"Dek, kamu ga kenapa-kenapa kan?" Mas Rama sudah datang dan menghampiri tubuhku dengan khawatir.
"Sakit mas!" rintihku dengan tangan melingkar diperutku.
"Mas bersiap dulu ya dek!" mas Rama kini mulai sibuk berganti baju.
"Kenapa Ram? Pulang cepat ya?" suara ibu mertua menyapa mas Rama di dapur.
"Hana sakit perut Ma, dari semalam!" tutur mas Rama.
"Biasa itu, mama juga sering sakit perut" ucap ibu mertuaku.
"Tapi Hana lagi hamil Ma, emang biasa sakit perut gitu kalau hamil"
"Iya biasa itu, nanti juga sembuh sendiri" jawab ibu mertuaku yang kemudian berlalu pergi. Mas Rama menghampiri ku lagi yang sekarang masih duduk di kasur.
Beberapa posisi aku coba agar mengurangi rasa sakit di perut seperti yang aku lakukan saat datang bulan.
"Dek, mas udah siap ayo kita periksa dulu kalau masih sakit!" Ajak mas Rama padaku.
Beberapa kali aku menolak, karena mungkin benar kata ibu mertuaku tadi, sakit perut saat hamil mungkin hal biasa di alami oleh orang yang sedang hamil.
"Mas khawatir dek, mending kita periksa biar tau, nanti sekali USG bayinya" bujuk mas Rama membantuku berdiri.
Setelah beberapa kali ajak mas Rama akhirnya aku menyetujui untuk di periksa dahulu.
Aku pun dibawa langsung ke puskesmas, dan ternyata kabar mengejutkan dari dokter.
Bahwa aku keguguran, dan janin di dalam rahim ku harus segera di ambil agar tidak terjadi komplikasi penyakit lain.
"Kandungan nya sudah tidak bisa ditolong dengan obat penguat kandungan, janin di dalam kandungan memang seutuhnya belum membentuk, tapi ada beberapa gumpalan darah yang harus kita kuret!" Ucap dokter kandungan.
Aku hanya diam, tak bahagia dan juga tak sedih, larut dalam pikiran buruk.***
Seharian aku di puskesmas, beberapa resep obat di berikan. "Habis ini harus istirahat dulu ya Bu, banyak-banyak minum air putih dan kalau bisa untuk beberapa hari ini benar-benar jangan melakukan aktivitas apapun. Istirahat saja dalam waktu penuh untuk pemulihan dan mengembalikan kebugaran tubuh!" dokter menyarankan dengan penuh perhatian. Suamiku hanya mengangguk lesuh, sampai dirumah ia meminta ku untuk berisitirahat, dan menyuapi ku beberapa suap nasi agar aku bisa segera meminum obat. "Dek, kamu harus istirahat penuh ya, ingatkan kata dokter tadi!" mas Rama sambil membuka plastik obat "Iya mas ingat kok." Sementara mertua ku memilih untuk tidak peduli padaku atau sekedar bertanya tentang kehamilan ku saja ia enggan. Ada tetangga di sebelah rumah sedang menjenguk. "Wahh Rama sebentar lagi akan menjadi seorang bapak!" ucapnya dengan tulus dan penuh dukungan. "Belum Bu, kandungan Hana lepas" mas Rama dengan ekspresi sedih bercerita. "Bagaimana ga keguguran kalau semua makanan larangan dimakan, bahkan sampai minuman bersoda dan keras selalu di minum." kali ini ibu mertuaku menyahut. Nyuttt.Lagi-lagi perasaan pedih di hati itu datang lagi.
Aku jadi teringat dengan minum obat yang ibu mertua ku beri, ku baca komposisi yang tertera di botol dan benar saja bertuliskan dilarang untuk dikonsumsi oleh ibu hamil.
Terdiam sejenak, lantas kenapa ibu mertua memberi banyak minuman ini? Jika dia sudah tau kalau seorang ibu hamil tak bisa mengonsumsi minuman tersebut.
Sialnya aku tak sempat membaca terlebih dahulu sebelum meminum nya, belum sempat berbagi cerita bahagia pada ibu kandung ku tentang kehamilan ku, namun belum juga berbentuk janin ku harus dilepaskan dalam rahim ku. Aku menangis sejadi-jadinya, ingin rasanya berteriak karena merasa sakit kehilangan, namun ku tahan agar tak menimbulkan suara dan didengar oleh banyak orang. Begitu menyakitkan hidup ini karena harus dihadapkan dengan berbagai ujian. Ibu mertua, suami dan tetangga ku masih mengobrol di luar, sengaja aku terus di kamar karena tak Sudi melihat mertua ku yang baru saja membuat kecelakaan pada anakku. *** Esok harinya. "Punya menantu pemalas bisa nya cuma makan tidur, udah kayak ratu aja di rumah orang!"Teriakan itu berasal dari dapur, yang tak lain adalah suara ibu mertua ku. Kebiasaan buruk ditempat ini adalah pagi-pagi ibu-ibu sudah berkumpul hanya untuk mendengarkan satu gosip dan satu aib dari orang lain.
Aku tau kalimat ibu tadi untuk ku, tapi demi menyelamatkan diri ini dari komplikasi setelah dikuret aku memilih tetap di kamar dan bersikap diam dan acuh pada mertuaku. Ingin ku keluh kan semua kesedihan yang aku alami hari ini, namun aku tidak memiliki tempat untuk bercerita tanpa takut di pojokan. Jika aku bercerita dengan suami ku, aku takut di bilang menantu durhaka. Jika, aku bercerita pada ibu ku aku takut ibu meminta ku untuk pulang dan bercerai, sebab tidak ada orang tua yang rela anak yang tak pernah sekalipun ia sakiti harus menerima kejahatan dari orang lain. Aku menahan tangis sendirian di kamar, sebab mas Rama harus kerja dan tak boleh libur kecuali sudah terjadwal. Dari awal menikah dan bertemu dengan mertua aku sudah sedikit merasa tak nyaman karena dari pandangan matanya saja sudah bisa menunjukkan ketidaksukaan terhadap ku. Beberapa orang pun pernah mengatakan hal yang sama tentang itu.Malam ini, ku lihat tidak ada siapa-siapa dirumah, syukurlah setidaknya satu beban itu hilang. Belum lama kedatangan ku suamiku juga pulang."Dek ini makanan favorit kamu bakso, tadi mas mampir ke warung dan membeli ini untuk kamu." Aku hanya tersenyum, suamiku mengambil mangkok di dapur dan meminta ku untuk tetap makan dan berisitirahat di kamar saja. Salah satu kekuatan terbesar seorang wanita yang sudah menikah adalah suaminya tetap memuliakan istrinya dan menjadi rumah ternyaman untuk istrinya. Aku bersyukur punya suami yang selalu peduli pada hal kecil sekali pun tentang aku. Ku coba sedikit menguat kan hati agar bersabar, mungkin harus beradaptasi dengan sikap mertuaku dan terbiasa dengan ucap-ucapannya. Suami ku selalu sibuk bekerja tak ada waktu untuk aku bercerita sedikit tentang perasaan sedih ku. Sementara di ruang tengah, ibu mertua sibuk menelpon. "Vik itu istrinya Rama pelitnya ga ketolongan ada makanan, makan sendiri. Sampe mama masuk kamar nya itu banyak ba
"Padahal udah nyiapin baju banyak, kirain mau nginap seminggu." ucapku yang merasa sedikit sedih. "Ya gimana dek besok harus datang, pekerjaan mas penting demi kita." Aku hanya menarik nafas panjang, tak menjawab karena sedikit kesal dengan bos mas Rama, yang selalu meminta mas Rama kerja di luar jam kerjanya atau lembur. "Gapapa nak, lain kali nginap lagi, ibu juga ga jauh dari kamu," ucap ibuku menenangkan. "Tapi Bu, Hana cuma mau nginap sama ibu, Hana rindu sama ibu!" terangku membantah. "Han, ini kan udah ketemu, kalau sudah jadi istri kamu harus patuh sama suami kamu, lain kali nginap lagi." Aku sedikit kecewa dengan perkataan ibu yang meminta ku untuk pulang. Apa ibu mengusir ku atau terusik dengan kedatangan ku? Tapi yang jelas ibu hanya ingin hubungan aku dan suami ku tetap baik-baik. Dengan berat hati terpaksa harus kembali pulang ke rumah mertua ku. "Mas pergi lagi ya dek, nanti kalau pulang mas kabarin, soalnya mas jadi orang penting untuk proyek ini." "Ma
"Masak apa Bu?" tanyaku pada ibu mertua, yang sibuk memotong daging ayam. "Masak ayam, kamu bisa masak gak?" tatapannya meremehkan ku. "Bisa Bu!" aku tersenyum. "Tapi sepertinya orang kayak kamu ga bisa masak sih!" jawabnya memalingkan muka setelah menyunggingkan senyum sombong. Tak ingin berdebat atau merasa hebat, aku berlalu meninggalkan ibu mertua sendiri di dapur. Sebegitu garing nya candaan mertuaku, membuat aku sering merasa tersinggung setiap kali mencoba berbicara dengannya. Aku pergi keluar, ku dapati mas Rama baru pulang. "Dek, maaf ya kalau mas sibuk terus!" ucap mas Rama dengan tulus. "Iya mas ga masalah kok." ku balas dengan senyuman. "Kamu belakangan ini tampak kurus, kamu jarang makan ya?" mas Rama memperhatikan bentuk tubuhku sekilas. "Ga mas, aku makannya banyak kok" "Syukurlah, mas kira kamu diet." mas Rama tertawa lembut. "Mas Dea dulu nikah sama Bagas berapa lama agar punya rumah?" aku mengalihkan topik pembicaraan masih penasaran dengan Dea ipar suamik
Esoknya setelah sekian jam tidur, aku bangun terlebih dahulu mandi dan sholat malam. Lanjut bersih-bersih rumah, semua pekerjaan rumah aku lakukan sebelum mertuaku bangun. "Mas bangun ayo sholat! udah mau subuh." pintaku pada mas Rama. "Iya dek, Masya Allah istriku rajin banget." mas Rama menyunggingkan senyum dengan tangan mencubit hidung ku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, saat sibuk menyapu ruang dapur ku dapati ibu mertua ku, yang tidak seperti biasanya bangun di waktu seperti ini. "Hana, sini nak keluar dulu!" suara ibu mertua memanggil ku, suaranya begitu lembut tidak seperti biasanya yang selalu berteriak padaku. "Kenapa Bu?" aku keluar kamar dan menghampiri ibu mertuaku yang sudah berada diruang tengah. "Nanti Vika pulang sama Dea! jadi kamu tolong masaknya dibanyakin, dan kepasar beli semua perlengkapan memasak di pasar!" ia menyodorkan kertas padaku. "Baik Bu, nanti Hana akan masak!" jawabku dengan tersenyum tulus berharap ibu juga membalasnya. "Oh i
Waktu berjalan teras cepat, menunjukkan bahwa hari sudah sore."Udah sampai aja, Mama dari tadi nungguin kalian loh!" Ucap ibu mertua."Ini makan dulu, pasti kalian lapar kan?!" ibu mertuaku dengan antusias menghidangkan makanan pada mereka."Ini ibu masakkan spesial buat kalian!" sambung ibu mertua ku.Aku yang dari tadi ingin keluar dari kamar namun sedikit ragu menemui mereka, karena aku takut dihujat dan dipermalukan didepan mereka."Dek, ayo keluar! ketemu sama Vika dan Bagas!" ajak mas Rama yang masuk ke kamar.Aku menurut dan mengiringi mas Rama."Ini kakak iparku ya?" Tanya Vika yang menyalamiku begitupun dengan Bagas, Dea, pun Zian."Ayo makan kak!" Ajak Dea padaku, ia begitu cantik membuat aku merasa minder, bagaimana tidak tampilan nya yang modis dengan rambut pirang dan aksesoris ala Korea model kekinian membuat aku terpukau dengan gayanya.Sedangkan Vika tak kala bergaya dari Dea, memakai bulu mata tanam dan alis yang sudah disulam membuat ia tak kalah begitu modis, berb
Ocehan ibu mertua dan anaknya membuat aku tertunduk lesuh, aku malu pada Dea jika ia percaya dengan semua ungkapan ibu mertua. Akan kah Dea juga ikut mengompori mertuaku agar terus menghinaku? Beberapa suap nasi terasa hambar bagiku, yang ku dapati hanya minyak di mangkok besar bekas wadah masakan ku tadi. Aku hanya menyuap nasi, menahan air mata agar tak berjatuhan karena ucapan mertuaku dan iparku. "Ma, besok jadikan kondangan dirumah Adit?" tanya Dea mengalihkan. "Jadi dong, Mama udah siapin baju couple buat kita! soalnya kamu tau sendiri kan calon Adit itu janda kaya. Jadi, Mama ga mau pakai baju biasa, ga mau ketinggalan jaman!" kemudian ibu mertuaku tertawa riang. "Kak aku pinjam heels mu ya! soalnya aku kelupaan buat bawa!" Vika menyambung obrolan. Sementara aku sedari tadi hanya menyimak, sambil menyuap nasi saja. "Tapi Mama tau kan model kekinian?" tanya Dea "Tau dong, Mama kan pesan sama orang yang mahir dalam menjahit!" ucap ibu mertuaku dengan bangga. "He
Sesi pemotretan pun di mulai semua ahli keluarga berpartisipasi dalam pemotretan tersebut. "Ayo semuanya ngumpul, kita foto bareng!" seru mempelai wanita. "Tolong dong Kak, fotoin kita!" pinta Dea padaku. Segera aku meraih ponsel miliknya, mataku terpukau dengan alat canggih miliknya."Cepat fotoin, jangan halu punya hp kayak gitu!" ibu mertuaku setengah berbisik saat melewati ku dan kemudian dia ikut serta berbaris untuk berfoto-foto.Aku tertegun dengan ucapan mertuaku, mataku memerah menahan bulir tangis, beberapa kali aku mengusap mata ini agar tak satu orang pun tau jika aku sedang tidak baik baik saja."Sini kak gantian kak Han dulu yang foto!" Dea menghampiriku dan mengambil alih ponselnya.Saat sedang merapat dibarisan, ibu mertuaku malah menghentikan acara pengambilan gambar."Cukup ya, keluarga kita udah foto kami pamitan pulang ya!" ucapnya pada kedua mempelai."Dek, ayo foto kamu kan dari tadi sibuk motoin terus!" ajak mas Rama melambaikan tangannya."Mas!" ucapku denga
Sampai dirumah kudapati rumah berantakan dan tumpukan piring kotor yang belum dibersihkan. Aku menelan salipah, ingin mengerjakan segalanya tapi mengingat kondisi tubuhku yang semakin melesuh membuat aku tak sanggup mengerjakan tugas rumah. Kepalaku di landa pusing, dan badanku terasa pegal-pegal. "Dek, sini mas check suhu tubuhmu!" mas Rama memegang termometer digital dan memasukkan alat tersebut ke mulutku. "45 derajat! panas sekali badanmu dek, sini kamu istirahat saja dulu! mas beli obat di apotik!" terang mas Rama sembari menyelimuti tubuhku. Mas Rama berlalu pergi keluar membelikan aku obat seperti biasanya, saat demam aku selalu tak ingin dibawa ke puskesmas atau ketempat praktek bidan, alasan cukup lucu karena aku sangat takut jarum suntik. Belum lama kepergian mas Rama keluarganya menyusul masuk rumah. "Nanti kita pajang di ruang tengah!" ucap Ibu mertuaku. Karena kepalaku merasa pusing yang sangat hebat membuat aku tak mampu berdiri untuk bergabung bersama mere
"Mas kapan beli perlengkapan bayi? sekarang sudah mau mendekati hari perkiraan lahir!" ucapku pada mas Rama yang sibuk bermain ponsel. "Sabar, jangan terburu-buru! sekarang mas lagi tak punya uang!" Bagai petir di siang bolong ucapan mas Rama membuat badan bergetar hebat, bagaimana mungkin seorang mas Rama pekerja proyek yang digaji jutaan rupiah bahkan puluhan juta itu berkata tak punya uang. "Pakai uang tabungan dulu mas! kasian anak kita ntar lahir ga pakai baju!" "Mas bilang sabar ya sabar. Lagian bayi pun belum lahir nunggu saja kau tak bisa!" Betapa geram hati ini, mendengar perkataan mas Rama ia begitu berubah tak semestinya karena kehamilan ini juga atas permintaannya padaku. Jika tau begini mana mungkin aku mau mengandung benih darinya. "Mas punya kebutuhan yang lain dek, jadi sabar nanti mas sediakan keperluan anak kita!" "Sabar aja dulu lagian anak itu kan belum lahir!" ucap mas Rama lagi. Aku hanya mengusap dada, menahan sabar, selain menjaga mentalku aku j
Bulan demi bulan aku lalui hingga perutku sedikit membuncit menampakkan bahwa Hana tengah hamil. "Aku sudah muak melihat tingkah lakumu, jangan mentang-mentang kamu hamil kamu selalu bermalas-malasan begini!" ucap ibu mertua yang mengedor pintu kamar Hana. Tanpa memperdulikan ibu mertuanya justru Hana sibuk memainkan ponselnya mencari cara agar secepatnya ia menghasilkan uang agar nanti ia bisa menghidupi anaknya tanpa harus bergantung pada suaminya. "Hana apa kamu tuli? Ibu memanggil mu dari tadi! cepat bangun dan datangi ibu! jangan pemalas seperti ini!" ucap mas Rama yang juga ikut mengguncang tubuh Hana yang sibuk bermain hp membelakanginya. "Kaki ku kram, ototku mengencang aku tak ingin bekerja berat, aku lagi hamil!" "Selalu saja hamil menjadi alasanmu, apa kamu tak tau jika ibuku juga pernah hamil!" mata mas Rama menajam bahkan tangannya bergerak begitu kuat menarik Hana. Semasa kehamilan Hana hingga sekarang ia sama sekali tak berisitirahat menunaikan tugas rumah. Dan ta
Seharian aku dikurung di kamar menunggu pintu kamar terbuka agar bisa keluar dari neraka mewah ini."Hei, Hana kamu jangan bego! kamu pikir dengan kamu kabur dari rumah kamu bisa bebas? justru semakin memperkeruh suasana." ucap ibu mertuaku yang membuka pintu kamar."Kamu harus sadar diri, harus tau posisi kamu disini! kamu itu hanya wanita miskin yang beruntung menjadi istri anakku. Seharusnya kamu patuh sama suamimu, apa dengan kabur dari sini hidupmu akan bersinar? tentu saja itu tidak mungkin" sambungnya lagi."Kemasi kembali barangmu, jangan bikin malu aku dan anakku! atau jika benar kamu ingin pergi sekalian saja kamu minta cerai dengan Rama. Dia sama sekali tak akan menyesal pisah dengan wanita kampung sepertimu!"Aku hanya menghela nafas, mulutku terasa kaku, bingung antara harus tetap diam atau menjawab perkataan ibu mertuaku. Setelah menikah aku pikir aku bisa mencapai titik bahagia itu, tapi ternyata aku harus banyak berlapang dada menghadapi satu persatu ujian rumah tangg
Saat diriku ingin bersembunyi didalam kamar, tapi aku tertangkap basah oleh Vika. "Ini orangnya, dari mana kamu?" tanya Vika membuat semua pasang mata menatap tajam kearah ku. "Nganterin makanan buat mas Rama!" jawabku kemudian ingin berlalu masuk kamar. "Mana mungkin Rama mau makanan dari rumah, makannya kan ditanggung proyek setempat, biasanya juga mereka catering makan enak-enak. Ga mungkin banget kalo Hana ngantar makanan buat Rama." timbal Vika. "Paling nganter ke rumah ibunya, mungkin ibunya udah kehabisan beras kali. Makanya saat kita ga ada dirumah dia buru-buru masakin!" sahut ibu mertuaku. "Ibunya kerja apa sih Bu?" tanya salah satu tetangga. "Jual badan, mungkin." timpal salah satunya. Aku menarik nafas panjang, membuka pintu kamar dengan keras, menghampiri sekumpulan ibu-ibu di teras dapur. "Enak aja, Ibuku ga serendah itu Bu tolong kalau ngomong mulutmu dijaga!" aku mengepalkan tangan ingin sekali ku tampar wanita tua yang membicarakan ibuku barusan. "Sia
Sebulan kemudian."Mas kamu suka kopi kan?" aku menyuguhkan secangkir kopi pada mas Rama. Akhir akhir ini aku memang jarang menyuguhkan kopi padanya, selain karena kesibukan masing masing juga karena mas Rama di pagi buta sudah berangkat kerja hingga kadang lupa meminum kopi buatanku."Suka dek, tapi mas ga bisa kalau terusan minum kopi, soalnya asam lambung mas sering naik. Kadang kambuh saat mas sedang sibuk dengan kerjaan sampai di marahin bos dibilang alasan belaka." mas Rama menyeruput kopi yang masih panas, iya dia penikmat kopi pahit dan panas."Kalau lagi kerja terus kamu sakit, izin aja mas. Biar aku bisa ngerawat mas. Urusan kerjaan bisa di kerjakan nanti yang penting kesehatan nomor satu!" aku memperingati mas Rama dan kemudian mendekatinya dan memijat bahunya. "Kamu baik banget dek, mas jadi makin cinta sama kamu." mas Rama menyium telapak tangan ku."Mas berangkat dulu ya, kamu jaga diri baik-baik!"Aku mengantar mas Rama tepat di depan pintu gerbang, akhir-akhir ini hat
Karena khawatir aku mengalihkan, permasalahan Vika dan Zian, aku berdalih keluar dan ingin memberikan uang pada Vika sesuai nominasi yang ia minta tadi."Vika!" aku berteriak memanggil Vika agar Zian dan ia berhenti bertengkar diruang tamu."Kak, Vika ada di kamar lagi istirahat." jawab Zian yang menunduk, seperti menutupi sesuatu, padahal aku sudah tau walau tak menyaksikan dengan mata langsung."Tolong kasi ini ke Vika ya, katanya tadi Vika mau uang 100 ribu." aku menyodorkan uang kertas bernominal 100 ribu itu pada Zian."Makasi kak, nanti aku berikan ke Vika." Zian menyunggingkan senyum ragu padaku.Tak ingin berlama aku pun kembali ke dapur,"Semoga Vika ga kenapa-kenapa kasian juga dengannya."batinku berbisik, Kemudian ku kerja kan semua tugas dapur, karena sudah tentu jika satupun yang kurang atau belum terselesaikan aku pasti bakal di cap menantu pemalas oleh ibu mertuaku."Dek, mas pulang," suami ku mas Rama mengagetkan ku, ia tiba-tiba saja memeluk ku dari belakang, membuat
Hari adalah hari dimana Bagas, istri dan anaknya kembali ke kota. "Ini Ma, uang buat beli kebutuhan dapur!" Dea memberikan uang merah dalam jumlah banyak. "Ga perlu Dey, ini untuk anak kamu beli susu, Mama masih ada uang." ibu mertua menolak dengan kaku. "Ambil aja Ma, nanti kalau aku dapat bonus, bakalan aku kirimin lagi deh." Dea kembali menyodorkan uang tadi. Ibu mertuaku tersenyum semeringai, bak putri yang dilamar pangeran. Saat berpamitan pulang Dea juga memberikan sejumlah uang kepada ku. "Ga usah Dey, makasi." aku menolak tak enak, padahal suamiku adalah anak yang paling tua seharusnya kami lah yang memberi mereka uang, terlebih lagi Dea dan Bagas juga memiliki anak. Berbeda dengan ku yang saat ini belum melahirkan anak. "Ambil aja kak, rezeki jangan di tolak!" Dea tersenyum manis memberikan lembaran uang merah. Aku mengangguk dan mengambil uang yang Dea berikan tak lupa kami berpelukan. "Semangat ya kak, semoga nanti diberi rezeki biar cepat mengasingkan diri."
Sampai dirumah kudapati rumah berantakan dan tumpukan piring kotor yang belum dibersihkan. Aku menelan salipah, ingin mengerjakan segalanya tapi mengingat kondisi tubuhku yang semakin melesuh membuat aku tak sanggup mengerjakan tugas rumah. Kepalaku di landa pusing, dan badanku terasa pegal-pegal. "Dek, sini mas check suhu tubuhmu!" mas Rama memegang termometer digital dan memasukkan alat tersebut ke mulutku. "45 derajat! panas sekali badanmu dek, sini kamu istirahat saja dulu! mas beli obat di apotik!" terang mas Rama sembari menyelimuti tubuhku. Mas Rama berlalu pergi keluar membelikan aku obat seperti biasanya, saat demam aku selalu tak ingin dibawa ke puskesmas atau ketempat praktek bidan, alasan cukup lucu karena aku sangat takut jarum suntik. Belum lama kepergian mas Rama keluarganya menyusul masuk rumah. "Nanti kita pajang di ruang tengah!" ucap Ibu mertuaku. Karena kepalaku merasa pusing yang sangat hebat membuat aku tak mampu berdiri untuk bergabung bersama mere
Sesi pemotretan pun di mulai semua ahli keluarga berpartisipasi dalam pemotretan tersebut. "Ayo semuanya ngumpul, kita foto bareng!" seru mempelai wanita. "Tolong dong Kak, fotoin kita!" pinta Dea padaku. Segera aku meraih ponsel miliknya, mataku terpukau dengan alat canggih miliknya."Cepat fotoin, jangan halu punya hp kayak gitu!" ibu mertuaku setengah berbisik saat melewati ku dan kemudian dia ikut serta berbaris untuk berfoto-foto.Aku tertegun dengan ucapan mertuaku, mataku memerah menahan bulir tangis, beberapa kali aku mengusap mata ini agar tak satu orang pun tau jika aku sedang tidak baik baik saja."Sini kak gantian kak Han dulu yang foto!" Dea menghampiriku dan mengambil alih ponselnya.Saat sedang merapat dibarisan, ibu mertuaku malah menghentikan acara pengambilan gambar."Cukup ya, keluarga kita udah foto kami pamitan pulang ya!" ucapnya pada kedua mempelai."Dek, ayo foto kamu kan dari tadi sibuk motoin terus!" ajak mas Rama melambaikan tangannya."Mas!" ucapku denga