"Masih balik ke kos ya? Kirain bakal tinggal serumah sama bapak kos." Rida yang berpapasan dengan Eva di depan kamar langsung menyindir."Nggak mungkin Rida. Kamar aku di sini, pasti aku tinggal di sini," tampik Eva berusaha tetap tenang meskipun hatinya merasa sakit. Dia menebak bahwa Rida adalah salah satu orang yang menebar gosip itu. "Diusir ya sama bapak kos setelah hilang keperawanan?" Rida menuduh dengan tatapan sinis.Eva yang sedang memegang gagang pintu, berbalik menatap Rida dengan geram. "Jangan ucapan kamu, Rida! Aku bukan perempuan seperti itu!"Rida berdecih dan tersenyum sinis, "Sok suci! Kalau bukan, ngapain kamu ke rumah bapak kos malam-malam?" tuding Rida melangkah maju mendekati Eva. Telunjuknya digunakan mendorong bahu Eva.Tidak ingin diintimidasi, Eva menangkap tangan Rida. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap tajam pada Rida. "Aku hanya bantuin bapak kos jagain anaknya. Nggak lebih! Sebaiknya mulut kamu itu dijaga baik-baik. Daripada kamu menuduh aku yang ngg
"Weh, baru juga hari pertama masuk kuliah udah penuh beban aja muka kamu. Ada apa sih?" kata Kausar seraya duduk di depan Eva. Eva menggeleng, "Nggak apa-apa. Cuma males ikut kelas aja hari ini."Itu alasan yang keluar dari mulut Eva. Padahal, kepalanya sekarang sedang kalut oleh masalah di kos. Dia memberanikan diri meninggalkan kawasan kos karena tidak sanggup mendengar mulut-mulut penyewa kos membicarakan dirinya. Namanya semakin jelek akibat menampar Rida di depan kamar. "Kamu masih ada mata kuliah yang belum beres juga? Kirain udah aman semua. Berarti ada teman aku hari ini." Tatapan gembira tergambar di wajah Kausar. Eva menghela napas panjang. Dia menjatuhkan kepalanya ke meja. "Pengen bolos aja deh hari ini," gumam Eva."Nggak bisa. Kamu nggak boleh bolos. Makin telat ntar selesai kuliah kamu. Mau jadi mahasiswa abadi?" ujar Kausar mencegah. Dia tidak boleh membiarkan temannya itu semakin berleha-leha dengan urusan kuliahnya.Eva menumpuk tangan dan dagunya lalu menatap Kaus
"Bu Siti, Eva sempat mampir nggak tadi di sini?" tanya Rafa saat baru tiba di rumah. Hari ini dia pulang telat karena kerjaannya cukup sibuk. Dia menutup pintu dan mencium Arumi singkat."Nggak ada, Pak Rafa. Mbak Eva cuma telepon doang tadi ke saya. Dia nanyain Arumi." Bu Siti memberi tahu."Jam berapa dia telepon? Dia bilang lagi di mana saat itu?" tanya Rafa sambil meletakkan tas, kantong plastik hitam, dan jasnya di sofa. Dia membuka kancing kemeja di lengannya lalu menggulung hingga siku. "Arumi bawa ke saya, Bu." Bu Siti mengangguk dan menyerahkan Arumi. "Dia tutup telepon pas Pak Rafa masuk gerbang tadi. Dia belum pulang ke kos, cuma nitip Arumi dijaga baik-baik. Mbak Eva nggak bilang lagi di mana." Bu Siti menjelaskan.Rafa yang sedang bermain dengan Arumi, menoleh dengan alis mengerut. "Dia belum balik? Jam segini?" tanya Rafa melirik jam yang menempel di dinding sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. "Ke mana anak itu?""Saya kurang tau, Pak," sahut Bu Siti. "Pak,
"Loh, Eva. Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Rafa yang menemukan Eva telah rapi. Gadis dengan kaus lengan panjang yang menutup hingga jemari, langsung tersenyum canggung pada Rafa. "Ke kampus, Pak," jawabnya."Ada kelas pagi?" tanya Rafa menepuk-nepuk kedua tangannya setelah meletakkan sampah. "Nggak ada, Pak." Jawaban Eva membuat alis Rafa mengerut. "Terus ngapain keluar sepagi ini? Saya bingung sama kamu. Keluar dari kos selalu pagi-pagi buta, terus pulang kemalaman. Ada apa sih? Kamu ngehindarin sesuatu?" tanya Rafa penasaran.Tebakan Rafa tepat sasaran. Eva memang sedang menghindari bertemu dengan teman-teman penyewa lain. Eva hanya tidak ingin merusak hari-harinya dengan memulai mendengar kalimat-kalimat penghinaan dari mereka. Eva sudah capek jika harus mendebat teman-teman penyewa. Sekeras apapun usaha Eva ingin memberitahukan kebenarannya, tetap saja para penyewa memandangnya salah. Daripada dirundung, Eva memilih menghindari berpapasan dengan mereka. Yang paling sulit Ev
"Tetap di sini. Aku akan mengantar kamu ke kampus." Rafa menahan bahu Eva yang hendak berdiri. Eva menggeleng cepat dengan tangan dilambaikan. "Nggak usah, Pak. Saya bisa pergi sendiri. Pak Rafa langsung ngantor aja." Eva segera menolak. Dia tidak ingin terlihat semakin dekat oleh penghuni kos lain. Dia hanya berusaha agar gosip baru tidak muncul. Eva sudah cukup tersiksa dengan situasi sekarang."Nggak ada penolakan, Eva. Kamu tetap di sini. Tunggu aku sebentar. Aku hanya mau ambil kunci mobil." Rafa kekeh ingin mengantar."Tapi, Pak ...." Eva meringis dengan bahu merosot. Rafa tidak memedulikan penolakannya.Tidak lama, Rafa kembali. Bu Siti yang sejak tadi ada di kamar Arumi, kini berdiri di belakang Rafa."Bu Siti, kami berangkat ya. Arumi biarin aja tidur. Kalau ada apa-apa, langsung telepon saya atau Eva." Rafa berpesan."Iya, Pak." Bu Siti menjawab lalu kembali ke kamar Arumi."Eva, sampai jam berapa di kampus?" tanya Rafa beralih ke Eva."Belum tahu, Pak," jawab Eva.Alis Raf
"Saya harap Pak Rafa nggak bertindak gegabah untuk menghapus rumor itu. Saya nggak mau ya nama kita tambah jelek di kalangan penyewa kos." Eva mengeluarkan suara pertama kalinya sepanjang perjalanan. Rafa yang sejak tadi fokus pada jalanan, melirik ke sampingnya. "Aku tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan kita.""Saya pegang kata-kata Pak Rafa. Kalau sampai Pak Rafa membuat semuanya tambah berantakan, saya akan tuntut pertanggungjawaban Pak Rafa." Eva mengatakannya sembari merapatkan tubuhnya di sandaran kursi. "Tuntut saja. Lagipula, kamu memang tanggung jawab aku. Tugas aku untuk lindungin kamu. Kamunya aja yang lebih suka anggap saya orang asing, padahal kita suami istri." Eva mendengus. "Lagi? Pak Rafa ingin membicarakan hubungan suami istri lagi? Nggak bosan tuh?" "Kalau kamu udah mau terima, kita bisa pindah ke topik lain. Mungkin membuat rancangan masa depan, menentukan goal bersama, dan hal lainnya yang bisa dilakukan oleh pasangan." Rafa berceloteh."Jangan berharap
"Semuanya udah datang?" tanya Rafa memandangi semua penyewa kos yang ada di rumahnya."Penghuni lantai dua, lorong satu belum datang, Pak." Di antara banyaknya wajah yang beragam ekspresi, seorang menjawab. Yang dia maksud adalah Eva, Rida, Ajeng, dan Fara.Rafa manggut-manggut dan berkata, "Nanti mereka nyusul aja."Seorang mengangkat tangan. Kemudian berbicara saat Rafa persilahkan. "Pak, ini kita dikumpulkan buat apa sih? Saya ada tugas kuliah yang harus diselesaikan.""Iya, Pak. Saya juga udah ngantuk nih.""Lapar nih, Pak. Pak Rafa manggil di waktu yang tidak tepat. Mau bahas apaan sih, Pak.""Pak kalau nggak terllau mendesar, saya balik duluan bisa nggak? Nanti teman-teman aja yang beritahu ke saya.""Pak cepetan dong, nungguin siapa lagi sih? Eva, pacar Pak Rafa?" Yang lain menimpali. Ucapan dari orang terakhir membuat semuanya kompak menoleh dan menegur lewat tatapan. Mereka kurang nyaman jika membicarakan hal itu di depan bapak kosnya langsung. Pada
"Fyuu, kelar juga makalahnya." Eva berdiri lalu merenggangkan ototnya yang terasa kaku akibat kelamaan mengetik di laptop."Belum nih punya aku. Baru bab dua nih. bantuin dong," ucap Kausar dengan raut memohon. "Lah ngapain aja kamu dari tadi?" tanya Eva sembari mencondongkan tubuhnya untuk mengintip di laptop Kausar. Menit berikutnya, dia memukul ujung topi bisbol laki-laki itu. "Pantesan nggak selesai. Kamu lebih pentingkan push rank."Kausar hanya menunjukkan cengiran lebarnya. Dia mendorong laptopnya ke depan Eva. Matanya mengerjap-ngerjap memohon. Eva geleng-geleng kepala. "Aku paling males bantuin orang yang mau enaknya aja. Masa kamu keenakan main game terus sodorin tugas kamu ke aku. Kerja sendiri." Eva membuang muka. Dia menatap ke luar sana. Kaca Coffeeshop berembun karena cuaca agak dingin malam ini. Seharusnya, Eva sudah pulang sore tadi. Tetapi, dia terlalu malas bertemu penghuni kos dan Rafa. Akhir-akhir ini, Eva seperti orang terlantar yang selalu berkeliaran di jala