"Aku menolak adanya perceraian di pernikahan kita," kata Rafa tegas. Dia memperhatikan Eva yang duduk di sampingnya. "Eva, sehari aja kamu nggak mendebat aku, bisa?""Bisa. Asalkan Pak Rafa nggak pancing, saya nggak bakalan debat Pak Rafa." Eva menimpali dengan santai. "Satu hal lagi, jangan bicarakan pernikahan lagi. Pak Rafa harus tahu kalau hati saya sudah menjadi milik orang lain. Jadi jangan paksa saya untuk membalas perasaan Pak Rafa."Rafa mendengus mendengar ucapan Eva. Dia tahu bahwa Eva punya pacar. Kesannya memang jahat, karena Rafa merebut kebahagiaan Eva bersama pacarnya. Tetapi, dia ingin Eva tetap bersamanya. Dia membutuhkan Eva untuk merawat Arumi dan juga menemaninya. Dia sudah terlanjur membuka hati untuk Eva agar dalam perawatan Arumi, sempurna kasih sayang yang didapatkan bayinya. Dia ingin menunjukkan kepada Arumi bahwa cinta Eva dan Rafa utuh untuknya. Rafa membasahi bibirnya sebelum bicara, "Saya nggak akan paksa kamu untuk menyukai saya. Satu hal yang perlu kam
"Sebaiknya kamu pindah saja dari kos. Rumah kamu udah lama kosong. Lagian ngapain dibeli kalau nggak ditempatin." Dona mengatakan itu ketika Rafa hendak memasuki ruangan kerjanya."Kenapa tiba-tiba bahas itu, Kak?" tanya Rafa menarik tangannya dan membalik tubuh menghadap Dona."Kakak hanya berpikir kalau Eva mungkin tidak nyaman lagi tinggal di kos. Lihat sendiri, gimana terlukanya Eva saat semua teman-teman kosnya menghujatnya," ungkap Dona menghentikan langkahnya. Dia berdiri berhadapan dengan Rafa."Aku sudah tanya Eva kalau semua penghuni sudah ramah lagi padanya. Mereka semua sudah baikan, Kak. Nggak akan ada masalah lagi. Lagipula, nggak ada yang berani usik Eva lagi. Mereka jelas tahu, aku ada di sisi Eva sekarang." Rafa membalas."Meskipun udah baikan, ingatan perempuan itu kuat. Eva pasti teringat ucapan teman-teman kosnya setiap kali mereka berpapasan. Kamu nggak mikirin gimana tersiksanya Eva terus berusaha bersikap tenang dan memaafkan, padahal hatinya sakit jika menginga
"Sofyan?" sebut Eva kemudian menoleh ke belakang. Mengira Kausar melihat Sofyan di sekitar mereka."Sofyan, siapa?" tanya Rafa.Kausar berdecak. "Bisa-bisanya, kalian nikah tanpa ngundang aku. Jadi selama ini kalian kelabui aku?" ucap Kausar menatap Eva dan Rafa bergantian."Kausar, kamu liat Sofyan? Di mana?" tanya Eva mengabaikan ucapan Kausar. Kepalanya masih menoleh ke belakang dengan mata yang menyapu sekitar. "Nggak ada, Eva," ucap Kausar mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku nggak bilang ada Sofyan di sini. Tadi aku cuma kaget kalau kamu ternyata udah nikah. Maksud aku, bagaimana nasib Sofyan kalau ternyata kamu udah nikah."Eva ber-oh dengan lega. Dia sudah cemas kalau-kalau Sofyan sampai tahu hubungannya dengan Rafa. Ini bukan waktu yang tepat untuk Eva menjelaskan semuanya. "Tunggu-tunggu, Sofyan itu siapa?" sela Rafa dengan raut kebingungan. Rafa memang tahu kalau Eva punya pacar. Tetapi, Rafa tidak mengenalnya atau tahu nama pacar Eva.Kausar menutup mulutnya. Baru menyada
"Ngapain teriak?" tanya Rafa."Itu beneran hantu ya? Dia nolehnya tiba-tiba banget. Mana mukanya putih banget. Fix, dia hantu beneran." Eva menuturkan masih dengan mata tertutup. Rafa tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Dia sudah lihat siapa yang ada di depan sana saat lampu mobil menyorotnya. Bahkan orang itu sudah melangkah mendekati mobil. Orang itu melangkah dengan kakinya yang menjejak tanah, bukannya terbang-terbang."Kenapa malah ketawa sih, Pak?" tanya Eva."Buka dulu penutup matanya. Lihat baik-baik, dia beneran hantu tau bukan. Cepetan. Tuh-tuh, dia jalan ke sini." Rafa menarik tangan Eva."Enggak mau. Saya takut han—"Ucapan Eva terputus karena mendengar suara ketukan di jendela mobil. Dia segera menabrakkan diri dan memeluk Rafa. "Eva?" sebut Rafa kaget."Pak-pak, ayo cepetan jalankan mobilnya. Pak Rafa jangan buka pintu mobil. Buruan, Pak," desak Eva mengeratkan pelukannya.Rafa mengigit bibir bawah untuk menahan tawanya. Dia baru tahu kalau Eva sangat penakut.
"Pak Rafa, pak Rafa aaaa aduh, sakit ...," keluh Eva menjambak rambut Rafa dengan tangan kirinya.Rafa hanya diam sambil menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara. Meskipun Rafa merasakan kulit kepalanya hampir tercabut karena tarikan keras Eva. "Jangan ditusuk-tusuk kayak gitu, Pak. Tambah sakit," kata Eva meringis."Ini nggak ditusuk Eva. Saya udah usaha tapi ini sempit banget, kecil pula," balas Rafa dengan suara rendah."Pak Rafa, aaaa pelan-pelan dong," ucap Mira meringis menahan sakit.Rafa menghentikan aktivitasnya kemudian mendongak menatap Eva. Dia menghela napas. "Tahan bentar ya. Ini memang sakit. Aku udah pelan kok. Tahan ya, dikit lagi.""Sakit ...," rintih Eva.Tidak puas hanya menjambak rambut Rafa, Eva memindahkan tangannya mencengkeram bahu Rafa sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Dia menutup mata saat Rafa merobek kulitnya. Eva menahan napas saat melihat benda itu dikeluarkan."Nah, akhirnya terbuka juga." Rafa terduduk lemas di hadapan Eva. Dia menghela napas
"Artinya, Pak Rafa ingin mengenang kenangan lama bersama Bu Cahaya," gumam Eva.Rafa membuka mata. Dia menelisik ekspresi yang ditunjukkan Eva. Dari cara bicara gadis itu, Rafa menangkap ketidaksukaan Eva jika harus terjerat dalam hubungan Rafa dan Cahaya. Apa itu pertanda Eva cemburu? Jika itu benar, berarti Rafa memiliki harapan untuk menyatukan diri dengan Eva."Kamu nggak suka?" tanya Rafa memancing."Hah? Bukan gitu, Pak Rafa. Maksud saya ... maksud saya tuh ...," kata Eva tergagap. Bingung menemukan kalimat untuk menutupi kelancangan mulutnya yang mungkin menimbulkan kesalahpahaman Rafa."Apa maksud kamu?" tanya Rafa mendesak."Aku hanya berpikir, apa Pak Rafa akan baik-baik saja? Bukannya Pak Rafa bilang belum pernah memasuki rumah itu karena takut kenangan bersama Bu Cahaya akan menyiksa Pak Rafa. Aku hanya khawatirkan itu. Iya, benar. Saya hanya merasa sebaiknya Pak Rafa memikirkan itu lagi. Bagaimana kalau saat tiba di sana, Pak Rafa malah kembali terpuruk?
"Kamu utang penjelasan sama aku! Nggak ikhlas aku kalau kamu nikah diam-diam dan nggak undang-undang aku. Padahal kamu tahu sendiri, aku lebih dulu naksir kamu. Aku benar-benar nggak rela ditinggal nikah Eva!" Pria dengan kaus berkerah, langsung duduk di kursi sambil mengomel panjang."Kamu tuh ya, udah bolos kelas, datang-datang langsung nagih utang, ngomong keras tentang pernikahan. Sekalian aja noh kamu ke ruang penyiaran terus umumkan pernikahan aku," tegur gadis berkemeja putih berbahan jatuh itu yang kini melepas earphone yang sejak tadi menyumpal telinganya. Ketenangan makan siangnya menjadi terganggu oleh kehadiran teman kelasnya."Eva! Dia curang! Masa aku yang naksir kamu, Sofyan yang pacarin kamu, terus dia nikung dan nikahin kamu. Sumpah demi apapun di dunia ini, aku nggak rela." "Mau gimana lagi, dia yang dipilih orangtua aku. Aku bisa apa? Lagipula, jodoh siapa yang tahu, Kausar." Eva mengedikkan bahu kemudian melanjutkan makan."Jadi, kapan kamu putus sama Sofyan? Kok
"Kenapa tiba-tiba nelpon sih? Aku harus gimana?" tanya Eva pada diri sendiri. Dia menimbang-nimbang ponsel di tangannya. Nada panggilan terus berteriak-teriak ingin segera diindahkan."Angkat, nggak ya?" ucap Eva memandangi layar ponsel. Kemudian dia menjatuhkan ke meja. "Kalau aku angkat, aku harus ngomong apa?" Lagi, Eva bertanya.Rasa yang hinggap di hati Eva saat ini, sangat tidak jelas. Panggilan telepon itu sudah dinantikannya sejak bulan lalu saat dia hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat. Terkadang hanya pesan tidak berbalas yang sering Eva jumpai dalam room chat antara dia dan kekasihnya. Eva tahu dan berusaha memahami bahwa Sofyan bukan sengaja mengabaikannya. Tetapi, tuntutan serangkaian latihan dan turnamen yang menghalangi kekasihnya itu untuk memegang ponsel. Dan Eva sudah bersabar akan kesibukan Sofyan. Kali ini, Sofyan menghubunginya. Harusnya Eva merasa senang dan bergegas mengangkat panggilan itu. Bukan malah bingung seperti yang dilakukan E