PoV HannanMenjalani hidupku di rumah besar milik Pak David sebagai istri Ray, putra tunggal Pak David, membuat hidupku terasa tak ada tantangan. Semua sudah tersedia di rumah ini, nafkah dari Ray pun tak pernah berhenti mengalir ke rekeningku, meski sudah berulang kali kukatakan padanya untuk menguranginya karena aku hampir tak pernah menggunakannya. Randy pun masih rutin mengirim uang tiap bulan ke rekening Zayn, pria itu tak pernah lalai menafkahi putranya, ia selalu menepati janjinya jika menyangkut Zayn.Kehidupanku pun berjalan sangat indah, hubunganku dan Ray juga semakin hari semakin mesra. Zayn pun tak pernah lagi meminta untuk tidur di kamar kami. Ia lebih memilih tidur di kamar Opa David, atau sesekali minta tidur di kamarnya sendiri yang terletak di samping kamarku dan Ray. Sungguh kehidupanku saat ini terasa sangat jauh berbeda dengan kehidupanku dan anak-anakku di rumah sederhanaku dulu. Di sini, aku diperlakukan bak ratu. ART yang bekerja di rumah Pak David selalu siap
“Aku mau buka toko roti seperti toko rotinya Bu Sri, aku ingin punya kegiatan dan juga bisa membuka lapangan pekerjaan. Apa Mas setuju? Aku bisa menggunakan uang tabunganku untuk membuka toko roti, uang selama ini Mas Ray berikan padaku tak pernah berkurang karena semua sudah tersedia di rumah ini. Aku berpikir untuk menggunakan uang itu jadi modal usaha toko roti.” Aku berbicara sambil menatap matanya, agar ia bisa merasakan keseriusanku.“Untuk apa capek-capek sih, Sayang. Kamu urus Zayn aja di rumah.”“Tapi niatku bukan semata-mata untuk diriku, Mas. Aku benar-benar ingin berguna bagi orang lain, dengan membuka toko roti aku bisa membuka lapangan kerja bagi orang lain yang memerlukan pekerjaan. Kamu, Zayn dan juga Papa tetap akan menjadi prioritasku. Aku berjanji akan membagi waktuku sebaik mungkin.”“Apa kamu sudah punya bayangan mau buka toko di mana?” tanya Ray. Aku terdiam.“Pikiranku belum sejauh itu, Mas. Aku berharap restumu dulu, jika Mas mengizinkan barulah aku akan mencar
PoV SherinAku tak pernah menyangka mendapatkan pekerjaan di sebuah toko roti milik Mbak Hannan, begitu beliau meminta kami memanggilnya, menurutnya panggilan itu bisa membuat kami para karyawannya lebih akrab dengannya ketimbang memanggilnya dengan panggilan Ibu. Beruntung sekali aku bertemu dengan wanita cantik nan anggun itu. Di saat aku mulai lelah mengikuti wawancara dan tes di beberapa perkantoran, aku justru mendapatkan tawaran pekerjaan dari pemilik “ZaZa Bakery” itu.Kurasa ini juga berkat doa dari Ibuku, beliau selalu mendoakan kebaikan untukku setiap saat. Maka ketika aku mengabarkan bahwa aku telah diterima bekerja di sebuah toko roti, di tempat yang bakan aku tak memasukkan lamaran kerjaku di sana, Ibuku berlinangan air mata. Dengan panuh haru aku dan Ibu berpelukan, merasakan bahwa Allah tak pernah meninggalkan kami meski semua yang ada di depan mata seolah gelap dan tak memiliki jalan.“Mbak Hannan mengajukan satu syarat untuk para karyawannya di toko roti, Bu,” ucapku
“APA?? Hamil? A—aku hamil?” tanyaku terbata-bata ketika seorang wanita berpakaian khas tenaga kesehatan menjelaskan hasil pemeriksaan urin padaku.Sesaat setelah terbangun tadi, mereka memang memintaku melakukan tes urin. Meski awalnya aku menolak karena merasa sudah baik-baik saja. Namun Mbak Hannan yang juga ada di sana menungguku menyuruhku untuk mengikuti instruksi dari petugas rumah sakit.“Iya, Mbak. Dari hasil periksaan urine Mbak Sherin dinyatakan positif hamil. Boleh tau kapan HPHT* nya Mbak?” tanya si petugas yang ternyata adalah seorang Bidan.(HPHT: Hari Pertama Haid Terakhir)Aku tak menjawab, selain tak mengerti apa yang dimaksud oleh si petugas, aku pun masih sangat syok mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh petugas tadi.“A—aku hamil?” Aku kembali bergumam mengulang pertanyaanku. Air mataku mulai menetes tanpa bisa kutahan lagi.Aku tau petugas di hadapanku memandangku penuh tanya namun aku tak sanggup lagi menahan bening yang satu persatu mulai menetes dari kelo
PoV Randy.Hari-hariku berlalu begitu ruwet sejak pengakuanku pada Dewi mengenai kejadian malam itu di kantorku. Sejak saat itu, istriku yang sedang hamil itu semakin ketat mengawasiku. Aku pun sudah jarang mendebat Dewi, terlebih setelah hasil tes DNA janinnya memang membuktikan jika bayi yang sedang dikandungnya adalah darah dagingku. Maka aku membiarkan saja Dewi bersikap sangat protektif padaku. Ia tak segan-segan membuka semua chat yang masuk ke ponselku, bahkan sesekali ia tiba-tiba muncul di kantorku.Darinya pengakuannya pula aku tau jika ia mendatangi Sherin dan meminta gadis itu untuk menjauhiku. Benar saja, beberapa hari kemudian aku mendapat kabar dari orang suruhanku yang kutugaskan untuk mengawasi Sherin mengabarkan jika gadis malang itu telah pindah dari kontrakannya. Dari orang suruhanku pula aku mengetahui jika sejak Dewi datang ke sana, Sherin dan ibunya menjadi bahan omongan para tetangga sehingga membuat mereka memilih pindah dari sana.“Aku sudah memberikan imbala
Aku tau apa yang bisa menghiburku, aku akan menemui Zayn dan menghabiskan waktu bersama putraku itu. Dewi tak akan pernah protes padaku jika menyangkut Zayn, meski sesekali ia juga menunjukkan kecemburuannya pada Hannan jika aku mengubunginya untuk bertemu Zayn. Kuraih gawaiku dan mencari nomor Hannan, kukabarkan padanya bahwa aku ingin bertemu Zayn. Hannan menyetujuinya dan mengizinkanku bertemu dengan putra kami itu di toko rotinya.Sejujurnya aku merasa takjub dengan Hannan sekarang, ia terlihat semakin dewasa dan semakin anggun. Terlebih ia sekarang sudah menjadi pemilik sebuah toko roti yang selalu ramai dikunjungi pembeli. Aku sudah dua kali datang ke toko rotinya untuk bertemu Zayn, dan bocah itu pun terlihat sangat menikmati berada di sana bersama bundanya. Ah, Hannan. Kamu semakin bersinar dan semakin sulit untuk kugapai. Sesekali jika berkunjung ke sana aku masih sering mencuri-curi pandang pada wanita itu. Rasa cinta dan rasa sesal di dalam dadaku sama besarnya ketika menat
“Kenapa ia histeris melihatmu tadi?”“A—aku enggak tau, Han.” Tatapan Hannan tajam menembus ulu hatiku. “Apa Sherin karyawanmu? Sejak kapan dia bekerja di sini?” tanyaku berusaha menetralkan debaran jantungku setelah terkejut tadi.“Ya, Sherin karyawanku, dia baru seminggu ini bergabung dengan kami.” Hannan masih menatap tajam padaku. Ia seolah masih ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya.“Kenapa kamu memandangku seperti itu?” tanyaku.“Entahlah. Aku merasa ada yang kamu sembunyikan. Apa aku boleh tau kenapa Sherin mengundurkan diri dari posisi sektretaris di kantormu?”“Ck!! Tidak biasanya kamu mencampuri urusanku seperti ini, Han.”“Bukan tanpa sebab aku bertanya seperti ini. Sherin karyawanku, dan aku melihat ada yang aneh di antara kalian. Dia histeris saat melihatmu tadi, apalagi saat kamu mendekatinya. Lagipula, ia masih belum pulih karena tadi pagi sempat pingsan di toko ini dan menjalani beberapa pemeriksaan di rumah sakit.”“Apa? Sherin pingsan?”“Ya. Dia pingsan di sini l
“Ada yang ingin kamu sampaikan, Sherin?” sapanya lembut. “Jangan takut. Anggap aku ini adalah kakakmu ataupun sahabatmu. Kamu bisa menceritakan apa pun padaku, jangan menyimpan masalahmu sendiri, itu akan membuatmu semakin tertekan.”Aku mengangguk lemah, tetesan demi tetesan bening mulai mengalir dari kelopak mataku yang beberapa waktu belakangan ini kurasa telah bekerja keras untuk menghasilkan air mata. Mbak Hannan hanya terdiam tanpa kata, namun tatapan lembutnya tetap membuatku merasa sangat nyaman.“Menangislah jika kamu masih ingin menangis, keluarkanlah semua emosimu. Namun jangan lupa untuk beristighfar, agar air matamu tak hanya terbuang sia-sia namun mampu membantumu menghapus kesedihanmu.”Aku semakin terisak, bahuku naik turun menahan emosiku yang meluap-luap. Hingga akhirnya aku merasa lega dan mulai menghentikan tangisku. Mbak Hannan menepuk-nepuk pundakku dan menyodorkan segelas air mineral padaku. Tanpa kata, wanita itu tak berkata apapun selain tersenyum. Ia seolah m
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik