"Kita bawa ke rumah sakit aja, Pak. Kasihan Arumi. Apalagi tuh bekas suntiknya sampai bengkak gitu. Ini yang aku takutin. Arumi masih kecil, kenapa disuntik segala sih? Apa nggak bisa ditunda imunisasinya sampai besar. Pak, Arumi kasihan." Eva mengomel dengan mata berkaca-kaca. Hatinya merasa terluka melihat bayi itu kesakitan."Kalau nunggu dia besar, nggak lengkap dong imunisasinya," timpal Rafa. Di wajahnya juga tercetak kecemasan, tapi pria itu tetap bersikap tenang. Saat ini, dia bisa lebih lega karena Arumi sudah tertidur. Berbeda dengan setengah jam yang lalu saat dia baru tiba di rumah. Arumi menangis kejer. Rafa, Eva dan Bu Siti sampai kelimpungan menenangkan Arumi. Meskipun sudah diingatkan oleh dokter bahwa akan ada efek dari vaksin DPT dan Polio suntik, Rafa tetap saja dibuat kaget saat mengetahui Arumi demam. Apalagi ketika melihat bekas suntikan di paha bagian atas Arumi yang merah dan bengkak. "Sakitnya Arumi bisa dibagi ke aku aja nggak sih? Dia tuh masih kecil, belu
"Loh, Eva? Belum mandi ya?" tanya Rafa saat berpapasan dengan Eva di dapur. Dia baru selesai mengambil segelas air."Males mandi, Pak.," jawab Eva cuek. Sepertinya, kesadaran gadis itu belum terkumpul sepenuhnya. Eva berjalan santai di depan Rafa dengan penampilan yang jauh dari kata anggun. Pakaian tidur yang kusut, bahkan sebelah lengannya melorot panjang sebelah hingga memperlihatkan bahunya yang putih mulus, juga rambut yang dicepol asal hingga beberapa anak rambut masih terjuntai bebas di sekitar wajah Eva. Rafa berdeham dan mengalihkan pandangannya. Sejak Eva tiba, matanya terpaku pada leher dan bahu Eva yang terekspos. Dia meminum airnya dan duduk di tepian meja makan."Memangnya kamu nggak ke kampus?" tanya Rafa menatap Eva kembali. Posisi menyamping Eva sudah tidak memperlihatkan bahunya. Eva membuka lemari es dan mengambil sebotol air mineral. Tanpa menggunakan gelas, Eva langsung menjepit ujung botol dan meminum isinya. Rafa menelan salivanya saat mendengar suara air yang
"Jadi pacar aku!" "Gila ya kamu!" umpat Eva.Rafa melotot kepada Kausar. Dia segera menarik Eva ke belakang tubuhnya. "Jangan ngawur kamu! Dia istri saya. Berani sekali meminta istri saya jadi pacar kamu di depan saya. Pergi dari sini!" Rafa mengusir."Aduh, bukan maksud mau merebut Eva dari Pak Rafa. Makanya dengarin dulu, semuanya!" Kausar bergeming di tempatnya dan berusaha agar Rafa dan Eva mau mendengar penjelasannya."Pak Rafa, sepertinya Kausar memang ada masalah. Kita dengerin aja dulu." Eva berbisik. Dia merasa kasih pada sahabatnya itu."Nggak bisa, Eva. Dia mencoba mempermainkan kamu. Cowok macam dia harus segera disingkirkan." Rafa menolak. Dia menarik Eva agar bersembunyi lebih dalam di balik punggungnya. "Kamu pergilah dari sini. Jangan temui Eva lagi!" Kausar mengacak rambutnya frustasi. Dia duduk di lantai sambil bersedekap. Dia mendongak menatap Rafa dan Eva. "Dengerin dulu, Pak, Eva. Ini mempertaruhkan masa depan saya."Berbeda dengan Rafa ya
"Pak Rafa, kok nggak bilang kalau hape saya ada di sini?" Eva mengangkat ponselnya yang baru ditemukan setelah mencari ke semua ruangan. Rafa yang sedang mengeringkan rambutnya langsung menoleh. Alih-alih menjawab pertanyaan Eva, Rafa malah balik bertanya yang menyerang Eva. "Kamu ngapain masuk kamar saya tanpa ketuk dulu? Kalau seandainya, saya lagi nggak pakai baju, kamu mau liat?"Eva berdeham. "Maaf, Pak. Saya ... saya cuma ... pintu kamar Pak Rafa kebuka sih, trus saya dengar ringtone panggilan punya saya di kamar ini. Makanya saya langsung masuk. Maaf ya, Pak. Kalau gitu saya keluar dulu.""Sini!" panggil Rafa. Saat Eva mendekat, hairdryer yang digunakan Rafa mengeringkan rambut segera berpindah ke tangan Eva. "Bantu saya keringkan rambut."Eva melongo. "Pak Rafa bisa sendiri 'kan? Ngapain minta bantuan saya? Nih, ambil lagi. Saya punya urusan yang lebih mendesak." Eva mengembalikan hairdryer. Kemudian, dia melenggang pergi dari kamar Rafa. "Pasti berurusan dengan Sofyan," guma
"Mbak Eva!" tegur Bu Siti diiringi tepukan di bahu Eva.Teguran mendadak itu membuat Eva yang sedang melamun sambil mengaduk kopi langsung kaget. Sehingga tanpa sengaja menarik gelas dari mini bar dapur. Kejadian berlangsung dengan cepat dan kedua perempuan itu kompak memekik kaget melihat gelas itu terjun bebas ke lantai. Bahkan kopi panas itu menyiram kaki Eva."Ah, panas-panas," jerit Eva meloncat-loncat rendah.Bu Siti ikutan panik dan langsung mengambil baskom yang telah diisi air dari keran. "Mbak Eva masukin kakinya di sini!"Eva mendudukkan dirinya di kursi lalu merendam kakinya di baskom. Eva mengeluarkan desahan lega. Kaki yang merasakan panas itu lenyap digantikan kesejukan. "Makasih, Bu Siti," ucap Eva."Maafin saya, Mbak Eva. Nggak seharusnya, saya kejutkan Mbak Eva. Jadi tersiram air panas. Maaf ya, Mbak Eva." Bu Siti mengucapkan dengan rasa bersalah.Eva tersenyum. "Saya nggak apa-apa, Bu Siti. Lagian cuma kena air panas." "Tetap saja, saya salah," ucap Bu Siti. "Nggak
"... Kamu istri aku," kata Rafa penuh penekanan. Dia ingin mengingatkan kepada Eva bahwa ada ikatan di antara mereka. Tiba-tiba, Eva tertawa. Dia merasa lucu mengetahui Rafa cemburu. "Ngapain sih cemburu segala. Pak Rafa 'kan tau kalau aku pacaran sama Sofyan. Orang pacaran itu kayak gimana? Bersikap manja dan manis di depan pacar udah biasa." "Putus saja sama pacarmu!" tuntut Rafa seraya mengangkat wajah. Ditatapnya Eva dengan lamat-lamat. Dia menunggu respon yang akan diberikan Eva."Loh, kok mendadak ngomong gitu? Bukannya Pak Rafa bakalan beri aku waktu untuk menentukan siapa yang akan saya pilih. Nggak adil dong buat Sofyan, kalau Pak Rafa tiba-tiba nyuruh saya putuskan dia. Ini sama aja, Pak Rafa minta aku segera memilih Pak Rafa." Eva menarik kakinya dan berdiri dengan raut kesal. "Saya nggak tahan ....""Saya lebih-lebih nggak tahan dengan sikap Pak Rafa. Kalau Pak Rafa nggak bisa terima saya pacaran sama Sofyan, mending kita cerai saja. Toh, pernikahan kit
"Eva! Eva! Bertahanlah di sini. Jangan tinggalin saya. Siapa yang akan membantu saya jaga Arumi kalau kamu pergi?" Rafa memeluk erat Eva dari belakang. Dia tidak akan membiarkan Eva keluar selangkah pun dari rumah utama. Melihat Eva yang membawa tas besar keluar kamar membuat Rafa panik. "Lepasin, Pak! Saya nggak akan tinggal di sini lagi. Pak Rafa segera urus perceraian kita. Kalau Pak Rafa nggak mau, biar saya yang urus." Eva menepis kedua tangan Rafa dari tubuhnya. Rafa menggeleng lalu berusaha memeluk Eva lagi. Namun, Eva dengan gesit menghindar hingga Rafa memeluk angin. Rafa menoleh dengan raut wajah memelas. "Eva, saya nggak mau ada perceraian di antara kita. Saya tidak akan pernah melakukannya. Kamu harus tetap di sini. Bersama aku dan Arumi!" Rafa menekankan dengan tegas."Hubungan kita nggak bisa dilanjutin lagi, Pak. Saya akan bersama Sofyan. Masa bodoh dengan Arumi. Dia anak Pak Rafa, bukan anak saya!" Eva mengatakannya dengan nada tinggi. Rafa mengusap kasar wajahnya, l
"Arumi, gimana Bu Siti?" tanya Eva mendekati keranjang tidur Arumi. "Udah sembuh, Mbak Eva. Semalam 'kan udah dicek." Bu Siti tersenyum hangat."Syukurlah. Aku pikir, demamnya naik lagi. Ternyata udah beneran sembuh. Kalau gitu, aku beneran masuk kampus hari ini." Bu Siti mengangguk. "Mbak Eva tenang saja. Ada saya yang jagain Arumi. Mbak Eva fokus saja sama kuliahnya. Kemarin udah bolos, hari ini jangan ditambahin lagi." "Iya, Bu Siti. Saya udah mau berangkat kok. Cuma singgah liat Arumi," ucap Eva mengangkat tas laptopnya dan mengibas roknya. "Nih, laptop dan pakaian saya udah rapi. Tinggal jalan.""Dianterin Pak Rafa ya?" tanya Bu Siti.Seketika, semangat yang tercetak di wajah Eva meredup. Tidak ada harapan untuk diantar Rafa. Mereka saja belum berbaikan sejak kemarin. "Saya jalan sendiri aja, Bu Siti.""Loh, kenapa mb—""Saya berangkat ya, Bu Siti. Titip Arumi. Kabari kalau ada apa-apa. Bye-bye, Bu Siti." Eva memotong cepat dengan pamit. Bu Siti hanya bisa geleng kepala. Dia m