“Kenapa ia histeris melihatmu tadi?”“A—aku enggak tau, Han.” Tatapan Hannan tajam menembus ulu hatiku. “Apa Sherin karyawanmu? Sejak kapan dia bekerja di sini?” tanyaku berusaha menetralkan debaran jantungku setelah terkejut tadi.“Ya, Sherin karyawanku, dia baru seminggu ini bergabung dengan kami.” Hannan masih menatap tajam padaku. Ia seolah masih ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya.“Kenapa kamu memandangku seperti itu?” tanyaku.“Entahlah. Aku merasa ada yang kamu sembunyikan. Apa aku boleh tau kenapa Sherin mengundurkan diri dari posisi sektretaris di kantormu?”“Ck!! Tidak biasanya kamu mencampuri urusanku seperti ini, Han.”“Bukan tanpa sebab aku bertanya seperti ini. Sherin karyawanku, dan aku melihat ada yang aneh di antara kalian. Dia histeris saat melihatmu tadi, apalagi saat kamu mendekatinya. Lagipula, ia masih belum pulih karena tadi pagi sempat pingsan di toko ini dan menjalani beberapa pemeriksaan di rumah sakit.”“Apa? Sherin pingsan?”“Ya. Dia pingsan di sini l
“Ada yang ingin kamu sampaikan, Sherin?” sapanya lembut. “Jangan takut. Anggap aku ini adalah kakakmu ataupun sahabatmu. Kamu bisa menceritakan apa pun padaku, jangan menyimpan masalahmu sendiri, itu akan membuatmu semakin tertekan.”Aku mengangguk lemah, tetesan demi tetesan bening mulai mengalir dari kelopak mataku yang beberapa waktu belakangan ini kurasa telah bekerja keras untuk menghasilkan air mata. Mbak Hannan hanya terdiam tanpa kata, namun tatapan lembutnya tetap membuatku merasa sangat nyaman.“Menangislah jika kamu masih ingin menangis, keluarkanlah semua emosimu. Namun jangan lupa untuk beristighfar, agar air matamu tak hanya terbuang sia-sia namun mampu membantumu menghapus kesedihanmu.”Aku semakin terisak, bahuku naik turun menahan emosiku yang meluap-luap. Hingga akhirnya aku merasa lega dan mulai menghentikan tangisku. Mbak Hannan menepuk-nepuk pundakku dan menyodorkan segelas air mineral padaku. Tanpa kata, wanita itu tak berkata apapun selain tersenyum. Ia seolah m
PoV RandyAku menatap tak percaya saat Hannan memintaku masuk ke dalam ruangannya saat aku hendak berpamitan padanya setelah puas menemani Zayn bermain. Tak biasanya Hannan memanggilku ke dalam ruangannya, biasanya ia hanya mengangguk lalu membalas salamku ketika aku berpamitan padanya. Apa ini ada hubungannya dengan Sherin? Hatiku bertanya-tanya.Benar saja, saat memasuki rungan yang kurasa adalah ruangan Hannan sebagai pemilik ZaZa Bakery, sudah ada Sherin di sana. Gadis itu tertunduk saat aku dan Hannan masuk. Kulihat Sherin sudah tak lagi syok seperti tadi. Namun yang mengganggu pikiranku sekarang adalah Hannan. Dia pasti punya tujuan memanggilku ke sini, dan dengan adanya Sherin, aku sudah bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran Hannan. Kurasa mantan istriku itu sudah tau semuanya."Ada apa memanggilku kemari, Bun?" tanyaku berbasa-basi. Hannan mendelik, sepertinya karena aku kembali memanggilnya "bun"."Duduklak. Maaf aku hanya minta waktumu sebentar. Kurasa ada yang perlu ka
"Sudah kubilang jangan bawa-bawa namaku!" "Dengarkan aku dulu!" Aku balas membentaknya."Kamu mau tau kapan kejadiannya? Kamu mau tau kapan aku memperk*sa Sherin? Aku melakukannya di hari di mana kamu menikah! Di hari di mana aku merasa kamu akan benar-benar menjauh dari kehidupanku. Aku galau! Aku kecewa! Aku frustasi! Padahal sebelumnya masih ada secercah harapan dalam hatiku untuk bisa kembali merajut dan memperbaiki hubungan denganmu demi Zayn. Maka malam itu aku mabuk, dan aku mengira Sherin adalah kamu saat ia masuk ke dalam kantorku. Kamu tau? Aku membayangkan tubuhmu atas diri Sherin!" Aku meninggikan suaraku. Aku tak peduli lagi jika nantinya Hannan semakin membenciku setelah ini. Semua sudah terlanjur terjadi, aku sudah terlanjur malu padanya karena ia mengetahui bahwa aku telah melakukan tindakan asusila pada karyawanku. Toh, sepertinya Hannan juga sudah menutup rapat-rapat pintu hatinya untukku. Aku melirik sekilas ke arah Sherin, gadis itu masih tertunduk sambil sesekal
PoV Sherin.Menceritakan semua masalah pelik yang sedang kualami pada Mbak Hannan adalah pilihan terbaik. Selain merasa lebih plong, aku pun mulai memperoleh kepercayaan diriku perlahan-lahan. Selama ini, selain pada ibuku, aku belum pernah menceritakan masalah ini pada orang lain. Mbak Hannan justru orang yang pertama kali tau mengenai kehamilanku karena ia lah yang membawaku ke rumah sakit saat aku pingsan. Aura positif dari Mbak Hannan membuatku merasa mempunyai keberanian untuk bertemu dengan Pak Randy yang ternyata adalah mantan suaminya dan ayah kandung dari Zayn.Tak kubiarkan Mbak Hannan meninggalkanku dan Pak Randy hanya berdua ketika wanita anggun itu hendak berdiri dan meninggalkan kami. Aku memohon padanya untuk menemaniku, selain aura positif yang ada padanya, setidaknya Mbak Hannan pasti juga adalah orang yang tau banyak mengenai Pak Randy karena mereka pernah terikat dalam ikatan pernikahan. Tak sepertiku, yang selama ini hanya mengenal Pak Randy sebatas pekerjaan.Lalu
Ibu menatapku penuh tanya ketika aku pulang ke rumah ditemani Pak Randy. Aku segera meraih punggung tangan keriput ibuku dan menciumnya takzim setelah berbalas salam.“Kenapa ... kenapa bisa ....” Ibu terbata-bata namun tak meneruskan kalimatnya.“Maaf, Bu. Sherin terpaksa mengubah semua rencana yang telah kita susun dengan sempurna. Sherin terpaksa membawa Pak Randy kemari. Ada yang ingin Sherin sampaikan pada Ibu.” Aku berusaha tersenyum pada ibuku.“Lebih tepatnya saya, Bu. Ada hal penting yang harus saya bicarakan pada Ibu? Apa Ibu masih mau memperbolehkan saya untuk masuk?” ucap Pak Randy. Ibuku hanya mengangguk lemah sambil melirikku.Tak ada lagi air mataku yang mengalir saat pak Randy menceritakan semua pada ibu. Aku benar-benar telah menghabiskan semua emosiku tadi di ruangan Mbak Hannan. Maka yang kulakukan sekarang hanyalah mengusap-usap pundak Ibuku yang bergerak naik turun ketika ia meluapkan tangisannya. Berulang kali kudengar Ibu membaca istighfar.“Jangan menangis, Bu.
PoV RandyAku bisa merasa lega sementara ini. Sherin dan ibunya sudah mulai bisa untuk diajak berdiskusi. Bu Lastri, ibu Sherin menyerahkan semua keputusan pada Sherin, sedangkan Sherin meminta waktu padaku untuk memikirkan dan mempetimbangkan dengan matang niatku untuk menikahinya.“Ini terlalu cepat dan begitu tiba-tiba, Pak. Beri aku waktu untuk memikirkannya,” pintanya.“Jangan terlalu lama, perutmu akan semakin membesar. Aku tak mau kamu menanggung ini sendirian.”“Bagaimana dengan Bu Dewi?”“Aku akan berusaha bicara dan memberi pengertian padanya,” jawabku, meski pikiranku masih kosong. Bagaimana caranya aku memberi pengertian pada Dewi yang belakangan ini lebih protektif terhadapku? Namun aku tak memperlihatkan keraguanku di hadapan Sherin. Sudah cukup gadis malang itu mengalami kesedihan karena perbuatanku.***“Hai, Sayang. Hai, anak ayah,” sapaku ketika Dewi menyambutku setelah aku pulang ke rumah.Wanita hamil itu tersenyum. Mengambil tasku dan menyambutku dengan mencium pu
Awalnya aku selalu merasa khawatir jika Mas Randy kembali bertemu dengan Mbak Hannan. Namun belakangan rasa khawatir itu sudah mulai menghilang semenjak aku mendengar Mbak Hannan telah kembali menikah dengan seorang dokter. Lalu mengapa hari ini Mas Randy terlihat beda? Apakah Mbak Hannan kembali menggodanya hari ini? Apakah Mbak Hannan sudah mulai menyadari kesalahannya dulu meminta pisah dari Mas Randy?“Mas,” panggilku lirih di saat aku dan Ray sudah berada di tempat tidur kami setelah menikmati makan malam.Aku dan Mas Randy memang lebih sering berada di dalam kamar ketika kami sedang berada di rumah. Sejak insiden di mana ia memergokiku bersama Hans, Mas Randy sudah tak begitu akrab lagi dengan Bi Sum dan beberapa karyawan di rumah kami. Padahal dulunya, ia akan selalu mengajak mereka bercerita jika sedang di rumah.“Ada apa, Sayang? Mas lelah, mau istirahat,” jawabnya.“Aku merasa ada yang Mas Randy sembunyikan dariku.” Aku sudah tak sabar lagi menunggunya bicara, maka aku menco