"Semuanya udah datang?" tanya Rafa memandangi semua penyewa kos yang ada di rumahnya."Penghuni lantai dua, lorong satu belum datang, Pak." Di antara banyaknya wajah yang beragam ekspresi, seorang menjawab. Yang dia maksud adalah Eva, Rida, Ajeng, dan Fara.Rafa manggut-manggut dan berkata, "Nanti mereka nyusul aja."Seorang mengangkat tangan. Kemudian berbicara saat Rafa persilahkan. "Pak, ini kita dikumpulkan buat apa sih? Saya ada tugas kuliah yang harus diselesaikan.""Iya, Pak. Saya juga udah ngantuk nih.""Lapar nih, Pak. Pak Rafa manggil di waktu yang tidak tepat. Mau bahas apaan sih, Pak.""Pak kalau nggak terllau mendesar, saya balik duluan bisa nggak? Nanti teman-teman aja yang beritahu ke saya.""Pak cepetan dong, nungguin siapa lagi sih? Eva, pacar Pak Rafa?" Yang lain menimpali. Ucapan dari orang terakhir membuat semuanya kompak menoleh dan menegur lewat tatapan. Mereka kurang nyaman jika membicarakan hal itu di depan bapak kosnya langsung. Pada
"Fyuu, kelar juga makalahnya." Eva berdiri lalu merenggangkan ototnya yang terasa kaku akibat kelamaan mengetik di laptop."Belum nih punya aku. Baru bab dua nih. bantuin dong," ucap Kausar dengan raut memohon. "Lah ngapain aja kamu dari tadi?" tanya Eva sembari mencondongkan tubuhnya untuk mengintip di laptop Kausar. Menit berikutnya, dia memukul ujung topi bisbol laki-laki itu. "Pantesan nggak selesai. Kamu lebih pentingkan push rank."Kausar hanya menunjukkan cengiran lebarnya. Dia mendorong laptopnya ke depan Eva. Matanya mengerjap-ngerjap memohon. Eva geleng-geleng kepala. "Aku paling males bantuin orang yang mau enaknya aja. Masa kamu keenakan main game terus sodorin tugas kamu ke aku. Kerja sendiri." Eva membuang muka. Dia menatap ke luar sana. Kaca Coffeeshop berembun karena cuaca agak dingin malam ini. Seharusnya, Eva sudah pulang sore tadi. Tetapi, dia terlalu malas bertemu penghuni kos dan Rafa. Akhir-akhir ini, Eva seperti orang terlantar yang selalu berkeliaran di jala
"Aku sangat mengkhawatirkan kamu," ucapnya lalu menarik Eva ke dalam pelukan. Dia mendekap dengan erat dan mengusap-usap rambut Eva dengan lembut. Seolah-olah, Eva adalah benda rapuh yang harus diperlakukan dengan penuh kehati-hatian. Eva mengenali aroma ini. Dia pernah sekali berada dalam pelukan pria ini. Dan aroma tubuh pria ini menempel dengan kuat di ingatannya. Dia melepas pelukan di lutut dan beralih membalas pelukan pria itu. "Untung saja aku menemukan kamu lebih cepat. Aku sangat khawatir kamu belum sampai juga di kos. Kamu ke mana aja?" tanya Rafa dengan suara pelan. "Pak Rafa, aku ... takut masuk lorong ... gelap ...," ucap Eva terbata-bata di sela isakannya. Dia mengurai pelukan dan mengelap wajahnya yang basah. "Kenapa nggak telepon aku? Kenapa nggak pulang lebih awal kalau kamu takut jalan masuk lorong? Dengan siapa kamu pulang dan hanya membawamu sampai sini?" berondong Rafa. Dia sangat khawatir sejak tadi. Saat melihat jam malam sudah lewat, kecemasannya semakin men
"Selamat ya, Eva." Itu ucapan selamat yang kesekian kalinya Eva dengarkan dari mulut penyewa kos lainnya. Eva merasa ada yang aneh pagi ini. Sejak keluar dari rumah utama, Eva sudah was-was ketika berpapasan dengan penyewa kos lain. Dia tidak sanggup jika harus mendengar hinaan di pagi hari. Tetapi, keadaan justru berbalik. Bukan hinaan yang Eva dapatkan, melainkan ucapan selamat. Eva menggaruk kepalanya ketika mendengar ucapan selamat dari salah satu penyewa dari lantai dua lorong tiga. Eva hanya bisa tersenyum canggung pada penyewa itu. "Ini ada apa sih? Kok tiba-tiba pada bilang selamat?" tanya Eva pada diri sendiri sambil memandangi penyewa itu menuruni tangga. "Woy, Eva!" Teriakan dari arah belakang membuat Eva menoleh.Di depan kamarnya sudah berdiri Ajeng dengan eskpresi yang tidak bisa Eva definisikan. Eva menelan ludah sebelum melangkah. Dia berjalan begitu pelan karena takut mendapat semburan hinaan dari Ajeng."Lelet banget jalannya. Buru
"Iya, Pak. Tunggu bentar, ini lagi kunci kamar. Kalau nggak bisa nunggu, duluan aja. Ribet banget jadi orang. Iya-iya, nih udah mau turun," sungut Eva sembari memutuskan panggilan. Dia memasukkan ponsel ke dalam tasnya.Begitu Eva berbalik, dari belakangnya tiba-tiba Rida lewat dan hampir bertabrakan dengan Eva."Astaghfirullah, hampir aja," ucap Eva kaget dan merapatkan tubuh di tembok.Rida sama terkejutnya dan menempel di pembatas teras kamar. Rida sama terkejutnya dengan Eva. Tetapi, Rida tetap diam dan menatap Eva dengan datar. Ini menjadi pertemuan pertama mereka sejak Rafa membuat klarifikasi. Eva berdeham sekali kemudian melangkah pergi. Rida yang melihatnya segera menghentikan Eva."Eva!" panggil Rida.Eva mematung di tempatnya. Muncul perasaan aneh ketika mendengar Rida itu menyebut namanya lagi. Dia memilih menunggu Rida menghampirinya. Dia ingin egois kali ini. Dia masih sakit hati dengan ucapan Rida beberapa waktu lalu saat gosip tentangnya beredar. Dia sangat kesal denga
"Aku menolak adanya perceraian di pernikahan kita," kata Rafa tegas. Dia memperhatikan Eva yang duduk di sampingnya. "Eva, sehari aja kamu nggak mendebat aku, bisa?""Bisa. Asalkan Pak Rafa nggak pancing, saya nggak bakalan debat Pak Rafa." Eva menimpali dengan santai. "Satu hal lagi, jangan bicarakan pernikahan lagi. Pak Rafa harus tahu kalau hati saya sudah menjadi milik orang lain. Jadi jangan paksa saya untuk membalas perasaan Pak Rafa."Rafa mendengus mendengar ucapan Eva. Dia tahu bahwa Eva punya pacar. Kesannya memang jahat, karena Rafa merebut kebahagiaan Eva bersama pacarnya. Tetapi, dia ingin Eva tetap bersamanya. Dia membutuhkan Eva untuk merawat Arumi dan juga menemaninya. Dia sudah terlanjur membuka hati untuk Eva agar dalam perawatan Arumi, sempurna kasih sayang yang didapatkan bayinya. Dia ingin menunjukkan kepada Arumi bahwa cinta Eva dan Rafa utuh untuknya. Rafa membasahi bibirnya sebelum bicara, "Saya nggak akan paksa kamu untuk menyukai saya. Satu hal yang perlu kam
"Sebaiknya kamu pindah saja dari kos. Rumah kamu udah lama kosong. Lagian ngapain dibeli kalau nggak ditempatin." Dona mengatakan itu ketika Rafa hendak memasuki ruangan kerjanya."Kenapa tiba-tiba bahas itu, Kak?" tanya Rafa menarik tangannya dan membalik tubuh menghadap Dona."Kakak hanya berpikir kalau Eva mungkin tidak nyaman lagi tinggal di kos. Lihat sendiri, gimana terlukanya Eva saat semua teman-teman kosnya menghujatnya," ungkap Dona menghentikan langkahnya. Dia berdiri berhadapan dengan Rafa."Aku sudah tanya Eva kalau semua penghuni sudah ramah lagi padanya. Mereka semua sudah baikan, Kak. Nggak akan ada masalah lagi. Lagipula, nggak ada yang berani usik Eva lagi. Mereka jelas tahu, aku ada di sisi Eva sekarang." Rafa membalas."Meskipun udah baikan, ingatan perempuan itu kuat. Eva pasti teringat ucapan teman-teman kosnya setiap kali mereka berpapasan. Kamu nggak mikirin gimana tersiksanya Eva terus berusaha bersikap tenang dan memaafkan, padahal hatinya sakit jika menginga
"Sofyan?" sebut Eva kemudian menoleh ke belakang. Mengira Kausar melihat Sofyan di sekitar mereka."Sofyan, siapa?" tanya Rafa.Kausar berdecak. "Bisa-bisanya, kalian nikah tanpa ngundang aku. Jadi selama ini kalian kelabui aku?" ucap Kausar menatap Eva dan Rafa bergantian."Kausar, kamu liat Sofyan? Di mana?" tanya Eva mengabaikan ucapan Kausar. Kepalanya masih menoleh ke belakang dengan mata yang menyapu sekitar. "Nggak ada, Eva," ucap Kausar mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku nggak bilang ada Sofyan di sini. Tadi aku cuma kaget kalau kamu ternyata udah nikah. Maksud aku, bagaimana nasib Sofyan kalau ternyata kamu udah nikah."Eva ber-oh dengan lega. Dia sudah cemas kalau-kalau Sofyan sampai tahu hubungannya dengan Rafa. Ini bukan waktu yang tepat untuk Eva menjelaskan semuanya. "Tunggu-tunggu, Sofyan itu siapa?" sela Rafa dengan raut kebingungan. Rafa memang tahu kalau Eva punya pacar. Tetapi, Rafa tidak mengenalnya atau tahu nama pacar Eva.Kausar menutup mulutnya. Baru menyada