“Sssshh ... enggak apa-apa, Sher. Aku enggak akan menyakitimu lagi. Tenanglah, aku akan mengantarmu pulang.” Aku berbisik lembut pada Sherin.Dewi masih terus memberontak ingin melepaskan diri dari Pak Abdul, sekuriti yang menahannya. Aku semakin kebingungan ketika Sherin terlihat semakin pucat dan tubuhnya semakin gemetaran dalam pelukanku, sementara Dewi pun terlihat sudah kehabisan tenaga setelah tak mampu melepaskan dirinya.“Tega kamu, Mas. Aku istrimu, kenapa kamu justru memeluk wanita lain.” Kali ini Dewi terisak-isak.Tanpa kusadari area parkiran kini telah dipenuhi oleh para karyawanku yang sedang bersiap-siap hendak pulang ke rumah masing-masing, karena ini memang bertepatan dengan jam pulang kantor. Beberapa di antara mereka saling berbisik-bisik melihat insiden ini. Kulihat dari sudut mataku, Bu Cici melongo melihatku mendekap erat Sherin.“Kalian semua boleh pulang! Jangan menjadikan ini tontonan!” hardikku. Kemudian satu persatu dari mereka meninggalkan area parkiran. Be
Kurengkuh bahunya, Dewi melawan. Namun aku sedikit memaksa hingga tanganku melingkar sempurna di pundaknya sebelum akhirnya aku menarik tubuhnya ke dalam dekapanku. Kemejaku yang baru saja kering dari air mata Sherin kini kembali basah oleh air mata Dewi, istriku.“Maafkan aku, Wi. Maafkan aku,” lirihku.“Sudah sejauh mana hubunganmu dengannya?” tanyanya tak kalah lirih. Aku merasa ada tangis yang sedang berusaha ditahannya.“Mas enggak ada hubungan apa-apa dengan Sherin. Hanya saja ....” Aku menghela napasku. Dewi menengadahkan wajahnya menungguku meneruskan kalimatku.“Hanya saja kenapa? Tak mungkin Mas melindunginya seprotektif tadi jika kalian tak ada hubungan apa-apa.”Aku terdiam.“Sejak kapan, Mas? Sejak kapan kamu mengkhianatiku? Sudah sejauh mana hubungan kalian?” Air mata Dewi kembali tumpah.“Sudah, jangan menangis. Aku enggak mau anakku kenapa-kenapa di dalam sini.” Kuusap perutnya. “Ada satu kejadian yang membuatku mau tak mau harus terhubung dengan Sherin. Aku berjanji a
Pov Sherin.“Bu, Sherin mau keluar dulu, ya,” pamitku pada Ibuku setelah aku dan Ibu selesai merapikan barang-barang kami.Aku dan Ibu saat ini menempati rumah kontrakan baru kami. Baru beberapa hari aku dan Ibu pindah kemari, dan kami berdua pun masih merapikan perabotan kami yang tak seberapa. Aku dan Ibu pindah ke rumah kontrakan yang lebih murah di banding rumah kontrakan kami yang dulu.Bukan tanpa sebab aku dan Ibuku memilih pindah dari rumah kontrakan kami sebelumnya. Selain untuk menghemat pengeluaran karena aku sudah tidak bekerja lagi sebagai sekretaris di perusahaan Pak Randy, aku juga memilih pindah untuk menghindari omongan para tetangga tentangku.Ya, sejak kejadian di mana aku pingsan pada saat Pak Randy datang ke rumah kontrakanku, kemudian disusul oleh kehadiran Bu Dewi di sana dan perdebatan mereka di depan rumahku, tetangga selalu membicarakan tentangku. Telingaku selalu menangkap kata-kata yang tak nyaman saat aku lewat di depan mereka. Meski bagiku itu sangat meny
Rasa penat setelah antri untuk diwawancara di sebuah perkantoran membuatku melirik sebuah toko roti yang terletak di seberang perkantoran tempatku diwawancara. Sepertinya di sana juga menyediakan minuman dingin dan aku bisa sekaligus istirahat sebentar di sana dan memilih beberapa roti untuk makan siang. Entah mengapa belakangan ini aku merasa cepat lelah dan tak begitu berselera makan. Maka gambar roti dan minuman dingin di spanduk depan toko roti tadi membuat liurku menetes. Sepertinya menu yang pas untuk makan siang, pikirku.Perlahan aku memasuki toko dan memesan beberapa potong roti serta jus alpukat kesukaanku. Lalu kemudian aku duduk di kursi yang ada di pojok sambil menikmati potongan demi potongan roti yang kupesan tadi. Setelah merasa kenyang dan kerongkonganku pun sudah kembali segar, aku segera keluar dari toko roti dan menuju ke motor maticku. Saat hendak mencari kunci motor di dalam tas ku, gawaiku berdering. Panggilan dari nomor tak dikenal, segera ku-reject dan kembali
PoV HannanMenjalani hidupku di rumah besar milik Pak David sebagai istri Ray, putra tunggal Pak David, membuat hidupku terasa tak ada tantangan. Semua sudah tersedia di rumah ini, nafkah dari Ray pun tak pernah berhenti mengalir ke rekeningku, meski sudah berulang kali kukatakan padanya untuk menguranginya karena aku hampir tak pernah menggunakannya. Randy pun masih rutin mengirim uang tiap bulan ke rekening Zayn, pria itu tak pernah lalai menafkahi putranya, ia selalu menepati janjinya jika menyangkut Zayn.Kehidupanku pun berjalan sangat indah, hubunganku dan Ray juga semakin hari semakin mesra. Zayn pun tak pernah lagi meminta untuk tidur di kamar kami. Ia lebih memilih tidur di kamar Opa David, atau sesekali minta tidur di kamarnya sendiri yang terletak di samping kamarku dan Ray. Sungguh kehidupanku saat ini terasa sangat jauh berbeda dengan kehidupanku dan anak-anakku di rumah sederhanaku dulu. Di sini, aku diperlakukan bak ratu. ART yang bekerja di rumah Pak David selalu siap
“Aku mau buka toko roti seperti toko rotinya Bu Sri, aku ingin punya kegiatan dan juga bisa membuka lapangan pekerjaan. Apa Mas setuju? Aku bisa menggunakan uang tabunganku untuk membuka toko roti, uang selama ini Mas Ray berikan padaku tak pernah berkurang karena semua sudah tersedia di rumah ini. Aku berpikir untuk menggunakan uang itu jadi modal usaha toko roti.” Aku berbicara sambil menatap matanya, agar ia bisa merasakan keseriusanku.“Untuk apa capek-capek sih, Sayang. Kamu urus Zayn aja di rumah.”“Tapi niatku bukan semata-mata untuk diriku, Mas. Aku benar-benar ingin berguna bagi orang lain, dengan membuka toko roti aku bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain yang memerlukan pekerjaan. Kamu, Zayn dan juga Papa tetap akan menjadi prioritasku. Aku berjanji akan membagi waktuku sebaik mungkin.”“Apa kamu sudah punya bayangan mau buka toko di mana?” tanya Ray. Aku terdiam.“Pikiranku belum sejauh itu, Mas. Aku berharap restumu dulu, jika Mas mengizinkan barulah aku akan mencar
PoV SherinAku tak pernah menyangka mendapatkan pekerjaan di sebuah toko roti milik Mbak Hannan, begitu beliau meminta kami memanggilnya, menurutnya panggilan itu bisa membuat kami para karyawannya lebih akrab dengannya ketimbang memanggilnya dengan panggilan Ibu. Beruntung sekali aku bertemu dengan wanita cantik nan anggun itu. Di saat aku mulai lelah mengikuti wawancara dan tes di beberapa perkantoran, aku justru mendapatkan tawaran pekerjaan dari pemilik “ZaZa Bakery” itu.Kurasa ini juga berkat doa dari Ibuku, beliau selalu mendoakan kebaikan untukku setiap saat. Maka ketika aku mengabarkan bahwa aku telah diterima bekerja di sebuah toko roti, di tempat yang bakan aku tak memasukkan lamaran kerjaku di sana, Ibuku berlinangan air mata. Dengan panuh haru aku dan Ibu berpelukan, merasakan bahwa Allah tak pernah meninggalkan kami meski semua yang ada di depan mata seolah gelap dan tak memiliki jalan.“Mbak Hannan mengajukan satu syarat untuk para karyawannya di toko roti, Bu,” ucapku
“APA?? Hamil? A—aku hamil?” tanyaku terbata-bata ketika seorang wanita berpakaian khas tenaga kesehatan menjelaskan hasil pemeriksaan urin padaku.Sesaat setelah terbangun tadi, mereka memang memintaku melakukan tes urin. Meski awalnya aku menolak karena merasa sudah baik-baik saja. Namun Mbak Hannan yang juga ada di sana menungguku menyuruhku untuk mengikuti instruksi dari petugas rumah sakit.“Iya, Mbak. Dari hasil periksaan urine Mbak Sherin dinyatakan positif hamil. Boleh tau kapan HPHT* nya Mbak?” tanya si petugas yang ternyata adalah seorang Bidan.(HPHT: Hari Pertama Haid Terakhir)Aku tak menjawab, selain tak mengerti apa yang dimaksud oleh si petugas, aku pun masih sangat syok mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh petugas tadi.“A—aku hamil?” Aku kembali bergumam mengulang pertanyaanku. Air mataku mulai menetes tanpa bisa kutahan lagi.Aku tau petugas di hadapanku memandangku penuh tanya namun aku tak sanggup lagi menahan bening yang satu persatu mulai menetes dari kelo