"Tetap di sini. Aku akan mengantar kamu ke kampus." Rafa menahan bahu Eva yang hendak berdiri. Eva menggeleng cepat dengan tangan dilambaikan. "Nggak usah, Pak. Saya bisa pergi sendiri. Pak Rafa langsung ngantor aja." Eva segera menolak. Dia tidak ingin terlihat semakin dekat oleh penghuni kos lain. Dia hanya berusaha agar gosip baru tidak muncul. Eva sudah cukup tersiksa dengan situasi sekarang."Nggak ada penolakan, Eva. Kamu tetap di sini. Tunggu aku sebentar. Aku hanya mau ambil kunci mobil." Rafa kekeh ingin mengantar."Tapi, Pak ...." Eva meringis dengan bahu merosot. Rafa tidak memedulikan penolakannya.Tidak lama, Rafa kembali. Bu Siti yang sejak tadi ada di kamar Arumi, kini berdiri di belakang Rafa."Bu Siti, kami berangkat ya. Arumi biarin aja tidur. Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya atau Eva." Rafa berpesan."Iya, Pak." Bu Siti menjawab lalu kembali ke kamar Arumi."Eva, sampai jam berapa di kampus?" tanya Rafa beralih ke Eva."Belum tahu, Pak," jawab Eva.Alis Raf
"Saya harap Pak Rafa nggak bertindak gegabah untuk menghapus rumor itu. Saya nggak mau ya nama kita tambah jelek di kalangan penyewa kos." Eva mengeluarkan suara pertama kalinya sepanjang perjalanan. Rafa yang sejak tadi fokus pada jalanan, melirik ke sampingnya. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan kita.""Saya pegang kata-kata Pak Rafa. Kalau sampai Pak Rafa membuat semuanya tambah berantakan, saya akan tuntut pertanggungjawaban Pak Rafa." Eva mengatakannya sembari merapatkan tubuhnya di sandaran kursi. "Tuntut saja. Lagipula, kamu memang tanggung jawab aku. Tugas aku untuk lindungin kamu. Kamunya aja yang lebih suka anggap saya orang asing, padahal kita suami istri." Eva mendengus. "Lagi? Pak Rafa ingin membicarakan hubungan suami istri lagi? Nggak bosan tuh?" "Kalau kamu udah mau terima, kita bisa pindah ke topik lain. Mungkin membuat rancangan masa depan, menentukan goal bersama, dan hal lainnya yang bisa dilakukan oleh pasangan." Rafa berceloteh."Jangan berharap
"Semuanya udah datang?" tanya Rafa memandangi semua penyewa kos yang ada di rumahnya."Penghuni lantai dua, lorong satu belum datang, Pak." Di antara banyaknya wajah yang beragam ekspresi, seorang menjawab. Yang dia maksud adalah Eva, Rida, Ajeng, dan Fara.Rafa manggut-manggut dan berkata, "Nanti mereka nyusul aja."Seorang mengangkat tangan. Kemudian berbicara saat Rafa persilahkan. "Pak, ini kita dikumpulkan buat apa sih? Saya ada tugas kuliah yang harus diselesaikan.""Iya, Pak. Saya juga udah ngantuk nih.""Lapar nih, Pak. Pak Rafa manggil di waktu yang tidak tepat. Mau bahas apaan sih, Pak.""Pak kalau nggak terllau mendesar, saya balik duluan bisa nggak? Nanti teman-teman aja yang beritahu ke saya.""Pak cepetan dong, nungguin siapa lagi sih? Eva, pacar Pak Rafa?" Yang lain menimpali. Ucapan dari orang terakhir membuat semuanya kompak menoleh dan menegur lewat tatapan. Mereka kurang nyaman jika membicarakan hal itu di depan bapak kosnya langsung. Pada
"Fyuu, kelar juga makalahnya." Eva berdiri lalu merenggangkan ototnya yang terasa kaku akibat kelamaan mengetik di laptop."Belum nih punya aku. Baru bab dua nih. bantuin dong," ucap Kausar dengan raut memohon. "Lah ngapain aja kamu dari tadi?" tanya Eva sembari mencondongkan tubuhnya untuk mengintip di laptop Kausar. Menit berikutnya, dia memukul ujung topi bisbol laki-laki itu. "Pantesan nggak selesai. Kamu lebih pentingkan push rank."Kausar hanya menunjukkan cengiran lebarnya. Dia mendorong laptopnya ke depan Eva. Matanya mengerjap-ngerjap memohon. Eva geleng-geleng kepala. "Aku paling males bantuin orang yang mau enaknya aja. Masa kamu keenakan main game terus sodorin tugas kamu ke aku. Kerja sendiri." Eva membuang muka. Dia menatap ke luar sana. Kaca Coffeeshop berembun karena cuaca agak dingin malam ini. Seharusnya, Eva sudah pulang sore tadi. Tetapi, dia terlalu malas bertemu penghuni kos dan Rafa. Akhir-akhir ini, Eva seperti orang terlantar yang selalu berkeliaran di jala
"Aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucapnya lalu menarik Eva ke dalam pelukan. Dia mendekap dengan erat dan mengusap-usap rambut Eva dengan lembut. Seolah-olah, Eva adalah benda rapuh yang harus diperlakukan dengan penuh kehati-hatian. Eva mengenali aroma ini. Dia pernah sekali berada dalam pelukan pria ini. Dan aroma tubuh pria ini menempel dengan kuat di ingatannya. Dia melepas pelukan di lutut dan beralih membalas pelukan pria itu. "Untung saja aku menemukan kamu lebih cepat. Aku sangat khawatir kamu belum sampai juga di kos. Kamu ke mana aja?" tanya Rafa dengan suara pelan. "Pak Rafa, aku ... takut masuk lorong ... gelap ...," ucap Eva terbata-bata di sela isakannya. Dia mengurai pelukan dan mengelap wajahnya yang basah. "Kenapa nggak telepon aku? Kenapa nggak pulang lebih awal kalau kamu takut jalan masuk lorong? Dengan siapa kamu pulang dan hanya membawamu sampai sini?" berondong Rafa. Dia sangat khawatir sejak tadi. Saat melihat jam malam sudah lewat, kecemasannya semakin men
"Selamat ya, Eva." Itu ucapan selamat yang kesekian kalinya Eva dengarkan dari mulut penyewa kos lainnya. Eva merasa ada yang aneh pagi ini. Sejak keluar dari rumah utama, Eva sudah was-was ketika berpapasan dengan penyewa kos lain. Dia tidak sanggup jika harus mendengar hinaan di pagi hari. Tetapi, keadaan justru berbalik. Bukan hinaan yang Eva dapatkan, melainkan ucapan selamat. Eva menggaruk kepalanya ketika mendengar ucapan selamat dari salah satu penyewa dari lantai dua lorong tiga. Eva hanya bisa tersenyum canggung pada penyewa itu. "Ini ada apa sih? Kok tiba-tiba pada bilang selamat?" tanya Eva pada diri sendiri sambil memandangi penyewa itu menuruni tangga. "Woy, Eva!" Teriakan dari arah belakang membuat Eva menoleh.Di depan kamarnya sudah berdiri Ajeng dengan eskpresi yang tidak bisa Eva definisikan. Eva menelan ludah sebelum melangkah. Dia berjalan begitu pelan karena takut mendapat semburan hinaan dari Ajeng."Lelet banget jalannya. Buru
"Iya, Pak. Tunggu bentar, ini lagi kunci kamar. Kalau nggak bisa nunggu, duluan aja. Ribet banget jadi orang. Iya-iya, nih udah mau turun," sungut Eva sembari memutuskan panggilan. Dia memasukkan ponsel ke dalam tasnya.Begitu Eva berbalik, dari belakangnya tiba-tiba Rida lewat dan hampir bertabrakan dengan Eva."Astaghfirullah, hampir aja," ucap Eva kaget dan merapatkan tubuh di tembok.Rida sama terkejutnya dan menempel di pembatas teras kamar. Rida sama terkejutnya dengan Eva. Tetapi, Rida tetap diam dan menatap Eva dengan datar. Ini menjadi pertemuan pertama mereka sejak Rafa membuat klarifikasi. Eva berdeham sekali kemudian melangkah pergi. Rida yang melihatnya segera menghentikan Eva."Eva!" panggil Rida.Eva mematung di tempatnya. Muncul perasaan aneh ketika mendengar Rida itu menyebut namanya lagi. Dia memilih menunggu Rida menghampirinya. Dia ingin egois kali ini. Dia masih sakit hati dengan ucapan Rida beberapa waktu lalu saat gosip tentangnya beredar. Dia sangat kesal denga
"Aku menolak adanya perceraian di pernikahan kita," kata Rafa tegas. Dia memperhatikan Eva yang duduk di sampingnya. "Eva, sehari aja kamu nggak mendebat aku, bisa?""Bisa. Asalkan Pak Rafa nggak pancing, saya nggak bakalan debat Pak Rafa." Eva menimpali dengan santai. "Satu hal lagi, jangan bicarakan pernikahan lagi. Pak Rafa harus tahu kalau hati saya sudah menjadi milik orang lain. Jadi jangan paksa saya untuk membalas perasaan Pak Rafa."Rafa mendengus mendengar ucapan Eva. Dia tahu bahwa Eva punya pacar. Kesannya memang jahat, karena Rafa merebut kebahagiaan Eva bersama pacarnya. Tetapi, dia ingin Eva tetap bersamanya. Dia membutuhkan Eva untuk merawat Arumi dan juga menemaninya. Dia sudah terlanjur membuka hati untuk Eva agar dalam perawatan Arumi, sempurna kasih sayang yang didapatkan bayinya. Dia ingin menunjukkan kepada Arumi bahwa cinta Eva dan Rafa utuh untuknya. Rafa membasahi bibirnya sebelum bicara, "Saya nggak akan paksa kamu untuk menyukai saya. Satu hal yang perlu kam