hubungannya dengan Rafa kepada teman-temannya karena mereka terburu-buru keluar dari kamar Eva dengan tatapan jijik ke Eva."Loh-loh, mau ngapain?" tanya Rafa panik melihat Eva semakin mendekat. Dia berdiri di sisi kasu
"Selamat pagi, Mbak Eva. Mau ke mana buru-buru banget? Eh, kenapa nangis?" Bu Siti yang baru datang keheranan melihat Eva keluar dari rumah utama sambil mengusap pipinya. Eva mengangkat wajah dan tersenyum, "Hanya kelilipan tadi, Bu. Langsung masuk aja, Arumi masih tidur," kata Eva mempersilahkan."Mbak Eva mau ke mana?" tanya Bu Siti."Balik ke kos, Bu. Mau siap-siap ke kampus. Titip Arumi ya, Bu." Eva mengatakannya lalu pergi tanpa menunggu Bu Siti menimpali ucapannya."Mbak Eva kenapa ya? Kelihatannya sedih gitu. Apa dia bertengkar sama Pak Rafa?" Bu Siti berbicara sendiri sambil memandangi Eva yang semakin menjauh. "Eh, saya Ndak boleh mencampuri urusan majikan. Tugas saya cuma jagain Non Arumi." Bu Siti tersadar dan langsung masuk ke dalam rumah.Sedangkan Eva melangkah menuju kamar kos Puja yang berada di lantai dasar. Dia belum bisa kembali ke kosnya karena dia yakin ketiga tetangga kamarnya pasti masih di atas. Saat ini, Eva ingin menghindar untuk memikirkan cara memberitahu m
"Masih balik ke kos ya? Kirain bakal tinggal serumah sama bapak kos." Rida yang berpapasan dengan Eva di depan kamar langsung menyindir."Nggak mungkin Rida. Kamar aku di sini, pasti aku tinggal di sini," tampik Eva berusaha tetap tenang meskipun hatinya merasa sakit. Dia menebak bahwa Rida adalah salah satu orang yang menebar gosip itu. "Diusir ya sama bapak kos setelah hilang keperawanan?" Rida menuduh dengan tatapan sinis.Eva yang sedang memegang gagang pintu, berbalik menatap Rida dengan geram. "Jangan ucapan kamu, Rida! Aku bukan perempuan seperti itu!"Rida berdecih dan tersenyum sinis, "Sok suci! Kalau bukan, ngapain kamu ke rumah bapak kos malam-malam?" tuding Rida melangkah maju mendekati Eva. Telunjuknya digunakan mendorong bahu Eva.Tidak ingin diintimidasi, Eva menangkap tangan Rida. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap tajam pada Rida. "Aku hanya bantuin bapak kos jagain anaknya. Nggak lebih! Sebaiknya mulut kamu itu dijaga baik-baik. Daripada kamu menuduh aku yang ngg
"Weh, baru juga hari pertama masuk kuliah udah penuh beban aja muka kamu. Ada apa sih?" kata Kausar seraya duduk di depan Eva. Eva menggeleng, "Nggak apa-apa. Cuma males ikut kelas aja hari ini."Itu alasan yang keluar dari mulut Eva. Padahal, kepalanya sekarang sedang kalut oleh masalah di kos. Dia memberanikan diri meninggalkan kawasan kos karena tidak sanggup mendengar mulut-mulut penyewa kos membicarakan dirinya. Namanya semakin jelek akibat menampar Rida di depan kamar. "Kamu masih ada mata kuliah yang belum beres juga? Kirain udah aman semua. Berarti ada teman aku hari ini." Tatapan gembira tergambar di wajah Kausar. Eva menghela napas panjang. Dia menjatuhkan kepalanya ke meja. "Pengen bolos aja deh hari ini," gumam Eva."Nggak bisa. Kamu nggak boleh bolos. Makin telat ntar selesai kuliah kamu. Mau jadi mahasiswa abadi?" ujar Kausar mencegah. Dia tidak boleh membiarkan temannya itu semakin berleha-leha dengan urusan kuliahnya.Eva menumpuk tangan dan dagunya lalu menatap Kaus
"Bu Siti, Eva sempat mampir nggak tadi di sini?" tanya Rafa saat baru tiba di rumah. Hari ini dia pulang telat karena kerjaannya cukup sibuk. Dia menutup pintu dan mencium Arumi singkat."Nggak ada, Pak Rafa. Mbak Eva cuma telepon doang tadi ke saya. Dia nanyain Arumi." Bu Siti memberi tahu."Jam berapa dia telepon? Dia bilang lagi di mana saat itu?" tanya Rafa sambil meletakkan tas, kantong plastik hitam, dan jasnya di sofa. Dia membuka kancing kemeja di lengannya lalu menggulung hingga siku. "Arumi bawa ke saya, Bu." Bu Siti mengangguk dan menyerahkan Arumi. "Dia tutup telepon pas Pak Rafa masuk gerbang tadi. Dia belum pulang ke kos, cuma nitip Arumi dijaga baik-baik. Mbak Eva nggak bilang lagi di mana." Bu Siti menjelaskan.Rafa yang sedang bermain dengan Arumi, menoleh dengan alis mengerut. "Dia belum balik? Jam segini?" tanya Rafa melirik jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. "Ke mana anak itu?""Saya kurang tau, Pak," sahut Bu Siti. "Pak,
Rafa memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan hanya menemukan Bu Siti dan Arumi yang bermain di ruang tengah. "Pak Ra—" Kalimat Bu Siti menggantung begitu saja karena Rafa segera berlalu menuju ruangan lain seperti mencari sesuatu.Setelah memasuki tiap kamar dalam rumah, Rafa memasuki area dapur lalu berjalan ke halaman belakang. Nihil.Tidak ada jejak Eva di rumah ini. Rafa mendekati Bu Siti. Tatapannya tampak tidak fokus. Bahkan keberadaan Arumi di sana, seperti buram di mata Rafa."Eva nggak balik ke rumah, Bu?" tanya Rafa.Bu Siti mengernyit heran. "Bukannya Neng Eva ke rumah sakit ya. Tadi dia bilang mau jengukin Pak Ardi. Memangnya Pak Rafa nggak ketemu? Atau Pak Rafa bukan di rumah sakit tapi di kantor ya, makanya nggak ketemu?" "Saya di rumah sakit tadi, Bu. Cuma Eva ... pergi." Rafa bingung menjelaskan situasi saat ini. Rafa hanya mendengar kabar bahwa Eva marah. Penjelasan lebih lanjut terkait kron
"Bu Siti, Arumi rewel nggak seharian ini?"'Tadi sempat rewel nyariin Neng Eva sama Pak Rafa. Tapi sekarang udah aman, Neng. Bibi masih bisa tangani. Sekarang, adek lagi seru-serunya main. Tuh, Neng.'Senyuman Eva merekah ketika layar ponsel menampilkan Arumi yang sedang berusaha memasang donat susunnya. Eva selalu merasa bangga tiap kali melihat tumbuh kembang Arumi. Mungkin itulah yang dirasakan oleh semua ibu di dunia ini. Sekecil apapun pencapaian si anak, tentu terasa hebat di mata seorang ibu.'Mau bicara, Neng?' tanya Bu Siti ketika melihat Eva hanya diam memandangi Arumi.Eva menggeleng dan berkata, "Nggak usah, Bu. Nanti dia nangis kalau liat aku tapi nggak gendong."Bu Siti terkekeh mendengar keluhan Eva. Kebebasan Eva terenggut ketika keberadaannya tertangkap oleh Arumi. Bayi itu sangat manja kepada Eva. Bahkan, Eva harus melarikan diri secara diam-diam jika ingin ke kampus. "Bu, nanti aku agak telat ya pulangnya. Nggak apa-apa 'kan?" Eva merasa t
"Kami baik-baik aja kok, Pa." Eva melirik layar ponselnya yang menampilkan wajah Bagas. Panggilan telepon itu sudah berlangsung beberapa menit lalu dan Bagas bisa menangkap raut masygul di wajah putrinya. Akan tetapi, jawaban Eva yang berulang menekankan bahwa dia baik-baik saja membuat Bagas mengangguk. "Rafa belum pulang kerja?" tanya Bagas. "Bukan belum pulang, memang dia nggak mau pulang." Eva menjawab dengan jengkel. Mendengar nama Rafa disebut papanya kian membangkitkan kekesalan Eva pada suaminya. "Kalian bertengkar?" Itu bukan suara Bagas, melainkan suara mama Eva. Layar ponsel Eva kini dipenuhi oleh wajah mamanya. Desahan Eva lolos begitu saja. Dia menutup laptopnya yang sempat menganggur karena panggilan video dari orangtuanya. Seharusnya Eva melakukan itu sejak tadi. Toh, tugasnya tidak kunjung selesai sebab pikirannya tidak bisa fokus. Eva menyambar ponsel dan merebahkan tub
"Emangnya Pak Rafa nggak ada niatan balik dulu ke rumah? Kok tiap hari nyuruh orang mulu buat ambilin baju gantinya." Pandangan Eva tidak lepas dari asisten Rafa yang lagi-lagi datang hanya untuk meminta pakaian ganti untuk Rafa. Selama empat hari berturut-turut, asisten itu rutin mengunjungi rumah dengan tujuan yang sama. "Eh, si Eneng!" seru Bu Siti kaget saat tersadar dengan kemunculan Eva di belakangnya. Dia mengelus dada lalu menutup pintu. "Maaf ya, Bu," ucap Eva menunjukkan cengiran. Cukup merasa bersalah telah mengejutkan Bu Siti. Dia melangkah lebih dulu."Pak Rafa bukannya nggak mau balik. Kan Neng Eva udah dikabarin juga sama Pak Rafa. Mertua Neng Eva masih perlu dirawat, jadi Pak Rafa nggak tega ninggalin." Bu Siti menjawab sambil menyusul Eva menuju dapur."Tapi kan, masa iya nggak ada kesempatan pulang sebentar. Emang dia nggak rindu Arumi?" Eva meraih gelas dan melangkah ke depan lemari es."Kalau itu, saya nggak tau juga Neng. Tanya Pak Rafa langsung aja." Bu Siti t
"Wiiihhh ada ibu kos main ke sini," sambut Ajeng melihat kedatangan Eva bersama Arumi dalam gendongannya."Liat Eva gendong anak. Berasa liat ibu-ibu beneran," timpal Rida bercanda."Bangke kalian berdua. Gue masih muda ya. Paling muda di antara kalian. Mana ada muka ibu-ibu?" Eva melepas sendalnya dan bergabung duduk lesehan sambil mengomel. Bibirnya sudah maju beberap senti akibat disebut mirip ibu-ibu. Ajeng dan Rida cekikikan menanggapi Eva. "Iya-iya si paling muda." Rida tidak tega melihat bibir manyun Eva.Ajeng menyodorkan sepiring rujak mangga ke hadapan Eva. "Nih makan, gue udah potongin. Anak Lo kesiniin. Mumpung bapaknya nggak ada, gue mau unyel-unyel."Eva memeluk Arumi. "Jangan dong! Bapaknya marah ntar kalau anaknya diapa-apain.""Makanya Lo diam. Jangan laporin ke bapak kos." Ajeng menyelipkan tangannya di bawah ketiak Arumi, bersiap menariknya."Mending nggak usah. Lecet dikit, bapaknya bisa ngamuk." "Ya elah, mau dipangku doang, Va. Nggak gue banting." "Gue nggak y
"Makasih udah anterin," ucap Eva sekenanya lalu melepas seat belt. Dia masih kesal dengan pria disampingnya. Sampai saat ini, dia masih penasaran pada percakapan antara Bu Siti dan Rafa.Kalimat 'Nanti saya sediakan. Pak Rafa pasti suka' terus terbayang-bayang di kepalanya. Sejujurnya, dia takut kalau-kalau Rafa meminta seorang perempuan untuk melampiaskan hasratnya. Bu Siti pernah memperingati Eva tentang kebutuhan seorang laki-laki pada perempuan, tapi Eva sungguh belum siap melayani suaminya. Jangankan melayani, Eva saja masih meragukan perasaannya pada Rafa. Satu hal yang pasti, Eva tidak ingin Rafa melakukan hal itu dengan perempuan lain. Entah mengapa, hatinya tidak rela."Tunggu," ucap Rafa mencegah Eva yang hendak keluar dari mobil. Eva menutup pintu mobil. Dia menunggu Rafa berbicara lagi. "Sepertinya malam ini saya akan nggak bakal pulang ke rumah. Arumi bisa saya titip di kamu?" Eva menoleh dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Perasaan khawatir dan takut menyelinap
Ucapan Rafa cukup sukses membuat Eva tergemap. Gadis itu tercenung untuk beberapa saat. Dia memikirkan kebenaran ucapan Rafa. Mungkin saja Rafa dalam keadaan tidak sadar saat mengatakannya. Namun, Eva juga mengkhawatirkan kalau Rafa sebenarnya sudah menciumnya tapi berdalih hendak mencuri ciuman Eva. Eva berdeham untuk mengurai rasa gugupnya. "Ngaco banget pagi-pagi," komentar Eva sambil mendorong bahu Rafa agar menjauh. Dia bangun lalu merapikan rambutnya dan menjepit dengan jedai.Rafa terkekeh pelan sebelum berkata, "Saya serius loh, tapi gagal soalnya kamu keburu bangun. Bukankah menyenangkan, kalau pagi-pagi kita membuat menciptakan suasana romantis? Suami istri suka gitu."Mata Eva melotot mendengar itu. Tidak ingin menanggapi Rafa lebih lanjut, Eva mencoba menghindar. "Gimana kondisi Papa Ardi?" tanya Eva bangkit dari kasur.Terdengar helaan napas dari Rafa. Cukup kecewa karena Eva kembali mengalihkan pembicaraan. Padahal Rafa ingin membicarakan hubungan mereka dari hati ke ha
"Rabu depan Sofyan bakalan main. Apa gue harus ke sana?" gumam Eva sendiri sambil tengkurap di kasur, memperhatikan jadwal Indonesia Masters. Beberapa saat, dia kembali memikirkan percakapan dengan Kausar tadi siang di kantin. "Apa bener kata Kausar? Perasaan gue udah berpaling ke Rafa? Masa sih?"Permasalahannya yang dihadapinya sekarang menjadikan Eva sebagai sosok yang egois dan kurang ajar. Tepatnya, dia bersikap seperti perempuan yang berselingkuh dan mainin perasaan laki-laki. Dia memiliki Rafa sebagai suaminya dan Sofyan sebagai pacarnya. Dulu, Eva ingin melepaskan Rafa ketika Arumi cukup besar atau memiliki seseorang yang bisa menjaganya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebersamaan mereka justru membuat Eva terikat. Eva sulit beranjak dari kehidupannya saat ini. Arumi membuat hari-hari Eva lebih menyenangkan dan menantang. Dan Rafa dengan segala kebaikan dan ketulusannya membuat Eva perlahan membuka cela di hati untuk dimasuki oleh Rafa. 'Lalu bagaimana dengan Sofyan?'Sua
"Va, hubungan lo sama Sofyan nggak baik-baik aja 'kan?" celetuk Kausar mengalihkan pandangan dari layar hp ke Eva.Gadis itu tidak menjawab. Kausar yakin Eva mendengarnya. Terlihat jelas gerakan Eva yang hendak mengambil saus sambal seketika terhenti."Eva, woy!" Eva menyambar botol saus dengan cepat. "Sok tau!"Kausar berdecak lalu memperlihatkan room chat antara dirinya dengan Sofyan kepada Eva. "Udah semingguan lebih, dia terus nanyain lu ke gue.""Kangen sama o kali, tapi nggak ada topik makanya nanyain gue," kilah Eva. Bakso di mangkuknya tidak menarik lagi. Kini pikirannya kembali tertuju pada Sofyan. Sejak tahu perkara kecelakaan yang dialami abangnya, Eva memutuskan untuk menjaga jarak dari Sofyan. Bukan karena membenci laki-laki itu, tapi Eva mencoba menemukan jawaban dari keinginannya saat ini. Sekaligus memperjelas perasaan cintanya tertuju pada siapa. Eva berpikir mencoba melepas pikiran dari Sofyan mungkin membuatnya bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Sebab, sela