PoV RandyDewi meradang dan meraung histeris ketika aku meminta izin padanya untuk menikahi Sherin. Ia memukul dan mencakar tubuhku yang memang masih belum mengenakan pakaian.“Sherin hamil, Wi. Ia juga sedang mengandung anakku. Aku tak mungkin membiarkannya begitu saja. Bagaimana pun aku harus bertanggungjawab padanya.”“Pergi kamu, Mas! Pergiiiiiii!” pekik Dewi.“Tenang dulu, Wi. Kita bisa bicara baik-baik.” Kuraih pakaiannya yang teronggok di lantai bersama pakaianku lalu menyodorkannya pada Dewi.Wanita itu memandangku penuh kemarahan, diraihnya pakaiannya dengan kasar kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya kemudian melangkah kasar ke dalam kamar mandi. Aku pun memakai kembali pakaianku dengan lengkap. Kudengar sayup-sayup suara tangis dan teriakan Dewi di dalam kamar mandi, rupanya ia masih meluapkan kemarahannya di sana.Pranggg!!! Aku terkejut mendengar suara khas benda pecah dari dalam kamar mandi. Buru-buru kulangkahkan kakiku ke sana.“Astaghfirullah!” pekikku ter
“Ya. Kamu enggak akan bisa seperti sekarang ini kalau bukan karena aku dan ayahku. Bahkan kamu hanya prajurit rendahan yang hanya mampu menghidupi anak istrimu dengan sangat sederhana sebelum menikahiku. Kamu bukan siapa-siapa Randy Maulana! Kamu hanya pria beruntung yang dipilih ayahku. Jadi jika sekarang kamu menghianatiku, aku akan menendangmu ke jalanan bersama wanita sialan itu.”“Dewi!!!” bentakku kasar. “Kamu sudah keterlaluan!”“Mas yang keterlaluan! Bisa-bisanya Mas menghamili wanita lain di saat aku juga sedang hamil!” seru Dewi tepat di saat Bi Sum masuk membawa nampan berisi makanan.Kurasa Bi Sum mendengar semuanya, sebab wanita paruh baya itu terlihat salah tingkah ketika menyodorkan nampan yang dibawanya. Aku hanya mengangguk pelan dan berterima kasih pada Bi Sum.Kuhela napasku kasar, mungkin aku harus sedikit melemah pada Dewi. Wanita itu sedang mengandung anakku dan aku tak mau terjadi apa-apa pada mereka berdua.“Bangunlah dulu. Sarapanmu sudah siap,” bujukku. Dewi
PoV SherinSemenjak Mbak Hannan mengetahui bahwa kondisiku sedang hamil, aku merasa ia memperlakukanku berbeda dari rekan-rekanku yang lain. Sejujurnya, aku merasa tidak nyaman. Selain karena aku adalah karyawan baru dibanding yang lain, aku juga takut jika rekan-rekanku menganggap aku mendekati pemilik ZaZa bakery itu secara pribadi. Karena tak jarang Mbak Hannan memanggilku dan mengajakku berdiskusi. Beberapa kali Mbak Hannan menanyakan bagaimana kelanjutan urusanku dengan Pak Randy. Kurasa bukan karena ingin mencampuri urusanku, tapi lebih kepada Mbak Hannan prihatin terhadap kondisiku. Terlebih saat ia pernah mampir ke rumah kontrakanku dan berkenalan dengan ibuku.Mbak Hannan meneteskan air matanya ketika itu. Menurutnya ia sedang mengenang almarhum ibunya yang jika masih hidup mungkin sekarang sudah seusia ibuku. Ibuku pun menitikkan air matanya ketika bertemu dengan Mbak Hannan, karena aku sudah menceritakan semua kebaikan atasanku itu pada ibuku. Namun yang lebih membuat ibuku
Hingga hiruk pikuk tadi reda, Tian tak lagi muncul di hadapanku. Pesanannya dan rombongan muridnya tadi dibayar oleh salah seorang guru yang kurasa adalah rekan Tian. Apakah ia sengaja menghindariku dengan menyuruh rekannya yang membayar ke meja kasir? Aku tak tau. Biarlah, aku pantas mendapatkan ini semua. Bukankah selama ini aku yang menghindarinya? Ia bahkan harus dirawat di rumah sakit waktu itu karena lelah mencariku.Bukankah inilah yang kuinginkan? Aku tak perlu repot-repot lagi menghindarinya karena ia sendiri sudah tak mau menyapaku. Ini pilihanku, dan seharusnya aku sudah menyiapkan hatiku untuk hal ini. Namun mengapa rasanya seperti ini? Aku sama sekali tak menyangka jika rasanya akan sesakit ini. kembali kutekan-tekan dadaku yang terasa sesak.“Heyy, kamu kenapa?” Suara Rosa mengagetkanku. Segera kuhapus sisa-sisa tangis di wajahku.“Ng—nggak apa-apa, Ros,” jawabku.“Kamu kenal dengan guru yang ganteng tadi?” tanya Rosa lagi.Aku menatap heran pada Rosa, kurasa yang dimaks
Pov RandyBaru saja tiba di parkiran ZaZa Bakery, aku sudah disuguhkan pemandangan yang sungguh membuat hatiku panas. Sherin sedang berada di dalam dekapan lelaki yang waktu itu mengantarkannya ke puskesmas. Aku tau lelaki itu adalah kekasih Sherin, bahkan aku juga merasa sangat bersalah padanya karena hubungan mereka harus berakhir karena perbuatanku pada Sherin. Meski aku tak punya perasaan apa pun pada Sherin, tapi saat ini Sherin sedang mengandung anakku dan aku merasa tak nyaman melihat gadis yang sedang mengandung bayiku itu berada di pelukan lelaki lain.Maka dengan kasar kutarik tangan gadis itu dari dekapan lelakinya. Keduanya terkejut, mungkin mereka berdua memang tak menyadari kehadiranku di sana karena sedang larut dalam romansa. Kulihat mata Sherin sembab, aku semakin emosi. Sherin tak boleh terlalu banyak menangis, aku takut itu akan mempengaruhi perkembangan bayinya. Sejak mengetahui jika di dalam rahimnya sedang bertumbuh benihku, aku memang selalu berusaha tak membuat
“Kenapa aku tak boleh membawa-bawa nama Mbak Hannan? Bahkan Pak Randy menyebut namanya saat menodaiku! Lalu kenapa sekarang Pak Randy tak mau mendengarku menyebut namanya? Apa Pak Randy sedang merasa menyesal karena telah mencampakkan wanita sebaik Mbak Hannan? Kenapa harus aku yang menjadi korban atas penyesalan Pak Randy? Aku punya impian masa depanku sendiri tapi Pak Randy telah menghancurkan semuanya! Lalu sekarang Pak Randy membentakku karena aku menyebut nama Mbak Hannan!”Aku menepikan mobilku. Selama mengenal Sherin, belum pernah kudengar ia barkata kasar dan panjang lebar padaku seperti ini. Bahkan ketika pertama kali aku bertemu dengannya setelah menodainya, ia tak pernah berkata kasar seperti ini.“Kamu marah karena aku melarangmu membawa-bawa nama Hannan?” tanyaku setelah mobilku menepi dan berhenti.“Ya, aku marah! Aku marah kenapa aku harus ikut berada di pusaran masalah hidup Pak Randy!”“Aku sudah meminta maaf padamu dan ibumu, Sherin. Tak ada niatku untuk melibatkanmu
Rasa kalut memenuhi rongga dadaku mendengar Dewi mengalami kecelakaan. Dari Bi Sum yang kutelepon saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku mengetahui jika Dewi nekat menyetir mobil sendiri padahal ia sama sekali belum lancar menyetir. Aku pun tak mengerti kenapa Dewi senekat itu padahal di rumah ada supir yang siap mengantarkannya ke mana saja ia mau.Aku semakin terpuruk ketika menghadapi kenyataan bahwa Dewi mengalami keguguran dalam kecelakaan itu. Petugas mengarahkanku untuk menandatangaini surat persetujuan tindakan kuret pada Dewi yang sedang koma, juga beberapa operasi di beberapa bagian tubuhnya akibat dari kecelakaan yang dialaminya.Aku terhenyak, tubuhku luruh ke lantai. Kenapa aku harus kembali mengalami hal seperti ini? Dulu aku kehilangan Zaid sewaktu seluruh perhatianku beralih pada Dewi. Lalu sekarang aku kehilangan bayiku dalam rahim Dewi disaat aku sedang mengalihkan perhatianku pada Sherin. Aku tergugu, menangisi semua yang terjadi. Aku sungguh takut kehilangan
Wajah Hannan berubah sendu, kurasa wanita cantik itu sedang mengenang Zaid, putra sulung kami.“Mau kah kamu membantu mempersiapkan acara pernikahanku dengan Sherin, Han? Hanya pernikahan sederhana, yang penting sah secara agama. Sherin tak mungkin mengurusnya sendiri, apalagi ibunya juga sedang dalam kondisi sakit.”Hannan menghela napas.“Baiklah, aku akan mambantumu.”Aku tertawa miris, menertawakan diriku sendiri.“Kenapa kamu tertawa?” tanya Sherin.“Aku tak pernah menyangka akan meminta hal seperti ini padamu. Memintamu membantu pernikahanku, padahal dalam hatiku kamu masih ....” Aku tak meneruskan kalimatku. Khawatir jika Hannan kembali merasa kesal padaku. Hannan pun tak merespon kalimatku.“Seandainya waktu bisa kuputar balik. Seandainya semua kejadian ini hanyalah mimpi burukku. Aku masih berharap terbangun dari mimpi buruk ini dan mendapatimu sedang berada di sisiku bersama anak-anak kita.”“Jangan membahas masa lalu. Kamu sendiri yang memilih jalan ini, maka jalanilah semu
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik