"Astaghfirullah!" celetuk Rafa langsung turun dari tempat tidur. Dia membuka selimut yang menutupi tubuh Eva kemudian menghembuskan napas lega. "Aman. Dia masih berpakaian lengkap." Dia sampai memegangi lututnya."Apa yang terjadi? Kenapa aku bisa tidur di sini?" tanya Rafa menggaruk kepalanya.Rafa melirik jam yang berada di atas nakas. Jarum-jarum itu menyatu di angka dua. "Kenapa kami bisa tidur bersama? Bukannya semalam Eva sedang teleponan dengan pacarnya? Kok bisa ya?" Rafa belum mendapat jawabannya untuk semua pertanyaannya ketika Eva melenguh panjang. Gadis itu merenggangkan ototnya dengan mata masih terpejam. Baju kaos yang dikenakannya tersingkap hingga memperlihatkan perutnya yang putih dan datar itu.Rafa menatap tanpa berkedip. Tangannya terulur hendak menyentuh perut Eva yang mulus itu. Tersisa beberapa senti tangan Rafa menyentuh perut Eva, seketika dia tersadar dan mengucap istighfar. Dia menggeleng kuat-kuat, menyadarkan dirinya yang sempat berpikir macam-macam pada E
"Pak Rafa! Laptop aku di mana?!" Pagi-pagi, Eva sudah menggemparkan rumah utama dengan teriakannya yang kencang. Bu Siti yang sejak tadi menemaninya di kamar, dibuat kebingungan mencari."Udah ketemu belum, Bu?" tanya Eva sambil mengeluarkan seisi tas ranselnya."Belum Mbak Eva. Terakhir Mbak Eva simpan di mana memangnya?" tanya Bu Siti masih berusaha mencari di kolong meja atau kolong tempat tidur.Eva menegakkan tubuhnya. "Terakhir dipakai sama Pak Rafa. Makanya saya teriakin dia, tapi nggak ada yang jawab-jawab. Dia ngapain sih di kamarnya?" Eva memasang raut cemberut."Mungkin lagi mandi, Mbak Eva. Makanya dia nggak dengar." Bu Siti asal tebak. Eva menghempaskan dirinya di kasur. "Udah Bu Siti. Kita tungguin aja Pak Rafa. Sepertinya, memang dia yang simpan laptop saya. Soalnya, dari tadi kita udah cari ke semua tempat kamar ini, tapi nggak ketemu juga."Bu Siti mengangguk. "Kalau gitu, saya ke dapur dulu, Mbak Eva. Tadi saya lagi nyuci buah waktu Mbak Eva manggil." Bu Siti sudah
"Jadi, kamu menyesali keputusan menikah dengan saya?" Rafa yang baru tiba di area dapur, tiba-tiba menyela. Eva dan Bu Siti kompak menoleh ke sumber suara. "Pak Rafa?!" sebut dua perempuan beda usia itu.Eva menatap Bu Siti sebentar lalu menghampiri Rafa. "Ngomong apaan sih, Pak?""Rafa duduk di ujung meja makan sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Dia melayangkan tatapan tajam pada Eva. "Tadi, saya dengar kamu bilang terpaksa menikah dengan saya? Kamu keberatan menerima pernikahan ini? Kenapa baru bilang sekarang?" cecar Rafa.Eva melangkah semakin dekat. Dia berdiri tepat di depan Rafa. Tatapan Rafa dibalasnya dengan senyuman manis. "Pak Rafa, hanya mendengar akhir kalimat saya. Nggak boleh asal menyimpulkan," kata Eva dengan suaranya yang lemah lembut. Eva tidak ingin memperkeruh keadaan. Berbicara dengan Rafa selalu menggunakan urat, maka kali ini dia akan mencoba bersikap lembut."Oh ya? Lalu apa yang kalian bicarakan sejak tadi?" tanya Rafa dengan wajah datar."Hanya b
"Eva, besok kamu punya jadwal?" tanya Rafa menghentikan langkah Eva."Kenapa, Pak? Mau ajakin saya jalan? Nggak bisa, besok saya ada jadwal penting." Eva membalas dengan jengkel. Sejak tadi, Rafa selalu menahannya agar tidak keluar rumah. Padahal, Eva hendak menuju suatu tempat. Hari ini, Eva tidak memiliki jadwal kuliah sehingga di lebih banyak menghabiskan waktu bersama Arumi seharian. Saat Rafa pulang dari kantor, Eva baru keluar. Akan tetapi, pria itu terus berbicara dan bertanya sehingga Eva makin tertahan di tempat."Besok 'kan weekend, mau ke mana? Ada jadwal apa?" cecar Rafa. Padahal dia tahu kalau Eva hendak menjemput Sofyan di bandara. Dia mengetahui itu saat mendengar Eva mengatakannya pada Bu Siti. Alasan inilah dia selalu mencari kesempatan untuk mengambil waktu Eva. "Ada pokoknya. Pak Rafa dilarang kepo." Eva menjawab."Kamu harus beritahu saya, Eva. Izin saya penting bagi kamu. Seorang isteri harus patuh ke suaminya. Keluar rumah harus atas izin suaminya. Selangkah kamu
"Sayang!" jerit Eva berlari ke arah seorang laki-laki yang mengenakan jaket putih dan celana kargo selutut. Sangat santai, tapi Eva menyukai segala sesuatu yang ada pada laki-laki itu.Eva langsung memeluk erat laki-laki itu. Menyalurkan setiap rasa yang selama ini dipendamnya dalam diam. Sebuah rindu kini terbayar tuntas cukup dengan melihat dan memeluk laki-laki itu. "Wohooooo," sorak teman-teman Sofyan yang sesama atlet. Pemandangan ini sudah sering mereka lihat, tapi tepat saja menjadi bahan ledekan mereka. Eva tidak memedulikan itu. Dia masih memeluk Sofyan dengan erat. Sudah lama dia tidak merasakan kenyamanan dan kebahagiaan ini."Kamu sudah lama menunggu?" tanya Sofyan itu lembut sembari membelai rambut Eva. Eva menggeleng di dekapan Sofyan. "Aku bisa menunggu lebih lama bahkan waktu dihapuskan pun, aku akan tetap setia nungguin kamu."Sofyan terkekeh. "Bisa aja ngomongnya." Pelukan terlepas dan Eva segera mengalungkan tangannya di lengan Sofyan. Eva sempat melempar senyum
"Pak, ini semua apa?" tanya Eva dengan mata membelalak. Di depannya ada troli besar yang penuh dengan belanjaan Rafa. "Semuanya keperluan rumah dan peralatan Arumi," jawab Rafa mulai memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam mobil. "Nggak sembarangan ambil 'kan? Kenapa sebanyak ini?" Eva masih belum percaya dengan yang dilihatnya. Pantas saja dia menunggu sangat lama. Mereka berbagi tugas tadi. Eva menjaga Arumi dan Rafa berbelanja. Terbalik 'kan? Tetapi itulah yang terjadi. Eva terlalu malas berbaur di dalam supermarket, jadi Rafa harus mengalah."Sesuai yang kamu tulis, aku ambil," jawab Rafa sibuk menyusun barang."Perasaan aku nggak nulis banyak. Kenapa kamu belinya seperti memenuhi kebutuhan setahun?" Eva geleng-geleng kepala.Rafa mengedikkan bahu. Dia pun tidak tahu bahwa list belanjaan yang diberikan Eva akan menghasilkan barang sebanyak ini. Sejujurnya, dia banyak keraguan ketika membeli tadi. Karena itu, dia membeli banyak variasi di satu produk. Itu yang menyebabkan bela
"Eva, saya minta maaf. Saya beneran nggak bermaksud bilang kalau kamu hanya sebatas itu untuk Arumi. Maaf ya," ucap Rafa mengekori Eva memasuki rumah. Gadis itu merajuk selama perjalanan pulang. Rafa batal mengunjungi rumahnya, karena perasaan Eva sedang buruk. Eva meminta pulang segera. Setiba di rumah, Eva langsung keluar dari mobil sambil menggendong Arumi."Eva, jangan marah dong. Saya—"Ucapan Rafa terpotong karena Eva berbalik menghadap kepada dirinya. Rafa segera memasang senyum paling manis. Berharap Eva membaik dengan melihatnya. Namun, Rafa salah. Eva justru menyerahkan Arumi dan segera melangkah cepat menuju kamarnya. "Eva, tunggu!" teriak Rafa mengejar. Setiap langkahnya diiringi tawa Arumi.Bayi itu mengira sedang diajak bermain dengan berlari-lari bersama. Rafa tidak terlalu pedulikan tawa Arumi. Dia sedang memacu cepat kakinya agar bisa menyusul Eva. Melihat Eva sudah membuka pintu kamarnya, Rafa memperlebar langkahnya.Dengan gesit, Rafa mengimbangi kecepatan Eva menu
"Astaga, ternyata hari ini. Aku pikir lusa." Rafa menepuk jidatnya ketika melihat pengingat di ponselnya. Jadwal imunisasi Arumi yang harus dilakukan hari ini. Mengingat Arumi sudah memasuki usia empat bulan artinya bayi itu harus mendapatkan imunisasi lagi. Rafa terlalu memikirkan hal lain sampai-sampai hampir melewatkan jadwal imunisasi Arumi. Dia segera menghubungi sekretarisnya untuk mengatur jadwalnya hari ini. Dia meminta agar semua jadwal yang harus dilakukannya saat pagi, diundur menjadi siang. Rafa menebak tidak akan sempat datang cepat ke kantor. Setelah mendengar sekretaris itu menyanggupi permintaannya, Rafa merubah penampilan. Dia tidak ingin berpenampilan kaku dan formal saat mendatangi rumah sakit. Saat dia sedang melepas vest, terdengar suara pintu diketuk dari luar. "Masuk," kata Rafa sembari melongokkan kepala untuk mengetahui siapa yang datang.Eva muncul ketika pintu terbuka. Dia hendak memutar balik, keluar dari kamar Rafa karena melihat sang empunya kamar sedan