Share

BAB 3 Semakin Menjadi

"Dek, kamu ga kenapa-kenapa kan?" Mas Rama sudah datang dan menghampiri tubuhku dengan khawatir.

"Sakit mas!" rintihku dengan tangan melingkar diperutku.

"Mas bersiap dulu ya dek!" mas Rama kini mulai sibuk berganti baju.

"Kenapa Ram? Pulang cepat ya?" suara ibu mertua menyapa mas Rama di dapur.

"Hana sakit perut Ma, dari semalam!" tutur mas Rama.

"Biasa itu, mama juga sering sakit perut" ucap ibu mertuaku.

"Tapi Hana lagi hamil Ma, emang biasa sakit perut gitu kalau hamil"

"Iya biasa itu, nanti juga sembuh sendiri" jawab ibu mertuaku yang kemudian berlalu pergi. Mas Rama menghampiri ku lagi yang sekarang masih duduk di kasur.

Beberapa posisi aku coba agar mengurangi rasa sakit di perut seperti yang aku lakukan saat datang bulan.

"Dek, mas udah siap ayo kita periksa dulu kalau masih sakit!" Ajak mas Rama padaku.

Beberapa kali aku menolak, karena mungkin benar kata ibu mertuaku tadi, sakit perut saat hamil mungkin hal biasa di alami oleh orang yang sedang hamil.

"Mas khawatir dek, mending kita periksa biar tau, nanti sekali USG bayinya" bujuk mas Rama membantuku berdiri.

Setelah beberapa kali ajak mas Rama akhirnya aku menyetujui untuk di periksa dahulu.

Aku pun dibawa langsung ke puskesmas, dan ternyata kabar mengejutkan dari dokter.

Bahwa aku keguguran, dan janin di dalam rahim ku harus segera di ambil agar tidak terjadi komplikasi penyakit lain.

"Kandungan nya sudah tidak bisa ditolong dengan obat penguat kandungan, janin di dalam kandungan memang seutuhnya belum membentuk, tapi ada beberapa gumpalan darah yang harus kita kuret!" Ucap dokter kandungan.

Aku hanya diam, tak bahagia dan juga tak sedih, larut dalam pikiran buruk.

***

Seharian aku di puskesmas, beberapa resep obat di berikan.

"Habis ini harus istirahat dulu ya Bu, banyak-banyak minum air putih dan kalau bisa untuk beberapa hari ini benar-benar jangan melakukan aktivitas apapun. Istirahat saja dalam waktu penuh untuk pemulihan dan mengembalikan kebugaran tubuh!" dokter menyarankan dengan penuh perhatian.

Suamiku hanya mengangguk lesuh, sampai dirumah ia meminta ku untuk berisitirahat, dan menyuapi ku beberapa suap nasi agar aku bisa segera meminum obat.

"Dek, kamu harus istirahat penuh ya, ingatkan kata dokter tadi!" mas Rama sambil membuka plastik obat

"Iya mas ingat kok."

Sementara mertua ku memilih untuk tidak peduli padaku atau sekedar bertanya tentang kehamilan ku saja ia enggan.

Ada tetangga di sebelah rumah sedang menjenguk.

"Wahh Rama sebentar lagi akan menjadi seorang bapak!" ucapnya dengan tulus dan penuh dukungan.

"Belum Bu, kandungan Hana lepas" mas Rama dengan ekspresi sedih bercerita.

"Bagaimana ga keguguran kalau semua makanan larangan dimakan, bahkan sampai minuman bersoda dan keras selalu di minum." kali ini ibu mertuaku menyahut.

Nyuttt.

Lagi-lagi perasaan pedih di hati itu datang lagi.

Aku jadi teringat dengan minum obat yang ibu mertua ku beri, ku baca komposisi yang tertera di botol dan benar saja bertuliskan dilarang untuk dikonsumsi oleh ibu hamil.

Terdiam sejenak, lantas kenapa ibu mertua memberi banyak minuman ini? Jika dia sudah tau kalau seorang ibu hamil tak bisa mengonsumsi minuman tersebut.

Sialnya aku tak sempat membaca terlebih dahulu sebelum meminum nya, belum sempat berbagi cerita bahagia pada ibu kandung ku tentang kehamilan ku, namun belum juga berbentuk janin ku harus dilepaskan dalam rahim ku.

Aku menangis sejadi-jadinya, ingin rasanya berteriak karena merasa sakit kehilangan, namun ku tahan agar tak menimbulkan suara dan didengar oleh banyak orang. Begitu menyakitkan hidup ini karena harus dihadapkan dengan berbagai ujian.

Ibu mertua, suami dan tetangga ku masih mengobrol di luar, sengaja aku terus di kamar karena tak Sudi melihat mertua ku yang baru saja membuat kecelakaan pada anakku.

***

Esok harinya.

"Punya menantu pemalas bisa nya cuma makan tidur, udah kayak ratu aja di rumah orang!"

Teriakan itu berasal dari dapur, yang tak lain adalah suara ibu mertua ku. Kebiasaan buruk ditempat ini adalah pagi-pagi ibu-ibu sudah berkumpul hanya untuk mendengarkan satu gosip dan satu aib dari orang lain.

Aku tau kalimat ibu tadi untuk ku, tapi demi menyelamatkan diri ini dari komplikasi setelah dikuret aku memilih tetap di kamar dan bersikap diam dan acuh pada mertuaku.

Ingin ku keluh kan semua kesedihan yang aku alami hari ini, namun aku tidak memiliki tempat untuk bercerita tanpa takut di pojokan.

Jika aku bercerita dengan suami ku, aku takut di bilang menantu durhaka. Jika, aku bercerita pada ibu ku aku takut ibu meminta ku untuk pulang dan bercerai, sebab tidak ada orang tua yang rela anak yang tak pernah sekalipun ia sakiti harus menerima kejahatan dari orang lain.

Aku menahan tangis sendirian di kamar, sebab mas Rama harus kerja dan tak boleh libur kecuali sudah terjadwal.

Dari awal menikah dan bertemu dengan mertua aku sudah sedikit merasa tak nyaman karena dari pandangan matanya saja sudah bisa menunjukkan ketidaksukaan terhadap ku. Beberapa orang pun pernah mengatakan hal yang sama tentang itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status