Hari ini aku memberanikan diriku datang ke kantor. Bagaimana pun aku harus tetap profesional. Jika ingin mengundurkan diri, maka aku harus melakukannya dengan sopan, setidaknya aku harus melapor pada bagian HRD. Apalagi aku juga merasa aneh karena tak ada terguran ketidakdisiplinan dari bagian HRD. Padahal biasanya Bu Cici –Kepala HRD di perusahaan- selalu bersikap tegas jika ada karyawan yang tidak disiplin meninggalkan perkerjaan tanpa kabar. Terlebih lagi aku sudah hampir sebulan tak ada kabar.Tian juga semakin sibuk karena muridnya juara dalam lomba dan ia harus kembali mempersiapkan mereka untuk lomba ke tingkat berikutnya. Maka, sampai sekarang pun aku belum bicara padanya.Beberapa hari belakangan setelah mendengar nasihat Ibu, aku merasa sedikit punya kekuatan untuk kembali menata hidupku. Aku tak mungkin terus menerus terpuruk seperti ini. Aku juga tak ingin Ibu semakin bersedih melihatku terpuruk, terlebih Ibuku memang dalam kondisi sakit-sakitan. Saran Ibu agar aku bangun
PoV Randy.Beberapa hari belakangan ini setelah Dewi keluar dari rumah sakit, aku kembali menekuni pekerjaanku di kantor. Selama Dewi dirawat di ruang VVIP Health Hospital, ia sama sekali tak memperbolehkan aku pergi dari sisinya. Maka semua pekerjaanku kulakukan di rumah sakit. Aldi, Asisten yang baru kurekrut untuk menggantikan Hans dalam sehari harus beberapa kali bolak-balik mengantarkan beberapa berkas pekerjaan. Begitu pun dengan Hera, karyawan yang ditunjuk HRD untuk menggantikan posisi Sherin untuk sementara waktu selama gadis itu belum memberi kabar apa pun.Terus terang saja, aku selalu tak merasa puas dengan hasil kerja keduanya sebagai tangan kananku. Padahal bekerja sama dengan Hans sebagai asistenku dan Sherin sebagai sekretarisku dulu sangat memuaskanku. Mereka berdua sangat profesinal dan teliti, serta sangat loyal padaku dan perusahaan sehingga pekerjaanku menjadi sangat mudah dan ringan. Tapi kini, aku telah kehilangan keduanya, sehingga setumpuk kontrak kerja membua
Lelah setelah seharian menjalani beberapa pekerjaan membuatku merasa penat. Kulirik jam tanganku, masih ada beberapa jam sebelum waktunya pulang ke rumah. Aku berencana akan beristirahat sejenak di ruanganku. Sebenarnya aku bisa saja langsung pulang, namun entah mengapa aku merasa malas bertemu Dewi, belakangan ini wanita hamil itu terlalu banyak menuntut dan mengaturku.Dengan langkah gontai aku memasuki lift untuk menuju ke lantai 3 di mana ruanganku berada. Namun aku dikejutkan dengan pemandangan di depan mataku saat pintu lift terbuka di lantai 3. Di sana berdiri sosok yang belakangan ini sangat ingin kutemui.“Sherin,” gumamku seolah tak percaya jika gadis itu ada di sana.Ia terlihat pucat dan sedikit lebih kurus dari terakhir aku melihatnya. Kupindai penampilannya dari atas sampai ke bawah. Kupencet tombol lift agar pintunya tetap terbuka. Tak ada yang bergerak, aku memilih tetap di dalam lift, dan Sherin pun memilih tetap berdiri terpaku di depan pintu lift. Kuperhatikan tanga
“Sssshh ... enggak apa-apa, Sher. Aku enggak akan menyakitimu lagi. Tenanglah, aku akan mengantarmu pulang.” Aku berbisik lembut pada Sherin.Dewi masih terus memberontak ingin melepaskan diri dari Pak Abdul, sekuriti yang menahannya. Aku semakin kebingungan ketika Sherin terlihat semakin pucat dan tubuhnya semakin gemetaran dalam pelukanku, sementara Dewi pun terlihat sudah kehabisan tenaga setelah tak mampu melepaskan dirinya.“Tega kamu, Mas. Aku istrimu, kenapa kamu justru memeluk wanita lain.” Kali ini Dewi terisak-isak.Tanpa kusadari area parkiran kini telah dipenuhi oleh para karyawanku yang sedang bersiap-siap hendak pulang ke rumah masing-masing, karena ini memang bertepatan dengan jam pulang kantor. Beberapa di antara mereka saling berbisik-bisik melihat insiden ini. Kulihat dari sudut mataku, Bu Cici melongo melihatku mendekap erat Sherin.“Kalian semua boleh pulang! Jangan menjadikan ini tontonan!” hardikku. Kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan area parkiran. Be
Kurengkuh bahunya, Dewi melawan. Namun aku sedikit memaksa hingga tanganku melingkar sempurna di pundaknya sebelum akhirnya aku menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Kemejaku yang baru saja kering dari air mata Sherin kini kembali basah oleh air mata Dewi, istriku.“Maafkan aku, Wi. Maafkan aku,” lirihku.“Sudah sejauh mana hubunganmu dengannya?” tanyanya tak kalah lirih. Aku merasa ada tangis yang sedang berusaha ditahannya.“Mas enggak ada hubungan apa-apa dengan Sherin. Hanya saja ....” Aku menghela napasku. Dewi menengadahkan wajahnya menungguku meneruskan kalimatku.“Hanya saja kenapa? Tak mungkin Mas melindunginya seprotektif tadi jika kalian tak ada hubungan apa-apa.”Aku terdiam.“Sejak kapan, Mas? Sejak kapan kamu mengkhianatiku? Sudah sejauh mana hubungan kalian?” Air mata Dewi kembali tumpah.“Sudah, jangan menangis. Aku enggak mau anakku kenapa-kenapa di dalam sini.” Kuusap perutnya. “Ada satu kejadian yang membuatku mau tak mau harus terhubung dengan Sherin. Aku berjanji a
Pov Sherin.“Bu, Sherin mau keluar dulu, ya,” pamitku pada Ibuku setelah aku dan Ibu selesai merapikan barang-barang kami.Aku dan Ibu saat ini menempati rumah kontrakan baru kami. Baru beberapa hari aku dan Ibu pindah kemari, dan kami berdua pun masih merapikan perabotan kami yang tak seberapa. Aku dan Ibu pindah ke rumah kontrakan yang lebih murah di banding rumah kontrakan kami yang dulu.Bukan tanpa sebab aku dan Ibuku memilih pindah dari rumah kontrakan kami sebelumnya. Selain untuk menghemat pengeluaran karena aku sudah tidak bekerja lagi sebagai sekretaris di perusahaan Pak Randy, aku juga memilih pindah untuk menghindari omongan para tetangga tentangku.Ya, sejak kejadian di mana aku pingsan pada saat Pak Randy datang ke rumah kontrakanku, kemudian disusul oleh kehadiran Bu Dewi di sana dan perdebatan mereka di depan rumahku, tetangga selalu membicarakan tentangku. Telingaku selalu menangkap kata-kata yang tak nyaman saat aku lewat di depan mereka. Meski bagiku itu sangat meny
Rasa penat setelah antri untuk diwawancara di sebuah perkantoran membuatku melirik sebuah toko roti yang terletak di seberang perkantoran tempatku diwawancara. Sepertinya di sana juga menyediakan minuman dingin dan aku bisa sekaligus istirahat sebentar di sana dan memilih beberapa roti untuk makan siang. Entah mengapa belakangan ini aku merasa cepat lelah dan tak begitu berselera makan. Maka gambar roti dan minuman dingin di spanduk depan toko roti tadi membuat liurku menetes. Sepertinya menu yang pas untuk makan siang, pikirku.Perlahan aku memasuki toko dan memesan beberapa potong roti serta jus alpukat kesukaanku. Lalu kemudian aku duduk di kursi yang ada di pojok sambil menikmati potongan demi potongan roti yang kupesan tadi. Setelah merasa kenyang dan kerongkonganku pun sudah kembali segar, aku segera keluar dari toko roti dan menuju ke motor maticku. Saat hendak mencari kunci motor di dalam tas ku, gawaiku berdering. Panggilan dari nomor tak dikenal, segera ku-reject dan kembali
PoV HannanMenjalani hidupku di rumah besar milik Pak David sebagai istri Ray, putra tunggal Pak David, membuat hidupku terasa tak ada tantangan. Semua sudah tersedia di rumah ini, nafkah dari Ray pun tak pernah berhenti mengalir ke rekeningku, meski sudah berulang kali kukatakan padanya untuk menguranginya karena aku hampir tak pernah menggunakannya. Randy pun masih rutin mengirim uang tiap bulan ke rekening Zayn, pria itu tak pernah lalai menafkahi putranya, ia selalu menepati janjinya jika menyangkut Zayn.Kehidupanku pun berjalan sangat indah, hubunganku dan Ray juga semakin hari semakin mesra. Zayn pun tak pernah lagi meminta untuk tidur di kamar kami. Ia lebih memilih tidur di kamar Opa David, atau sesekali minta tidur di kamarnya sendiri yang terletak di samping kamarku dan Ray. Sungguh kehidupanku saat ini terasa sangat jauh berbeda dengan kehidupanku dan anak-anakku di rumah sederhanaku dulu. Di sini, aku diperlakukan bak ratu. ART yang bekerja di rumah Pak David selalu siap