"Eva, jangan diam aja. Boleh nggak?" tegur Rafa yang membuat Eva tersadar."Hah? Minta cium? Nggak bolehlah." Eva menyilangkan tangan di depan wajahnya. "Enak saja minta cium.""Aku suami kamu loh, Eva. Harusnya aku udah ambil hak cium kamu sejak dulu." Rafa mengerutkan bibirnya.Eva mendengus. "Jadi, Pak Rafa menagih haknya? Kalau gitu saya minta cerai!" ancam Eva."Eh, kok gitu? Nggak boleh ngomong cerai-cerai," sanggah Rafa dengan gelengan kepala."Makanya, jangan aneh-aneh. Aku pergi kalau Pak Rafa buat saya nggak nyaman. Pak Rafa udah aku bilangin, jangan berharap banyak. Saya memang ingin mencoba hubungan ini, tapi bukan berarti saya akan melakukan hal di luar batas dengan Pak Rafa." Eva mengatakan itu dengan santai."Kamu keren, Eva," ucap Rafa tiba-tiba.Alis Eva semakin mengerut. "Maksud Pak Rafa?" tanya Eva."Bukan apa-apa. Aku hanya bilang kamu perempuan yang luar biasa keren," puji Rafa kemudian bangkit. Dia semakin yakin bahwa Eva adalah gadis yang baik, terjaga dan tegas.
"Dokter, harus banget ya pake itu?" tanya Eva dengan wajah panik. Dia memeluk erat tubuh Arumi dan berusaha melindunginya. Dokter yang sudah bersiap menyuntik Arumi menarik kembali jarum suntiknya. Dia menghela napas pelan dan tersenyum pada Eva. "Harus pakai ini, ibu. Saya nggak mungkin sakitin bayi ibu, tenang saja."Eva menggeleng lalu berdiri. "Tapi kalau di kenapa-kenapa gimana? Itu jarum loh, Dok. Kulit bayi ini sangat tipis. Dia pasti sangat kesakitan. Kalau berdarah gimana?" Dokter itu terkekeh. "Ibu terlalu ketakutan dan banyak berpikir buruk. Ini hanya imunisasi, Bu. Untuk kebaikan bayi ibu sendiri.""Kasihan bayi saya, Dok. Nggak ada cara lain gitu buat imunisasi dia? Yang tetes aja gimana? Bisa 'kan? Tadi saya liat ada bayi yang imunisasi ditetesin doang mulutnya. Arumi pake itu juga." Eva mencoba buat penawaraan. Dia benar-benar ketakutan jika melihat Arumi harus ditusuk jarum suntik. Eva bukan takut pada jarum itu. Dia takut jarum itu melukai bayinya. "Untuk usia bayi
"Udah selesai ngelamunnya, Sayang?" Sofyan yang baru selesai memarkirkan motornya di kawasan Monas langsung menegur yang sepanjang jalan hanya melamun. Sofyan mengetahuinya dari pantulan kaca spion motor. Tidak ada percakapan berarti di antara mereka. Sesekali Sofyan memang mengajaknya bicara, tapi Eva hanya menanggapinya dengan 'Hah?'Awalnya, Sofyan mengira kalau Eva tidak mendengar ucapannya. Mungkin disebabkan oleh suara bising kendaraan atau suara Sofyan yang dibawa lari oleh angin. Namun, semakin sering diajak bicara gadis itu selalu menanggapinya dengan hal sama. Dan Sofyan menyadari kalau Eva sedang melamun saat melihat dari kaca spion. Eva yang masih duduk di jok belakang motor tersadar oleh teguran Sofyan. Kemudian dia menoleh ke samping dan depannya. Dia mencoba mengamati dan menganalisa sedang berada di mana mereka saat ini."Monas?" ucap Eva bingung. Dia turun dari motor lebih dahulu. Sofyan dengan sigap membantu Eva melepas helm.Eva tidak mengerti alasan Sofyan mengajak
"Sayang, mau ke mana?" Sofyan yang berhasil menyusul Eva langsung mencekal tangannya dan bertanya."Ah, maaf Sofyan. Aku harus segera pulang," jawab Eva menepis tangan Sofyan. Dia celingak-celinguk mencari taksi atau ojek yang bisa membawanya pulang ke rumah secepatnya."Apa ada masalah? Kenapa kamu mau pulang?" tanya Sofyan khawatir. Dia bisa melihat raut wajah Eva yang tidak tenang. Tercetak kecemasan di sana. "Arumi sakit," jawab Eva. Dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berbicara dengan Sofyan. Isi kepalanya sedang kalut. Dia khawatir kalau sakit Arumi parah. Dia juga menyalakan dirinya sendiri yang lebih memilih jalan bersama Sofyan dibanding menemani bayinya yang baru selesai imunisasi.Sofyan membentuk lipatan kecil di dahinya. "Arumi? Siapa Arumi?" tanya Sofyan bingung.Eva tidak menjawab. Dia melihat ada taksi yang melaju hendak melewati jalan di depan Eva. Gadis itu berlari ke tengah jalan agar bisa menghentikan taksi. Aksi nekat itu membuat Sofyan segera menarik Eva se
"Kita bawa ke rumah sakit aja, Pak. Kasihan Arumi. Apalagi tuh bekas suntiknya sampai bengkak gitu. Ini yang aku takutin. Arumi masih kecil, kenapa disuntik segala sih? Apa nggak bisa ditunda imunisasinya sampai besar. Pak, Arumi kasihan." Eva mengomel dengan mata berkaca-kaca. Hatinya merasa terluka melihat bayi itu kesakitan."Kalau nunggu dia besar, nggak lengkap dong imunisasinya," timpal Rafa. Di wajahnya juga tercetak kecemasan, tapi pria itu tetap bersikap tenang. Saat ini, dia bisa lebih lega karena Arumi sudah tertidur. Berbeda dengan setengah jam yang lalu saat dia baru tiba di rumah. Arumi menangis kejer. Rafa, Eva dan Bu Siti sampai kelimpungan menenangkan Arumi. Meskipun sudah diingatkan oleh dokter bahwa akan ada efek dari vaksin DPT dan Polio suntik, Rafa tetap saja dibuat kaget saat mengetahui Arumi demam. Apalagi ketika melihat bekas suntikan di paha bagian atas Arumi yang merah dan bengkak. "Sakitnya Arumi bisa dibagi ke aku aja nggak sih? Dia tuh masih kecil, belu
"Loh, Eva? Belum mandi ya?" tanya Rafa saat berpapasan dengan Eva di dapur. Dia baru selesai mengambil segelas air."Males mandi, Pak.," jawab Eva cuek. Sepertinya, kesadaran gadis itu belum terkumpul sepenuhnya. Eva berjalan santai di depan Rafa dengan penampilan yang jauh dari kata anggun. Pakaian tidur yang kusut, bahkan sebelah lengannya melorot panjang sebelah hingga memperlihatkan bahunya yang putih mulus, juga rambut yang dicepol asal hingga beberapa anak rambut masih terjuntai bebas di sekitar wajah Eva. Rafa berdeham dan mengalihkan pandangannya. Sejak Eva tiba, matanya terpaku pada leher dan bahu Eva yang terekspos. Dia meminum airnya dan duduk di tepian meja makan."Memangnya kamu nggak ke kampus?" tanya Rafa menatap Eva kembali. Posisi menyamping Eva sudah tidak memperlihatkan bahunya. Eva membuka lemari es dan mengambil sebotol air mineral. Tanpa menggunakan gelas, Eva langsung menjepit ujung botol dan meminum isinya. Rafa menelan salivanya saat mendengar suara air yang
"Jadi pacar aku!" "Gila ya kamu!" umpat Eva.Rafa melotot kepada Kausar. Dia segera menarik Eva ke belakang tubuhnya. "Jangan ngawur kamu! Dia istri saya. Berani sekali meminta istri saya jadi pacar kamu di depan saya. Pergi dari sini!" Rafa mengusir."Aduh, bukan maksud mau merebut Eva dari Pak Rafa. Makanya dengarin dulu, semuanya!" Kausar bergeming di tempatnya dan berusaha agar Rafa dan Eva mau mendengar penjelasannya."Pak Rafa, sepertinya Kausar memang ada masalah. Kita dengerin aja dulu." Eva berbisik. Dia merasa kasih pada sahabatnya itu."Nggak bisa, Eva. Dia mencoba mempermainkan kamu. Cowok macam dia harus segera disingkirkan." Rafa menolak. Dia menarik Eva agar bersembunyi lebih dalam di balik punggungnya. "Kamu pergilah dari sini. Jangan temui Eva lagi!" Kausar mengacak rambutnya frustasi. Dia duduk di lantai sambil bersedekap. Dia mendongak menatap Rafa dan Eva. "Dengerin dulu, Pak, Eva. Ini mempertaruhkan masa depan saya."Berbeda dengan Rafa ya
"Pak Rafa, kok nggak bilang kalau hape saya ada di sini?" Eva mengangkat ponselnya yang baru ditemukan setelah mencari ke semua ruangan. Rafa yang sedang mengeringkan rambutnya langsung menoleh. Alih-alih menjawab pertanyaan Eva, Rafa malah balik bertanya yang menyerang Eva. "Kamu ngapain masuk kamar saya tanpa ketuk dulu? Kalau seandainya, saya lagi nggak pakai baju, kamu mau liat?"Eva berdeham. "Maaf, Pak. Saya ... saya cuma ... pintu kamar Pak Rafa kebuka sih, trus saya dengar ringtone panggilan punya saya di kamar ini. Makanya saya langsung masuk. Maaf ya, Pak. Kalau gitu saya keluar dulu.""Sini!" panggil Rafa. Saat Eva mendekat, hairdryer yang digunakan Rafa mengeringkan rambut segera berpindah ke tangan Eva. "Bantu saya keringkan rambut."Eva melongo. "Pak Rafa bisa sendiri 'kan? Ngapain minta bantuan saya? Nih, ambil lagi. Saya punya urusan yang lebih mendesak." Eva mengembalikan hairdryer. Kemudian, dia melenggang pergi dari kamar Rafa. "Pasti berurusan dengan Sofyan," guma