"Arumi, gimana Bu Siti?" tanya Eva mendekati keranjang tidur Arumi. "Udah sembuh, Mbak Eva. Semalam 'kan udah dicek." Bu Siti tersenyum hangat."Syukurlah. Aku pikir, demamnya naik lagi. Ternyata udah beneran sembuh. Kalau gitu, aku beneran masuk kampus hari ini." Bu Siti mengangguk. "Mbak Eva tenang saja. Ada saya yang jagain Arumi. Mbak Eva fokus saja sama kuliahnya. Kemarin udah bolos, hari ini jangan ditambahin lagi." "Iya, Bu Siti. Saya udah mau berangkat kok. Cuma singgah liat Arumi," ucap Eva mengangkat tas laptopnya dan mengibas roknya. "Nih, laptop dan pakaian saya udah rapi. Tinggal jalan.""Dianterin Pak Rafa ya?" tanya Bu Siti.Seketika, semangat yang tercetak di wajah Eva meredup. Tidak ada harapan untuk diantar Rafa. Mereka saja belum berbaikan sejak kemarin. "Saya jalan sendiri aja, Bu Siti.""Loh, kenapa mb—""Saya berangkat ya, Bu Siti. Titip Arumi. Kabari kalau ada apa-apa. Bye-bye, Bu Siti." Eva memotong cepat dengan pamit. Bu Siti hanya bisa geleng kepala. Dia m
"Aku harus menghampiri mereka!" perintah Rafa pada dirinya sendiri. Namun, kakinya berat untuk digerakkan. Ada sesuatu yang menahan dan mendorongnya dalam waktu yang sama. Rafa merasakan tubuhnya bergerak penuh keraguan.Sebuah gelengan menghentikan kakinya yang sudah terangkat hendak maju. "Nggak-nggak, nggak bisa Rafa! Kalau benar itu pacar Eva, kamu harus tahu diri. Kamu nggak ada di mata Eva."Mulut dan logika Rafa memang bisa mengatakan itu dengan lancar. Kenyataan yang ada, hati Rafa justru menuntunnya bergerak ke arah dua orang yang sedang memecahkan celengan rindu. Hilang sudah niat untuk membiarkan Eva bermesraan dengan pria yang diduga Rafa adalah pacar istrinya. Dia tidak bisa membohongi diri sendiri bahwa kecemburuan yang dimiliki tidak bisa ditutupi lagi.Di depan sana, istrinya sedang diperlakukan begitu manis oleh pria lain. Terang-terangan Eva menerima setiap sikap yang ditunjukkan oleh pria itu. Termasuk saat pria itu lancang merapikan rambut Eva dengan menyelipkan ke
"Eva adalah ...."Eva menggigit bibir bawahnya. Jemarinya saling meremas sambil menatap harap pada Rafa agar tidak mengungkapkan identitasnya saat ini. Eva belum siap untuk segala kemungkinan atas hubungan rumitnya. Dia tidak ingin menyakiti siapapun. Entah Rafa atau Sofyan. Bagi Eva, dua pria itu adalah orang baik. Dia hanya belum bisa menentukan akan menyelesaikan hubungan mereka dengan cara yang terbaik dan tidak menyedihkan. 'Bagaimana ini? Tolong, Pak Rafa. Jangan katakan apapun. Tolong aku kali ini.''Aku mohon, buatlah suara Pak Rafa lenyap beberapa menit saja.'Detak jantung Eva semakin memberontak seiring pergerakan mulut Rafa yang akan mengeja satu kata yang paling Eva takuti saat ini. Eva menatap wajah Rafa sembari menggelengkan kepalanya. Dia rela bertaruh dengan apapun di dunia ini, asalkan alam ingin membantunya mencegah Rafa mengatakan kata 'istri'."Istri saya.""Aaaaaaaaa!!!" Teriakan Eva yang kencang tepat di samping telinga Sofyan membuat suara Rafa tenggelam. Dia
"Va, gue ambil sekarang, thanks ya." Kausar menunjukkan laporannya yang baru saja dikeluarkan dari tas Eva. Karena terburu-buru ke kampus, dia lupa mencetak laporan dan meminta bantuan Eva yang kebetulan masih berada di luar kampus. "Gue mesti bayar berapa nih?" tanya Kausar sembari membuka per halaman. Namun, dia merasa aneh dengan keheningan di antara mereka. Tiada komentar apapun dari gadis itu. 'Tidak seperti biasanya.' Itulah pikiran yang melintas di kepala Kausar. Dengan alis mengerut, Kausar menggulung laporannya. Kemudian, dia menepuk bahu Eva. "Ngelamun aja. Masih pagi juga. Kenapa sih?"Tepukan diiringi pertanyaan dari Kausar sukses mengembalikan perhatian Eva ke tempatnya. Dia memasang wajah jengkel dan bertanya balik, "Apa sih? Kenapa mukul? Bukannya makasih udah dibantuin. Utang banyak lo sama gue.""Eh, kok malah marah? Gue nanya baik-baik loh. Nih anak ada masalah apa sih sampai-sampai lampiasin ke gue." Kausar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Udah, sana lo per
"Sekali lagi makasih ya Mas Rafa. Kalau Mas Rafa nggak segera tangkap anak saya, nggak tau lagi nasibnya." Tetangga Rafa bersungguh-sungguh mengatakannya. Dia sangat bersyukur dengan pertolongan Rafa "Refleks aja Mas Azzam. Nggak perlu sungkan." Rafa menjawab rendah hati. "Justru saya minta maaf. Soalnya malah nendang motor Mas Azzam.""Nggak apa-apa. Motor bisa diganti, tapi anak nggak bisa. Malahan Mas Rafa keren banget loh tadi. Kalau nggak ditendang tuh motor, bisa-bisa nabrak orang lagi.""Bener juga," ucap Rafa manggut-manggut. "Kalau gitu, makasih udah dianterin ke rumah sakit trus diantar balik lagi. Titip salam sama Mbak Ayu sama Adam.""Iya, Mas Rafa. Makasih sekali lagi.""Nggak ada habisnya ini. Dua-duanya bilang makasih. Kalau gitu, saya turun duluan. Mari Mas Azzam." Setengah bercanda, Bu Siti yang ikut serta, pamit terlebih dahulu. Dia menggendong Arumi. Azzam dan Rafa tertawa mendengarnya. Rafa, Bu Siti juga Arumi yang tertidur di stroller baby baru saja kembali dar
"Langsung balik?" tanya Sofyan menyejajarkan langkahnya dengan Eva ke luar dari kelas. "Sepertinya begitu. Gue khawatir Arumi kenapa-kenapa," jawab Eva."Bukannya tuh anak udah ada bibi suster.""Bibi suster? Bu Sri namanya," kata Eva meralat. Terasa aneh mendengar istilah yang diberikan Sofyan pada Bu Sri. Langkah Eva berbelok menuruni anak tangga. Sofyan mengikuti di sampingnya. "Justru karena itu. Gue nggak bisa hubungi Bu Sri. Gue nggak tau kondisi Arumi, kemarin dia masih demam. Gue takut panasnya naik lagi. Soalnya bonyok gue katanya datang jengukin, tapi rumah kosong." Eva menjelaskan alasan kekhawatirannya. "Oh kebetulan. Gue anterin balik ya. Sekalian gue ketemu bonyok Lo. Udah lama nggak nyapa juga.""Boleh deh, tapi gue nggak ikut campur ya kalau Lo ketemu Pak Rafa lagi." Eva terkekeh. Mengingat Kausar belum juga akur dengan Rafa membuat Eva menjadikan keduanya sebagai tontonan yang menyenangkan. Kausar menghela napas berat sebelum membalas. "Nggak masalah. Nggak mungki
"Pak Rafa ada di mana? Jawab aku!" Eva histeris mencari Rafa. Dia berlari ke dalam rumah. Barangkali dia menemukan Rafa terbaring di sana. "Eva, mau ke mana?" panggil Citra kebingungan dengan reaksi Eva. "Emangnya Pak Rafa kenapa Tante, Om?" Kausar yang kaget dengan berita kecelakaan Rafa bertanya dengan tenang. "Hanya kecelakaan ringan. Om cuma mau beritahu Eva. Cuma reaksi Eva kok panik gitu." Bagas pun merasa kaget dengan respon dari Eva. Dia akan maklum jika Eva bertanya tentang kondisi Rafa, tapi berlari dengan terburu-buru mencari Rafa adalah keganjalan yang jarang Eva lakukan. Selama ini, Eva selalu bersikap tenang dan tidak pedulian."Dia emang udah uring-uringan di kampus, Om. Ditanya dikit, jawabnya judes. Hari ini, Eva tampak kurang fokus." Kausar pun melaporkan keanehan Eva. "Sebaiknya kita susulin dia."Eva membuka pintu kamar Rafa dengan kasar. Sambutan yang ditemui Eva hanyalah kamar yang tertata rapi seperti biasa. Tidak ada jejak Rafa di
"Pa, ngapain duduk di luar? Udaranya dingin." tanya Rafa menemukan Bagas duduk sendirian di teras. Mereka baru saja selesai makan malam bersama."Nungguin mamanya Eva," jawab Bagas sekenanya. Rafa meletakkan sampah di samping rumah dan kembali bergabung di dekat Bagas. "Mau ke mana, Pa? Kirain mau nginap." "Papa sama mama emang mau nginap, tapi nggak di sini.""Trus di mana? Hotel?"Bagas menggeleng. "Di kamar yang dulu Eva tempati.""Tidur di sini aja, Pa. Di sana, anak-anak masih berisik kalau malam-malam. Nanti papa sama mama susah tidur. Lagipula di sini masih ada kamar kosong." Rafa jelas tidak setuju dengan ide mertuanya.Bagas menoleh dan menatap dengan heran. "Loh, Eva belum bilang? Itu keinginan dia. Katanya pengen tidur bareng mama papanya di kamar kos. Pengen nostalgia dempet-dempetan di single bed."Rafa terdiam beberapa saat. Sejak tadi dia berusaha bersikap biasa di hadapan orangtua Eva. Dia masih memendam kekecewaan, tapi rasa hormatnya pada Bagas dan Citra tidak terl