PoV SherinSemenjak Mbak Hannan mengetahui bahwa kondisiku sedang hamil, aku merasa ia memperlakukanku berbeda dari rekan-rekanku yang lain. Sejujurnya, aku merasa tidak nyaman. Selain karena aku adalah karyawan baru dibanding yang lain, aku juga takut jika rekan-rekanku menganggap aku mendekati pemilik ZaZa bakery itu secara pribadi. Karena tak jarang Mbak Hannan memanggilku dan mengajakku berdiskusi. Beberapa kali Mbak Hannan menanyakan bagaimana kelanjutan urusanku dengan Pak Randy. Kurasa bukan karena ingin mencampuri urusanku, tapi lebih kepada Mbak Hannan prihatin terhadap kondisiku. Terlebih saat ia pernah mampir ke rumah kontrakanku dan berkenalan dengan ibuku.Mbak Hannan meneteskan air matanya ketika itu. Menurutnya ia sedang mengenang almarhum ibunya yang jika masih hidup mungkin sekarang sudah seusia ibuku. Ibuku pun menitikkan air matanya ketika bertemu dengan Mbak Hannan, karena aku sudah menceritakan semua kebaikan atasanku itu pada ibuku. Namun yang lebih membuat ibuku
Hingga hiruk pikuk tadi reda, Tian tak lagi muncul di hadapanku. Pesanannya dan rombongan muridnya tadi dibayar oleh salah seorang guru yang kurasa adalah rekan Tian. Apakah ia sengaja menghindariku dengan menyuruh rekannya yang membayar ke meja kasir? Aku tak tau. Biarlah, aku pantas mendapatkan ini semua. Bukankah selama ini aku yang menghindarinya? Ia bahkan harus dirawat di rumah sakit waktu itu karena lelah mencariku.Bukankah inilah yang kuinginkan? Aku tak perlu repot-repot lagi menghindarinya karena ia sendiri sudah tak mau menyapaku. Ini pilihanku, dan seharusnya aku sudah menyiapkan hatiku untuk hal ini. Namun mengapa rasanya seperti ini? Aku sama sekali tak menyangka jika rasanya akan sesakit ini. kembali kutekan-tekan dadaku yang terasa sesak.“Heyy, kamu kenapa?” Suara Rosa mengagetkanku. Segera kuhapus sisa-sisa tangis di wajahku.“Ng—nggak apa-apa, Ros,” jawabku.“Kamu kenal dengan guru yang ganteng tadi?” tanya Rosa lagi.Aku menatap heran pada Rosa, kurasa yang dimaks
Pov RandyBaru saja tiba di parkiran ZaZa Bakery, aku sudah disuguhkan pemandangan yang sungguh membuat hatiku panas. Sherin sedang berada di dalam dekapan lelaki yang waktu itu mengantarkannya ke puskesmas. Aku tau lelaki itu adalah kekasih Sherin, bahkan aku juga merasa sangat bersalah padanya karena hubungan mereka harus berakhir karena perbuatanku pada Sherin. Meski aku tak punya perasaan apa pun pada Sherin, tapi saat ini Sherin sedang mengandung anakku dan aku merasa tak nyaman melihat gadis yang sedang mengandung bayiku itu berada di pelukan lelaki lain.Maka dengan kasar kutarik tangan gadis itu dari dekapan lelakinya. Keduanya terkejut, mungkin mereka berdua memang tak menyadari kehadiranku di sana karena sedang larut dalam romansa. Kulihat mata Sherin sembab, aku semakin emosi. Sherin tak boleh terlalu banyak menangis, aku takut itu akan mempengaruhi perkembangan bayinya. Sejak mengetahui jika di dalam rahimnya sedang bertumbuh benihku, aku memang selalu berusaha tak membuat
“Kenapa aku tak boleh membawa-bawa nama Mbak Hannan? Bahkan Pak Randy menyebut namanya saat menodaiku! Lalu kenapa sekarang Pak Randy tak mau mendengarku menyebut namanya? Apa Pak Randy sedang merasa menyesal karena telah mencampakkan wanita sebaik Mbak Hannan? Kenapa harus aku yang menjadi korban atas penyesalan Pak Randy? Aku punya impian masa depanku sendiri tapi Pak Randy telah menghancurkan semuanya! Lalu sekarang Pak Randy membentakku karena aku menyebut nama Mbak Hannan!”Aku menepikan mobilku. Selama mengenal Sherin, belum pernah kudengar ia barkata kasar dan panjang lebar padaku seperti ini. Bahkan ketika pertama kali aku bertemu dengannya setelah menodainya, ia tak pernah berkata kasar seperti ini.“Kamu marah karena aku melarangmu membawa-bawa nama Hannan?” tanyaku setelah mobilku menepi dan berhenti.“Ya, aku marah! Aku marah kenapa aku harus ikut berada di pusaran masalah hidup Pak Randy!”“Aku sudah meminta maaf padamu dan ibumu, Sherin. Tak ada niatku untuk melibatkanmu
Rasa kalut memenuhi rongga dadaku mendengar Dewi mengalami kecelakaan. Dari Bi Sum yang kutelepon saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, aku mengetahui jika Dewi nekat menyetir mobil sendiri padahal ia sama sekali belum lancar menyetir. Aku pun tak mengerti kenapa Dewi senekat itu padahal di rumah ada supir yang siap mengantarkannya ke mana saja ia mau.Aku semakin terpuruk ketika menghadapi kenyataan bahwa Dewi mengalami keguguran dalam kecelakaan itu. Petugas mengarahkanku untuk menandatangaini surat persetujuan tindakan kuret pada Dewi yang sedang koma, juga beberapa operasi di beberapa bagian tubuhnya akibat dari kecelakaan yang dialaminya.Aku terhenyak, tubuhku luruh ke lantai. Kenapa aku harus kembali mengalami hal seperti ini? Dulu aku kehilangan Zaid sewaktu seluruh perhatianku beralih pada Dewi. Lalu sekarang aku kehilangan bayiku dalam rahim Dewi disaat aku sedang mengalihkan perhatianku pada Sherin. Aku tergugu, menangisi semua yang terjadi. Aku sungguh takut kehilangan
Wajah Hannan berubah sendu, kurasa wanita cantik itu sedang mengenang Zaid, putra sulung kami.“Mau kah kamu membantu mempersiapkan acara pernikahanku dengan Sherin, Han? Hanya pernikahan sederhana, yang penting sah secara agama. Sherin tak mungkin mengurusnya sendiri, apalagi ibunya juga sedang dalam kondisi sakit.”Hannan menghela napas.“Baiklah, aku akan mambantumu.”Aku tertawa miris, menertawakan diriku sendiri.“Kenapa kamu tertawa?” tanya Sherin.“Aku tak pernah menyangka akan meminta hal seperti ini padamu. Memintamu membantu pernikahanku, padahal dalam hatiku kamu masih ....” Aku tak meneruskan kalimatku. Khawatir jika Hannan kembali merasa kesal padaku. Hannan pun tak merespon kalimatku.“Seandainya waktu bisa kuputar balik. Seandainya semua kejadian ini hanyalah mimpi burukku. Aku masih berharap terbangun dari mimpi buruk ini dan mendapatimu sedang berada di sisiku bersama anak-anak kita.”“Jangan membahas masa lalu. Kamu sendiri yang memilih jalan ini, maka jalanilah semu
PoV DewiAda setitik cahaya putih yang menyilaukan dalam pekatnya gelap, membuatku tertarik berjalan ke arah cahaya itu. Makin lama cahaya itu semakin jelas terlihat hingga akhirnya aku benar-benar bisa memasuki cahayanya setelah berjalan terseok-seok. Lalu tubuhku terasa terlempar dari gelap pekat ke cahaya tadi hingga akhirnya aku bisa melihat dengan sempurna cahaya itu. Kamarku! Aku langsung mengenali langit-langit kamarku.“Uhhuk!” Aku bisa mendengar suaraku terbatuk-batuk. Aneh! Aku merasa aneh pada diriku sendiri, sudah lama sekali merasa tak bisa mendengar suaraku sendiri.“Bu ... Bu Dewi!” Ada suara asing di sampingku. Dengan susah payah kutolehkan kepalaku melihat ke sumber suara. Seorang wanita yang sepertinya tengah hamil sedang memegang sehelai kain yang menempel di kakiku.“Si-siapa k-kamu.” Lemah sekali suaraku dan juga berat. “A-aku haus.”“Sebentar, ya, Bu. Sherin ambilkan minum,” Wanita itu meletakkan kain kecil yang tadi dipegangnya, rupanya ia sedang menyeka tubuhku
PoV RandyAku segera pulang dengan tergesa-gesa saat Sherin menelepon dan mengabarkan padaku bahwa Dewi sudah bangun dari komanya. Sherin sendiri sudah berangkat bekerja ke ZaZa Bakery dengan motor maticnya ketika aku tiba dirumah. Gegas aku menuju ke kamarku di mana Dewi selama ini terbaring.Meski hatiku ingin sekali langsung menyerang Dewi dengan pertanyaan mengenai Hans yang terlibat kecelakaan bersamanya, namun urung kulakukan saat melihat Dewi yang masih dalam kondisi sangat lemah. Netraku bertatapan dengannya, aku tersenyum lalu melangkah ke arahnya dan duduk di tepi ranjang di mana ia terbaring.Ada yang aneh. Kenapa Dewi seolah risih dengan kehadiranku? Kenapa ia menatapku seolah aku adalah orang asing? Kenapa ia tak segera memanggil namaku dengan manja seperti biasanya? Lidahku pun seolah kelu, aku tak ingin bertanya apa pun dulu padanya. Rasa iba justru menguasai hatiku ketika aku melihat betapa lemahnya dan betapa tatapan matanya penuh dengan pertanyaan yang mungkin belu