“Perempuan hamil yang waktu itu menyeka tubuhku siapa, Mas? Ia mengaku bernama Shiren. Aku merasa tak mengenalnya.”Degg!!Jantungku berdebar kencang. Harus bagaimana kujelaskan padanya siapa Dewi. Haruskah kukatakan bahwa Sherin adalah istriku juga? Haruskah kujelaskan padanya bahwa bayi yang sedang dikandung Sherin adalah anakku?“Mas?” Mata Dewi seolah menuntut jawaban.“Oh ... itu. Namanya Sherin, bukan Shiren.” Aku terbata-bata.“Siapa dia? Apa dia bekerja di rumah kita? Bukankah sudah ada Bi Sum dan yang lainnya?”Salivaku menjadi keras seperti batu ketika aku berusaha menelannya. Dengan grogi aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal tepat di saat pintu ruangan di ketuk dari luar. Lalu ....“Ayah!!!” Wajah Zayn yang ceria langsung muncul saat pintu terbuka.“Hey! Hati-hati, Nak!” Suara Hannan menegurnya bocah yang kini sedang berlari ke arahku.Kusambut tubuh Zayn dengan pelukan. Bocah itu menciumi wajahku sambil terus memeluk leherku.“Zayn kangen Ayah!”“Ayah juga
PoV Sherin“Sher, di depan ada suamimu,” ucap Rosa padaku.“Oh, iya, Ros. Terima kasih, ya,” jawabku.Suamiku? Tumben sekali Pak Randy kemari lagi. Seminggu terakhir ini tepatnya semenjak Bu Dewi terbangun dari koma, Pak Randy tak pernah lagi datang ke ZaZa Bakery, meski itu untuk menemui Zayn. Sepertinya ia tengah sibuk bolak-balik mengurus perusahaannya dan juga mengurus Bu Dewi. Di rumah pun aku hampir tak pernah bertemu dengannya karena sepertinya sepulang dari kantor ia memilih pulang ke rumah sakit menemani Bu Dewi. Komunikasi kami pun tak banyak, sangat jarang sekali kami berkirim pesan apalagi melakukan panggilan telepon. Hubungan kami memang tak seperti hubungan suami istri pada umumnya.Di rumah, Bi Sum dan lainnya menerima kehadiranku dengan baik, meski tak terlalu akrab. Padahal saat Pak Randy mengajakku untuk tinggal di rumahnya setelah ibuku meninggal dan Bu Dewi koma, aku membayangkan mereka semua akan memandang sinis padaku. Namun, itu semua tak pernah terjadi. Bi Sum
“Dewi sudah tak mungkin lagi memberiku keturunan. Aku sangat berharap banyak pada anakku yang ada dalam kandunganmu. Kuharap kamu bisa menjaganya dengan baik, meski di rumah nanti kita harus bersandiwara di depan Dewi tentangmu dan anak kita. Bisakah kamu melakukannya untukku?”Aku mengangguk. “Bolehkah aku mengajukan satu permintaan pada Pak Randy?”“Apa itu?”“Aku dan bayiku akan pergi dari rumah itu setelah melahirkan. Kurasa Pak Randy juga sudah pernah menjanjikan ini padaku, tapi aku hanya ingin memastikannya kembali.”“Apa maksudmu kamu akan meminta cerai setelah bayi itu lahir?”“Kita sama-sama tak punya perasaan apa-apa satu sama lain, Pak. Kita berdua hanya terjebak oleh keadaan dan sama-sama harus bertanggungjawab pada bayi ini.”“Maafkan aku, Sherin. Tapi jika maksudmu adalah bercerai, aku belum bisa menjawabnya sekarang. Kita jalani saja dulu semua ini. Aku ... aku tak sanggup lagi jika harus tinggal terpisah dengan anakku. Cukup hanya Zayn yang membuatku selalu harus mena
PoV DewiMeski merasa ada yang aneh, namun aku hanya bisa menerima semua penjelasan yang Mas Randy katakan. Sewaktu di rumah sakit beberapa hari yang lalu, aku menanyakan kehadiran seorang anak kecil yang memanggil pria yang mengaku suamiku itu dengan panggilan ayah. Mas Randy pun terlihat tersenyum semringah menyambutnya dan memeluk serta menciumi bocah yang mengaku bernama Zayn itu. Dia datang bersama seorang wanita yang menurutku sangat cantik dan elegan. Siapa mereka? Siapa wanita cantik dan bocah kecil menggemaskan itu?“Siapa mereka, Mas?” tanyaku setelah mereka pamit pulang.Mas Randy menghela napas. Aku sudah menyiapkan mentalku, caranya memperlakukan bocah tadi dan bagaimana bocah tadi memanggilnya ayah cukup membuatku paham. Aku hanya ingin penjelasan dari pria yang telah menikahiku itu.Mas Randy menggenggam tanganku. Aku merasakan kehangatannya mengalir meski aku tak dapat menggerakkan tanganku. Di dekatkannya tanganku dalam genggamannya ke pipinya, kemudian mengecupnya pe
“Jangan segan padaku, aku suamimu. Kamu boleh meminta apapun termasuk tubuhku. Bukankah sebelum pulang dari rumah sakit dokter sudah menjelaskan bahwa kita tetap bisa menjalani hubungan intim seperti biasa? Jangan menahannya jika kamu menginginkanku. Kita akan melakukannya perlahan-lahan. Aku berjanji akan tetap memberimu nafkah batin.”Kurasa wajahku sudah seperti kepiting rebus sekarang. Ingin sekali rasanya aku menggerakkan tanganku dan menyembunyikan wajahku saat ini. Namun aku hanya bisa susah payah menahannya. Mengapa pria ini begitu tega mengucapkan hal seperti itu di depanku?“Kamu tau, Sayang. Dulu kamu adalah istri yang sangat hebat di ranjang.” Ia kembali berbisik lirih di dekat telingaku.Aku semakin tak berdaya.“Kita akan mencobanya lagi nanti malam. Hari ini kamu istrirahat dulu, ya. Aku akan memanggil Sherin untuk membantumu membersihkan diri.”Aku kembali teringat pada wanita hamil itu.“Mas ....”“Hmmm ... udah enggak sabar menunggu nanti malam?” kekehnya.“Bukan. Bu
PoV Randy.[Pak Randy ngomong apa pada Bu Dewi tentangku. Kenapa Bu Dewi mengatakan aku dan Mang Kardi suami istri?]Sebuah pesan dari nomor Sherin membuatku kebingungan di tengah meeting. Aku memang asal menyebut nama Mang Kardi tadi saat Dewi bertanya padaku siapa suami dari Sherin.[Ada apa lagi, Sher? Kamu usahakan mengelak dulu jika Dewi bertanya yang macam-macam. Aku tadi tak sengaja menyebut nama Mang Kardi saat ia menanyakan siapa suamimu. Aku sedang meeting jangan menggangguku dulu, kuharap kamu bisa mengatasinya.]Kuabalas pesan dari Sherin dan meneruskan meeting. Kali ini perusahaan kami mengajukan tawaran proyek renovasi di Health Hospital, sehingga salah satu orang yang mengisi ruang meeting kali ini adalah dr. Rayyan yang merupakan direktur utama di Health.Sebuah pesan dari Sherin kembali masuk di gawaiku setelah meeting selesai dan para petinggi Health Hospital sudah pulang. Meeting kali ini memang digelar di salah satu hotel bintang lima. Bukan tanpa sebab, menurut ti
“Ya Allah, Sher! Itu dulu, untuk apa mengungkap yang sudah lalu? Sekarang kamu adalah istriku, kita sudah menikah. Aku punya hak atas tubuhmu.”“Tidak! Sherin enggak mau!”“Kamu akan menanggung dosa besar karena menolak suamimu.”“Aku tak peduli! Cukup sekali Pak Randy menjadikanku tempat pelampiasan. Aku sudah tak mau lagi! Meskipun sekarang kita berstatus suami istri!”Sherin menepis tanganku kemudian berlari menuju pintu lalu keluar dari kamar hotel.Aku menghela napas kasar, mataku memanas. Ingin rasanya kukejar wanita itu kemudian melakukan apapun yang kuinginkan padanya. Bukankah dia adalah istriku? Tapi dengan susah payah kutahan emosiku, aku tak mau melakukan kesalahan lagi dengan memaksanya. Apa salahku? Aku hanya ingin melampiaskan hasratku pada tempat yang seharusnya. Aku bahkan sudah meminta baik-baik padanya. Meski pun sangat mudah bagiku jika ingin melakukannya, tapi aku sungguh tak ingin salah langkah lagi. Aku tak ingin menambah masalah lagi dalam hidupku yang sudah ku
PoV Hannan.Ada perasaan tak nyaman pagi ini ketika aku bangun di pagi hari, tubuhku terasa lemas dan rasanya malas untuk beraktivitas. Tapi demi menyiapkan semua keperluan Ray, aku pun memaksakan bangun dan menuju ke dapur dan membuat sarapan dibantu Bi Ina.Aku hanya menatap dan menemani Pak David, Ray dan Zayn saat sarapan, tanpa berminat menyentuh makanan yang baru saja kusajikan. Ray beberapa kali menanyakan kenapa aku tak ikut sarapan, tapi aku hanya beralasan masih kenyang dan belum berselera.“Beberapa hari ini kamu enggak pernah ikut sarapan, Bun. Apa Bunda baik-baik saja?” Ray bertanya dengan tatapan sedikit khawatir.“Iya, Mas. Aku baik-baik saja, hanya beberapa hari ini memang kurang berselera makan.”Pak David yang berada di samping Zayn dan sesekali menggoda Zayn menengadahkan wajahnya menatapku sesaat sebelum kemudian kembali menikmati sarapan serealnya.“Aku pergi dulu, ya, Bun.” Ray mencium keningku berpamitan. Ia tadi memang mengatakan bahwa hari ini ia harus berangk