Waktu berjalan teras cepat, menunjukkan bahwa hari sudah sore.
"Udah sampai aja, Mama dari tadi nungguin kalian loh!" Ucap ibu mertua. "Ini makan dulu, pasti kalian lapar kan?!" ibu mertuaku dengan antusias menghidangkan makanan pada mereka. "Ini ibu masakkan spesial buat kalian!" sambung ibu mertua ku. Aku yang dari tadi ingin keluar dari kamar namun sedikit ragu menemui mereka, karena aku takut dihujat dan dipermalukan didepan mereka. "Dek, ayo keluar! ketemu sama Vika dan Bagas!" ajak mas Rama yang masuk ke kamar. Aku menurut dan mengiringi mas Rama. "Ini kakak iparku ya?" Tanya Vika yang menyalamiku begitupun dengan Bagas, Dea, pun Zian. "Ayo makan kak!" Ajak Dea padaku, ia begitu cantik membuat aku merasa minder, bagaimana tidak tampilan nya yang modis dengan rambut pirang dan aksesoris ala Korea model kekinian membuat aku terpukau dengan gayanya. Sedangkan Vika tak kala bergaya dari Dea, memakai bulu mata tanam dan alis yang sudah disulam membuat ia tak kalah begitu modis, berbeda dengan aku yang beli skincare 200k aja mikirnya sampai 100 kali. "Hana mah udah makan dari tadi. " jawab ibu mertuaku yang membuat aku mengurungkan niat untuk ikut makan bersama iparku. "Ini Dea makan yang banyak ya, kamu kan punya anak harus banyak makan." Ibu mertuaku menyodorkan sepiring nasi kepada Dea. Air mata ku rasanya ingin berjatuhan melihat adegan manis antara mertua dan menantu yang sangat indah didepan mataku. Aku memilih berpaling dan masuk ke kamar, tak tahan menahan bulir demi bulir air mata. "Hana dari tadi makan martabak manis ga ngasi Mama, bukan karena Mama pengen minta tapi ya sama mertua masa pelit, setiap jajan disembunyikan dari Mama, takut banget Mama minta. Padahal sama orang tua loh!" ucapan ibu mertuaku terdengar dikamar. "Kak Hana pelit ya ma?" Tanya Vika. "Pelitnya minta ampun, tiap hari jajan terus, padahal ga kerja ngabisin duit suami dan satu lagi setiap makanan selalu dibawa ke kamar ga pernah mau bagi-bagi padahal makanan murahan!" jawab ibu mertuaku. "Udah ma, nanti Dea traktir deh, terserah Mama mau jajan apa." Dea menyambung percakapan. Semua obrolan Ibu dan anak itu terdengar jelas dikamar ini. Karena berdekatan langsung dengan dapur. Aku menahan Isak agar tak satu orang pun yang mendengar tangisan ini. Berkali-kali aku mengacak rambut, menutup mulut agar aku tak berteriak kencang. Sakit rasanya melihat perlakuan mertuaku yang begitu beda bak langit dan bumi. "Dek, kok ga makan?" tanya mas Rama menghampiri ku yang terbaring di ranjang. "Masih kenyang mas!" jawabku sambil menutup wajah dengan bantal. Aku tak ingin mas Rama tau bahwa aku menangis dari tadi. "Mas ambilkan ya? kamu makan di kamar aja!" mas Rama mengusap pelan rambutku. "Tak usah mas! aku masih kenyang kok." aku menyunggingkan senyum. "Mama emang gitu dek, kalau ada sesuatu yang buat kamu sakit hati maafin Mama ya!" ucap mas Rama seolah dia tau bahwa aku menangis karena perkataan ibunya. Mas Rama keluar ingin mengambilkan aku sepiring nasi dan lauk. "Mau ngapain Ram?" tanya ibu mertua. "Mau ngambil nasi sama lauk Ma!" jawab mas Rama. "Buat Hana?" tanya ibu mertua. "Iya" jawab mas Rama singkat. "Dia bisa ngambil sendiri, gausah manja apa-apa nyuruh laki. Jangan mimpi jadi tuan putri!" ucap mertuaku yang jelas terdengar di kamar ini. "Iya mas, kak Hana ajak makan disini aja. Makan bareng kita!" sahut Vika. Mas Rama masuk kedalam kamar meminta ku untuk bergabung dengan ibu mertua dan iparku. Dengan berat hati aku menyetujui sedangkan mas Rama pergi keluar bersama saudaranya. "Kayak setan aja suka ngumpet di dalam kamar!"ucap Vika saat aku keluar kamar. "Ada setan, ada setan! di dalam kamar!" mertuaku menyanyi lirik lagu dengan menatap diriku. "Lain kali jangan keseringan nyuruh-nyuruh suami. Dia tu capek kerja, nyari duit kamu kan enak dirumah aja ga kerja. jangan ditampakkan banget malasnya. Pakai acara ngambil nasi aja nyuruh laki." ibu mertua menyeramahi aku di depan Vika dan Dea. Aku tetap berdiam, sambil sibuk mengambil nasi. Tapi saat ku dapati semua lauk pauk sudah habis. "Makanya kalau jadi orang jangan telat!" ucap Vika dengan tersenyum. Sementara ibu mertuaku juga ikut tersenyum dan Dea hanya terdiam mengamati ku.Ocehan ibu mertua dan anaknya membuat aku tertunduk lesuh, aku malu pada Dea jika ia percaya dengan semua ungkapan ibu mertua. Akan kah Dea juga ikut mengompori mertuaku agar terus menghinaku? Beberapa suap nasi terasa hambar bagiku, yang ku dapati hanya minyak di mangkok besar bekas wadah masakan ku tadi. Aku hanya menyuap nasi, menahan air mata agar tak berjatuhan karena ucapan mertuaku dan iparku. "Ma, besok jadikan kondangan dirumah Adit?" tanya Dea mengalihkan. "Jadi dong, Mama udah siapin baju couple buat kita! soalnya kamu tau sendiri kan calon Adit itu janda kaya. Jadi, Mama ga mau pakai baju biasa, ga mau ketinggalan jaman!" kemudian ibu mertuaku tertawa riang. "Kak aku pinjam heels mu ya! soalnya aku kelupaan buat bawa!" Vika menyambung obrolan. Sementara aku sedari tadi hanya menyimak, sambil menyuap nasi saja. "Tapi Mama tau kan model kekinian?" tanya Dea "Tau dong, Mama kan pesan sama orang yang mahir dalam menjahit!" ucap ibu mertuaku dengan bangga. "He
Sesi pemotretan pun di mulai semua ahli keluarga berpartisipasi dalam pemotretan tersebut. "Ayo semuanya ngumpul, kita foto bareng!" seru mempelai wanita. "Tolong dong Kak, fotoin kita!" pinta Dea padaku. Segera aku meraih ponsel miliknya, mataku terpukau dengan alat canggih miliknya."Cepat fotoin, jangan halu punya hp kayak gitu!" ibu mertuaku setengah berbisik saat melewati ku dan kemudian dia ikut serta berbaris untuk berfoto-foto.Aku tertegun dengan ucapan mertuaku, mataku memerah menahan bulir tangis, beberapa kali aku mengusap mata ini agar tak satu orang pun tau jika aku sedang tidak baik baik saja."Sini kak gantian kak Han dulu yang foto!" Dea menghampiriku dan mengambil alih ponselnya.Saat sedang merapat dibarisan, ibu mertuaku malah menghentikan acara pengambilan gambar."Cukup ya, keluarga kita udah foto kami pamitan pulang ya!" ucapnya pada kedua mempelai."Dek, ayo foto kamu kan dari tadi sibuk motoin terus!" ajak mas Rama melambaikan tangannya."Mas!" ucapku denga
Sampai dirumah kudapati rumah berantakan dan tumpukan piring kotor yang belum dibersihkan. Aku menelan salipah, ingin mengerjakan segalanya tapi mengingat kondisi tubuhku yang semakin melesuh membuat aku tak sanggup mengerjakan tugas rumah. Kepalaku di landa pusing, dan badanku terasa pegal-pegal. "Dek, sini mas check suhu tubuhmu!" mas Rama memegang termometer digital dan memasukkan alat tersebut ke mulutku. "45 derajat! panas sekali badanmu dek, sini kamu istirahat saja dulu! mas beli obat di apotik!" terang mas Rama sembari menyelimuti tubuhku. Mas Rama berlalu pergi keluar membelikan aku obat seperti biasanya, saat demam aku selalu tak ingin dibawa ke puskesmas atau ketempat praktek bidan, alasan cukup lucu karena aku sangat takut jarum suntik. Belum lama kepergian mas Rama keluarganya menyusul masuk rumah. "Nanti kita pajang di ruang tengah!" ucap Ibu mertuaku. Karena kepalaku merasa pusing yang sangat hebat membuat aku tak mampu berdiri untuk bergabung bersama mere
Hari adalah hari dimana Bagas, istri dan anaknya kembali ke kota. "Ini Ma, uang buat beli kebutuhan dapur!" Dea memberikan uang merah dalam jumlah banyak. "Ga perlu Dey, ini untuk anak kamu beli susu, Mama masih ada uang." ibu mertua menolak dengan kaku. "Ambil aja Ma, nanti kalau aku dapat bonus, bakalan aku kirimin lagi deh." Dea kembali menyodorkan uang tadi. Ibu mertuaku tersenyum semeringai, bak putri yang dilamar pangeran. Saat berpamitan pulang Dea juga memberikan sejumlah uang kepada ku. "Ga usah Dey, makasi." aku menolak tak enak, padahal suamiku adalah anak yang paling tua seharusnya kami lah yang memberi mereka uang, terlebih lagi Dea dan Bagas juga memiliki anak. Berbeda dengan ku yang saat ini belum melahirkan anak. "Ambil aja kak, rezeki jangan di tolak!" Dea tersenyum manis memberikan lembaran uang merah. Aku mengangguk dan mengambil uang yang Dea berikan tak lupa kami berpelukan. "Semangat ya kak, semoga nanti diberi rezeki biar cepat mengasingkan diri."
Karena khawatir aku mengalihkan, permasalahan Vika dan Zian, aku berdalih keluar dan ingin memberikan uang pada Vika sesuai nominasi yang ia minta tadi."Vika!" aku berteriak memanggil Vika agar Zian dan ia berhenti bertengkar diruang tamu."Kak, Vika ada di kamar lagi istirahat." jawab Zian yang menunduk, seperti menutupi sesuatu, padahal aku sudah tau walau tak menyaksikan dengan mata langsung."Tolong kasi ini ke Vika ya, katanya tadi Vika mau uang 100 ribu." aku menyodorkan uang kertas bernominal 100 ribu itu pada Zian."Makasi kak, nanti aku berikan ke Vika." Zian menyunggingkan senyum ragu padaku.Tak ingin berlama aku pun kembali ke dapur,"Semoga Vika ga kenapa-kenapa kasian juga dengannya."batinku berbisik, Kemudian ku kerja kan semua tugas dapur, karena sudah tentu jika satupun yang kurang atau belum terselesaikan aku pasti bakal di cap menantu pemalas oleh ibu mertuaku."Dek, mas pulang," suami ku mas Rama mengagetkan ku, ia tiba-tiba saja memeluk ku dari belakang, membuat
Sebulan kemudian."Mas kamu suka kopi kan?" aku menyuguhkan secangkir kopi pada mas Rama. Akhir akhir ini aku memang jarang menyuguhkan kopi padanya, selain karena kesibukan masing masing juga karena mas Rama di pagi buta sudah berangkat kerja hingga kadang lupa meminum kopi buatanku."Suka dek, tapi mas ga bisa kalau terusan minum kopi, soalnya asam lambung mas sering naik. Kadang kambuh saat mas sedang sibuk dengan kerjaan sampai di marahin bos dibilang alasan belaka." mas Rama menyeruput kopi yang masih panas, iya dia penikmat kopi pahit dan panas."Kalau lagi kerja terus kamu sakit, izin aja mas. Biar aku bisa ngerawat mas. Urusan kerjaan bisa di kerjakan nanti yang penting kesehatan nomor satu!" aku memperingati mas Rama dan kemudian mendekatinya dan memijat bahunya. "Kamu baik banget dek, mas jadi makin cinta sama kamu." mas Rama menyium telapak tangan ku."Mas berangkat dulu ya, kamu jaga diri baik-baik!"Aku mengantar mas Rama tepat di depan pintu gerbang, akhir-akhir ini hat
Hari ini tepat 2 bulan usia pernikahanku dengan Mas Rama. Sebuah kabar pun membawa kebahagiaan untuk kami, yaitu berita kehamilanku. Segera Mas Rama memberitahukan kepada ibunya yang sedang berkunjung di rumah anak perempuannya yang tinggal di kota. Esok harinya, aku dan Mas Rama memang sudah dari tadi pagi membersihkan rumah sekaligus merapikan barang-barang, menyambut ibu yang pulang hari ini. Ibu mertuaku mengunjungi anak perempuannya yang merupakan adik dari suamiku mas Rama, bernama Vika dan Bagas. Dua bulan ini terasa cepat dan membuat aku sedikit merasa bahagia, walaupun dari awal aku sudah takut bahwa keluarga mas Rama menolak kehadiran ku. Tapi karena mereka tak bisa membantah mau nya mas Rama jadinya ya seperti ini. Esoknya, hampir menjelang sore hari, ibu mertuaku datang dengan menggunakan mobil sewaan. "Aduh!! Pulang dari kota capek-capek, berjam-jam di mobil, lihat rumah berantakan gini, bikin pusing!" ibu mertuaku langsung mengoceh begitu masuk ke ruang tamu. "Beda
Aku hanya tersenyum mendengar ucapan yang menyudutkan itu, lalu masuk ke dalam rumah. Kulihat Mas Rama baru selesai mandi dan keluar kamar. Langsung saja kuajak dia berbicara di ruang makan. "Emang Dea tu orang nya seperti apa mas?" tanyaku yang penasaran dengan sosok Dea yang ibu puji barusan. "Orangnya biasa aja, ga cantik tapi dia modis dan fashionable." Ucap mas Rama. "Emang kaya banget ya, dia ya mas?". "Ibu bapak nya yang kaya, kalau Dea sih nggak kalau dulu. Emang kenapa sih dek nanyain Dea?" Mas Rama berbalik bertanya pada ku. "Ga mas, soal nya aku ga pernah ketemu dia, jadi nya penasaran aja gitu." timbalku. "Nanti juga ketemu dek, kan bentar lagi sepupu mas mau ngadain pesta pernikahan." Aku hanya mengangguk, karena tak ingin mas Rama tau alasan sebenarnya kenapa aku bertanya tentang Dea. Tak ada niat sedikit pun ingin tau tentang orang lain, tapi kadang ada beberapa hal yang membuat diri ini juga terpancing dalam dan ingin tau tentang seseorang. "Sesukses apa sih De