Wajah Hannan berubah sendu, kurasa wanita cantik itu sedang mengenang Zaid, putra sulung kami.“Mau kah kamu membantu mempersiapkan acara pernikahanku dengan Sherin, Han? Hanya pernikahan sederhana, yang penting sah secara agama. Sherin tak mungkin mengurusnya sendiri, apalagi ibunya juga sedang dalam kondisi sakit.”Hannan menghela napas.“Baiklah, aku akan mambantumu.”Aku tertawa miris, menertawakan diriku sendiri.“Kenapa kamu tertawa?” tanya Sherin.“Aku tak pernah menyangka akan meminta hal seperti ini padamu. Memintamu membantu pernikahanku, padahal dalam hatiku kamu masih ....” Aku tak meneruskan kalimatku. Khawatir jika Hannan kembali merasa kesal padaku. Hannan pun tak merespon kalimatku.“Seandainya waktu bisa kuputar balik. Seandainya semua kejadian ini hanyalah mimpi burukku. Aku masih berharap terbangun dari mimpi buruk ini dan mendapatimu sedang berada di sisiku bersama anak-anak kita.”“Jangan membahas masa lalu. Kamu sendiri yang memilih jalan ini, maka jalanilah semu
PoV DewiAda setitik cahaya putih yang menyilaukan dalam pekatnya gelap, membuatku tertarik berjalan ke arah cahaya itu. Makin lama cahaya itu semakin jelas terlihat hingga akhirnya aku benar-benar bisa memasuki cahayanya setelah berjalan terseok-seok. Lalu tubuhku terasa terlempar dari gelap pekat ke cahaya tadi hingga akhirnya aku bisa melihat dengan sempurna cahaya itu. Kamarku! Aku langsung mengenali langit-langit kamarku.“Uhhuk!” Aku bisa mendengar suaraku terbatuk-batuk. Aneh! Aku merasa aneh pada diriku sendiri, sudah lama sekali merasa tak bisa mendengar suaraku sendiri.“Bu ... Bu Dewi!” Ada suara asing di sampingku. Dengan susah payah kutolehkan kepalaku melihat ke sumber suara. Seorang wanita yang sepertinya tengah hamil sedang memegang sehelai kain yang menempel di kakiku.“Si-siapa k-kamu.” Lemah sekali suaraku dan juga berat. “A-aku haus.”“Sebentar, ya, Bu. Sherin ambilkan minum,” Wanita itu meletakkan kain kecil yang tadi dipegangnya, rupanya ia sedang menyeka tubuhku
PoV RandyAku segera pulang dengan tergesa-gesa saat Sherin menelepon dan mengabarkan padaku bahwa Dewi sudah bangun dari komanya. Sherin sendiri sudah berangkat bekerja ke ZaZa Bakery dengan motor maticnya ketika aku tiba dirumah. Gegas aku menuju ke kamarku di mana Dewi selama ini terbaring.Meski hatiku ingin sekali langsung menyerang Dewi dengan pertanyaan mengenai Hans yang terlibat kecelakaan bersamanya, namun urung kulakukan saat melihat Dewi yang masih dalam kondisi sangat lemah. Netraku bertatapan dengannya, aku tersenyum lalu melangkah ke arahnya dan duduk di tepi ranjang di mana ia terbaring.Ada yang aneh. Kenapa Dewi seolah risih dengan kehadiranku? Kenapa ia menatapku seolah aku adalah orang asing? Kenapa ia tak segera memanggil namaku dengan manja seperti biasanya? Lidahku pun seolah kelu, aku tak ingin bertanya apa pun dulu padanya. Rasa iba justru menguasai hatiku ketika aku melihat betapa lemahnya dan betapa tatapan matanya penuh dengan pertanyaan yang mungkin belu
PoV HannanHari ini Ray akan terbang ke Makassar dalam rangka persiapan pembukaan cabang Health Hospital di sana. Menurut Ray, kota tersebut dipilih karena merupakan kota pusat kegiatan masyarakat di wilayah Indonesia Timur. Ray dan beberapa petinggi Health akan berada di sana selama 3 hari. Maka, pagi ini Ray mengajakku ke Health Hospital karena ia akan mengadakan meeting dulu sebelum penerbangan mereka sore nanti.“Ikut ke kantor, ya, Sayang. Biar nanti pulangnya dijemput supir. Aku ada meeting sebelum penerbangan dan kemungkinan enggak bisa pulang ke rumah, akan langsung ke bandara dari Health bersama tim.”Aku mengangguk. Meski sebenarnya aku juga sedang ada pekerjaan di ZaZa Bakery karena ada beberapa mall yang menawarkan kami membuka gerai di mall. Namun, aku sudah berkomitmen dari awal bahwa ZaZa Bakery tidak akan menjadi hambatan dalam hubunganku dengan Ray. Dia dan Zayn akan tetap menjadi prioritasku yang utama. Walaupun begitu, aku masih sempat menanyakan padanya kenapa aku
“Wanita itu, wanita yang kupilih dan membuatku meninggalkanmu tak lagi mengenaliku. Ia bahkan selalu ingin protes ketika aku menyentuhnya meski hanya untuk membantunya karena ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bagaimana aku bisa hidup dengan kondisi seperti ini?”“Insya Allah jika kamu ikhlas menerima cobaan ini dan bersabar menghadapi istrimu, aku yakin Allah akan memberi kebahagiaan padamu. Bukankah selalu akan ada pelangi setelah hujan?” Aku mengulangi kata-kata yang dulu pernah Ray ucapkan padaku. Kata-kata yang mmebuatku mulai melirik pria yang kini telah menikahiku itu.“Aku pernah mengalami fase hidup yang jauh lebih terpuruk, Ran. Dan lihatlah sekarang, Allah memberiku kesempatan untuk kembali merasakan kebahagiaan yang dulu pernah hilang dari hidupku,” lanjutku.Randy menatapku kemudian menghela napasnya berat.“Mau melihatnya?”Aku mengangguk, lalu kami pun masuk ke dalam ruang VVIP. Di dalam sudah ada perawat, seperti yang dikatakan Ray tadi, ia tak akan membiarkanku hanya
PoV Randy“Ceritakan padaku apa saja yang sudah kulupakan dan hilang dari ingatanku,” ucap Dewi dengan suara lirih, meski begitu tatapannya masih tajam seperti dulu. Aku kembali melihat ketegasan Pak Nugi dari pancaran matanya.“Aku akan menceritakannya pelan-pelan,” jawabku sambil menyuapi bubur padanya. Dewi pun menurut.“Kemana ayah? Kapan aku bisa melihat?” Dewi kembali menggumam.Aku menghela napasku berat. Sepertinya hal pertama yang harus kujelaskan padanya adalah bahwa ayahnya sudah gugur dalam tugasnya.“Dewi, kamu percaya padaku, kan? Kamu percaya apa yang akan kuceritakan padamu?”“Jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu adalah orang pilihan ayahku?”Aku mengangguk. “Ya, aku adalah orang yang dipilih oleh Pak Nugi untuk menemanimu.”“Kalau begitu aku bisa mempercayaimu.”Kubersihkan sisa-sisa makanan di bibir Dewi. Kini ia tak lagi menghindar ketika aku menyeka bibirnya dengan sehelai tisu. Sangat berbeda dengan sebelumnya, ia akan selalu menghindar atau sekedar melototkan matany
“Perempuan hamil yang waktu itu menyeka tubuhku siapa, Mas? Ia mengaku bernama Shiren. Aku merasa tak mengenalnya.”Degg!!Jantungku berdebar kencang. Harus bagaimana kujelaskan padanya siapa Dewi. Haruskah kukatakan bahwa Sherin adalah istriku juga? Haruskah kujelaskan padanya bahwa bayi yang sedang dikandung Sherin adalah anakku?“Mas?” Mata Dewi seolah menuntut jawaban.“Oh ... itu. Namanya Sherin, bukan Shiren.” Aku terbata-bata.“Siapa dia? Apa dia bekerja di rumah kita? Bukankah sudah ada Bi Sum dan yang lainnya?”Salivaku menjadi keras seperti batu ketika aku berusaha menelannya. Dengan grogi aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal tepat di saat pintu ruangan di ketuk dari luar. Lalu ....“Ayah!!!” Wajah Zayn yang ceria langsung muncul saat pintu terbuka.“Hey! Hati-hati, Nak!” Suara Hannan menegurnya bocah yang kini sedang berlari ke arahku.Kusambut tubuh Zayn dengan pelukan. Bocah itu menciumi wajahku sambil terus memeluk leherku.“Zayn kangen Ayah!”“Ayah juga
PoV Sherin“Sher, di depan ada suamimu,” ucap Rosa padaku.“Oh, iya, Ros. Terima kasih, ya,” jawabku.Suamiku? Tumben sekali Pak Randy kemari lagi. Seminggu terakhir ini tepatnya semenjak Bu Dewi terbangun dari koma, Pak Randy tak pernah lagi datang ke ZaZa Bakery, meski itu untuk menemui Zayn. Sepertinya ia tengah sibuk bolak-balik mengurus perusahaannya dan juga mengurus Bu Dewi. Di rumah pun aku hampir tak pernah bertemu dengannya karena sepertinya sepulang dari kantor ia memilih pulang ke rumah sakit menemani Bu Dewi. Komunikasi kami pun tak banyak, sangat jarang sekali kami berkirim pesan apalagi melakukan panggilan telepon. Hubungan kami memang tak seperti hubungan suami istri pada umumnya.Di rumah, Bi Sum dan lainnya menerima kehadiranku dengan baik, meski tak terlalu akrab. Padahal saat Pak Randy mengajakku untuk tinggal di rumahnya setelah ibuku meninggal dan Bu Dewi koma, aku membayangkan mereka semua akan memandang sinis padaku. Namun, itu semua tak pernah terjadi. Bi Sum
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik