Kamala mengejar Kemal hingga di depan lift. Wanita itu langsung memeluk anak bungsu suaminya seraya terisak."Maafin mama, Dek," lirih Kamala.Kemal bergeming, semua hal barusan terlalu memenuhi pikirannya. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat ini. Pemuda kalem itu hanya mampu mengusap punggung wanita yang memeluknya.Sejurus itu, putra Khadijah mengurai pelukan Kamala. Mengusap butir bening dari wajahnya, lalu mengecup punggung tangan wanita pengganti ummanya ini."Aku butuh waktu, Ma."Kamala mengangguk meski netranya masih berkabut. "Jangan benci Mama, ya," ulangnya mulai serak, sembari menangkup wajah tampan Kemal.Kemal hanya menyunggingkan senyum. Menampakkan sebaris lengkungan mirip Khadijah yang selalu meneduhkan. Banyak kisah yang belum dia ketahui secara utuh. Keluarga besar ibunya selalu menutupi, kecuali Khuzaemah. Satu-satunya adik Khadijah yang terus mendukung Kemal untuk dekat dengan keluarga Kamala.Namun, Khuzaemah juga selalu mungkir bila Kemal mulai bertanya
Kayshan yang sedang men-zoom foto tersebut, gegas berlari ke sumber suara. Dia menduga sesuatu jatuh di kamar Farhana.Benar saja, rupanya Farhana berusaha berdiri. Mungkin dia akan ke kamar mandi, tapi tubuhnya membentur lemari dan menimbulkan suara gaduh.Kayshan mendekat, meraih pundak Farhana dan mulai memapahnya menuju toilet. Namun, geliat halus sang nyonya membuat Kayshan terheran."Hand off!" lirih Farhana, menepis rangkulan lengan Kayshan di bahunya. (Jangan menyentuhku)"Nanti kamu jatuh," balas sang suami pelan karena matanya mulai berdenyut mengantuk, tapi berusaha ditahannya.Farhana berhenti, susah payah berdiri merambati dinding sambil menarik tiang infus. "Stay away!" ketusnya lagi, meminta Kayshan menjauh.Kay mengalah, dia mengangkat kedua tangan ke atas tapi tak meninggalkan istrinya begitu saja.Lelaki itu setia berdiri di depan pintu kamar mandi. Entah mengapa dia melakukan ini, yang jelas hatinya ketar-ketir. Dia masih ngeri membayangkan bila Farhana bakal nekat
Farhana memastikan lagi isi pesan tersebut. Dia lalu membuka aplikasi hitam berlogo not nada, yang menjadi penyambung komunikasi mereka selama ini."Wa alaikumussalam. Saya akan kirimkan sampel produk sebelum menerima pesanan Anda. Mohon sertakan alamat lengkap. Terima kasih." Hana mengetik pesan untuk admin Argasatya.["Oke. Untuk memudahkan Nona Khanza, ahsan-lebih baik dititipkan di lobby apartemen saja. Nanti staf kami yang akan mengambil produknya."] Farhana mengernyit heran, sepertinya Argasatya enggan membagi lokasi toko offline mereka. Dia sedang tak ingin berpikir keras, maka langsung menyetujui usulan tadi."Oke." Tiada balasan lagi dari Argasatya setelah itu. Namun, Farhana mulai mencurigai seseorang. Merasa ingin memastikan sesuatu, dia menggulir koleksi unggahan video di berandanya. Lima menit kemudian, dia menepuk jidatnya sendiri. Senyam senyum menertawai kebodohannya. "Kamu ke ge-er an, Nana. Dia pasti scroll sampe bawah dan nemu VT lama waktu awal-awal merajut ata
Keduanya terlelap di sofa hingga jelang subuh. Ketika membuka mata, Farhana melihat Kayshan tidur nyenyak di atas pangkuan.Inginnya bertahan seperti iitu hingga Kay bangun, tapi otaknya memerintahkan untuk segera bangkit dan mandi."Maaf, badanku sudah lengket," kata Farhana pelan. Dia beringsut perlahan, menggeser kepala Kayshan agar tak lagi menumpu pahanya.Jika kondisi hatinya masih normal seperti saat awal-awal pernikahan, mungkin Farhana akan mudah luluh melihat sikap manis Kayshan. Kejadian kemarin sontak mengubah itu semua.Farhana masih belum bisa memaafkan Kayshan yang telah membuat Ahmad rela merendahkan diri, mengemis izin darinya. Bagi Hana, itu sebuah penghinaan. Setelah memastikan Kay tidak terbangun, Hana kembali menuju pantry. Dia memungut botol minum dari atas lantai, dan mengambil makanan tambahan dari kulkas. Hari ini, dia bertekad takkan menampakkan diri.Kayshan bangun tepat alarm azan subuh berbunyi. Dia celingukan mencari Farhana. Ponsel milik gadis itu pun m
"Ke depan, Bos," jawab Gery sambil mengacungkan telunjuk ke arah ruang tamu.Kayshan menapaki anak tangga terakhir sembari berkata, "Ikut aku!" Dia menuju ruang kerja dan meminta Murni mengantarkan sarapan ke sana.Gery duduk di sofa berhadapan dengan sang pimpinan. Wajah Kayshan terlihat kusut pagi ini, bahkan dasinya belum tersimpul rapi.Lelaki itu tak bicara sebelum kopi yang Murni antarkan habis. Gery pun enggan bertanya, otaknya sedang merangkai jawaban akurat bila Kayshan menyalahkan dirinya perihal persiapan kejutan kemarin."Menurutmu, aku harus melakukan apalagi?" tanya Kayshan tiba-tiba."...." Gery hanya diam, pertanyaan itu merupakan kalimat menggantung baginya."Hana sepertinya muak denganku." Kay menjelaskan maksud ucapan tadi. "Kukira dia pemaaf," keluhnya bernada lemas.Gery menghela napas. "Sabar aja, Bos. Mungkin effort Anda belum begitu besar," jujur sang asisten.Kayshan lantas mencoba menghubungi Farhana lewat ponsel yang biasa mereka gunakan untuk berkomunikasi.
Kayshan lagi-lagi melihat ke arah jendela. Sesekali melirik jam tangannya. Otak sang CEO tengah berperang antara gengsi dan kesegeraan. Dia harus membawa Farhana ke Malaysia esok sore karena rangkaian kegiatan telah disiapkan untuknya. Semata agar Kayshan yakin bahwa dia tak merusak wanita alim itu.Bisa saja dia meminta mereka ke Indonesia atau melakukan medical test domestik. Tapi, Kayshan takut informasinya bocor mengingat keluarga Farhana adalah praktisi kesehatan dan pemilik rumah sakit elit. Sesama nakes tentu saling mengenal bukan? Pikirnya.Dalam kebingungan itu, dia menggulir daftar kontak. Ingin menginformasikan pada seseorang agar menangguhkan jadwal jika sore ini upayanya belum berhasil.Namun, tanpa dia sengaja tiba-tiba jemari Kayshan menekan satu kontak di ponselnya. Dia gelagapan, ingin memutus panggilan tapi malah langsung tersambung."Assalamualaikum, Kay?" Mendengar suara di seberang, Kayshan menelan ludah. Dia berdehem sebab suaranya mendadak berat."Ehhemm ... w
Farhana bangun menuju sisi ranjang. Ada dua notifikasi pesan dari aplikasi berlogo not nada itu. Dia membuka akun milik Argasatya lebih dulu.Admin mengabarkan bahwa kardus berisi syal sebanyak 25 buah yang dititipkan di lobby, telah mereka terima. Sisa pembayaran pun sudah dilunasi oleh si owner, lengkap dengan bukti resinya."Alhamdulillah kalau cocok. Semoga manfaat untuk mereka yang sedang ibadah," ujarnya. Farhana bersyukur, pelan-pelan dunia barunya mulai menghasilkan pundi uang. Dia betul-betul tak menduga karena semua berawal dari keidealisan dan kepepet."Lumayan buat modal bikin VT jelang lebaran," kekeh Hana saat melihat total fee selama ngonten yang dia simpan di bank online.Setelah itu, dia mulai beralih pada pesan lainnya. Netra sipitnya kian mengecil karena kedua sudut bibir Farhana melengkung senyum, saat membaca sebaris tulisan di sana.Dia mendekap ponselnya di dada seraya menengadah dan memejam. Seakan tengah mengucap syukur, bahwa ada jalan lain untuk kembali be
Tampak dalam foto itu, Kayshan tengah terbaring di ranjang pasien. Tidak ada peralatan medis yang fatal di sana. Meski begitu, Farhana tetap kuatir.Kelopak mata bulat Gauri mengerjap, seakan menunggu validasi dari sang bibi bahwa dirinya tidak bohong. "Am i right, isn't?" Farhana melempar senyum, dia menowel gemas pipi Gauri. "Iya, Nana percaya," ujarnya dihadiahi senyum ompong gadis cilik. "Daddy sakit apa?" Gauri lalu duduk di sisi Farhana, manik matanya mendelik ke atas seakan mengisyaratkan dia tengah berpikir keras."Lama, ih!" cebik Hana terkekeh kecil melihat tingkah bocah gendut ini."Ini Nana ... sakit ini, heart," jawab Gauri sambil menempel-lepaskan tangannya di dada kiri beberapa kali."Jantung?" tebak Farhana mulai serius. Gadis tengil itu menggeleng sambil cengengesan. "No! tebak lagi," pintanya. Pipi tomat Gauri ikut menggembung membuat Farhana mencubitnya gemas."Entah, Nana nggak tahu. Nyerah deh."Gauri mulai mengayunkan kedua kakinya sambil duduk bergoyang ke k
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah