“Mas lembur di kantor, Sayang. Lagian kamu kenapa balik dari Jayapura? Bukannya Mas sudah bilang jangan terlalu sering bolak-balik Jakarta-Jayapura dulu.”“Karena kamu ingkar janji, Mas. Bukannya kata Mas Randy kemarin Mas yang akan datang ke Jayapura? Tapi ini sudah seminggu dan Mas tak datang. Padahal ini akhir pekan. Apa Mas Randy punya urusan penting lain?”“Ya Allah! Mas sedang banyak pekerjaan, Wi. Bukan karena apa-apa.”“Tapi Mas Randy tak pernah lembur. Bahkan tadi juga Mas enggak ada di kantor saat aku menelepon ke sana. Apa yang kamu sembuyikan dariku, Mas?”Aku kembali menghela napas.“Jangan berpikiran yang enggak-enggak, Wi. Sebaiknya kamu beristirahat agar bayimu tetap aman.”“Bayi kita, Mas! Ini bayimu juga! Berapa kali harus kukatakan padamu bahwa ini bayi kita!” Dewi terlihat emosi, tepat di saat pintu ruang rawat VVIP diketuk dan dibuka perlahan dari luar.“Astaghfirullah! Ada apa ini, Pak, Bu? Bukankah sudah saya bilang tadi Bui Dewi harus banyak beristirahat? Kenap
“Wi, please! Jangan bawa-bawa Hannan,” pintaku. Kali ini dengan suara lembut.“Bahkan kamu masih selembut itu menyebut namanya,” lirih Dewi.“Sudah, ya. Tak ada gunanya kita berdebat. Kamu perlu istirahat.” Kembali kulembutkan suaraku, berdebat dengan nada tinggi dengan Dewi hanya akan menguras emosiku, apalagi ia sedang dalam kondisi hamil.“Pokoknya aku nggak terima jika Mas punya wanita lain di luar sana. Aku bukan Mbak Hannan yang bisa dengan mudahnya Mas duakan!”Aku tak mau menanggapinya lagi, meski sebenarnya ingin sekali aku menghardik Dewi.“Mas tinggal sebentar, ya. Mau ambil ponselku di mobil, sekalian beli makan di kantin rumah sakit. Mau dibeliin sesuatu?” tanyaku lembut. Sekali lagi aku harus menekan egoku demi wanita hamil ini.Dewi menggeleng. “Aku enggak lapar. Cukup Mas kembali ke sini segera, jangan berlama-lama dengan berbagai alasan.”Ya Tuhan! Wanita ini benar-benar menguji kesabaranku!Aku pun melangkah ke parkiran, mengambil gawaiku yang tergeletak di atas dash
“Kamu pikir aku takut? Kamu sudah merebut semua milikku. Lihatlah putraku, darah dagingku, justru tertidur dengan pulas di pundakmu. Lihatlah bagaimana ia menolak ikut bersamaku saat kamu membawa bundanya berbulan madu dan meninggalkannya pada orang asing. Lihatlah bagaimana kamu merebut Hannan dan membawanya pergi dari lingkungan di mana ia tumbuh hingga dewasa dan melahirkan anak-anaknya. Lihatlah bagaimana kamu mengubah Hannan menjadi wanita yang suka keluyuran, padahal dulunya ia wanita sederhana yang lebih suka diam di dalam rumah bersama anak-anak kami.”“Merebut milikmu? Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi? Aku tak pernah merebut Hannan darimu. Justru kamulah yang membuangnya, kamu membuang berlian yang sangat berharga begitu saja dan aku menemukan kilaunya. Untuk urusan Zayn, aku tak pernah merebut posisimu dalam hatinya, baginya kamu adalah ayah kandungnya dan itu tak akan pernah bisa tergantikan. Aku hanya berusaha untuk menyayanginya. Kenapa? Karena aku mencintai ibunya.
PoV Rayyan.Hari-hariku berjalan sangat indah setelah resmi menikah dengan Hannan. Hubunganku dan Papa pun semakin membaik, tidak lagi dingin seperti dulu. Hannan benar-benar membawa perubahan besar dalam hidupku. Ruanganku di lantai 7 Health Hospital juga sudah jarang kugunakan karena aku setiap hari pulang ke rumah utama. Hannan dan Zayn pun terlihat kerasan tinggal di sana. Rumah itu seakan hidup kembali oleh sentuhan tangan Hannan. Setelah bertahun-tahun sejak kepergian Ibuku rumah itu terasa mati dan hampa. Kini, tawa riang Zayn selalu terdengar di rumah besar itu. Meja makan pun tak pernah sepi dari berbagai menu makanan yang disuguhkan oleh Hannan dibantu oleh Bi Inah dan beberapa ART di rumah Papa.Rumah yang dulunya selalu membuat dadaku sesak ketika memasukinya, kini justru setiap hari kurindukan. Aku selalu tak sabar untuk pulang ke rumah di mana kecupan dan sambutan hangat Hannan selalu menyambutku. Papa pun terlihat semakin bersemangat menjalani hari-harinya. Meski masih
Kudekap tubuh Hannan dari belakang, sambil mengendus-endus pipinya dengan ujung hidungku. Hannan menggeliat, ia terlihat sedang sibuk menyiapkan menu makan siang yang tadi dibawanya.“Sekarang udah boleh nyium kamu,” bisikku di dekat telinganya. Hannan memang sudah membuka jilbabnya dan menggulung rambutnya ke atas, membuat leher putih jenjangnya terpampang indah di depan mataku.“Mas! Lepasin! Aku sedang nyiapin makan siang kita.”“Tapi aku nggak lapar, Sayang. Aku justru lapar ingin memakanmu. Kamu seksi sekali,” gumamku sambil terus menenggelamkan wajahku di ceruk leher Hannan.“Mas! Ini makanannya ....”“Nanti aja, Bun. Kita urusin yang lain dulu, ya. Aku benar-benar nggak bisa nunggu,” pintaku tak membiarkan Hannan melanjutkan kalimatnya.Hannan pun pasrah. Inilah yang kusuka dari Hannan, ia selalu menomorsatukan aku, suaminya. Semua yang keluar dari bibirku seakan perintah bagi Hannan. Ia tak pernah membantah selama aku tak menyuruhnya melakukan yang aneh-aneh. Kemudian tempat t
PoV Sherin.Bunyi dering ponselku mengalihkan perhatianku.[Gimana kabarmu, Sayang? Udah baikan? Maaf beberapa hari ini enggak sempat ke rumah menengokmu. Aku sedang mendampingi anak-anak muridku yang ikut lomba tingkat provinsi.]Pesan dari Tian. Hatiku mencelos, biasanya aku akan sangat bahagia jika lelaki itu mengirimiku pesan di sela-sela kesibukannya sebagai guru. Namun kali ini pesan darinya seolah mengingatkanku bahwa ada hubungan yang masih harus kuselesaikan dengannya.[Kabarku baik, Ti. Semoga sukses ya, lombanya.] Balasku.[Alhamdulillah kalau kamu udah baikan. Sudah masuk kerja?][Belum.][Itu artinya kamu belum benar-benar baik, Sher. Aku tau kamu orangnya selalu disiplin dalam bekerja.][Mungkin aku akan resign aja, Ti.]Tak lama kemudian ponselku berdering menandakan ada panggilan masuk. Tian memanggil. Mungkin ia penasaran dengan isi pesanku yang terakhir tadi.[Kenapa resign, Sher? Apa ada masalah di tempat kerjamu?] tanyanya ketika sambungan telepon tersambung. Aku m
Hari ini aku memberanikan diriku datang ke kantor. Bagaimana pun aku harus tetap profesional. Jika ingin mengundurkan diri, maka aku harus melakukannya dengan sopan, setidaknya aku harus melapor pada bagian HRD. Apalagi aku juga merasa aneh karena tak ada terguran ketidakdisiplinan dari bagian HRD. Padahal biasanya Bu Cici –Kepala HRD di perusahaan- selalu bersikap tegas jika ada karyawan yang tidak disiplin meninggalkan perkerjaan tanpa kabar. Terlebih lagi aku sudah hampir sebulan tak ada kabar.Tian juga semakin sibuk karena muridnya juara dalam lomba dan ia harus kembali mempersiapkan mereka untuk lomba ke tingkat berikutnya. Maka, sampai sekarang pun aku belum bicara padanya.Beberapa hari belakangan setelah mendengar nasihat Ibu, aku merasa sedikit punya kekuatan untuk kembali menata hidupku. Aku tak mungkin terus menerus terpuruk seperti ini. Aku juga tak ingin Ibu semakin bersedih melihatku terpuruk, terlebih Ibuku memang dalam kondisi sakit-sakitan. Saran Ibu agar aku bangun
PoV Randy.Beberapa hari belakangan ini setelah Dewi keluar dari rumah sakit, aku kembali menekuni pekerjaanku di kantor. Selama Dewi dirawat di ruang VVIP Health Hospital, ia sama sekali tak memperbolehkan aku pergi dari sisinya. Maka semua pekerjaanku kulakukan di rumah sakit. Aldi, Asisten yang baru kurekrut untuk menggantikan Hans dalam sehari harus beberapa kali bolak-balik mengantarkan beberapa berkas pekerjaan. Begitu pun dengan Hera, karyawan yang ditunjuk HRD untuk menggantikan posisi Sherin untuk sementara waktu selama gadis itu belum memberi kabar apa pun.Terus terang saja, aku selalu tak merasa puas dengan hasil kerja keduanya sebagai tangan kananku. Padahal bekerja sama dengan Hans sebagai asistenku dan Sherin sebagai sekretarisku dulu sangat memuaskanku. Mereka berdua sangat profesinal dan teliti, serta sangat loyal padaku dan perusahaan sehingga pekerjaanku menjadi sangat mudah dan ringan. Tapi kini, aku telah kehilangan keduanya, sehingga setumpuk kontrak kerja membua