"Artinya, Pak Rafa ingin mengenang kenangan lama bersama Bu Cahaya," gumam Eva.Rafa membuka mata. Dia menelisik ekspresi yang ditunjukkan Eva. Dari cara bicara gadis itu, Rafa menangkap ketidaksukaan Eva jika harus terjerat dalam hubungan Rafa dan Cahaya. Apa itu pertanda Eva cemburu? Jika itu benar, berarti Rafa memiliki harapan untuk menyatukan diri dengan Eva."Kamu nggak suka?" tanya Rafa memancing."Hah? Bukan gitu, Pak Rafa. Maksud saya ... maksud saya tuh ...," kata Eva tergagap. Bingung menemukan kalimat untuk menutupi kelancangan mulutnya yang mungkin menimbulkan kesalahpahaman Rafa."Apa maksud kamu?" tanya Rafa mendesak."Aku hanya berpikir, apa Pak Rafa akan baik-baik saja? Bukannya Pak Rafa bilang belum pernah memasuki rumah itu karena takut kenangan bersama Bu Cahaya akan menyiksa Pak Rafa. Aku hanya khawatirkan itu. Iya, benar. Saya hanya merasa sebaiknya Pak Rafa memikirkan itu lagi. Bagaimana kalau saat tiba di sana, Pak Rafa malah kembali terpuruk?
"Kamu utang penjelasan sama aku! Nggak ikhlas aku kalau kamu nikah diam-diam dan nggak undang-undang aku. Padahal kamu tahu sendiri, aku lebih dulu naksir kamu. Aku benar-benar nggak rela ditinggal nikah Eva!" Pria dengan kaus berkerah, langsung duduk di kursi sambil mengomel panjang."Kamu tuh ya, udah bolos kelas, datang-datang langsung nagih utang, ngomong keras tentang pernikahan. Sekalian aja noh kamu ke ruang penyiaran terus umumkan pernikahan aku," tegur gadis berkemeja putih berbahan jatuh itu yang kini melepas earphone yang sejak tadi menyumpal telinganya. Ketenangan makan siangnya menjadi terganggu oleh kehadiran teman kelasnya."Eva! Dia curang! Masa aku yang naksir kamu, Sofyan yang pacarin kamu, terus dia nikung dan nikahin kamu. Sumpah demi apapun di dunia ini, aku nggak rela." "Mau gimana lagi, dia yang dipilih orangtua aku. Aku bisa apa? Lagipula, jodoh siapa yang tahu, Kausar." Eva mengedikkan bahu kemudian melanjutkan makan."Jadi, kapan kamu putus sama Sofyan? Kok
"Kenapa tiba-tiba nelpon sih? Aku harus gimana?" tanya Eva pada diri sendiri. Dia menimbang-nimbang ponsel di tangannya. Nada panggilan terus berteriak-teriak ingin segera diindahkan."Angkat, nggak ya?" ucap Eva memandangi layar ponsel. Kemudian dia menjatuhkan ke meja. "Kalau aku angkat, aku harus ngomong apa?" Lagi, Eva bertanya.Rasa yang hinggap di hati Eva saat ini, sangat tidak jelas. Panggilan telepon itu sudah dinantikannya sejak bulan lalu saat dia hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat. Terkadang hanya pesan tidak berbalas yang sering Eva jumpai dalam room chat antara dia dan kekasihnya. Eva tahu dan berusaha memahami bahwa Sofyan bukan sengaja mengabaikannya. Tetapi, tuntutan serangkaian latihan dan turnamen yang menghalangi kekasihnya itu untuk memegang ponsel. Dan Eva sudah bersabar akan kesibukan Sofyan. Kali ini, Sofyan menghubunginya. Harusnya Eva merasa senang dan bergegas mengangkat panggilan itu. Bukan malah bingung seperti yang dilakukan E
"Kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu masuk ke dalam telinga Eva dengan lembut. Eva bisa merasakan kekhawatiran dari pertanyaan itu. Dia masih mematung dalam pelukan pria yang berstatus suaminya itu. Dia masih dilingkupi keterkejutan karena dipeluk oleh Rafa secara mendadak di depan Ajeng, ralat, di depan umum."Pak Rafa?" sebut Ajeng dengan raut terkejut juga.Rafa mengurai pelukannya dan memegang lengan Eva. Matanya menyapu dari ujung kaki hingga kepala Eva. "Kamu nggak kenapa-kenapa 'kan?" tanya Rafa lagi. Eva yang bingung, hanya bisa mengangguk. Rafa menghembuskan napas lega dan mendekap Eva kembali."Aku pikir terjadi sesuatu sama kamu. Waktu di telpon, aku dengar ada suara keras. Aku kira kamu kecelakaan. Aku sangat lega melihat kamu. Syukurlah, kamu baik-baik saja."Eva bisa merasakan detakan jantung Rafa yang berdetak cepat. Eva tahu pemicunya tentu rasa khawatir dan kepanikan Rafa. Pelukan Rafa semakin mengerat seiring ucapan syukur yang terus dilontarkannya. Eva sengaja men
"Pak Rafa kehilangan masa kecil ya? Bahagia bener waktu main tadi." Eva menyeletuk saat keluar dari area playground yang bertema Jepang itu. Eva baru tahu ada tempat melepas penat yang super unik di Jakarta Barat. Tidak sia-sia, dia mengikuti Rafa ke tempat itu. Playground ala Jepang yang menawarkan berbagai permainan. Tadi, Eva sempat cosplay jadi tuan putri dan Rafa sebagai pangerannya. Mereka foto berdua untuk pertama kalinya. Eva melihat sisi kekanakan dan keberanian Rafa saat bermain di Fuji Slider. Seorang pria dewasa dengan girangnya main perosotan yang memiliki ketinggian hampir empat meter itu. Ini momen langka yang bisa dilihat Eva hingga ponselnya mengabadikan banyak momen Rafa main perosotan."Bukan karena kehilangan masa kecil, Eva. Saya cuma pengen nostalgia aja, sekaligus melepas lelah dan mumetnya pikiran." Rafa menjawab."Masa kecil, Pak Rafa seperti apa?" tanya Eva penasaran. Dia mendongak untuk melihat wajah yang masih ditinggali jejak keringat. Rafa terlihat mempes
"Pak mana bukunya?"Tanpa mengetuk pintu, Eva menerobos masuk ke dalam kamar Rafa. Bukan bersikap tidak sopan, tetapi pintu kamar itu memang sudah terbuka lebar. Eva berpikir aman-aman saja jika masuk. Rafa yang menyadari kehadiran Eva, langsung menunjuk ke sampingnya tanpa suara. Pria itu tampaknya sedang melakukan rapat online karena sebelah telinga disumpal earphone. Eva mengangguk lalu merangkak di belakang kursi yang diduduki Rafa. Dia tidak ingin menampakkan dirinya di depan rekan-rekan kerja Rafa."Sebentar," ucap Rafa menginterupsi rapat. Terlihat empat orang di dalam layar mengangguk. Mereka mengambil kesempatan itu untuk minum dan merenggangkan ototnya. Rafa mematikan kamera dan membisukan suara. Dia meraih buku Psikologi Komunikasi kemudian bangkit dan mencari Eva."Aduh, Pak!" keluh Eva saat Rafa tanpa sengaja menginjak tangannya. Dia terduduk di lantai sambil meniup-niup tangannya. Dia menegur dengan raut meringis. "Liat-liat dong kalau jalan!" "Ast
"Eva, keluar dong. Hape kamu bunyi terus dari tadi." Suara Rafa diiringi ketukan di pintu membuat Eva melangkah gontai untuk membukakan.Wajah gadis itu menyembul di celah pintu. Tidak ada lagi rona merah setelah dia merendam wajah di wastafel. Cukup ampuh untuk meredakan perasaannya yang tidak jelas."Siapa yang telpon, Pak?" tanya Eva mengeluarkan tangannya dari kamar mandi. Dia meminta ponsel miliknya yang dipegang Rafa."Kamu nggak ada niat keluar dari sana? Mau tidur di kamar mandi?" tanya Rafa dengan nada menyindir."Nggak mau, Pak. Mana bisa saya tidur di kamar mandi. Nggak ada kasur. Saya juga masih mau kerja tugas," balas Eva. "Hape saya, Pak!" "Keluar dulu, baru saya berikan!" Rafa menjauh dari kamar mandi dan mengambil laptop Eva. Dia mengecek tugas Eva yang belum rampung.Eva menghela napas kemudian keluar. Dia berdiri di dekat Rafa sembari mengulurkan tangan. "Pak, hape saya, siniin.""Eva, kenapa nggak bilang kalau hape kamu rusak parah begini? Layarnya udah hitam sebagi
"Eva, aku mendengar suara laki-laki. Dia siapa?" tanya Sofyan.Eva menelan ludah dengan susah. Bagaimana dia menjawabnya? Dia belum bisa jujur saat ini. Memberitahu Sofyan sekarang, bukan waktu yang tepat. Apalagi mereka terpisah oleh jarak. Kalaupun Eva ingin jujur, harus dikatakan secara langsung, bukan melalui telepon. Eva tidak ingin menjadi pengecut."Uhm, itu suara ... ah, suara Kakak aku. Hari ini, aku pulang ke Jogja. Waktu libur, aku nggak sempat pulang. Kebetulan selama tiga hari, jadwal kuliah aku kosong, jadi aku balik dulu. Papa sama mama udah manggil-manggil terus. Nggak enak 'kan kalau orangtua yang panggil pulang, tapi aku kekeh tinggal di sini. Nanti berkah dari mereka bisa hilang." Eva berdalih, kemudian meminta maaf dalam hati. Dia sudah berbohong demi menutupi statusnya sebagai istri dari pria menyebalkan yang berada di luar kamar mandi. Dosanya semakin banyak saja sejak menikah dengan Rafa. Lebih parahnya, Eva harus membawa orangtua dan kakaknya dalam omong kosongn