"Weh, baru juga hari pertama masuk kuliah udah penuh beban aja muka kamu. Ada apa sih?" kata Kausar seraya duduk di depan Eva. Eva menggeleng, "Nggak apa-apa. Cuma males ikut kelas aja hari ini."Itu alasan yang keluar dari mulut Eva. Padahal, kepalanya sekarang sedang kalut oleh masalah di kos. Dia memberanikan diri meninggalkan kawasan kos karena tidak sanggup mendengar mulut-mulut penyewa kos membicarakan dirinya. Namanya semakin jelek akibat menampar Rida di depan kamar. "Kamu masih ada mata kuliah yang belum beres juga? Kirain udah aman semua. Berarti ada teman aku hari ini." Tatapan gembira tergambar di wajah Kausar. Eva menghela napas panjang. Dia menjatuhkan kepalanya ke meja. "Pengen bolos aja deh hari ini," gumam Eva."Nggak bisa. Kamu nggak boleh bolos. Makin telat ntar selesai kuliah kamu. Mau jadi mahasiswa abadi?" ujar Kausar mencegah. Dia tidak boleh membiarkan temannya itu semakin berleha-leha dengan urusan kuliahnya.Eva menumpuk tangan dan dagunya lalu menatap Kaus
"Bu Siti, Eva sempat mampir nggak tadi di sini?" tanya Rafa saat baru tiba di rumah. Hari ini dia pulang telat karena kerjaannya cukup sibuk. Dia menutup pintu dan mencium Arumi singkat."Nggak ada, Pak Rafa. Mbak Eva cuma telepon doang tadi ke saya. Dia nanyain Arumi." Bu Siti memberi tahu."Jam berapa dia telepon? Dia bilang lagi di mana saat itu?" tanya Rafa sambil meletakkan tas, kantong plastik hitam, dan jasnya di sofa. Dia membuka kancing kemeja di lengannya lalu menggulung hingga siku. "Arumi bawa ke saya, Bu." Bu Siti mengangguk dan menyerahkan Arumi. "Dia tutup telepon pas Pak Rafa masuk gerbang tadi. Dia belum pulang ke kos, cuma nitip Arumi dijaga baik-baik. Mbak Eva nggak bilang lagi di mana." Bu Siti menjelaskan.Rafa yang sedang bermain dengan Arumi, menoleh dengan alis mengerut. "Dia belum balik? Jam segini?" tanya Rafa melirik jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. "Ke mana anak itu?""Saya kurang tau, Pak," sahut Bu Siti. "Pak,
"Loh, Eva. Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Rafa yang menemukan Eva telah rapi. Gadis dengan kaus lengan panjang yang menutup hingga jemari, langsung tersenyum canggung pada Rafa. "Ke kampus, Pak," jawabnya."Ada kelas pagi?" tanya Rafa menepuk-nepuk kedua tangannya setelah meletakkan sampah. "Nggak ada, Pak." Jawaban Eva membuat alis Rafa mengerut. "Terus ngapain keluar sepagi ini? Saya bingung sama kamu. Keluar dari kos selalu pagi-pagi buta, terus pulang kemalaman. Ada apa sih? Kamu ngehindarin sesuatu?" tanya Rafa penasaran.Tebakan Rafa tepat sasaran. Eva memang sedang menghindari bertemu dengan teman-teman penyewa lain. Eva hanya tidak ingin merusak hari-harinya dengan memulai mendengar kalimat-kalimat penghinaan dari mereka. Eva sudah capek jika harus mendebat teman-teman penyewa. Sekeras apapun usaha Eva ingin memberitahukan kebenarannya, tetap saja para penyewa memandangnya salah. Daripada dirundung, Eva memilih menghindari berpapasan dengan mereka. Yang paling sulit Ev
"Tetap di sini. Aku akan mengantar kamu ke kampus." Rafa menahan bahu Eva yang hendak berdiri. Eva menggeleng cepat dengan tangan dilambaikan. "Nggak usah, Pak. Saya bisa pergi sendiri. Pak Rafa langsung ngantor aja." Eva segera menolak. Dia tidak ingin terlihat semakin dekat oleh penghuni kos lain. Dia hanya berusaha agar gosip baru tidak muncul. Eva sudah cukup tersiksa dengan situasi sekarang."Nggak ada penolakan, Eva. Kamu tetap di sini. Tunggu aku sebentar. Aku hanya mau ambil kunci mobil." Rafa kekeh ingin mengantar."Tapi, Pak ...." Eva meringis dengan bahu merosot. Rafa tidak memedulikan penolakannya.Tidak lama, Rafa kembali. Bu Siti yang sejak tadi ada di kamar Arumi, kini berdiri di belakang Rafa."Bu Siti, kami berangkat ya. Arumi biarin aja tidur. Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya atau Eva." Rafa berpesan."Iya, Pak." Bu Siti menjawab lalu kembali ke kamar Arumi."Eva, sampai jam berapa di kampus?" tanya Rafa beralih ke Eva."Belum tahu, Pak," jawab Eva.Alis Raf
"Saya harap Pak Rafa nggak bertindak gegabah untuk menghapus rumor itu. Saya nggak mau ya nama kita tambah jelek di kalangan penyewa kos." Eva mengeluarkan suara pertama kalinya sepanjang perjalanan. Rafa yang sejak tadi fokus pada jalanan, melirik ke sampingnya. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan kita.""Saya pegang kata-kata Pak Rafa. Kalau sampai Pak Rafa membuat semuanya tambah berantakan, saya akan tuntut pertanggungjawaban Pak Rafa." Eva mengatakannya sembari merapatkan tubuhnya di sandaran kursi. "Tuntut saja. Lagipula, kamu memang tanggung jawab aku. Tugas aku untuk lindungin kamu. Kamunya aja yang lebih suka anggap saya orang asing, padahal kita suami istri." Eva mendengus. "Lagi? Pak Rafa ingin membicarakan hubungan suami istri lagi? Nggak bosan tuh?" "Kalau kamu udah mau terima, kita bisa pindah ke topik lain. Mungkin membuat rancangan masa depan, menentukan goal bersama, dan hal lainnya yang bisa dilakukan oleh pasangan." Rafa berceloteh."Jangan berharap
"Semuanya udah datang?" tanya Rafa memandangi semua penyewa kos yang ada di rumahnya."Penghuni lantai dua, lorong satu belum datang, Pak." Di antara banyaknya wajah yang beragam ekspresi, seorang menjawab. Yang dia maksud adalah Eva, Rida, Ajeng, dan Fara.Rafa manggut-manggut dan berkata, "Nanti mereka nyusul aja."Seorang mengangkat tangan. Kemudian berbicara saat Rafa persilahkan. "Pak, ini kita dikumpulkan buat apa sih? Saya ada tugas kuliah yang harus diselesaikan.""Iya, Pak. Saya juga udah ngantuk nih.""Lapar nih, Pak. Pak Rafa manggil di waktu yang tidak tepat. Mau bahas apaan sih, Pak.""Pak kalau nggak terllau mendesar, saya balik duluan bisa nggak? Nanti teman-teman aja yang beritahu ke saya.""Pak cepetan dong, nungguin siapa lagi sih? Eva, pacar Pak Rafa?" Yang lain menimpali. Ucapan dari orang terakhir membuat semuanya kompak menoleh dan menegur lewat tatapan. Mereka kurang nyaman jika membicarakan hal itu di depan bapak kosnya langsung. Pada
"Fyuu, kelar juga makalahnya." Eva berdiri lalu merenggangkan ototnya yang terasa kaku akibat kelamaan mengetik di laptop."Belum nih punya aku. Baru bab dua nih. bantuin dong," ucap Kausar dengan raut memohon. "Lah ngapain aja kamu dari tadi?" tanya Eva sembari mencondongkan tubuhnya untuk mengintip di laptop Kausar. Menit berikutnya, dia memukul ujung topi bisbol laki-laki itu. "Pantesan nggak selesai. Kamu lebih pentingkan push rank."Kausar hanya menunjukkan cengiran lebarnya. Dia mendorong laptopnya ke depan Eva. Matanya mengerjap-ngerjap memohon. Eva geleng-geleng kepala. "Aku paling males bantuin orang yang mau enaknya aja. Masa kamu keenakan main game terus sodorin tugas kamu ke aku. Kerja sendiri." Eva membuang muka. Dia menatap ke luar sana. Kaca Coffeeshop berembun karena cuaca agak dingin malam ini. Seharusnya, Eva sudah pulang sore tadi. Tetapi, dia terlalu malas bertemu penghuni kos dan Rafa. Akhir-akhir ini, Eva seperti orang terlantar yang selalu berkeliaran di jala
"Aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucapnya lalu menarik Eva ke dalam pelukan. Dia mendekap dengan erat dan mengusap-usap rambut Eva dengan lembut. Seolah-olah, Eva adalah benda rapuh yang harus diperlakukan dengan penuh kehati-hatian. Eva mengenali aroma ini. Dia pernah sekali berada dalam pelukan pria ini. Dan aroma tubuh pria ini menempel dengan kuat di ingatannya. Dia melepas pelukan di lutut dan beralih membalas pelukan pria itu. "Untung saja aku menemukan kamu lebih cepat. Aku sangat khawatir kamu belum sampai juga di kos. Kamu ke mana aja?" tanya Rafa dengan suara pelan. "Pak Rafa, aku ... takut masuk lorong ... gelap ...," ucap Eva terbata-bata di sela isakannya. Dia mengurai pelukan dan mengelap wajahnya yang basah. "Kenapa nggak telepon aku? Kenapa nggak pulang lebih awal kalau kamu takut jalan masuk lorong? Dengan siapa kamu pulang dan hanya membawamu sampai sini?" berondong Rafa. Dia sangat khawatir sejak tadi. Saat melihat jam malam sudah lewat, kecemasannya semakin men
Rafa memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan hanya menemukan Bu Siti dan Arumi yang bermain di ruang tengah. "Pak Ra—" Kalimat Bu Siti menggantung begitu saja karena Rafa segera berlalu menuju ruangan lain seperti mencari sesuatu.Setelah memasuki tiap kamar dalam rumah, Rafa memasuki area dapur lalu berjalan ke halaman belakang. Nihil.Tidak ada jejak Eva di rumah ini. Rafa mendekati Bu Siti. Tatapannya tampak tidak fokus. Bahkan keberadaan Arumi di sana, seperti buram di mata Rafa."Eva nggak balik ke rumah, Bu?" tanya Rafa.Bu Siti mengernyit heran. "Bukannya Neng Eva ke rumah sakit ya. Tadi dia bilang mau jengukin Pak Ardi. Memangnya Pak Rafa nggak ketemu? Atau Pak Rafa bukan di rumah sakit tapi di kantor ya, makanya nggak ketemu?" "Saya di rumah sakit tadi, Bu. Cuma Eva ... pergi." Rafa bingung menjelaskan situasi saat ini. Rafa hanya mendengar kabar bahwa Eva marah. Penjelasan lebih lanjut terkait kron
"Bu Siti, Arumi rewel nggak seharian ini?"'Tadi sempat rewel nyariin Neng Eva sama Pak Rafa. Tapi sekarang udah aman, Neng. Bibi masih bisa tangani. Sekarang, adek lagi seru-serunya main. Tuh, Neng.'Senyuman Eva merekah ketika layar ponsel menampilkan Arumi yang sedang berusaha memasang donat susunnya. Eva selalu merasa bangga tiap kali melihat tumbuh kembang Arumi. Mungkin itulah yang dirasakan oleh semua ibu di dunia ini. Sekecil apapun pencapaian si anak, tentu terasa hebat di mata seorang ibu.'Mau bicara, Neng?' tanya Bu Siti ketika melihat Eva hanya diam memandangi Arumi.Eva menggeleng dan berkata, "Nggak usah, Bu. Nanti dia nangis kalau liat aku tapi nggak gendong."Bu Siti terkekeh mendengar keluhan Eva. Kebebasan Eva terenggut ketika keberadaannya tertangkap oleh Arumi. Bayi itu sangat manja kepada Eva. Bahkan, Eva harus melarikan diri secara diam-diam jika ingin ke kampus. "Bu, nanti aku agak telat ya pulangnya. Nggak apa-apa 'kan?" Eva merasa t
"Kami baik-baik aja kok, Pa." Eva melirik layar ponselnya yang menampilkan wajah Bagas. Panggilan telepon itu sudah berlangsung beberapa menit lalu dan Bagas bisa menangkap raut masygul di wajah putrinya. Akan tetapi, jawaban Eva yang berulang menekankan bahwa dia baik-baik saja membuat Bagas mengangguk. "Rafa belum pulang kerja?" tanya Bagas. "Bukan belum pulang, memang dia nggak mau pulang." Eva menjawab dengan jengkel. Mendengar nama Rafa disebut papanya kian membangkitkan kekesalan Eva pada suaminya. "Kalian bertengkar?" Itu bukan suara Bagas, melainkan suara mama Eva. Layar ponsel Eva kini dipenuhi oleh wajah mamanya. Desahan Eva lolos begitu saja. Dia menutup laptopnya yang sempat menganggur karena panggilan video dari orangtuanya. Seharusnya Eva melakukan itu sejak tadi. Toh, tugasnya tidak kunjung selesai sebab pikirannya tidak bisa fokus. Eva menyambar ponsel dan merebahkan tub
"Emangnya Pak Rafa nggak ada niatan balik dulu ke rumah? Kok tiap hari nyuruh orang mulu buat ambilin baju gantinya." Pandangan Eva tidak lepas dari asisten Rafa yang lagi-lagi datang hanya untuk meminta pakaian ganti untuk Rafa. Selama empat hari berturut-turut, asisten itu rutin mengunjungi rumah dengan tujuan yang sama. "Eh, si Eneng!" seru Bu Siti kaget saat tersadar dengan kemunculan Eva di belakangnya. Dia mengelus dada lalu menutup pintu. "Maaf ya, Bu," ucap Eva menunjukkan cengiran. Cukup merasa bersalah telah mengejutkan Bu Siti. Dia melangkah lebih dulu."Pak Rafa bukannya nggak mau balik. Kan Neng Eva udah dikabarin juga sama Pak Rafa. Mertua Neng Eva masih perlu dirawat, jadi Pak Rafa nggak tega ninggalin." Bu Siti menjawab sambil menyusul Eva menuju dapur."Tapi kan, masa iya nggak ada kesempatan pulang sebentar. Emang dia nggak rindu Arumi?" Eva meraih gelas dan melangkah ke depan lemari es."Kalau itu, saya nggak tau juga Neng. Tanya Pak Rafa langsung aja." Bu Siti t
"Wiiihhh ada ibu kos main ke sini," sambut Ajeng melihat kedatangan Eva bersama Arumi dalam gendongannya."Liat Eva gendong anak. Berasa liat ibu-ibu beneran," timpal Rida bercanda."Bangke kalian berdua. Gue masih muda ya. Paling muda di antara kalian. Mana ada muka ibu-ibu?" Eva melepas sendalnya dan bergabung duduk lesehan sambil mengomel. Bibirnya sudah maju beberap senti akibat disebut mirip ibu-ibu. Ajeng dan Rida cekikikan menanggapi Eva. "Iya-iya si paling muda." Rida tidak tega melihat bibir manyun Eva.Ajeng menyodorkan sepiring rujak mangga ke hadapan Eva. "Nih makan, gue udah potongin. Anak Lo kesiniin. Mumpung bapaknya nggak ada, gue mau unyel-unyel."Eva memeluk Arumi. "Jangan dong! Bapaknya marah ntar kalau anaknya diapa-apain.""Makanya Lo diam. Jangan laporin ke bapak kos." Ajeng menyelipkan tangannya di bawah ketiak Arumi, bersiap menariknya."Mending nggak usah. Lecet dikit, bapaknya bisa ngamuk." "Ya elah, mau dipangku doang, Va. Nggak gue banting." "Gue nggak y
"Makasih udah anterin," ucap Eva sekenanya lalu melepas seat belt. Dia masih kesal dengan pria disampingnya. Sampai saat ini, dia masih penasaran pada percakapan antara Bu Siti dan Rafa.Kalimat 'Nanti saya sediakan. Pak Rafa pasti suka' terus terbayang-bayang di kepalanya. Sejujurnya, dia takut kalau-kalau Rafa meminta seorang perempuan untuk melampiaskan hasratnya. Bu Siti pernah memperingati Eva tentang kebutuhan seorang laki-laki pada perempuan, tapi Eva sungguh belum siap melayani suaminya. Jangankan melayani, Eva saja masih meragukan perasaannya pada Rafa. Satu hal yang pasti, Eva tidak ingin Rafa melakukan hal itu dengan perempuan lain. Entah mengapa, hatinya tidak rela."Tunggu," ucap Rafa mencegah Eva yang hendak keluar dari mobil. Eva menutup pintu mobil. Dia menunggu Rafa berbicara lagi. "Sepertinya malam ini saya akan nggak bakal pulang ke rumah. Arumi bisa saya titip di kamu?" Eva menoleh dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Perasaan khawatir dan takut menyelinap
Ucapan Rafa cukup sukses membuat Eva tergemap. Gadis itu tercenung untuk beberapa saat. Dia memikirkan kebenaran ucapan Rafa. Mungkin saja Rafa dalam keadaan tidak sadar saat mengatakannya. Namun, Eva juga mengkhawatirkan kalau Rafa sebenarnya sudah menciumnya tapi berdalih hendak mencuri ciuman Eva. Eva berdeham untuk mengurai rasa gugupnya. "Ngaco banget pagi-pagi," komentar Eva sambil mendorong bahu Rafa agar menjauh. Dia bangun lalu merapikan rambutnya dan menjepit dengan jedai.Rafa terkekeh pelan sebelum berkata, "Saya serius loh, tapi gagal soalnya kamu keburu bangun. Bukankah menyenangkan, kalau pagi-pagi kita membuat menciptakan suasana romantis? Suami istri suka gitu."Mata Eva melotot mendengar itu. Tidak ingin menanggapi Rafa lebih lanjut, Eva mencoba menghindar. "Gimana kondisi Papa Ardi?" tanya Eva bangkit dari kasur.Terdengar helaan napas dari Rafa. Cukup kecewa karena Eva kembali mengalihkan pembicaraan. Padahal Rafa ingin membicarakan hubungan mereka dari hati ke ha
"Rabu depan Sofyan bakalan main. Apa gue harus ke sana?" gumam Eva sendiri sambil tengkurap di kasur, memperhatikan jadwal Indonesia Masters. Beberapa saat, dia kembali memikirkan percakapan dengan Kausar tadi siang di kantin. "Apa bener kata Kausar? Perasaan gue udah berpaling ke Rafa? Masa sih?"Permasalahannya yang dihadapinya sekarang menjadikan Eva sebagai sosok yang egois dan kurang ajar. Tepatnya, dia bersikap seperti perempuan yang berselingkuh dan mainin perasaan laki-laki. Dia memiliki Rafa sebagai suaminya dan Sofyan sebagai pacarnya. Dulu, Eva ingin melepaskan Rafa ketika Arumi cukup besar atau memiliki seseorang yang bisa menjaganya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebersamaan mereka justru membuat Eva terikat. Eva sulit beranjak dari kehidupannya saat ini. Arumi membuat hari-hari Eva lebih menyenangkan dan menantang. Dan Rafa dengan segala kebaikan dan ketulusannya membuat Eva perlahan membuka cela di hati untuk dimasuki oleh Rafa. 'Lalu bagaimana dengan Sofyan?'Sua
"Va, hubungan lo sama Sofyan nggak baik-baik aja 'kan?" celetuk Kausar mengalihkan pandangan dari layar hp ke Eva.Gadis itu tidak menjawab. Kausar yakin Eva mendengarnya. Terlihat jelas gerakan Eva yang hendak mengambil saus sambal seketika terhenti."Eva, woy!" Eva menyambar botol saus dengan cepat. "Sok tau!"Kausar berdecak lalu memperlihatkan room chat antara dirinya dengan Sofyan kepada Eva. "Udah semingguan lebih, dia terus nanyain lu ke gue.""Kangen sama o kali, tapi nggak ada topik makanya nanyain gue," kilah Eva. Bakso di mangkuknya tidak menarik lagi. Kini pikirannya kembali tertuju pada Sofyan. Sejak tahu perkara kecelakaan yang dialami abangnya, Eva memutuskan untuk menjaga jarak dari Sofyan. Bukan karena membenci laki-laki itu, tapi Eva mencoba menemukan jawaban dari keinginannya saat ini. Sekaligus memperjelas perasaan cintanya tertuju pada siapa. Eva berpikir mencoba melepas pikiran dari Sofyan mungkin membuatnya bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Sebab, sela