"Ngapain teriak?" tanya Rafa."Itu beneran hantu ya? Dia nolehnya tiba-tiba banget. Mana mukanya putih banget. Fix, dia hantu beneran." Eva menuturkan masih dengan mata tertutup. Rafa tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Dia sudah lihat siapa yang ada di depan sana saat lampu mobil menyorotnya. Bahkan orang itu sudah melangkah mendekati mobil. Orang itu melangkah dengan kakinya yang menjejak tanah, bukannya terbang-terbang."Kenapa malah ketawa sih, Pak?" tanya Eva."Buka dulu penutup matanya. Lihat baik-baik, dia beneran hantu tau bukan. Cepetan. Tuh-tuh, dia jalan ke sini." Rafa menarik tangan Eva."Enggak mau. Saya takut han—"Ucapan Eva terputus karena mendengar suara ketukan di jendela mobil. Dia segera menabrakkan diri dan memeluk Rafa. "Eva?" sebut Rafa kaget."Pak-pak, ayo cepetan jalankan mobilnya. Pak Rafa jangan buka pintu mobil. Buruan, Pak," desak Eva mengeratkan pelukannya.Rafa mengigit bibir bawah untuk menahan tawanya. Dia baru tahu kalau Eva sangat penakut.
"Pak Rafa, pak Rafa aaaa aduh, sakit ...," keluh Eva menjambak rambut Rafa dengan tangan kirinya.Rafa hanya diam sambil menggigit bibirnya agar tidak mengeluarkan suara. Meskipun Rafa merasakan kulit kepalanya hampir tercabut karena tarikan keras Eva. "Jangan ditusuk-tusuk kayak gitu, Pak. Tambah sakit," kata Eva meringis."Ini nggak ditusuk Eva. Saya udah usaha tapi ini sempit banget, kecil pula," balas Rafa dengan suara rendah."Pak Rafa, aaaa pelan-pelan dong," ucap Mira meringis menahan sakit.Rafa menghentikan aktivitasnya kemudian mendongak menatap Eva. Dia menghela napas. "Tahan bentar ya. Ini memang sakit. Aku udah pelan kok. Tahan ya, dikit lagi.""Sakit ...," rintih Eva.Tidak puas hanya menjambak rambut Rafa, Eva memindahkan tangannya mencengkeram bahu Rafa sebagai pelampiasan rasa sakitnya. Dia menutup mata saat Rafa merobek kulitnya. Eva menahan napas saat melihat benda itu dikeluarkan."Nah, akhirnya terbuka juga." Rafa terduduk lemas di hadapan Eva. Dia menghela napas
"Artinya, Pak Rafa ingin mengenang kenangan lama bersama Bu Cahaya," gumam Eva.Rafa membuka mata. Dia menelisik ekspresi yang ditunjukkan Eva. Dari cara bicara gadis itu, Rafa menangkap ketidaksukaan Eva jika harus terjerat dalam hubungan Rafa dan Cahaya. Apa itu pertanda Eva cemburu? Jika itu benar, berarti Rafa memiliki harapan untuk menyatukan diri dengan Eva."Kamu nggak suka?" tanya Rafa memancing."Hah? Bukan gitu, Pak Rafa. Maksud saya ... maksud saya tuh ...," kata Eva tergagap. Bingung menemukan kalimat untuk menutupi kelancangan mulutnya yang mungkin menimbulkan kesalahpahaman Rafa."Apa maksud kamu?" tanya Rafa mendesak."Aku hanya berpikir, apa Pak Rafa akan baik-baik saja? Bukannya Pak Rafa bilang belum pernah memasuki rumah itu karena takut kenangan bersama Bu Cahaya akan menyiksa Pak Rafa. Aku hanya khawatirkan itu. Iya, benar. Saya hanya merasa sebaiknya Pak Rafa memikirkan itu lagi. Bagaimana kalau saat tiba di sana, Pak Rafa malah kembali terpuruk?
"Kamu utang penjelasan sama aku! Nggak ikhlas aku kalau kamu nikah diam-diam dan nggak undang-undang aku. Padahal kamu tahu sendiri, aku lebih dulu naksir kamu. Aku benar-benar nggak rela ditinggal nikah Eva!" Pria dengan kaus berkerah, langsung duduk di kursi sambil mengomel panjang."Kamu tuh ya, udah bolos kelas, datang-datang langsung nagih utang, ngomong keras tentang pernikahan. Sekalian aja noh kamu ke ruang penyiaran terus umumkan pernikahan aku," tegur gadis berkemeja putih berbahan jatuh itu yang kini melepas earphone yang sejak tadi menyumpal telinganya. Ketenangan makan siangnya menjadi terganggu oleh kehadiran teman kelasnya."Eva! Dia curang! Masa aku yang naksir kamu, Sofyan yang pacarin kamu, terus dia nikung dan nikahin kamu. Sumpah demi apapun di dunia ini, aku nggak rela." "Mau gimana lagi, dia yang dipilih orangtua aku. Aku bisa apa? Lagipula, jodoh siapa yang tahu, Kausar." Eva mengedikkan bahu kemudian melanjutkan makan."Jadi, kapan kamu putus sama Sofyan? Kok
"Kenapa tiba-tiba nelpon sih? Aku harus gimana?" tanya Eva pada diri sendiri. Dia menimbang-nimbang ponsel di tangannya. Nada panggilan terus berteriak-teriak ingin segera diindahkan."Angkat, nggak ya?" ucap Eva memandangi layar ponsel. Kemudian dia menjatuhkan ke meja. "Kalau aku angkat, aku harus ngomong apa?" Lagi, Eva bertanya.Rasa yang hinggap di hati Eva saat ini, sangat tidak jelas. Panggilan telepon itu sudah dinantikannya sejak bulan lalu saat dia hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat. Terkadang hanya pesan tidak berbalas yang sering Eva jumpai dalam room chat antara dia dan kekasihnya. Eva tahu dan berusaha memahami bahwa Sofyan bukan sengaja mengabaikannya. Tetapi, tuntutan serangkaian latihan dan turnamen yang menghalangi kekasihnya itu untuk memegang ponsel. Dan Eva sudah bersabar akan kesibukan Sofyan. Kali ini, Sofyan menghubunginya. Harusnya Eva merasa senang dan bergegas mengangkat panggilan itu. Bukan malah bingung seperti yang dilakukan E
"Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu masuk ke dalam telinga Eva dengan lembut. Eva bisa merasakan kekhawatiran dari pertanyaan itu. Dia masih mematung dalam pelukan pria yang berstatus suaminya itu. Dia masih dilingkupi keterkejutan karena dipeluk oleh Rafa secara mendadak di depan Ajeng, ralat, di depan umum."Pak Rafa?" sebut Ajeng dengan raut terkejut juga.Rafa mengurai pelukannya dan memegang lengan Eva. Matanya menyapu dari ujung kaki hingga kepala Eva. "Kamu nggak kenapa-kenapa 'kan?" tanya Rafa lagi. Eva yang bingung, hanya bisa mengangguk. Rafa menghembuskan napas lega dan mendekap Eva kembali."Aku pikir terjadi sesuatu sama kamu. Waktu di telpon, aku dengar ada suara keras. Aku kira kamu kecelakaan. Aku sangat lega melihat kamu. Syukurlah, kamu baik-baik saja."Eva bisa merasakan detakan jantung Rafa yang berdetak cepat. Eva tahu pemicunya tentu rasa khawatir dan kepanikan Rafa. Pelukan Rafa semakin mengerat seiring ucapan syukur yang terus dilontarkannya. Eva sengaja men
"Pak Rafa kehilangan masa kecil ya? Bahagia bener waktu main tadi." Eva menyeletuk saat keluar dari area playground yang bertema Jepang itu. Eva baru tahu ada tempat melepas penat yang super unik di Jakarta Barat. Tidak sia-sia, dia mengikuti Rafa ke tempat itu. Playground ala Jepang yang menawarkan berbagai permainan. Tadi, Eva sempat cosplay jadi tuan putri dan Rafa sebagai pangerannya. Mereka foto berdua untuk pertama kalinya. Eva melihat sisi kekanakan dan keberanian Rafa saat bermain di Fuji Slider. Seorang pria dewasa dengan girangnya main perosotan yang memiliki ketinggian hampir empat meter itu. Ini momen langka yang bisa dilihat Eva hingga ponselnya mengabadikan banyak momen Rafa main perosotan."Bukan karena kehilangan masa kecil, Eva. Saya cuma pengen nostalgia aja, sekaligus melepas lelah dan mumetnya pikiran." Rafa menjawab."Masa kecil, Pak Rafa seperti apa?" tanya Eva penasaran. Dia mendongak untuk melihat wajah yang masih ditinggali jejak keringat. Rafa terlihat mempes
"Pak mana bukunya?"Tanpa mengetuk pintu, Eva menerobos masuk ke dalam kamar Rafa. Bukan bersikap tidak sopan, tetapi pintu kamar itu memang sudah terbuka lebar. Eva berpikir aman-aman saja jika masuk. Rafa yang menyadari kehadiran Eva, langsung menunjuk ke sampingnya tanpa suara. Pria itu tampaknya sedang melakukan rapat online karena sebelah telinga disumpal earphone. Eva mengangguk lalu merangkak di belakang kursi yang diduduki Rafa. Dia tidak ingin menampakkan dirinya di depan rekan-rekan kerja Rafa."Sebentar," ucap Rafa menginterupsi rapat. Terlihat empat orang di dalam layar mengangguk. Mereka mengambil kesempatan itu untuk minum dan merenggangkan ototnya. Rafa mematikan kamera dan membisukan suara. Dia meraih buku Psikologi Komunikasi kemudian bangkit dan mencari Eva."Aduh, Pak!" keluh Eva saat Rafa tanpa sengaja menginjak tangannya. Dia terduduk di lantai sambil meniup-niup tangannya. Dia menegur dengan raut meringis. "Liat-liat dong kalau jalan!" "Ast
Rafa memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan hanya menemukan Bu Siti dan Arumi yang bermain di ruang tengah. "Pak Ra—" Kalimat Bu Siti menggantung begitu saja karena Rafa segera berlalu menuju ruangan lain seperti mencari sesuatu.Setelah memasuki tiap kamar dalam rumah, Rafa memasuki area dapur lalu berjalan ke halaman belakang. Nihil.Tidak ada jejak Eva di rumah ini. Rafa mendekati Bu Siti. Tatapannya tampak tidak fokus. Bahkan keberadaan Arumi di sana, seperti buram di mata Rafa."Eva nggak balik ke rumah, Bu?" tanya Rafa.Bu Siti mengernyit heran. "Bukannya Neng Eva ke rumah sakit ya. Tadi dia bilang mau jengukin Pak Ardi. Memangnya Pak Rafa nggak ketemu? Atau Pak Rafa bukan di rumah sakit tapi di kantor ya, makanya nggak ketemu?" "Saya di rumah sakit tadi, Bu. Cuma Eva ... pergi." Rafa bingung menjelaskan situasi saat ini. Rafa hanya mendengar kabar bahwa Eva marah. Penjelasan lebih lanjut terkait kron
"Bu Siti, Arumi rewel nggak seharian ini?"'Tadi sempat rewel nyariin Neng Eva sama Pak Rafa. Tapi sekarang udah aman, Neng. Bibi masih bisa tangani. Sekarang, adek lagi seru-serunya main. Tuh, Neng.'Senyuman Eva merekah ketika layar ponsel menampilkan Arumi yang sedang berusaha memasang donat susunnya. Eva selalu merasa bangga tiap kali melihat tumbuh kembang Arumi. Mungkin itulah yang dirasakan oleh semua ibu di dunia ini. Sekecil apapun pencapaian si anak, tentu terasa hebat di mata seorang ibu.'Mau bicara, Neng?' tanya Bu Siti ketika melihat Eva hanya diam memandangi Arumi.Eva menggeleng dan berkata, "Nggak usah, Bu. Nanti dia nangis kalau liat aku tapi nggak gendong."Bu Siti terkekeh mendengar keluhan Eva. Kebebasan Eva terenggut ketika keberadaannya tertangkap oleh Arumi. Bayi itu sangat manja kepada Eva. Bahkan, Eva harus melarikan diri secara diam-diam jika ingin ke kampus. "Bu, nanti aku agak telat ya pulangnya. Nggak apa-apa 'kan?" Eva merasa t
"Kami baik-baik aja kok, Pa." Eva melirik layar ponselnya yang menampilkan wajah Bagas. Panggilan telepon itu sudah berlangsung beberapa menit lalu dan Bagas bisa menangkap raut masygul di wajah putrinya. Akan tetapi, jawaban Eva yang berulang menekankan bahwa dia baik-baik saja membuat Bagas mengangguk. "Rafa belum pulang kerja?" tanya Bagas. "Bukan belum pulang, memang dia nggak mau pulang." Eva menjawab dengan jengkel. Mendengar nama Rafa disebut papanya kian membangkitkan kekesalan Eva pada suaminya. "Kalian bertengkar?" Itu bukan suara Bagas, melainkan suara mama Eva. Layar ponsel Eva kini dipenuhi oleh wajah mamanya. Desahan Eva lolos begitu saja. Dia menutup laptopnya yang sempat menganggur karena panggilan video dari orangtuanya. Seharusnya Eva melakukan itu sejak tadi. Toh, tugasnya tidak kunjung selesai sebab pikirannya tidak bisa fokus. Eva menyambar ponsel dan merebahkan tub
"Emangnya Pak Rafa nggak ada niatan balik dulu ke rumah? Kok tiap hari nyuruh orang mulu buat ambilin baju gantinya." Pandangan Eva tidak lepas dari asisten Rafa yang lagi-lagi datang hanya untuk meminta pakaian ganti untuk Rafa. Selama empat hari berturut-turut, asisten itu rutin mengunjungi rumah dengan tujuan yang sama. "Eh, si Eneng!" seru Bu Siti kaget saat tersadar dengan kemunculan Eva di belakangnya. Dia mengelus dada lalu menutup pintu. "Maaf ya, Bu," ucap Eva menunjukkan cengiran. Cukup merasa bersalah telah mengejutkan Bu Siti. Dia melangkah lebih dulu."Pak Rafa bukannya nggak mau balik. Kan Neng Eva udah dikabarin juga sama Pak Rafa. Mertua Neng Eva masih perlu dirawat, jadi Pak Rafa nggak tega ninggalin." Bu Siti menjawab sambil menyusul Eva menuju dapur."Tapi kan, masa iya nggak ada kesempatan pulang sebentar. Emang dia nggak rindu Arumi?" Eva meraih gelas dan melangkah ke depan lemari es."Kalau itu, saya nggak tau juga Neng. Tanya Pak Rafa langsung aja." Bu Siti t
"Wiiihhh ada ibu kos main ke sini," sambut Ajeng melihat kedatangan Eva bersama Arumi dalam gendongannya."Liat Eva gendong anak. Berasa liat ibu-ibu beneran," timpal Rida bercanda."Bangke kalian berdua. Gue masih muda ya. Paling muda di antara kalian. Mana ada muka ibu-ibu?" Eva melepas sendalnya dan bergabung duduk lesehan sambil mengomel. Bibirnya sudah maju beberap senti akibat disebut mirip ibu-ibu. Ajeng dan Rida cekikikan menanggapi Eva. "Iya-iya si paling muda." Rida tidak tega melihat bibir manyun Eva.Ajeng menyodorkan sepiring rujak mangga ke hadapan Eva. "Nih makan, gue udah potongin. Anak Lo kesiniin. Mumpung bapaknya nggak ada, gue mau unyel-unyel."Eva memeluk Arumi. "Jangan dong! Bapaknya marah ntar kalau anaknya diapa-apain.""Makanya Lo diam. Jangan laporin ke bapak kos." Ajeng menyelipkan tangannya di bawah ketiak Arumi, bersiap menariknya."Mending nggak usah. Lecet dikit, bapaknya bisa ngamuk." "Ya elah, mau dipangku doang, Va. Nggak gue banting." "Gue nggak y
"Makasih udah anterin," ucap Eva sekenanya lalu melepas seat belt. Dia masih kesal dengan pria disampingnya. Sampai saat ini, dia masih penasaran pada percakapan antara Bu Siti dan Rafa.Kalimat 'Nanti saya sediakan. Pak Rafa pasti suka' terus terbayang-bayang di kepalanya. Sejujurnya, dia takut kalau-kalau Rafa meminta seorang perempuan untuk melampiaskan hasratnya. Bu Siti pernah memperingati Eva tentang kebutuhan seorang laki-laki pada perempuan, tapi Eva sungguh belum siap melayani suaminya. Jangankan melayani, Eva saja masih meragukan perasaannya pada Rafa. Satu hal yang pasti, Eva tidak ingin Rafa melakukan hal itu dengan perempuan lain. Entah mengapa, hatinya tidak rela."Tunggu," ucap Rafa mencegah Eva yang hendak keluar dari mobil. Eva menutup pintu mobil. Dia menunggu Rafa berbicara lagi. "Sepertinya malam ini saya akan nggak bakal pulang ke rumah. Arumi bisa saya titip di kamu?" Eva menoleh dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Perasaan khawatir dan takut menyelinap
Ucapan Rafa cukup sukses membuat Eva tergemap. Gadis itu tercenung untuk beberapa saat. Dia memikirkan kebenaran ucapan Rafa. Mungkin saja Rafa dalam keadaan tidak sadar saat mengatakannya. Namun, Eva juga mengkhawatirkan kalau Rafa sebenarnya sudah menciumnya tapi berdalih hendak mencuri ciuman Eva. Eva berdeham untuk mengurai rasa gugupnya. "Ngaco banget pagi-pagi," komentar Eva sambil mendorong bahu Rafa agar menjauh. Dia bangun lalu merapikan rambutnya dan menjepit dengan jedai.Rafa terkekeh pelan sebelum berkata, "Saya serius loh, tapi gagal soalnya kamu keburu bangun. Bukankah menyenangkan, kalau pagi-pagi kita membuat menciptakan suasana romantis? Suami istri suka gitu."Mata Eva melotot mendengar itu. Tidak ingin menanggapi Rafa lebih lanjut, Eva mencoba menghindar. "Gimana kondisi Papa Ardi?" tanya Eva bangkit dari kasur.Terdengar helaan napas dari Rafa. Cukup kecewa karena Eva kembali mengalihkan pembicaraan. Padahal Rafa ingin membicarakan hubungan mereka dari hati ke ha
"Rabu depan Sofyan bakalan main. Apa gue harus ke sana?" gumam Eva sendiri sambil tengkurap di kasur, memperhatikan jadwal Indonesia Masters. Beberapa saat, dia kembali memikirkan percakapan dengan Kausar tadi siang di kantin. "Apa bener kata Kausar? Perasaan gue udah berpaling ke Rafa? Masa sih?"Permasalahannya yang dihadapinya sekarang menjadikan Eva sebagai sosok yang egois dan kurang ajar. Tepatnya, dia bersikap seperti perempuan yang berselingkuh dan mainin perasaan laki-laki. Dia memiliki Rafa sebagai suaminya dan Sofyan sebagai pacarnya. Dulu, Eva ingin melepaskan Rafa ketika Arumi cukup besar atau memiliki seseorang yang bisa menjaganya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebersamaan mereka justru membuat Eva terikat. Eva sulit beranjak dari kehidupannya saat ini. Arumi membuat hari-hari Eva lebih menyenangkan dan menantang. Dan Rafa dengan segala kebaikan dan ketulusannya membuat Eva perlahan membuka cela di hati untuk dimasuki oleh Rafa. 'Lalu bagaimana dengan Sofyan?'Sua
"Va, hubungan lo sama Sofyan nggak baik-baik aja 'kan?" celetuk Kausar mengalihkan pandangan dari layar hp ke Eva.Gadis itu tidak menjawab. Kausar yakin Eva mendengarnya. Terlihat jelas gerakan Eva yang hendak mengambil saus sambal seketika terhenti."Eva, woy!" Eva menyambar botol saus dengan cepat. "Sok tau!"Kausar berdecak lalu memperlihatkan room chat antara dirinya dengan Sofyan kepada Eva. "Udah semingguan lebih, dia terus nanyain lu ke gue.""Kangen sama o kali, tapi nggak ada topik makanya nanyain gue," kilah Eva. Bakso di mangkuknya tidak menarik lagi. Kini pikirannya kembali tertuju pada Sofyan. Sejak tahu perkara kecelakaan yang dialami abangnya, Eva memutuskan untuk menjaga jarak dari Sofyan. Bukan karena membenci laki-laki itu, tapi Eva mencoba menemukan jawaban dari keinginannya saat ini. Sekaligus memperjelas perasaan cintanya tertuju pada siapa. Eva berpikir mencoba melepas pikiran dari Sofyan mungkin membuatnya bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Sebab, sela