PoV HannanHari ini Ray akan terbang ke Makassar dalam rangka persiapan pembukaan cabang Health Hospital di sana. Menurut Ray, kota tersebut dipilih karena merupakan kota pusat kegiatan masyarakat di wilayah Indonesia Timur. Ray dan beberapa petinggi Health akan berada di sana selama 3 hari. Maka, pagi ini Ray mengajakku ke Health Hospital karena ia akan mengadakan meeting dulu sebelum penerbangan mereka sore nanti.“Ikut ke kantor, ya, Sayang. Biar nanti pulangnya dijemput supir. Aku ada meeting sebelum penerbangan dan kemungkinan enggak bisa pulang ke rumah, akan langsung ke bandara dari Health bersama tim.”Aku mengangguk. Meski sebenarnya aku juga sedang ada pekerjaan di ZaZa Bakery karena ada beberapa mall yang menawarkan kami membuka gerai di mall. Namun, aku sudah berkomitmen dari awal bahwa ZaZa Bakery tidak akan menjadi hambatan dalam hubunganku dengan Ray. Dia dan Zayn akan tetap menjadi prioritasku yang utama. Walaupun begitu, aku masih sempat menanyakan padanya kenapa aku
“Wanita itu, wanita yang kupilih dan membuatku meninggalkanmu tak lagi mengenaliku. Ia bahkan selalu ingin protes ketika aku menyentuhnya meski hanya untuk membantunya karena ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Bagaimana aku bisa hidup dengan kondisi seperti ini?”“Insya Allah jika kamu ikhlas menerima cobaan ini dan bersabar menghadapi istrimu, aku yakin Allah akan memberi kebahagiaan padamu. Bukankah selalu akan ada pelangi setelah hujan?” Aku mengulangi kata-kata yang dulu pernah Ray ucapkan padaku. Kata-kata yang mmebuatku mulai melirik pria yang kini telah menikahiku itu.“Aku pernah mengalami fase hidup yang jauh lebih terpuruk, Ran. Dan lihatlah sekarang, Allah memberiku kesempatan untuk kembali merasakan kebahagiaan yang dulu pernah hilang dari hidupku,” lanjutku.Randy menatapku kemudian menghela napasnya berat.“Mau melihatnya?”Aku mengangguk, lalu kami pun masuk ke dalam ruang VVIP. Di dalam sudah ada perawat, seperti yang dikatakan Ray tadi, ia tak akan membiarkanku hanya
PoV Randy“Ceritakan padaku apa saja yang sudah kulupakan dan hilang dari ingatanku,” ucap Dewi dengan suara lirih, meski begitu tatapannya masih tajam seperti dulu. Aku kembali melihat ketegasan Pak Nugi dari pancaran matanya.“Aku akan menceritakannya pelan-pelan,” jawabku sambil menyuapi bubur padanya. Dewi pun menurut.“Kemana ayah? Kapan aku bisa melihat?” Dewi kembali menggumam.Aku menghela napasku berat. Sepertinya hal pertama yang harus kujelaskan padanya adalah bahwa ayahnya sudah gugur dalam tugasnya.“Dewi, kamu percaya padaku, kan? Kamu percaya apa yang akan kuceritakan padamu?”“Jawab dulu pertanyaanku. Apa kamu adalah orang pilihan ayahku?”Aku mengangguk. “Ya, aku adalah orang yang dipilih oleh Pak Nugi untuk menemanimu.”“Kalau begitu aku bisa mempercayaimu.”Kubersihkan sisa-sisa makanan di bibir Dewi. Kini ia tak lagi menghindar ketika aku menyeka bibirnya dengan sehelai tisu. Sangat berbeda dengan sebelumnya, ia akan selalu menghindar atau sekedar melototkan matany
“Perempuan hamil yang waktu itu menyeka tubuhku siapa, Mas? Ia mengaku bernama Shiren. Aku merasa tak mengenalnya.”Degg!!Jantungku berdebar kencang. Harus bagaimana kujelaskan padanya siapa Dewi. Haruskah kukatakan bahwa Sherin adalah istriku juga? Haruskah kujelaskan padanya bahwa bayi yang sedang dikandung Sherin adalah anakku?“Mas?” Mata Dewi seolah menuntut jawaban.“Oh ... itu. Namanya Sherin, bukan Shiren.” Aku terbata-bata.“Siapa dia? Apa dia bekerja di rumah kita? Bukankah sudah ada Bi Sum dan yang lainnya?”Salivaku menjadi keras seperti batu ketika aku berusaha menelannya. Dengan grogi aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal tepat di saat pintu ruangan di ketuk dari luar. Lalu ....“Ayah!!!” Wajah Zayn yang ceria langsung muncul saat pintu terbuka.“Hey! Hati-hati, Nak!” Suara Hannan menegurnya bocah yang kini sedang berlari ke arahku.Kusambut tubuh Zayn dengan pelukan. Bocah itu menciumi wajahku sambil terus memeluk leherku.“Zayn kangen Ayah!”“Ayah juga
PoV Sherin“Sher, di depan ada suamimu,” ucap Rosa padaku.“Oh, iya, Ros. Terima kasih, ya,” jawabku.Suamiku? Tumben sekali Pak Randy kemari lagi. Seminggu terakhir ini tepatnya semenjak Bu Dewi terbangun dari koma, Pak Randy tak pernah lagi datang ke ZaZa Bakery, meski itu untuk menemui Zayn. Sepertinya ia tengah sibuk bolak-balik mengurus perusahaannya dan juga mengurus Bu Dewi. Di rumah pun aku hampir tak pernah bertemu dengannya karena sepertinya sepulang dari kantor ia memilih pulang ke rumah sakit menemani Bu Dewi. Komunikasi kami pun tak banyak, sangat jarang sekali kami berkirim pesan apalagi melakukan panggilan telepon. Hubungan kami memang tak seperti hubungan suami istri pada umumnya.Di rumah, Bi Sum dan lainnya menerima kehadiranku dengan baik, meski tak terlalu akrab. Padahal saat Pak Randy mengajakku untuk tinggal di rumahnya setelah ibuku meninggal dan Bu Dewi koma, aku membayangkan mereka semua akan memandang sinis padaku. Namun, itu semua tak pernah terjadi. Bi Sum
“Dewi sudah tak mungkin lagi memberiku keturunan. Aku sangat berharap banyak pada anakku yang ada dalam kandunganmu. Kuharap kamu bisa menjaganya dengan baik, meski di rumah nanti kita harus bersandiwara di depan Dewi tentangmu dan anak kita. Bisakah kamu melakukannya untukku?”Aku mengangguk. “Bolehkah aku mengajukan satu permintaan pada Pak Randy?”“Apa itu?”“Aku dan bayiku akan pergi dari rumah itu setelah melahirkan. Kurasa Pak Randy juga sudah pernah menjanjikan ini padaku, tapi aku hanya ingin memastikannya kembali.”“Apa maksudmu kamu akan meminta cerai setelah bayi itu lahir?”“Kita sama-sama tak punya perasaan apa-apa satu sama lain, Pak. Kita berdua hanya terjebak oleh keadaan dan sama-sama harus bertanggungjawab pada bayi ini.”“Maafkan aku, Sherin. Tapi jika maksudmu adalah bercerai, aku belum bisa menjawabnya sekarang. Kita jalani saja dulu semua ini. Aku ... aku tak sanggup lagi jika harus tinggal terpisah dengan anakku. Cukup hanya Zayn yang membuatku selalu harus mena
PoV DewiMeski merasa ada yang aneh, namun aku hanya bisa menerima semua penjelasan yang Mas Randy katakan. Sewaktu di rumah sakit beberapa hari yang lalu, aku menanyakan kehadiran seorang anak kecil yang memanggil pria yang mengaku suamiku itu dengan panggilan ayah. Mas Randy pun terlihat tersenyum semringah menyambutnya dan memeluk serta menciumi bocah yang mengaku bernama Zayn itu. Dia datang bersama seorang wanita yang menurutku sangat cantik dan elegan. Siapa mereka? Siapa wanita cantik dan bocah kecil menggemaskan itu?“Siapa mereka, Mas?” tanyaku setelah mereka pamit pulang.Mas Randy menghela napas. Aku sudah menyiapkan mentalku, caranya memperlakukan bocah tadi dan bagaimana bocah tadi memanggilnya ayah cukup membuatku paham. Aku hanya ingin penjelasan dari pria yang telah menikahiku itu.Mas Randy menggenggam tanganku. Aku merasakan kehangatannya mengalir meski aku tak dapat menggerakkan tanganku. Di dekatkannya tanganku dalam genggamannya ke pipinya, kemudian mengecupnya pe
“Jangan segan padaku, aku suamimu. Kamu boleh meminta apapun termasuk tubuhku. Bukankah sebelum pulang dari rumah sakit dokter sudah menjelaskan bahwa kita tetap bisa menjalani hubungan intim seperti biasa? Jangan menahannya jika kamu menginginkanku. Kita akan melakukannya perlahan-lahan. Aku berjanji akan tetap memberimu nafkah batin.”Kurasa wajahku sudah seperti kepiting rebus sekarang. Ingin sekali rasanya aku menggerakkan tanganku dan menyembunyikan wajahku saat ini. Namun aku hanya bisa susah payah menahannya. Mengapa pria ini begitu tega mengucapkan hal seperti itu di depanku?“Kamu tau, Sayang. Dulu kamu adalah istri yang sangat hebat di ranjang.” Ia kembali berbisik lirih di dekat telingaku.Aku semakin tak berdaya.“Kita akan mencobanya lagi nanti malam. Hari ini kamu istrirahat dulu, ya. Aku akan memanggil Sherin untuk membantumu membersihkan diri.”Aku kembali teringat pada wanita hamil itu.“Mas ....”“Hmmm ... udah enggak sabar menunggu nanti malam?” kekehnya.“Bukan. Bu