"Pak Rafa kehilangan masa kecil ya? Bahagia bener waktu main tadi." Eva menyeletuk saat keluar dari area playground yang bertema Jepang itu. Eva baru tahu ada tempat melepas penat yang super unik di Jakarta Barat. Tidak sia-sia, dia mengikuti Rafa ke tempat itu. Playground ala Jepang yang menawarkan berbagai permainan. Tadi, Eva sempat cosplay jadi tuan putri dan Rafa sebagai pangerannya. Mereka foto berdua untuk pertama kalinya. Eva melihat sisi kekanakan dan keberanian Rafa saat bermain di Fuji Slider. Seorang pria dewasa dengan girangnya main perosotan yang memiliki ketinggian hampir empat meter itu. Ini momen langka yang bisa dilihat Eva hingga ponselnya mengabadikan banyak momen Rafa main perosotan."Bukan karena kehilangan masa kecil, Eva. Saya cuma pengen nostalgia aja, sekaligus melepas lelah dan mumetnya pikiran." Rafa menjawab."Masa kecil, Pak Rafa seperti apa?" tanya Eva penasaran. Dia mendongak untuk melihat wajah yang masih ditinggali jejak keringat. Rafa terlihat mempes
"Pak mana bukunya?"Tanpa mengetuk pintu, Eva menerobos masuk ke dalam kamar Rafa. Bukan bersikap tidak sopan, tetapi pintu kamar itu memang sudah terbuka lebar. Eva berpikir aman-aman saja jika masuk. Rafa yang menyadari kehadiran Eva, langsung menunjuk ke sampingnya tanpa suara. Pria itu tampaknya sedang melakukan rapat online karena sebelah telinga disumpal earphone. Eva mengangguk lalu merangkak di belakang kursi yang diduduki Rafa. Dia tidak ingin menampakkan dirinya di depan rekan-rekan kerja Rafa."Sebentar," ucap Rafa menginterupsi rapat. Terlihat empat orang di dalam layar mengangguk. Mereka mengambil kesempatan itu untuk minum dan merenggangkan ototnya. Rafa mematikan kamera dan membisukan suara. Dia meraih buku Psikologi Komunikasi kemudian bangkit dan mencari Eva."Aduh, Pak!" keluh Eva saat Rafa tanpa sengaja menginjak tangannya. Dia terduduk di lantai sambil meniup-niup tangannya. Dia menegur dengan raut meringis. "Liat-liat dong kalau jalan!" "Ast
"Eva, keluar dong. Hape kamu bunyi terus dari tadi." Suara Rafa diiringi ketukan di pintu membuat Eva melangkah gontai untuk membukakan.Wajah gadis itu menyembul di celah pintu. Tidak ada lagi rona merah setelah dia merendam wajah di wastafel. Cukup ampuh untuk meredakan perasaannya yang tidak jelas."Siapa yang telpon, Pak?" tanya Eva mengeluarkan tangannya dari kamar mandi. Dia meminta ponsel miliknya yang dipegang Rafa."Kamu nggak ada niat keluar dari sana? Mau tidur di kamar mandi?" tanya Rafa dengan nada menyindir."Nggak mau, Pak. Mana bisa saya tidur di kamar mandi. Nggak ada kasur. Saya juga masih mau kerja tugas," balas Eva. "Hape saya, Pak!" "Keluar dulu, baru saya berikan!" Rafa menjauh dari kamar mandi dan mengambil laptop Eva. Dia mengecek tugas Eva yang belum rampung.Eva menghela napas kemudian keluar. Dia berdiri di dekat Rafa sembari mengulurkan tangan. "Pak, hape saya, siniin.""Eva, kenapa nggak bilang kalau hape kamu rusak parah begini? Layarnya udah hitam sebagi
"Eva, aku mendengar suara laki-laki. Dia siapa?" tanya Sofyan.Eva menelan ludah dengan susah. Bagaimana dia menjawabnya? Dia belum bisa jujur saat ini. Memberitahu Sofyan sekarang, bukan waktu yang tepat. Apalagi mereka terpisah oleh jarak. Kalaupun Eva ingin jujur, harus dikatakan secara langsung, bukan melalui telepon. Eva tidak ingin menjadi pengecut."Uhm, itu suara ... ah, suara Kakak aku. Hari ini, aku pulang ke Jogja. Waktu libur, aku nggak sempat pulang. Kebetulan selama tiga hari, jadwal kuliah aku kosong, jadi aku balik dulu. Papa sama mama udah manggil-manggil terus. Nggak enak 'kan kalau orangtua yang panggil pulang, tapi aku kekeh tinggal di sini. Nanti berkah dari mereka bisa hilang." Eva berdalih, kemudian meminta maaf dalam hati. Dia sudah berbohong demi menutupi statusnya sebagai istri dari pria menyebalkan yang berada di luar kamar mandi. Dosanya semakin banyak saja sejak menikah dengan Rafa. Lebih parahnya, Eva harus membawa orangtua dan kakaknya dalam omong kosongn
"Astaghfirullah!" celetuk Rafa langsung turun dari tempat tidur. Dia membuka selimut yang menutupi tubuh Eva kemudian menghembuskan napas lega. "Aman. Dia masih berpakaian lengkap." Dia sampai memegangi lututnya."Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidur di sini?" tanya Rafa menggaruk kepalanya.Rafa melirik jam yang berada di atas nakas. Jarum-jarum itu menyatu di angka dua. "Kenapa kami bisa tidur bersama? Bukannya semalam Eva sedang teleponan dengan pacarnya? Kok bisa ya?" Rafa belum mendapat jawabannya untuk semua pertanyaannya ketika Eva melenguh panjang. Gadis itu merenggangkan ototnya dengan mata masih terpejam. Baju kaos yang dikenakannya tersingkap hingga memperlihatkan perutnya yang putih dan datar itu.Rafa menatap tanpa berkedip. Tangannya terulur hendak menyentuh perut Eva yang mulus itu. Tersisa beberapa senti tangan Rafa menyentuh perut Eva, seketika dia tersadar dan mengucap istighfar. Dia menggeleng kuat-kuat, menyadarkan dirinya yang sempat berpikir macam-macam pada E
"Pak Rafa! Laptop aku di mana?!" Pagi-pagi, Eva sudah menggemparkan rumah utama dengan teriakannya yang kencang. Bu Siti yang sejak tadi menemaninya di kamar, dibuat kebingungan mencari."Udah ketemu belum, Bu?" tanya Eva sambil mengeluarkan seisi tas ranselnya."Belum Mbak Eva. Terakhir Mbak Eva simpan di mana memangnya?" tanya Bu Siti masih berusaha mencari di kolong meja atau kolong tempat tidur.Eva menegakkan tubuhnya. "Terakhir dipakai sama Pak Rafa. Makanya saya teriakin dia, tapi nggak ada yang jawab-jawab. Dia ngapain sih di kamarnya?" Eva memasang raut cemberut."Mungkin lagi mandi, Mbak Eva. Makanya dia nggak dengar." Bu Siti asal tebak. Eva menghempaskan dirinya di kasur. "Udah Bu Siti. Kita tungguin aja Pak Rafa. Sepertinya, memang dia yang simpan laptop saya. Soalnya, dari tadi kita udah cari ke semua tempat kamar ini, tapi nggak ketemu juga."Bu Siti mengangguk. "Kalau gitu, saya ke dapur dulu, Mbak Eva. Tadi saya lagi nyuci buah waktu Mbak Eva manggil." Bu Siti sudah
"Jadi, kamu menyesali keputusan menikah dengan saya?" Rafa yang baru tiba di area dapur, tiba-tiba menyela. Eva dan Bu Siti kompak menoleh ke sumber suara. "Pak Rafa?!" sebut dua perempuan beda usia itu.Eva menatap Bu Siti sebentar lalu menghampiri Rafa. "Ngomong apaan sih, Pak?""Rafa duduk di ujung meja makan sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia melayangkan tatapan tajam pada Eva. "Tadi, saya dengar kamu bilang terpaksa menikah dengan saya? Kamu keberatan menerima pernikahan ini? Kenapa baru bilang sekarang?" cecar Rafa.Eva melangkah semakin dekat. Dia berdiri tepat di depan Rafa. Tatapan Rafa dibalasnya dengan senyuman manis. "Pak Rafa, hanya mendengar akhir kalimat saya. Nggak boleh asal menyimpulkan," kata Eva dengan suaranya yang lemah lembut. Eva tidak ingin memperkeruh keadaan. Berbicara dengan Rafa selalu menggunakan urat, maka kali ini dia akan mencoba bersikap lembut."Oh ya? Lalu apa yang kalian bicarakan sejak tadi?" tanya Rafa dengan wajah datar."Hanya b
"Eva, besok kamu punya jadwal?" tanya Rafa menghentikan langkah Eva."Kenapa, Pak? Mau ajakin saya jalan? Nggak bisa, besok saya ada jadwal penting." Eva membalas dengan jengkel. Sejak tadi, Rafa selalu menahannya agar tidak keluar rumah. Padahal, Eva hendak menuju suatu tempat. Hari ini, Eva tidak memiliki jadwal kuliah sehingga di lebih banyak menghabiskan waktu bersama Arumi seharian. Saat Rafa pulang dari kantor, Eva baru keluar. Akan tetapi, pria itu terus berbicara dan bertanya sehingga Eva makin tertahan di tempat."Besok 'kan weekend, mau ke mana? Ada jadwal apa?" cecar Rafa. Padahal dia tahu kalau Eva hendak menjemput Sofyan di bandara. Dia mengetahui itu saat mendengar Eva mengatakannya pada Bu Siti. Alasan inilah dia selalu mencari kesempatan untuk mengambil waktu Eva. "Ada pokoknya. Pak Rafa dilarang kepo." Eva menjawab."Kamu harus beritahu saya, Eva. Izin saya penting bagi kamu. Seorang isteri harus patuh ke suaminya. Keluar rumah harus atas izin suaminya. Selangkah kamu