"Sayang!" jerit Eva berlari ke arah seorang laki-laki yang mengenakan jaket putih dan celana kargo selutut. Sangat santai, tapi Eva menyukai segala sesuatu yang ada pada laki-laki itu.Eva langsung memeluk erat laki-laki itu. Menyalurkan setiap rasa yang selama ini dipendamnya dalam diam. Sebuah rindu kini terbayar tuntas cukup dengan melihat dan memeluk laki-laki itu. "Wohooooo," sorak teman-teman Sofyan yang sesama atlet. Pemandangan ini sudah sering mereka lihat, tapi tepat saja menjadi bahan ledekan mereka. Eva tidak memedulikan itu. Dia masih memeluk Sofyan dengan erat. Sudah lama dia tidak merasakan kenyamanan dan kebahagiaan ini."Kamu sudah lama menunggu?" tanya Sofyan itu lembut sembari membelai rambut Eva. Eva menggeleng di dekapan Sofyan. "Aku bisa menunggu lebih lama bahkan waktu dihapuskan pun, aku akan tetap setia nungguin kamu."Sofyan terkekeh. "Bisa aja ngomongnya." Pelukan terlepas dan Eva segera mengalungkan tangannya di lengan Sofyan. Eva sempat melempar senyum
"Pak, ini semua apa?" tanya Eva dengan mata membelalak. Di depannya ada troli besar yang penuh dengan belanjaan Rafa. "Semuanya keperluan rumah dan peralatan Arumi," jawab Rafa mulai memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam mobil. "Nggak sembarangan ambil 'kan? Kenapa sebanyak ini?" Eva masih belum percaya dengan yang dilihatnya. Pantas saja dia menunggu sangat lama. Mereka berbagi tugas tadi. Eva menjaga Arumi dan Rafa berbelanja. Terbalik 'kan? Tetapi itulah yang terjadi. Eva terlalu malas berbaur di dalam supermarket, jadi Rafa harus mengalah."Sesuai yang kamu tulis, aku ambil," jawab Rafa sibuk menyusun barang."Perasaan aku nggak nulis banyak. Kenapa kamu belinya seperti memenuhi kebutuhan setahun?" Eva geleng-geleng kepala.Rafa mengedikkan bahu. Dia pun tidak tahu bahwa list belanjaan yang diberikan Eva akan menghasilkan barang sebanyak ini. Sejujurnya, dia banyak keraguan ketika membeli tadi. Karena itu, dia membeli banyak variasi di satu produk. Itu yang menyebabkan bela
"Eva, saya minta maaf. Saya beneran nggak bermaksud bilang kalau kamu hanya sebatas itu untuk Arumi. Maaf ya," ucap Rafa mengekori Eva memasuki rumah. Gadis itu merajuk selama perjalanan pulang. Rafa batal mengunjungi rumahnya, karena perasaan Eva sedang buruk. Eva meminta pulang segera. Setiba di rumah, Eva langsung keluar dari mobil sambil menggendong Arumi."Eva, jangan marah dong. Saya—"Ucapan Rafa terpotong karena Eva berbalik menghadap kepada dirinya. Rafa segera memasang senyum paling manis. Berharap Eva membaik dengan melihatnya. Namun, Rafa salah. Eva justru menyerahkan Arumi dan segera melangkah cepat menuju kamarnya. "Eva, tunggu!" teriak Rafa mengejar. Setiap langkahnya diiringi tawa Arumi.Bayi itu mengira sedang diajak bermain dengan berlari-lari bersama. Rafa tidak terlalu pedulikan tawa Arumi. Dia sedang memacu cepat kakinya agar bisa menyusul Eva. Melihat Eva sudah membuka pintu kamarnya, Rafa memperlebar langkahnya.Dengan gesit, Rafa mengimbangi kecepatan Eva menu
"Astaga, ternyata hari ini. Aku pikir lusa." Rafa menepuk jidatnya ketika melihat pengingat di ponselnya. Jadwal imunisasi Arumi yang harus dilakukan hari ini. Mengingat Arumi sudah memasuki usia empat bulan artinya bayi itu harus mendapatkan imunisasi lagi. Rafa terlalu memikirkan hal lain sampai-sampai hampir melewatkan jadwal imunisasi Arumi. Dia segera menghubungi sekretarisnya untuk mengatur jadwalnya hari ini. Dia meminta agar semua jadwal yang harus dilakukannya saat pagi, diundur menjadi siang. Rafa menebak tidak akan sempat datang cepat ke kantor. Setelah mendengar sekretaris itu menyanggupi permintaannya, Rafa merubah penampilan. Dia tidak ingin berpenampilan kaku dan formal saat mendatangi rumah sakit. Saat dia sedang melepas vest, terdengar suara pintu diketuk dari luar. "Masuk," kata Rafa sembari melongokkan kepala untuk mengetahui siapa yang datang.Eva muncul ketika pintu terbuka. Dia hendak memutar balik, keluar dari kamar Rafa karena melihat sang empunya kamar sedan
"Eva, jangan diam aja. Boleh nggak?" tegur Rafa yang membuat Eva tersadar."Hah? Minta cium? Nggak bolehlah." Eva menyilangkan tangan di depan wajahnya. "Enak saja minta cium.""Aku suami kamu loh, Eva. Harusnya aku udah ambil hak cium kamu sejak dulu." Rafa mengerutkan bibirnya.Eva mendengus. "Jadi, Pak Rafa menagih haknya? Kalau gitu saya minta cerai!" ancam Eva."Eh, kok gitu? Nggak boleh ngomong cerai-cerai," sanggah Rafa dengan gelengan kepala."Makanya, jangan aneh-aneh. Aku pergi kalau Pak Rafa buat saya nggak nyaman. Pak Rafa udah aku bilangin, jangan berharap banyak. Saya memang ingin mencoba hubungan ini, tapi bukan berarti saya akan melakukan hal di luar batas dengan Pak Rafa." Eva mengatakan itu dengan santai."Kamu keren, Eva," ucap Rafa tiba-tiba.Alis Eva semakin mengerut. "Maksud Pak Rafa?" tanya Eva."Bukan apa-apa. Aku hanya bilang kamu perempuan yang luar biasa keren," puji Rafa kemudian bangkit. Dia semakin yakin bahwa Eva adalah gadis yang baik, terjaga dan tegas.
"Dokter, harus banget ya pake itu?" tanya Eva dengan wajah panik. Dia memeluk erat tubuh Arumi dan berusaha melindunginya. Dokter yang sudah bersiap menyuntik Arumi menarik kembali jarum suntiknya. Dia menghela napas pelan dan tersenyum pada Eva. "Harus pakai ini, ibu. Saya nggak mungkin sakitin bayi ibu, tenang saja."Eva menggeleng lalu berdiri. "Tapi kalau di kenapa-kenapa gimana? Itu jarum loh, Dok. Kulit bayi ini sangat tipis. Dia pasti sangat kesakitan. Kalau berdarah gimana?" Dokter itu terkekeh. "Ibu terlalu ketakutan dan banyak berpikir buruk. Ini hanya imunisasi, Bu. Untuk kebaikan bayi ibu sendiri.""Kasihan bayi saya, Dok. Nggak ada cara lain gitu buat imunisasi dia? Yang tetes aja gimana? Bisa 'kan? Tadi saya liat ada bayi yang imunisasi ditetesin doang mulutnya. Arumi pake itu juga." Eva mencoba buat penawaraan. Dia benar-benar ketakutan jika melihat Arumi harus ditusuk jarum suntik. Eva bukan takut pada jarum itu. Dia takut jarum itu melukai bayinya. "Untuk usia bayi
"Udah selesai ngelamunnya, Sayang?" Sofyan yang baru selesai memarkirkan motornya di kawasan Monas langsung menegur yang sepanjang jalan hanya melamun. Sofyan mengetahuinya dari pantulan kaca spion motor. Tidak ada percakapan berarti di antara mereka. Sesekali Sofyan memang mengajaknya bicara, tapi Eva hanya menanggapinya dengan 'Hah?'Awalnya, Sofyan mengira kalau Eva tidak mendengar ucapannya. Mungkin disebabkan oleh suara bising kendaraan atau suara Sofyan yang dibawa lari oleh angin. Namun, semakin sering diajak bicara gadis itu selalu menanggapinya dengan hal sama. Dan Sofyan menyadari kalau Eva sedang melamun saat melihat dari kaca spion. Eva yang masih duduk di jok belakang motor tersadar oleh teguran Sofyan. Kemudian dia menoleh ke samping dan depannya. Dia mencoba mengamati dan menganalisa sedang berada di mana mereka saat ini."Monas?" ucap Eva bingung. Dia turun dari motor lebih dahulu. Sofyan dengan sigap membantu Eva melepas helm.Eva tidak mengerti alasan Sofyan mengajak
"Sayang, mau ke mana?" Sofyan yang berhasil menyusul Eva langsung mencekal tangannya dan bertanya."Ah, maaf Sofyan. Aku harus segera pulang," jawab Eva menepis tangan Sofyan. Dia celingak-celinguk mencari taksi atau ojek yang bisa membawanya pulang ke rumah secepatnya."Apa ada masalah? Kenapa kamu mau pulang?" tanya Sofyan khawatir. Dia bisa melihat raut wajah Eva yang tidak tenang. Tercetak kecemasan di sana. "Arumi sakit," jawab Eva. Dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berbicara dengan Sofyan. Isi kepalanya sedang kalut. Dia khawatir kalau sakit Arumi parah. Dia juga menyalakan dirinya sendiri yang lebih memilih jalan bersama Sofyan dibanding menemani bayinya yang baru selesai imunisasi.Sofyan membentuk lipatan kecil di dahinya. "Arumi? Siapa Arumi?" tanya Sofyan bingung.Eva tidak menjawab. Dia melihat ada taksi yang melaju hendak melewati jalan di depan Eva. Gadis itu berlari ke tengah jalan agar bisa menghentikan taksi. Aksi nekat itu membuat Sofyan segera menarik Eva se