Mataku bisa melihat semuanya, namun aku tak mampu menguasai tubuhku. Sayup-sayup kudengar suara lembut Ibu memanggil namaku, kemudian mengucap istighfar lagi disertai dengan isakan tangis tertahan. Ya Tuhan! Ibu ... Ibu jangan menangis! Ibuku tak boleh memangis! Apalagi menangis karenaku. Perlahan-lahan indera penciumanku pun mencium aroma tajam minyak kayu putih. Dengan susah payah aku berusaha mengumpulkan semua sisa tenaga yang masih kumiliki. Aku harus bisa menguasai tubuhku! Hingga akhirnya perlahan-lahan aku mulai bisa menggerakkan tanganku.Yang pertama kulakukan adalah meraih tangan keriput milik Ibuku.“Ibu ....” Kutatap wajah sembab itu. Ibuku mengangguk, kemudia menyusut matanya.“Iya, Nak. Ibu di sini. Ibu selalu ada di samping Sherin,” lirih suara Ibuku.“Sherin ... kenapa?”“Jangan banyak bicara dulu, Nak. Sherin istirahat dulu, ya. Biar Ibu buatkan teh hangat.” Ibuku melepas genggaman tanganku padanya, namun aku segera meraih tangan Ibu dan kembali menggenggamnya.“Jang
“Aku kangen kamu, Ti ...” lirihku.Tian merah tanganku dan menggenggamnya erat.“Aku juga kangen, Sher. Mengapa beberapa hari ini aku merasa kamu menghindariku? Apa ada sesuatu yang terjadi?”Aku menggeleng.“Ya sudah. Kamu istrirahat yang banyak, ya. Tidak usah mikirn kerjaan dulu. Kalau perlu biar nanti aku yang memintakan izin pada atasanmu. Kurasa ia pasti akan memberimu izin. Kalau enggak salah namanya Pak Randy kan? Yang waktu itu ngantar kita ke puskesmas saat kamu pingsan.”‘Jangan menyebut namanya, Tian!' pekikku dalam hati. Kukepalkan tanganku yang sedang berada dalam genggaman tangannya. Tian menatapku heran ketika merasa aku mengeratkan genggaman tanganku padanya.“Kenapa, Sher?” tanyanya.“Enggak apa, Ti. Kamu enggak perlu ke kantorku. Aku sudah mengurus cutiku.”Tian mengangguk.“Bersabarlah, Sayang. Aku akan segera meminangmu setelah urusan pemberkasanku untuk pengangkatan ASN selesai. Kamu enggak perlu kerja lagi jika kita sudah menikah nanti. Biar kamu di rumah aja, n
PoV Randy.Sudah seminggu lagi berlalu, namun aku belum juga menemukan cara untuk berbicara pada Sherin. Aku khawatir ia akan kembali gemetar dan bahkan pingsan jika aku kembali datang ke rumahnya. Padahal aku ingin sekali meminta maaf langsung pada gadis malang yang telah kurenggut paksa kesuciannya itu. Aku memang sudah meminta maaf dan mengaku pada ibunya. Wanita kurus yang sudah mulai keriput sangat terkejut ketika aku mengakui kesalahanku padanya. Tak ada yang kusembunyikan, aku mengakui semuanya. Dengan linangan air mata Ibu Sherin waktu itu menanyakan padaku kenapa aku melakukan itu pada putrinya.“Kenapa Pak Randy tega melakukan itu pada putriku? Padahal setau saya Pak Randy ini pria yang sudah punya istri.” Suara lirih disertai isakan tangis wanita tua itu membuat hatiku iba.“Maafkan saya, Bu. Saya benar-benar khilaf waktu itu.”“Apa Pak Randy mencintai anak saya sehingga Pak Randy memaksakan diri melakukannya?”Aku terdiam, bingung dengan pertanyaan Ibu Sherin. Mungkin wani
“Mas lembur di kantor, Sayang. Lagian kamu kenapa balik dari Jayapura? Bukannya Mas sudah bilang jangan terlalu sering bolak-balik Jakarta-Jayapura dulu.”“Karena kamu ingkar janji, Mas. Bukannya kata Mas Randy kemarin Mas yang akan datang ke Jayapura? Tapi ini sudah seminggu dan Mas tak datang. Padahal ini akhir pekan. Apa Mas Randy punya urusan penting lain?”“Ya Allah! Mas sedang banyak pekerjaan, Wi. Bukan karena apa-apa.”“Tapi Mas Randy tak pernah lembur. Bahkan tadi juga Mas enggak ada di kantor saat aku menelepon ke sana. Apa yang kamu sembuyikan dariku, Mas?”Aku kembali menghela napas.“Jangan berpikiran yang enggak-enggak, Wi. Sebaiknya kamu beristirahat agar bayimu tetap aman.”“Bayi kita, Mas! Ini bayimu juga! Berapa kali harus kukatakan padamu bahwa ini bayi kita!” Dewi terlihat emosi, tepat di saat pintu ruang rawat VVIP diketuk dan dibuka perlahan dari luar.“Astaghfirullah! Ada apa ini, Pak, Bu? Bukankah sudah saya bilang tadi Bui Dewi harus banyak beristirahat? Kenap
“Wi, please! Jangan bawa-bawa Hannan,” pintaku. Kali ini dengan suara lembut.“Bahkan kamu masih selembut itu menyebut namanya,” lirih Dewi.“Sudah, ya. Tak ada gunanya kita berdebat. Kamu perlu istirahat.” Kembali kulembutkan suaraku, berdebat dengan nada tinggi dengan Dewi hanya akan menguras emosiku, apalagi ia sedang dalam kondisi hamil.“Pokoknya aku nggak terima jika Mas punya wanita lain di luar sana. Aku bukan Mbak Hannan yang bisa dengan mudahnya Mas duakan!”Aku tak mau menanggapinya lagi, meski sebenarnya ingin sekali aku menghardik Dewi.“Mas tinggal sebentar, ya. Mau ambil ponselku di mobil, sekalian beli makan di kantin rumah sakit. Mau dibeliin sesuatu?” tanyaku lembut. Sekali lagi aku harus menekan egoku demi wanita hamil ini.Dewi menggeleng. “Aku enggak lapar. Cukup Mas kembali ke sini segera, jangan berlama-lama dengan berbagai alasan.”Ya Tuhan! Wanita ini benar-benar menguji kesabaranku!Aku pun melangkah ke parkiran, mengambil gawaiku yang tergeletak di atas dash
“Kamu pikir aku takut? Kamu sudah merebut semua milikku. Lihatlah putraku, darah dagingku, justru tertidur dengan pulas di pundakmu. Lihatlah bagaimana ia menolak ikut bersamaku saat kamu membawa bundanya berbulan madu dan meninggalkannya pada orang asing. Lihatlah bagaimana kamu merebut Hannan dan membawanya pergi dari lingkungan di mana ia tumbuh hingga dewasa dan melahirkan anak-anaknya. Lihatlah bagaimana kamu mengubah Hannan menjadi wanita yang suka keluyuran, padahal dulunya ia wanita sederhana yang lebih suka diam di dalam rumah bersama anak-anak kami.”“Merebut milikmu? Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi? Aku tak pernah merebut Hannan darimu. Justru kamulah yang membuangnya, kamu membuang berlian yang sangat berharga begitu saja dan aku menemukan kilaunya. Untuk urusan Zayn, aku tak pernah merebut posisimu dalam hatinya, baginya kamu adalah ayah kandungnya dan itu tak akan pernah bisa tergantikan. Aku hanya berusaha untuk menyayanginya. Kenapa? Karena aku mencintai ibunya.
PoV Rayyan.Hari-hariku berjalan sangat indah setelah resmi menikah dengan Hannan. Hubunganku dan Papa pun semakin membaik, tidak lagi dingin seperti dulu. Hannan benar-benar membawa perubahan besar dalam hidupku. Ruanganku di lantai 7 Health Hospital juga sudah jarang kugunakan karena aku setiap hari pulang ke rumah utama. Hannan dan Zayn pun terlihat kerasan tinggal di sana. Rumah itu seakan hidup kembali oleh sentuhan tangan Hannan. Setelah bertahun-tahun sejak kepergian Ibuku rumah itu terasa mati dan hampa. Kini, tawa riang Zayn selalu terdengar di rumah besar itu. Meja makan pun tak pernah sepi dari berbagai menu makanan yang disuguhkan oleh Hannan dibantu oleh Bi Inah dan beberapa ART di rumah Papa.Rumah yang dulunya selalu membuat dadaku sesak ketika memasukinya, kini justru setiap hari kurindukan. Aku selalu tak sabar untuk pulang ke rumah di mana kecupan dan sambutan hangat Hannan selalu menyambutku. Papa pun terlihat semakin bersemangat menjalani hari-harinya. Meski masih
Kudekap tubuh Hannan dari belakang, sambil mengendus-endus pipinya dengan ujung hidungku. Hannan menggeliat, ia terlihat sedang sibuk menyiapkan menu makan siang yang tadi dibawanya.“Sekarang udah boleh nyium kamu,” bisikku di dekat telinganya. Hannan memang sudah membuka jilbabnya dan menggulung rambutnya ke atas, membuat leher putih jenjangnya terpampang indah di depan mataku.“Mas! Lepasin! Aku sedang nyiapin makan siang kita.”“Tapi aku nggak lapar, Sayang. Aku justru lapar ingin memakanmu. Kamu seksi sekali,” gumamku sambil terus menenggelamkan wajahku di ceruk leher Hannan.“Mas! Ini makanannya ....”“Nanti aja, Bun. Kita urusin yang lain dulu, ya. Aku benar-benar nggak bisa nunggu,” pintaku tak membiarkan Hannan melanjutkan kalimatnya.Hannan pun pasrah. Inilah yang kusuka dari Hannan, ia selalu menomorsatukan aku, suaminya. Semua yang keluar dari bibirku seakan perintah bagi Hannan. Ia tak pernah membantah selama aku tak menyuruhnya melakukan yang aneh-aneh. Kemudian tempat t