"Pak, ini semua apa?" tanya Eva dengan mata membelalak. Di depannya ada troli besar yang penuh dengan belanjaan Rafa. "Semuanya keperluan rumah dan peralatan Arumi," jawab Rafa mulai memasukkan barang-barang belanjaan ke dalam mobil. "Nggak sembarangan ambil 'kan? Kenapa sebanyak ini?" Eva masih belum percaya dengan yang dilihatnya. Pantas saja dia menunggu sangat lama. Mereka berbagi tugas tadi. Eva menjaga Arumi dan Rafa berbelanja. Terbalik 'kan? Tetapi itulah yang terjadi. Eva terlalu malas berbaur di dalam supermarket, jadi Rafa harus mengalah."Sesuai yang kamu tulis, aku ambil," jawab Rafa sibuk menyusun barang."Perasaan aku nggak nulis banyak. Kenapa kamu belinya seperti memenuhi kebutuhan setahun?" Eva geleng-geleng kepala.Rafa mengedikkan bahu. Dia pun tidak tahu bahwa list belanjaan yang diberikan Eva akan menghasilkan barang sebanyak ini. Sejujurnya, dia banyak keraguan ketika membeli tadi. Karena itu, dia membeli banyak variasi di satu produk. Itu yang menyebabkan bela
"Eva, saya minta maaf. Saya beneran nggak bermaksud bilang kalau kamu hanya sebatas itu untuk Arumi. Maaf ya," ucap Rafa mengekori Eva memasuki rumah. Gadis itu merajuk selama perjalanan pulang. Rafa batal mengunjungi rumahnya, karena perasaan Eva sedang buruk. Eva meminta pulang segera. Setiba di rumah, Eva langsung keluar dari mobil sambil menggendong Arumi."Eva, jangan marah dong. Saya—"Ucapan Rafa terpotong karena Eva berbalik menghadap kepada dirinya. Rafa segera memasang senyum paling manis. Berharap Eva membaik dengan melihatnya. Namun, Rafa salah. Eva justru menyerahkan Arumi dan segera melangkah cepat menuju kamarnya. "Eva, tunggu!" teriak Rafa mengejar. Setiap langkahnya diiringi tawa Arumi.Bayi itu mengira sedang diajak bermain dengan berlari-lari bersama. Rafa tidak terlalu pedulikan tawa Arumi. Dia sedang memacu cepat kakinya agar bisa menyusul Eva. Melihat Eva sudah membuka pintu kamarnya, Rafa memperlebar langkahnya.Dengan gesit, Rafa mengimbangi kecepatan Eva menu
"Astaga, ternyata hari ini. Aku pikir lusa." Rafa menepuk jidatnya ketika melihat pengingat di ponselnya. Jadwal imunisasi Arumi yang harus dilakukan hari ini. Mengingat Arumi sudah memasuki usia empat bulan artinya bayi itu harus mendapatkan imunisasi lagi. Rafa terlalu memikirkan hal lain sampai-sampai hampir melewatkan jadwal imunisasi Arumi. Dia segera menghubungi sekretarisnya untuk mengatur jadwalnya hari ini. Dia meminta agar semua jadwal yang harus dilakukannya saat pagi, diundur menjadi siang. Rafa menebak tidak akan sempat datang cepat ke kantor. Setelah mendengar sekretaris itu menyanggupi permintaannya, Rafa merubah penampilan. Dia tidak ingin berpenampilan kaku dan formal saat mendatangi rumah sakit. Saat dia sedang melepas vest, terdengar suara pintu diketuk dari luar. "Masuk," kata Rafa sembari melongokkan kepala untuk mengetahui siapa yang datang.Eva muncul ketika pintu terbuka. Dia hendak memutar balik, keluar dari kamar Rafa karena melihat sang empunya kamar sedan
"Eva, jangan diam aja. Boleh nggak?" tegur Rafa yang membuat Eva tersadar."Hah? Minta cium? Nggak bolehlah." Eva menyilangkan tangan di depan wajahnya. "Enak saja minta cium.""Aku suami kamu loh, Eva. Harusnya aku udah ambil hak cium kamu sejak dulu." Rafa mengerutkan bibirnya.Eva mendengus. "Jadi, Pak Rafa menagih haknya? Kalau gitu saya minta cerai!" ancam Eva."Eh, kok gitu? Nggak boleh ngomong cerai-cerai," sanggah Rafa dengan gelengan kepala."Makanya, jangan aneh-aneh. Aku pergi kalau Pak Rafa buat saya nggak nyaman. Pak Rafa udah aku bilangin, jangan berharap banyak. Saya memang ingin mencoba hubungan ini, tapi bukan berarti saya akan melakukan hal di luar batas dengan Pak Rafa." Eva mengatakan itu dengan santai."Kamu keren, Eva," ucap Rafa tiba-tiba.Alis Eva semakin mengerut. "Maksud Pak Rafa?" tanya Eva."Bukan apa-apa. Aku hanya bilang kamu perempuan yang luar biasa keren," puji Rafa kemudian bangkit. Dia semakin yakin bahwa Eva adalah gadis yang baik, terjaga dan tegas.
"Dokter, harus banget ya pake itu?" tanya Eva dengan wajah panik. Dia memeluk erat tubuh Arumi dan berusaha melindunginya. Dokter yang sudah bersiap menyuntik Arumi menarik kembali jarum suntiknya. Dia menghela napas pelan dan tersenyum pada Eva. "Harus pakai ini, ibu. Saya nggak mungkin sakitin bayi ibu, tenang saja."Eva menggeleng lalu berdiri. "Tapi kalau di kenapa-kenapa gimana? Itu jarum loh, Dok. Kulit bayi ini sangat tipis. Dia pasti sangat kesakitan. Kalau berdarah gimana?" Dokter itu terkekeh. "Ibu terlalu ketakutan dan banyak berpikir buruk. Ini hanya imunisasi, Bu. Untuk kebaikan bayi ibu sendiri.""Kasihan bayi saya, Dok. Nggak ada cara lain gitu buat imunisasi dia? Yang tetes aja gimana? Bisa 'kan? Tadi saya liat ada bayi yang imunisasi ditetesin doang mulutnya. Arumi pake itu juga." Eva mencoba buat penawaraan. Dia benar-benar ketakutan jika melihat Arumi harus ditusuk jarum suntik. Eva bukan takut pada jarum itu. Dia takut jarum itu melukai bayinya. "Untuk usia bayi
"Udah selesai ngelamunnya, Sayang?" Sofyan yang baru selesai memarkirkan motornya di kawasan Monas langsung menegur yang sepanjang jalan hanya melamun. Sofyan mengetahuinya dari pantulan kaca spion motor. Tidak ada percakapan berarti di antara mereka. Sesekali Sofyan memang mengajaknya bicara, tapi Eva hanya menanggapinya dengan 'Hah?'Awalnya, Sofyan mengira kalau Eva tidak mendengar ucapannya. Mungkin disebabkan oleh suara bising kendaraan atau suara Sofyan yang dibawa lari oleh angin. Namun, semakin sering diajak bicara gadis itu selalu menanggapinya dengan hal sama. Dan Sofyan menyadari kalau Eva sedang melamun saat melihat dari kaca spion. Eva yang masih duduk di jok belakang motor tersadar oleh teguran Sofyan. Kemudian dia menoleh ke samping dan depannya. Dia mencoba mengamati dan menganalisa sedang berada di mana mereka saat ini."Monas?" ucap Eva bingung. Dia turun dari motor lebih dahulu. Sofyan dengan sigap membantu Eva melepas helm.Eva tidak mengerti alasan Sofyan mengajak
"Sayang, mau ke mana?" Sofyan yang berhasil menyusul Eva langsung mencekal tangannya dan bertanya."Ah, maaf Sofyan. Aku harus segera pulang," jawab Eva menepis tangan Sofyan. Dia celingak-celinguk mencari taksi atau ojek yang bisa membawanya pulang ke rumah secepatnya."Apa ada masalah? Kenapa kamu mau pulang?" tanya Sofyan khawatir. Dia bisa melihat raut wajah Eva yang tidak tenang. Tercetak kecemasan di sana. "Arumi sakit," jawab Eva. Dia tidak menyadari bahwa dirinya sedang berbicara dengan Sofyan. Isi kepalanya sedang kalut. Dia khawatir kalau sakit Arumi parah. Dia juga menyalakan dirinya sendiri yang lebih memilih jalan bersama Sofyan dibanding menemani bayinya yang baru selesai imunisasi.Sofyan membentuk lipatan kecil di dahinya. "Arumi? Siapa Arumi?" tanya Sofyan bingung.Eva tidak menjawab. Dia melihat ada taksi yang melaju hendak melewati jalan di depan Eva. Gadis itu berlari ke tengah jalan agar bisa menghentikan taksi. Aksi nekat itu membuat Sofyan segera menarik Eva se
"Kita bawa ke rumah sakit aja, Pak. Kasihan Arumi. Apalagi tuh bekas suntiknya sampai bengkak gitu. Ini yang aku takutin. Arumi masih kecil, kenapa disuntik segala sih? Apa nggak bisa ditunda imunisasinya sampai besar. Pak, Arumi kasihan." Eva mengomel dengan mata berkaca-kaca. Hatinya merasa terluka melihat bayi itu kesakitan."Kalau nunggu dia besar, nggak lengkap dong imunisasinya," timpal Rafa. Di wajahnya juga tercetak kecemasan, tapi pria itu tetap bersikap tenang. Saat ini, dia bisa lebih lega karena Arumi sudah tertidur. Berbeda dengan setengah jam yang lalu saat dia baru tiba di rumah. Arumi menangis kejer. Rafa, Eva dan Bu Siti sampai kelimpungan menenangkan Arumi. Meskipun sudah diingatkan oleh dokter bahwa akan ada efek dari vaksin DPT dan Polio suntik, Rafa tetap saja dibuat kaget saat mengetahui Arumi demam. Apalagi ketika melihat bekas suntikan di paha bagian atas Arumi yang merah dan bengkak. "Sakitnya Arumi bisa dibagi ke aku aja nggak sih? Dia tuh masih kecil, belu
Rafa memasuki rumah dengan tergesa-gesa. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling dan hanya menemukan Bu Siti dan Arumi yang bermain di ruang tengah. "Pak Ra—" Kalimat Bu Siti menggantung begitu saja karena Rafa segera berlalu menuju ruangan lain seperti mencari sesuatu.Setelah memasuki tiap kamar dalam rumah, Rafa memasuki area dapur lalu berjalan ke halaman belakang. Nihil.Tidak ada jejak Eva di rumah ini. Rafa mendekati Bu Siti. Tatapannya tampak tidak fokus. Bahkan keberadaan Arumi di sana, seperti buram di mata Rafa."Eva nggak balik ke rumah, Bu?" tanya Rafa.Bu Siti mengernyit heran. "Bukannya Neng Eva ke rumah sakit ya. Tadi dia bilang mau jengukin Pak Ardi. Memangnya Pak Rafa nggak ketemu? Atau Pak Rafa bukan di rumah sakit tapi di kantor ya, makanya nggak ketemu?" "Saya di rumah sakit tadi, Bu. Cuma Eva ... pergi." Rafa bingung menjelaskan situasi saat ini. Rafa hanya mendengar kabar bahwa Eva marah. Penjelasan lebih lanjut terkait kron
"Bu Siti, Arumi rewel nggak seharian ini?"'Tadi sempat rewel nyariin Neng Eva sama Pak Rafa. Tapi sekarang udah aman, Neng. Bibi masih bisa tangani. Sekarang, adek lagi seru-serunya main. Tuh, Neng.'Senyuman Eva merekah ketika layar ponsel menampilkan Arumi yang sedang berusaha memasang donat susunnya. Eva selalu merasa bangga tiap kali melihat tumbuh kembang Arumi. Mungkin itulah yang dirasakan oleh semua ibu di dunia ini. Sekecil apapun pencapaian si anak, tentu terasa hebat di mata seorang ibu.'Mau bicara, Neng?' tanya Bu Siti ketika melihat Eva hanya diam memandangi Arumi.Eva menggeleng dan berkata, "Nggak usah, Bu. Nanti dia nangis kalau liat aku tapi nggak gendong."Bu Siti terkekeh mendengar keluhan Eva. Kebebasan Eva terenggut ketika keberadaannya tertangkap oleh Arumi. Bayi itu sangat manja kepada Eva. Bahkan, Eva harus melarikan diri secara diam-diam jika ingin ke kampus. "Bu, nanti aku agak telat ya pulangnya. Nggak apa-apa 'kan?" Eva merasa t
"Kami baik-baik aja kok, Pa." Eva melirik layar ponselnya yang menampilkan wajah Bagas. Panggilan telepon itu sudah berlangsung beberapa menit lalu dan Bagas bisa menangkap raut masygul di wajah putrinya. Akan tetapi, jawaban Eva yang berulang menekankan bahwa dia baik-baik saja membuat Bagas mengangguk. "Rafa belum pulang kerja?" tanya Bagas. "Bukan belum pulang, memang dia nggak mau pulang." Eva menjawab dengan jengkel. Mendengar nama Rafa disebut papanya kian membangkitkan kekesalan Eva pada suaminya. "Kalian bertengkar?" Itu bukan suara Bagas, melainkan suara mama Eva. Layar ponsel Eva kini dipenuhi oleh wajah mamanya. Desahan Eva lolos begitu saja. Dia menutup laptopnya yang sempat menganggur karena panggilan video dari orangtuanya. Seharusnya Eva melakukan itu sejak tadi. Toh, tugasnya tidak kunjung selesai sebab pikirannya tidak bisa fokus. Eva menyambar ponsel dan merebahkan tub
"Emangnya Pak Rafa nggak ada niatan balik dulu ke rumah? Kok tiap hari nyuruh orang mulu buat ambilin baju gantinya." Pandangan Eva tidak lepas dari asisten Rafa yang lagi-lagi datang hanya untuk meminta pakaian ganti untuk Rafa. Selama empat hari berturut-turut, asisten itu rutin mengunjungi rumah dengan tujuan yang sama. "Eh, si Eneng!" seru Bu Siti kaget saat tersadar dengan kemunculan Eva di belakangnya. Dia mengelus dada lalu menutup pintu. "Maaf ya, Bu," ucap Eva menunjukkan cengiran. Cukup merasa bersalah telah mengejutkan Bu Siti. Dia melangkah lebih dulu."Pak Rafa bukannya nggak mau balik. Kan Neng Eva udah dikabarin juga sama Pak Rafa. Mertua Neng Eva masih perlu dirawat, jadi Pak Rafa nggak tega ninggalin." Bu Siti menjawab sambil menyusul Eva menuju dapur."Tapi kan, masa iya nggak ada kesempatan pulang sebentar. Emang dia nggak rindu Arumi?" Eva meraih gelas dan melangkah ke depan lemari es."Kalau itu, saya nggak tau juga Neng. Tanya Pak Rafa langsung aja." Bu Siti t
"Wiiihhh ada ibu kos main ke sini," sambut Ajeng melihat kedatangan Eva bersama Arumi dalam gendongannya."Liat Eva gendong anak. Berasa liat ibu-ibu beneran," timpal Rida bercanda."Bangke kalian berdua. Gue masih muda ya. Paling muda di antara kalian. Mana ada muka ibu-ibu?" Eva melepas sendalnya dan bergabung duduk lesehan sambil mengomel. Bibirnya sudah maju beberap senti akibat disebut mirip ibu-ibu. Ajeng dan Rida cekikikan menanggapi Eva. "Iya-iya si paling muda." Rida tidak tega melihat bibir manyun Eva.Ajeng menyodorkan sepiring rujak mangga ke hadapan Eva. "Nih makan, gue udah potongin. Anak Lo kesiniin. Mumpung bapaknya nggak ada, gue mau unyel-unyel."Eva memeluk Arumi. "Jangan dong! Bapaknya marah ntar kalau anaknya diapa-apain.""Makanya Lo diam. Jangan laporin ke bapak kos." Ajeng menyelipkan tangannya di bawah ketiak Arumi, bersiap menariknya."Mending nggak usah. Lecet dikit, bapaknya bisa ngamuk." "Ya elah, mau dipangku doang, Va. Nggak gue banting." "Gue nggak y
"Makasih udah anterin," ucap Eva sekenanya lalu melepas seat belt. Dia masih kesal dengan pria disampingnya. Sampai saat ini, dia masih penasaran pada percakapan antara Bu Siti dan Rafa.Kalimat 'Nanti saya sediakan. Pak Rafa pasti suka' terus terbayang-bayang di kepalanya. Sejujurnya, dia takut kalau-kalau Rafa meminta seorang perempuan untuk melampiaskan hasratnya. Bu Siti pernah memperingati Eva tentang kebutuhan seorang laki-laki pada perempuan, tapi Eva sungguh belum siap melayani suaminya. Jangankan melayani, Eva saja masih meragukan perasaannya pada Rafa. Satu hal yang pasti, Eva tidak ingin Rafa melakukan hal itu dengan perempuan lain. Entah mengapa, hatinya tidak rela."Tunggu," ucap Rafa mencegah Eva yang hendak keluar dari mobil. Eva menutup pintu mobil. Dia menunggu Rafa berbicara lagi. "Sepertinya malam ini saya akan nggak bakal pulang ke rumah. Arumi bisa saya titip di kamu?" Eva menoleh dengan cepat. Jantungnya berdegup kencang. Perasaan khawatir dan takut menyelinap
Ucapan Rafa cukup sukses membuat Eva tergemap. Gadis itu tercenung untuk beberapa saat. Dia memikirkan kebenaran ucapan Rafa. Mungkin saja Rafa dalam keadaan tidak sadar saat mengatakannya. Namun, Eva juga mengkhawatirkan kalau Rafa sebenarnya sudah menciumnya tapi berdalih hendak mencuri ciuman Eva. Eva berdeham untuk mengurai rasa gugupnya. "Ngaco banget pagi-pagi," komentar Eva sambil mendorong bahu Rafa agar menjauh. Dia bangun lalu merapikan rambutnya dan menjepit dengan jedai.Rafa terkekeh pelan sebelum berkata, "Saya serius loh, tapi gagal soalnya kamu keburu bangun. Bukankah menyenangkan, kalau pagi-pagi kita membuat menciptakan suasana romantis? Suami istri suka gitu."Mata Eva melotot mendengar itu. Tidak ingin menanggapi Rafa lebih lanjut, Eva mencoba menghindar. "Gimana kondisi Papa Ardi?" tanya Eva bangkit dari kasur.Terdengar helaan napas dari Rafa. Cukup kecewa karena Eva kembali mengalihkan pembicaraan. Padahal Rafa ingin membicarakan hubungan mereka dari hati ke ha
"Rabu depan Sofyan bakalan main. Apa gue harus ke sana?" gumam Eva sendiri sambil tengkurap di kasur, memperhatikan jadwal Indonesia Masters. Beberapa saat, dia kembali memikirkan percakapan dengan Kausar tadi siang di kantin. "Apa bener kata Kausar? Perasaan gue udah berpaling ke Rafa? Masa sih?"Permasalahannya yang dihadapinya sekarang menjadikan Eva sebagai sosok yang egois dan kurang ajar. Tepatnya, dia bersikap seperti perempuan yang berselingkuh dan mainin perasaan laki-laki. Dia memiliki Rafa sebagai suaminya dan Sofyan sebagai pacarnya. Dulu, Eva ingin melepaskan Rafa ketika Arumi cukup besar atau memiliki seseorang yang bisa menjaganya. Namun, seiring berjalannya waktu, kebersamaan mereka justru membuat Eva terikat. Eva sulit beranjak dari kehidupannya saat ini. Arumi membuat hari-hari Eva lebih menyenangkan dan menantang. Dan Rafa dengan segala kebaikan dan ketulusannya membuat Eva perlahan membuka cela di hati untuk dimasuki oleh Rafa. 'Lalu bagaimana dengan Sofyan?'Sua
"Va, hubungan lo sama Sofyan nggak baik-baik aja 'kan?" celetuk Kausar mengalihkan pandangan dari layar hp ke Eva.Gadis itu tidak menjawab. Kausar yakin Eva mendengarnya. Terlihat jelas gerakan Eva yang hendak mengambil saus sambal seketika terhenti."Eva, woy!" Eva menyambar botol saus dengan cepat. "Sok tau!"Kausar berdecak lalu memperlihatkan room chat antara dirinya dengan Sofyan kepada Eva. "Udah semingguan lebih, dia terus nanyain lu ke gue.""Kangen sama o kali, tapi nggak ada topik makanya nanyain gue," kilah Eva. Bakso di mangkuknya tidak menarik lagi. Kini pikirannya kembali tertuju pada Sofyan. Sejak tahu perkara kecelakaan yang dialami abangnya, Eva memutuskan untuk menjaga jarak dari Sofyan. Bukan karena membenci laki-laki itu, tapi Eva mencoba menemukan jawaban dari keinginannya saat ini. Sekaligus memperjelas perasaan cintanya tertuju pada siapa. Eva berpikir mencoba melepas pikiran dari Sofyan mungkin membuatnya bisa menentukan pilihannya dengan tepat. Sebab, sela