PoV Sherin“Sher, di depan ada suamimu,” ucap Rosa padaku.“Oh, iya, Ros. Terima kasih, ya,” jawabku.Suamiku? Tumben sekali Pak Randy kemari lagi. Seminggu terakhir ini tepatnya semenjak Bu Dewi terbangun dari koma, Pak Randy tak pernah lagi datang ke ZaZa Bakery, meski itu untuk menemui Zayn. Sepertinya ia tengah sibuk bolak-balik mengurus perusahaannya dan juga mengurus Bu Dewi. Di rumah pun aku hampir tak pernah bertemu dengannya karena sepertinya sepulang dari kantor ia memilih pulang ke rumah sakit menemani Bu Dewi. Komunikasi kami pun tak banyak, sangat jarang sekali kami berkirim pesan apalagi melakukan panggilan telepon. Hubungan kami memang tak seperti hubungan suami istri pada umumnya.Di rumah, Bi Sum dan lainnya menerima kehadiranku dengan baik, meski tak terlalu akrab. Padahal saat Pak Randy mengajakku untuk tinggal di rumahnya setelah ibuku meninggal dan Bu Dewi koma, aku membayangkan mereka semua akan memandang sinis padaku. Namun, itu semua tak pernah terjadi. Bi Sum
“Dewi sudah tak mungkin lagi memberiku keturunan. Aku sangat berharap banyak pada anakku yang ada dalam kandunganmu. Kuharap kamu bisa menjaganya dengan baik, meski di rumah nanti kita harus bersandiwara di depan Dewi tentangmu dan anak kita. Bisakah kamu melakukannya untukku?”Aku mengangguk. “Bolehkah aku mengajukan satu permintaan pada Pak Randy?”“Apa itu?”“Aku dan bayiku akan pergi dari rumah itu setelah melahirkan. Kurasa Pak Randy juga sudah pernah menjanjikan ini padaku, tapi aku hanya ingin memastikannya kembali.”“Apa maksudmu kamu akan meminta cerai setelah bayi itu lahir?”“Kita sama-sama tak punya perasaan apa-apa satu sama lain, Pak. Kita berdua hanya terjebak oleh keadaan dan sama-sama harus bertanggungjawab pada bayi ini.”“Maafkan aku, Sherin. Tapi jika maksudmu adalah bercerai, aku belum bisa menjawabnya sekarang. Kita jalani saja dulu semua ini. Aku ... aku tak sanggup lagi jika harus tinggal terpisah dengan anakku. Cukup hanya Zayn yang membuatku selalu harus mena
PoV DewiMeski merasa ada yang aneh, namun aku hanya bisa menerima semua penjelasan yang Mas Randy katakan. Sewaktu di rumah sakit beberapa hari yang lalu, aku menanyakan kehadiran seorang anak kecil yang memanggil pria yang mengaku suamiku itu dengan panggilan ayah. Mas Randy pun terlihat tersenyum semringah menyambutnya dan memeluk serta menciumi bocah yang mengaku bernama Zayn itu. Dia datang bersama seorang wanita yang menurutku sangat cantik dan elegan. Siapa mereka? Siapa wanita cantik dan bocah kecil menggemaskan itu?“Siapa mereka, Mas?” tanyaku setelah mereka pamit pulang.Mas Randy menghela napas. Aku sudah menyiapkan mentalku, caranya memperlakukan bocah tadi dan bagaimana bocah tadi memanggilnya ayah cukup membuatku paham. Aku hanya ingin penjelasan dari pria yang telah menikahiku itu.Mas Randy menggenggam tanganku. Aku merasakan kehangatannya mengalir meski aku tak dapat menggerakkan tanganku. Di dekatkannya tanganku dalam genggamannya ke pipinya, kemudian mengecupnya pe
“Jangan segan padaku, aku suamimu. Kamu boleh meminta apapun termasuk tubuhku. Bukankah sebelum pulang dari rumah sakit dokter sudah menjelaskan bahwa kita tetap bisa menjalani hubungan intim seperti biasa? Jangan menahannya jika kamu menginginkanku. Kita akan melakukannya perlahan-lahan. Aku berjanji akan tetap memberimu nafkah batin.”Kurasa wajahku sudah seperti kepiting rebus sekarang. Ingin sekali rasanya aku menggerakkan tanganku dan menyembunyikan wajahku saat ini. Namun aku hanya bisa susah payah menahannya. Mengapa pria ini begitu tega mengucapkan hal seperti itu di depanku?“Kamu tau, Sayang. Dulu kamu adalah istri yang sangat hebat di ranjang.” Ia kembali berbisik lirih di dekat telingaku.Aku semakin tak berdaya.“Kita akan mencobanya lagi nanti malam. Hari ini kamu istrirahat dulu, ya. Aku akan memanggil Sherin untuk membantumu membersihkan diri.”Aku kembali teringat pada wanita hamil itu.“Mas ....”“Hmmm ... udah enggak sabar menunggu nanti malam?” kekehnya.“Bukan. Bu
PoV Randy.[Pak Randy ngomong apa pada Bu Dewi tentangku. Kenapa Bu Dewi mengatakan aku dan Mang Kardi suami istri?]Sebuah pesan dari nomor Sherin membuatku kebingungan di tengah meeting. Aku memang asal menyebut nama Mang Kardi tadi saat Dewi bertanya padaku siapa suami dari Sherin.[Ada apa lagi, Sher? Kamu usahakan mengelak dulu jika Dewi bertanya yang macam-macam. Aku tadi tak sengaja menyebut nama Mang Kardi saat ia menanyakan siapa suamimu. Aku sedang meeting jangan menggangguku dulu, kuharap kamu bisa mengatasinya.]Kuabalas pesan dari Sherin dan meneruskan meeting. Kali ini perusahaan kami mengajukan tawaran proyek renovasi di Health Hospital, sehingga salah satu orang yang mengisi ruang meeting kali ini adalah dr. Rayyan yang merupakan direktur utama di Health.Sebuah pesan dari Sherin kembali masuk di gawaiku setelah meeting selesai dan para petinggi Health Hospital sudah pulang. Meeting kali ini memang digelar di salah satu hotel bintang lima. Bukan tanpa sebab, menurut ti
“Ya Allah, Sher! Itu dulu, untuk apa mengungkap yang sudah lalu? Sekarang kamu adalah istriku, kita sudah menikah. Aku punya hak atas tubuhmu.”“Tidak! Sherin enggak mau!”“Kamu akan menanggung dosa besar karena menolak suamimu.”“Aku tak peduli! Cukup sekali Pak Randy menjadikanku tempat pelampiasan. Aku sudah tak mau lagi! Meskipun sekarang kita berstatus suami istri!”Sherin menepis tanganku kemudian berlari menuju pintu lalu keluar dari kamar hotel.Aku menghela napas kasar, mataku memanas. Ingin rasanya kukejar wanita itu kemudian melakukan apapun yang kuinginkan padanya. Bukankah dia adalah istriku? Tapi dengan susah payah kutahan emosiku, aku tak mau melakukan kesalahan lagi dengan memaksanya. Apa salahku? Aku hanya ingin melampiaskan hasratku pada tempat yang seharusnya. Aku bahkan sudah meminta baik-baik padanya. Meski pun sangat mudah bagiku jika ingin melakukannya, tapi aku sungguh tak ingin salah langkah lagi. Aku tak ingin menambah masalah lagi dalam hidupku yang sudah ku
PoV Hannan.Ada perasaan tak nyaman pagi ini ketika aku bangun di pagi hari, tubuhku terasa lemas dan rasanya malas untuk beraktivitas. Tapi demi menyiapkan semua keperluan Ray, aku pun memaksakan bangun dan menuju ke dapur dan membuat sarapan dibantu Bi Ina.Aku hanya menatap dan menemani Pak David, Ray dan Zayn saat sarapan, tanpa berminat menyentuh makanan yang baru saja kusajikan. Ray beberapa kali menanyakan kenapa aku tak ikut sarapan, tapi aku hanya beralasan masih kenyang dan belum berselera.“Beberapa hari ini kamu enggak pernah ikut sarapan, Bun. Apa Bunda baik-baik saja?” Ray bertanya dengan tatapan sedikit khawatir.“Iya, Mas. Aku baik-baik saja, hanya beberapa hari ini memang kurang berselera makan.”Pak David yang berada di samping Zayn dan sesekali menggoda Zayn menengadahkan wajahnya menatapku sesaat sebelum kemudian kembali menikmati sarapan serealnya.“Aku pergi dulu, ya, Bun.” Ray mencium keningku berpamitan. Ia tadi memang mengatakan bahwa hari ini ia harus berangk
Benar saja, pria tampan itu berada di sana. Sendirian memandangi air mancur mini dan bunga-bunga lily sambil duduk di satu-satunya kursi taman yang ada di sana. Kurasa Ray memang sangat menyukai taman ini. Ia tak menyadari kehadiranku hingga aku dengan iseng menutup matanya dari arah belakang dengan kedua tanganku. Aku merasa heran ketika Ray bergeming, tak bereaksi apa pun dan hanya tetap duduk diam. Apa ia mengira aku adalah orang lain? Dengan sedikit rasa kesal aku pun melepas tanganku yang menutupi kedua matanya. Namun, tangan Ray dengan lembut menarik tanganku kemudian mengecup punggung tanganku.“Kalau aku orang lain gimana, Mas! Apa kamu juga akan mengecup tangannya seperti ini?” protesku. Ia bahkan belum menengok ke belakang tapi sudah berani mencium punggung tanganku.“Nggak akan ada orang lain yang berani seperti ini padaku, Sayang.”“Bagaimana kalau yang tadi bukan aku tapi Nadine!” sengitku.“Aku hapal aroma tanganmu, aroma tubuhmu. Feelingku tak mungkin salah alamat. Ada
Sherin terkejut mendapati sebuah kotak kecil terselip pada buket bunga yang diberikan oleh Randy tadi. Ia baru memperhatikannya setelah randy berpamitan pulang dan ia masuk ke dalam rumahnya. Perlahan wanita itu membuka kotak kecil itu, mulutnya ternganga lebar melihat isi kotak. Sebuah cincin berlian bermata putih yang berkilau memanjakan mata. Benda kecil yang Sherin mungkin tak akan bisa menebak harganya, cincin keluaran brand perhiasan kelas internasional. Sungguh benda yang sangat mahal untuk wanita biasa sepertinya.“Cincin ini menandakan perasaan tulusku padamu, Sherin. Seprestisius benda ini, sedalam ini pula perasaanku padamu.”Begitu isi tulisan di kartu yang terselip di sana. Sherin menghela napas panjang, lalu teringat kotak pemberian Tian padanya. Buru-buru Sherin membuka tas nya dan mengeluarkan benda yang diambil Tian dari laci dashboard mobilnya tadi, yang tadi membuatnya merasa merinding dan memejamkan mata karena mengira Tian hendak menciumnya.Jantung Sherin berdeta
“Pak Randy?!” pekik Sherin saat mendapati mantan suaminya duduk di kursi teras depan rumahnya dengan mata terpejam.Pria yang pernah menikahi Sherin itu terkejut membuka matanya.“Ah, aku tertidur,” gumamnya.“Pak Randy ngapain?” Sherin mulai merasa tak nyaman melihat buket bunga yang diletakkan pria itu di atas meja.“Selamat ulang tahun, Sherin!” Randy menyodorkan buket bunga padanya. Pria itu tersenyum dengan lebar.“Dari mana tadi?” tanyanya.Sherin tak menjawab.“Tadi aku ke kantormu tapi kata karyawanmu, kamu lagi keluar dengan seseorang.”Sherin mematung.“Tadi pergi dengan siapa?” Lagi-lagi Randy bertanya, tapi Sherin tak menjawabnya.“Terima kasih bunganya, Pak. Terima kasih juga ucapannya. Kalau nggak ada yang mau diomongkan lagi Bapak boleh pulang sekarang, aku lelah,” pintanya.Namun pria di depannya tertawa sumbang.“Aku boleh masuk, Sher?”“Nggak, Pak! Aku wanita single, apa kata orang nanti kalau melihat aku menerima tamu lelaki.”“Tapi aku sua ... aku mantan suamimu,
Sherin diam mendengarkan.“Hingga akhirnya aku bertemu Dinda, dia kakak dari salah satu muridku. Dia sangat perhatian pada Syifa, dari Syifa umur setahun dia sudah dekat dengan gadis itu.”Sekali lagi ada nyeri yang menyusup di hati Sherin. Setelah tadi bercerita tentang istrinya, kini pria yang dicintainya itu bercerita tentang gadis lain.“Semua yang melihat kebersamaan kami mengira aku dan Dinda punya hubungan khusus. Mungkin juga termasuk kamu, Sherin.” Tian menatap.“Kenapa kamu tak memilih bersamanya, bukankah dia sudah dekat dengan Syifa?” tanya Sherin ragu-ragu.“Sejak kepergian Lia, prioritasku hidupku adalah Syifa. Dan melihat kedekatan Syifa dengan Dinda, terus terang saja aku pernah berpikir untuk menawarkan hubungan yang lebih serius padanya.”Hati Sherin kembali tergores mendengarnya.“Lalu kenapa tak kamu lakukan? Sepertinya Dinda juga menyukaimu.” Akhirnya Sherin menyebut nama gadis itu.Tian menggeleng.“Keyakinan kami berbeda, Sherin. Dinda penganut agama lain. Dia s
Sepanjang perjalanan Sherin terus menyimpan banyak pertanyaan di dalam benaknya. Salah satunya adalah kendaraan roda empat yang tadi dipakai Tian untuk menjemputnya. Mungkin mobil Tian tak semahal mobil milik dr. Rayyan, suami atasannya, dah tak sekeren mobil milik Randy, mantan suami sirinya. Namun, memiliki kendaraan pribadi seperti ini bagi Sherin adalah prestasi mantan kekasihnya itu. Karena dulu, sewaktu dirinya dan Tian masih menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih, hidup mereka sangat sederhana. Dulu, hanya kendaraan roda dua milik Tian yang setia menemani mereka berdua menjalani hari-hari memadu kasih.Impian mereka saat itu pun sangat sederhana, hanya ingin menikah dan hidup bersama saling memberi semangat dalam karir. Sherin tau, Tian hanyalah seorang guru biasa yang bahkan baru beberapa bulan sebelum hubungan mereka berakhir pria itu diangkat secara resmi sebagai guru tetap. Maka, jika Tian bisa memiliki kendaraan roda empat seperti saat ini, tentu lah pria yang sedang b
Seminggu setelah bertemu Tian di lokasi outbond, tak ada komunikasi apa pun lagi di antara sepasang manusia yang pernah begitu dekat itu. Sherin yang awalnya menaruh harap, kini memilih membuang jauh-jauh harapan itu. Dia menertawakan dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia berharap sedang Tian hanya menegur dan menanyakan kabarnya. Bukan kah itu hal yang wajar dilakukan oleh seseorang setelah bertahun-tahun tak berjumpa? Bahkan Tian sama sekali tak menanyakan nomor ponselnya saat itu.Wanita yang sehari-harinya kini mengenakan jilbab itu beberapa kali menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, menepis sisa-sisa tatapan Tian yang masih lekat di kepalanya. Tatapan mata yang menyembunyikan luka, mungkin luka karena ditinggal oleh istrinya. Betapa bodohnya pikirannya waktu itu yang dengan cepat menyimpulkan jika komunikasi keduanya akan terus berlanjut setelah pertemuan di area outbond. Pun betapa malunya ia pada Hannan ketika atasannya itu dengan mudah membaca pikirannya jika Sherin masih berh
Kegiatan family day karyawan ZaZa berjalan lancar, meski Sherin sendiri tak begitu menikmatinya. Kehadiran sosok dari masa lalunya yang juga tengah berada di area outbond bersama rombongannya mengalihkan konsentrasi Sherin. Terlebih lagi, ada sesosok wanita yang selalu terlihat berada di dekat mantan kekasihnya itu. Wanita yang terlihat sangat dekat dengan bocah kecil bermata sendu seperti ayahnya.Kegelisahan Sherin tak luput dari perhatian Hannan. Hannan memang selalu menjadi wanita yang penuh perhatian. Meski disibukkan dengan mengurus ketiga buah hatinya, namun wanita tegar itu juga tak begitu saja mengabaikan karyawannya. Hannan tau apa yang menyebabkan Sherin gelisah, karena dia pun tadi sempat berpapasan dengan Tian yang diketahuinya adalah mantan kekasih Sherin. Maka wanita elegan itu mendatangi Sherin, karyawan sekaligus sahabatnya, sambil menggendong Zara.“Sher, kalau masih ada yang ingin dibicarakan atau ditanyakan sebaiknya temui dia. Tak baik menyimpan semuanya sendirian
“Tadi anak ini kehilangan balonnya, Mbak. Terbang ke atas pohon tadi.” Sherin menjelaskan tanpa diminta.“Oh, iya. Terima kasih, ya, Mbak.”Si wanita cantik berkulit putih dengan rambut sebahu itu tersenyum pada Sherin, lalu kemudian meraih bocah kecil tadi dan menggendongnya.“Yuk, balik. Ayah nyariin Syifa loh. Eh ... itu ayah nyusul.” Wanita itu terus berucap sambil menggendong sang bocah.Sherin ikut menoleh saat mendengar suara seseorang dari arah belakangnya.“Syifa ... kok mainnya sampai jauh gini, Nak?”Sherin terkejut, bukan hanya kerena merasa tak asing dengan suara itu tapi tatapan mata pria yang baru saja datang itu mengunci pergerakannya. Sherin terpaku, tak dapat bergerak, apalagi berkata-kata. Pria yang baru datang itu pun sama terkejutnya dengan Sherin. Keduanya saling menatap beberapa saat seolah waktu sedang berhenti berputar bagi keduanya.“Sherin!”Kini Sherin tau kenapa tadi seolah mengenal tatapan mata di bocah yang menangis kehilangan balonnya.“Hai, Tian. Dia .
Lima Tahun Kemudian.Hari ini seluruh karyawan ZaZa dia ajak oleh Hannan untuk rekreasi. ZaZa kini tak lagi hanya sekedar toko bakery, Hannan membeli beberapa unit ruko di deretan ZaZa bakery dan melebarkan usahanya dengan membuka swalayan dan butik yang semuanya diberi nama ZaZa. Hannan sendiri tak pernah turun tangan langsung tapi hanya memantau usaha yang dipercayakannya pada Sherin.Sherin pun kini menjelma menjadi wanita karir yang membawahi ratusan karyawan ZaZa. Wanita mandiri itu pun sudah mampu membeli rumah sendiri dan tak lagi tinggal di rumah yang diberikan Randy padanya. Sherin mengembalikan semuanya karena tak ingin terhubung lagi dengan mantan atasannya itu.Bagi Hannan, Sherin adalah tangan kanannya dalam bekerja memperluas usahanya sementara Hannan adalah otak utamanya. Perpaduan dua wanita pekerja keras membuahkan hasil yang gemilang di bawah nama ZaZa. Sherin bukan digaji tetap oleh Hannan, tapi digaji berdasarkan omzet yang dicapai oleh bisnis ZaZa. Maka, Sherin me
“Sher, please. Cuma kamu yang bisa menolongku. Tolong menikah lah dengan suamiku.” Dewi sengaja menyela sebelum Sherin menjawab.Sherin menghela napas. Dia masih ingat betapa berangnya wanita di hadapannya ini dulu ketika mengetahui Sherin mengandung anak suaminya. Betapa teganya wanita yang tak berdaya di hadapannya ini waktu itu memaksanya untuk menggugurkan kandungannya. Betapa berkuasanya seorang Dewi saat melemparkan segepok rupiah di hadapannya dan ibunya waktu itu. Betapa keangkuhan yang dulu nampak jelas pada wanita itu kini berubah menjadi kelemahan.“Sher, meski kamu tak mencintai Mas Randy, tapi setidaknya kalian pernah menikah dan kamu pernah mengandung bayinya. Aku ... aku tak bisa membayangkan jika dia harus bersama wanita lain lagi selain kamu, Sher.”Ternyata wanita di hadapan Sherin itu masih Dewi yang dulu. Dewi yang egois, yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Dia meminta Sherin kembali pada suaminya hanya agar suaminya tak melirik wanita lain lagi. Sungguh pemik